Situasi di gerbong kembali ramai. Anak-anak sibuk berdikusi jawaban, tapi juga tidak sedikit yang bermain-main, tertawa lepas, tidak ingat telah menganggu samping, depan, belakangnya. Terutama anak kembar yang duduk disamping kanan Evan.
Banin dan Benin, nama saudara kembar itu. Evan mengetahui nama mereka dari pembicaraan lantang dari kursi sampingnya.
"HAHAH…Kalah telak kau Banin. Mana berikan uangmu."
"Enak saja. Kau itu hanya lebih cepat satu menit dariku. Apalagi kereta itu sempat tidak stabil, bikin rubikku terpeleset dari tangan. Lakukan lagi."
"Heh, tidak seru. Akui saja Banin kamu memang kalah. Tapi baiklah…sekarang kita naiki tantangannya jadi satu menit."
Dua laki-laki hitam manis dengan rambut ikalnya yang mengambang sudah menukar rubik mereka. Tangan berurat mereka bergerak cepat kekanan, lurus, kekiri hingga rubik dengan warna teratur tadi berubah tidak beraturan. Setelahnya mereka mengembalikan rubik masing-masing, menyalakan timer, dan tangan itu bergerak cepat tidak terlihat. belum sampai situ saja, mereka saling membuat lawannya kehilangan fokus, kakinya ditendang atau mereka mencondongkan tubuhnya ke masing-masing saling berdorong, dan yang lain membalas dengan teriakan dan suara nyaring membara.
Suara itulah yang menganggu fokus Evan dan anak-anak lainnya. Dengan cepat Evan mengambil tutup telinga lantas lanjut mengerjakan soal. Sekarang dia masih mencoba menyelesaikan soal matematika yang sempat terhenti tadi siang, tapi sama sekali tidak menemukan jalan. Jadinya ia memilih melanjutkan ke soal-soal berikutnya. Soal yang sulit itu ditinggalnya dengan bulatan pensil di nomor.
Mentari diluar sana masuk setengah diantara pepohonan, langit biru berubah menjadi jingga. Pohon-pohon cemara itu memberikan celah kecil untuk cahaya melintas. Rusa-rusa dengan tanduk besar dan beragam jumlahnya sibuk beriringan berjalan bersama kawan-kawannya, diikuti burung-burung kecil yang hinggap ditanduk mereka.
Diantara pemandangan yang tenang itu terdapat gerbong kereta yang juga sudah tenang. Si kembar sudah tertidur pulas hanya suara dengkur mereka terdengar. Anak-anak lain juga sudah masuk ke alam bawah sadarnya masing-masing.
Masih ada satu anak yang menahan kantuknya. Ia masih berusaha melihat cerita lima paragraf dengan bahasa internasional itu. Berkali-kali matanya mengerjap, perlahan-lahan kepalanya juga ikut menunduk. Tak…suara pulpen yang terjatuh membuatnya tersadar—balik melihat soal. Lima menit kemudian bukan pulpen yang diatas lembar soal melainkan kepalanya.
TUUUUT...siulan kereta mengagetkannya. siswa-siswa disekitarnya juga ikut terbangun. belum sepenuhnya sadar dari balik jendela terlihat statiun kecil ditengah hamparan hutan.
pintu gerbong digeser oleh para petugas membuat siswa disana menoleh kearah mereka dengan wajah bingung. "Perhatian, kita telah sampai di Zermatt. dipersilahkan untuk siswa-siswi sementara keluar dari kereta, karena kita akan menyiapkan tempat bermalam kalian nantinya saat mulai perjalanan lagi. diberi waktu tiga puluh menit para siswa-siswi untuk menunggu di stasiun. petugas akan memberikan kalian kebutuhan lainnya saat peristirahatan. Terimakasih." Speaker itu memberitahu.
satu persatu mereka semua turun dari kereta api. Diluar sana sudah ada petugas yang menyediakan tempat duduk dan makanan ringan , mereka juga sukarela menjawab segala pertanyaan dari para siswa.
Evan memilih duduk di kursi tunggu, menunggu kesadarannya kembali sempurna dan kemungkinan besar akan menghabiskan waktu tiga puluh menit, sebelum suara hangat itu didepannya.
"Boleh aku duduk disini?"
Dengan spontan ia mengangguk. mempersilahkan Agatha duduk disampingnya. Perempuan berambut pirang dan kulit sutih salju memulai percakapan di suasana yang canggung ini.
"Kelihatannya kamu masih mengkantuk." Agatha terkekeh pelan.
Buru-buru Evan membenarkan rambut acak-acakanya dan mengusap mulutnya. Tidak ingin Agatha melihat ilernya yang sudah kering.
Evan berdehem pelan. "Tidak, tidak, aku hanya letih karena mengerjakan soal yang tidak ada habisnya itu." Sekarang ia menyisir rambut tebalnya dengan jemari.
"Oh ya? buku soal apa yang sedang kamu kerjakan?" Wajah Agatha terlihat penasaran.
"Buku The Queen of test."
"Ah! buku yang paling direkomendasiin."
Mulai dari permbicaraan buku soal kemudian berlanjut ke topik pribadi mereka. Lebih tepatnya Agatha yang terlihat lebih penasaran dengan hobi dan kesukaan Evan. Sesekali Evan tersipu setiap wajah Agatha mendekat dan menatapnya dengan bola mata hijau berbinar. Namun tidak sedikitpun Evan merasa terganggu dengan itu, ia tidak kalah menjawab dengan antusias saat membicarakan seni pahat. Jurusan yang diminatinya.