Jam tujuh lewat tiga puluh menit, Argo001—07.20, Argo013—08.00, Argo010—08.20, Argo…. Dijabarkan dalam tiga layar besar mengantung di tengah aula.
Keringat mengalir terjun kebawah dari atas kepala. Diluar maupun didalam ruangan dua-duanya sama panas dan sesak. Tempat paling sejuk hanya didalam bus. Udara buatan hilang seketika setelah turun, sembari berdempetan mengambil tas di bagasi lantas memasuki aula stasiun yang ukurannya sudah sebesar lapangan bola tapi tidak kalah sesaknya.
Air conditioner disetiap sudut sama sekali tidak membantu, didalam sini orang-orang berebutan menghirup udara buatan itu dan melepaskan oksidasi. Mau itu yang sedang duduk menunggu, mengambil tiket di mesin, beristirahat di restoran, mengantri masuk, sisi wajah mereka pasti ada satu bulir air terlihat menetes—sesekali mengusapnya.
Ada beberapa masa stasiun akan dipadati dan ini dibagi jadi beberapa musim. Musim mudik biasanya saat hari raya dan akhir tahun, Musim libur sekolah, dan yang terbaru Musim Ujian. Bulan September tahun ini adalah Musim Ujian, lebih jelasnya Musim Tes Beasiswa yang dikenal baik dikalangan anak sekolah. Jadi aula ini diwarnai beraneka ragam seragam. Evan menjadi salah satunya sedang sibuk menyamakan tiket keretanya dengan nama kereta api di layar.
Tidak ada. Nama kereta di tiket Evan terlihat asing diantara kelompok argo. Karena tentu saja ini jalur khusus. Dipilihnya salah satu jalur dari empat kelompok antrian.
"selanjutnya" teriak petugas pemeriksa tiket.
Maju satu langkah. Didepan petugas sekarang anak berkepang dua memakai seragam putih dengan rok biru tua memberikan kartu identitas serta tiketnya. Cepat sekali gerakan petugas itu memeriksa, beranjak berdiri, memanggil petugas, kembali berteriak "selanjutnya". Anak kepang dua itu berjalan dibelakang petugas yang tadi sempat disuruh pemeriksa tiket.
Masih ada empat orang lagi didepan Evan, jadi ia menggunakan waktu senggang itu untuk melihat sekelilingnya. Salah satunya wanita tua yang mempunyai rambut panjang mengkilat putih, telah mengambil perhatiannya. Di tempat layaknya sauna ini nenek itu mengunakan baju terusan dengan motif bunga yang dibalut lagi dengan jaket cokelat menutupi hingga mata kaki. terlihat semakin kerdil dengan topi pantai besar menutupi wajah depannya bersamaan dengan laki-laki tinggi mengangkat dua koper di kedua bahunya yang menggunakan jas setelan hitam dan sepatu kulit hitam mengkilap.
Belum selesai mengamati dua orang itu, pandangannya dialihkan lagi kebaris sampingnya. Sempat terdengar teriakan yang membuat semua orang disana lantas menoleh. Tidak seperti Ette yang bisa memantulkan cahaya dari dahinya, orang satu itu memantulkannya dari segala arah. Laki-laki bermotif macan tutul ini pergi dengan rombongannya yang menggunakan baju setelan sama. rombongan itu terlihat merundungi petugas yang sabar mendengar cemooh tidak nyambung mereka. Laki-laki botak itu sepertinya pemimpin mereka. Berkali-kali tangan petugas itu ditepis, wajahnya ditunjuk, dan tiket itu digoyang-goyangkan persis didepan mata. Evan menyeringai bukan karena pertengkarannya menlainkan ia bisa lebih jelas melihat setiap adegan walau itu jauh dari barisannya. Dua anak sekolah didepannya itu harus berjinjit dulu sedangkan Evan tidak perlu mengadah wajahnya.
"Selanjutnya." Tontonan itu secepatnya diganti dengan petugas yang menunggu Evan untuk maju ke sampingnya.
Petugas pemeriksa tiket beranjak berdiri setelah melihat kartu identitas dan tiket milik Evan. Ia memanggil salah satu petugas. "Ikuti petugas ini." Pesannya sebelum ia kembali berteriak "Selanjutnya!"
lima belas menit menyusuri koridor bersama petugas serba hitam bukanlah tugas yang mudah. Sorot mata terus mengikuti mereka berdua apalagi petugas ini memang menarik perhatian orang-orang yang sedang menunggu kereta api. Rasa takut dan waspada memenuhi sepanjang koridor begitu juga dengan orang yang dipandunya, sepanjang perjalanan hanya melihat lantai.
