Matahari sudah berada di titik tertingginya. Pemandangan diluar sana berubah-rubah seperkian menit. Evan tidak sempat melihatnya, ia sibuk tenggelam kedalam buku-buku soal sampai tidak sadar sejak tadi perutnya minta diberi makan.
Anak-anak lain mulai sibuk beranjak dari kursinya, anak-anak dari gerbong depan membuat pintu gerbong terus bersuara. Mereka semua menuju belakang pintu. Tidak perlu waktu lama, gerbong itu hanya meninggalkan suara desing kereta. Tempat itu menjadi sunyi.
Kruuk…perut Evan tidak kuasa menahan wangi makanan yang sempat melintas ketika pintu belakang dibuka. Akhirnya, ia menyerah. Direntangkan tangan serta kakinya. Pulpen yang ia pegang sejak tadi meninggalkan bekas tinta ditangannya. Kertas-kertas penuh coretan berserakan dimeja kecil bersama buku tebal penuh kertas tempelan warna-warni.
Evan mengusap perutnya. Lapar. Tiga puluh menit sebelumnya, ia sudah tidak fokus melihat buku didepannya. Kepalanya terasa ditekan sesuatu yang berat. Matanya mengerjap-ngerjap dan perasaan kesal tidak bisa menjawab satu soal matematika membuatnya kehilangan kendali. Menjadi merasa terganggu dengan suara disekitarnya, berkomentar dan menatap sinis setiap orang yang melewati kursinya. Sifat kambuh Evan ketika kekurangan energi.
Ketika beranjak dari kursinya dan melihat dari samping sekat yang memisahkan kursinya dengan kursi lain—semua kursi kosong. Evan menggeser pintu belakang, berjalan beberapa langkah hingga sampai di daun pintu. Dari jendela pintu ia bisa melihat siswa-siswa mengantri.
Belum genap ia menggeser pintu itu aroma-aroma makanan menusuk kehidung membuat buas perutnya. Aroma itu berasal dari samping kananya yang dipenuhi antrian siswa. Ada buffet disana bergelimpangan makanan yang masing-masing memiliki khasnya tersendiri. Empat petugas menjaga dibagian dalam, membantu siswa-siswa mengambil makanan mereka.
Tepat dibelakangnya api-api menyembur ganas, teriakan semangat terdengar, dan orang-orang berseragam putih dengan topi tinggi berlari kecil diantara dapur. Koki-koki itu semangat sekali memasak. Membuat Evan juga ikut semangat mengambil nampan, ikut mengantri.
"Ayo cepat. Kita harus mengambil tempat duduk disamping mereka bertiga."
"iya, iya. Aku tahu ini momen langka, tapi aku juga tidak mau meninggalkan makanan-makanan lezat ini."
Dua perempuan didepannya yang mengantri sejak tadi terburu-buru mengambil makanan sembari menengok-nengok ke meja makan. Setelah keduanya selesai mereka terbirit-birit memasuki lautan siswa lain yang sibuk makan. Evan juga sudah selesai mengisi nempannya, sekarang tugasnya melewati tengah meja makan yang seringkali dilewati siswa dan petugas pembawa nampan besi bulat penuh gelas tertata seperti piramida. Jalan itu hanya muat satu orang tapi yang melewati secara bersamaan banyak.
Evan dengan pelan-pelan sambil menjaga keseimbangannya berjalan sembari melirik kekanan dan kekiri mencari kursi kosong. semakin jauh dari buffet, semakin ia sulit berjalan. Beberapa kali dia terhenti memberikan kesempatan yang lain berjalan dan sering kali kereta berbelok membuatnya harus menahan keseimbangan.
"Evan, disini." Suara yang sama didengarnya pagi ini.
Chapin melambaikan tangan dua meja didepannya. Teman masa kecilnya itu sudah menyediakan tempat baginya. Evan balas mengangguk menuju meja yang kemudian dihampiri tawa renyah kawannya itu.
"Pasti sulit mencari tempat duduk. Apalagi kamu datangnnya telat. Untungnya kamu memiliki teman baik yang sudah menyediakan tempat duduk disampingnya. Nah…silahkan duduk." Chapin menepuk pundak Evan, membuatnya bergerak masuk duduk dikursi dekat jendela.
Mereka tidak duduk berdua, didepan mereka sekarang terdapat dua orang lain. Sama-sama mengenakan seragam seperti Evan.
"Perkenalkan dua orang didepanmu ini adalah temanku. Nah…pertama, wanita didepanku ini. Namanya Agatha. Teman sekelasku, paling pintar disegala bidang pelajaran dan pintar memikat perhatian."
Wanita yang disebut Chapin tadi tertawa pelan. Benar apa yang dibilang Chapin. Agatha sangat memikat perhatian membuat Evan tidak sadar sudah lama ia menatapnya. Tak…Chapin menjetikan jarinya membuat Evan kembali tersadar.
"Nah didepanmu juga kawanku. Cery si paling pendiamdiantara kita. Wajahnya memang tampan dan cerdas. Tapi orang-orang enggan mendekatinya, soalnya dia sinis sekali." Ucap Chapin ditengah mengunyah makanan.
Baru pertama kali bertemu dua orang ini Evan sekilas mengetahui sesuatu. Agatha hangat seperti matahari ditambah dengan matanya yang biru dan rambut pirangnya terlihat elegan. Sebaliknya, Cery terlihat suram. Tidak ada hangat-hangatnya, yang ada bulu kuduk Evan berdiri ketika sempat bertatapan.
Tapi tetap saja, Evan memandangnya dengan takzim. Rambutnya yang disisir kebelakang melihatkan bentuk wajah seperti ukiran, postur tubuhnya tegap, dibalik seragamnya ia memiliki tubuh yang ideal.
Tidak ada perbincangan lagi setelah itu. Namun menurut Evan ini menyenangkan, mulai dari moodnya yang membaik, makanannya yang enak, dan bertemu teman baru. Belum diketahuinya saja pertemuan menyenangkan ini akan berubah secepatnya...