Gesekan kemeja hitam katun antara himpitan lengan dan badan terdengar berirama bersamaan dengan hentakan sepatu yang dibuat petugas. Kemeja dengan ukuran pas itu memperlihatkan lebih jelas seberapa kekar petugas ini. Tubuhnya yang lebih tinggi dua kali lipat dari Evan menambah kepribadiannya yang menyeramkan. Sempat Evan berpikir bahwa orang didepannya bukan berniat memandunya melainkan menyekap atau menculiknya dan kewaspadaan semakin meningkat setelah mereka berhenti didepan pintu besi.
Pintu itu sudah dipenuhi karat dan warna peraknya pudar namun memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Disamping pintu terdapat sensor yang dimana saat petugas itu menaruh telapak tangannya, memasukan password, dan terakhir mendeteksi matanya, katup yang berada ditengah pintu lantas berputar membuka setiap gembok disisi atas dan kanan daun pintu.
KLANG! pintu itu membuka dan ditarik lebar oleh petugas. Gelap, tidak terlihat apa-apa didalam sana. hembusan angin dingin membangunkan bulu kuduk Evan dan hanya kesiur angin memanggilnya paksa untuk masuk. Sembari mengencangkan kepalan tangan ia menoleh ke petugas disampingnya yang tidak jauh menyeramkan. Setengah wajahnya memiliki goresan besar seperti membelah mata dan mulutnya dibagian kiri. keberadaanya yang sangat dekat dengan Evan semakin memperlihatkan perbandingan jauh tinggi mereka ditambah dengan bdannya yang tegap berbahu lebar seperti tentara yang berada di garis depan peperangan.
Tidak ada pilihan yang menguntungkan, jika dia hanya diam saja didaun pintu tidak perlu waktu lama petugas itu akan mendorongnya masuk kedalam jadi sebelum itu terjadi Evan memilih melangkah masuk ke dalam lorong.
BUM! pintu besi itu telah ditutup sempurna. Lenggang dan gelap. Evan berjalan lebih pelan dari sebelumnya berhati-hati dengan apapun yang sekiranya satu meter didepan. Lorong yang hanya muat satu orang ini memandu Evan ke secarik cahaya kecil didepan sana yakin bahwa dilorong ini tidak ada apa-apa Evan bisa jauh lebih cepat melangkah. Disetiap langkah itu secarik cahaya didepan sana ikut membesar dan membesar hingga menyakitkan mata.
Evan melipat tangan di dahi sembari menyipitkan mata. kesunyian dalam lorong diganti dengan keramaian. Tempat keberangkatan kereta api. Tidak jauh berbeda dengan statiun pertama.
Lima peron berbaris sempurna dan disetiap sisinya orang-orang bersiap memasuki gerbong, beberapa menunggu bersama tas besar mereka. Bahu Evan beberapa kali bertemu dengan bahu orang lain, membuatnya terpaksa melangkah kedepan masuk kedalam perhimpitan orang-orang. Berjalan kedepan tanpa tahu harus kemana sembari menjaga agar tas jinjing itu tidak lepas dari gengamannya.
Dapat diketahui oleh Evan sendiri bahwa ia menuju ke tempat yang benar, tempat yang tidak jarangnya ditemukan anak-anak berseragam sekolah. Kawanan anak dengan rompi merah berjalan sambil memegang tangan teman dibelakangnya berjalan menyusuri peron. Salah seorang guru mengangkat tinggi bendera hijau meniriaki siapapun yang ada didepannya menyuruh mereka untuk memberikan ruang jalan bagi siswa-siswa mungil ini.
Setelah terdorong kedepan kini Evan terdorong kebelakang. Segerombol siswa laki-laki bertubuh kekar dengan rambut paling pendek diantara mereka sebahu lantas disanggul, dikepang, atau diikat. Menggunakan seragam kemeja putih dengan rok kotak-kotak dan sepatu hitam bersama-sama bergerak melewati Evan yang dipandang mereka seperti semut pengganggu. Bukan hanya bahu sekarang yang terdorong melainkan tubuh depannya.
Susah payah melangkah mundur, Evan masih tetap terkena ombak siswa-siswa kekar hingga ia kehilangan keseimbangan.
BUK! tubuhnya yang sudah tidak kuat lagi terjatuh kebelakang mengagetkan orang-orang yang melangkah. Tas jinjing Evan juga jatuh tepat mengenai kaki orang lain membuatnya meringis. Evan tidak melihat kejadian itu sebab dirinya sekarangpun sedang susah berdiri.
Kawanan orang kekar itu akhirnya menghilang dari pandangan Evan, sekarang tinggal tatapan sinis orang-orang yang merasa Evan sudah menganggu langkah mereka. Akhirnya Evan memutuskan melepas tas ranselnya terlebih dahulu berpikir ia bisa jauh lebih mudah untuk berdiri sebelum salah satu tangan berada didepan mukanya. Evan memegang tangan itu seketika itu juga ia ditarik kencang kedepan.
"Ah…terima kasih." Evan mengadahkan wajahnya melihat orang yang telah membantunya.
Bulu kuduknya lantas berdiri, seketika mengigil daripada kepanasan. Orang yang dipegang tangannya itu mungkin suemuran dengan Evan dengan perawakan yang lebih dewasa. Wajahnya datar sama sekali tidak mengeluarkan emosi. Laki-laki itu melepas kasar tangan Evan yang sejak tadi tidak berhenti memegang tangannya membuat Evan tersadar kembali bersamaan dengan panasnya peron. mengerikan pikirnya.
dua puluh menit meintasi segerombolan orang akhirnya ia menemukan kereta yang akan dia naiki. Avenir Express. Sepuluh petugas berdiri masing-masing didepan gerbong kereta sesekali mengecek tiket siswa yang akan masuk.
Gerbong empat. Salah satu dari petugas yang berdiri didepan gerbong membawa papan sama seperti yang tertulis di tiket Evan. Setelah petugas mengecek tiketnya barulah ia diperbolehkan masuk.
TUUUUUT! kereta memberikan tanda akan segera berangkat. Dengan cepat Evan melangkah ke dalam gerbong.
BUK! Di ambang pintu ia menabrak seseorang hingga oleng kebelakang. Orang didepannya langsung menarik Tangan Evan. Hampir saja jika dia menyentuh lantai mungkin dia akan terjepit dengan pintu otomatis itu.
"Maaf, tidak sengaja."
Evan melihat arah sumber suara itu berasal. "CHAPIN!" Serunya mengagetkan orang yang baru keluar dari toilet—juga kawan lamanya itu. "Aku tidak akan menerima permintaan maaf begitu saja, belikan aku makanan." Aku membalasnya sambil tersenyum kecil.
Chapin tertawa suaranya bergaung maskulin . "Baiklah, apa yang tidak akan kulakukan untuk teman lamaku ini." Ia menepuk punggung Evan cukup keras, mereka berdua berjalan samping-sampingan melewati gerbong kereta.
Tidak pernah disangkanya, dulunya laki-laki yang mirip donat ini berubah menjadi churros cokelat manis. Rambutnya yang tertata rapih disisir kebelakang, wajahnya tirus namun berkarakter , pundaknya lebar, dan keseluruhan tubuhnya memiliki ukuran yang menarik perhatian. Proporsinya terlihat sempurna dari bagian atas hingga bawah kaki.
Sewaktu ia melangkah, kakinya memamerkan betapa ideal proporsi tubuhnya. Setiap langkahnya terlihat ringan, sikap berdirinya yang tegap, gerak geriknya yang santai , semuanya memperkuat kesan perkasa yang sempurna dipadu dengan perawakannya yang tinggi dengan sepasang mata yang lebar agak gelap, seperti seorang prajurit. Walaupun ia menggunakan kemeja putih dengan rompi sekolah dan celana bahan hitam ditambah dengan kesukaannya pada sepatu yang mengkilap dan bersih memperlihatkan betapa pedulinya dia dengan cara berpakaian.
Ketika kita melewati gerbong, lirikan mata selalu mengkuti dari bagian depan hingga belakang. "8A, ini tempat dudukmu kawan." Chapin membantu Evan mencari tempat duduk.
Dua kursi dengan sekat depan belakang, cukup luas untuk menaruh tas didepan kakinya. Kursi ini menjadi tempatnya untuk duduk, belajar, sekaligus tidur selama dua minggu kedepan. Sandaran tangan kanan kirinya dapat mengeluarkan satu meja kecil cukup untuk menaruh buku-buku tebalnya.
"Aku berada dua gerbong setelah ini, kalau kamu ingin bertemu denganku kabarin saja. Aku duluan ya." Chapin putar balik menuju pintu belakang gerbong sambil berdadah sebentar, kemudian hilang dari pandangan Evan.
Evan menyenderkan tubuhnya ke kursi kulit itu, meluruskan kakinya, mencari posisi terenak. Perlahan-lahan kereta itu bergerak, bersamaan dengan bergeraknya kereta yang dinaiki Evan, kereta dari peron-peron lain satu persatu mengikuti kemana relnya.
"Selamat datang di Kereta api Avenir Express. Kita siap memberikan jalan kepada siswa-siswa dan orang-orang yang memiliki semangat tinggi memasuki Universitas. Sebaik mungkin kita akan berusaha menyediakan kebutuhan kalian diperjalanan ini.
Rute Pemberhentian kita kali ini dengan Avenir Express di Zermatt, Brig, Andermatt, Disentis, Chur, Ttierefencastel, tidak lupa dengan pemandangan dari atas jembatan di Filisifur, kemudian lanjut ke Sameda, terakhir St.Moritz sebagai tujuan utama kita. nikmati perjalanan kalian dan tunggu kejutan kita selanjutnya."