Banyak orang mengatakan bahwa frustasi adalah sebuah pemicu agar diri, lebih mampu dan sanggup untuk menjadi lebih kuat dan lebih tegar.
Omong kosong!
Mengapa harus ada aturan seperti itu? Mengapa harus ada pemicu yang membuat diri ini menjadi frustasi dan merasakan rasa sakit.
Mengapa?
Bisakah setidaknya rasa senang yang datang terlebih dahulu? Bisakah tak perlu ada rasa sakit? Bisakah keadilan berdiri lebih tinggi daripada rasa sakit?
Apakah ada yang memiliki jawabannya?
"Arrgghhh!"
Prang!!
Youth mengamuk di kamarnya dan mulai membanting peralatan yang tertata rapi di meja belajarnya.
Rasa frustasi akibat harga diri yang lemah dan terinjak-injak membuatnya mengamuk dan mengurung diri.
Suara hentakan kaki datang dari ujung pintu kamar Youth. Ketukan pintu keras dengan diiringi suara nafas yang tersengal-sengal dan nampak panik mengetuk pintu kamar Youth dari luar.
Brak! Brak! Brak!
"Youth! Ada apa nak?! Buka pintunya..." ucap suara tersebut dengan nada lirih memanggil namanya.
Suara lemah lembut itu terus menerus memanggil nama Youth dengan penuh rasa khawatir.
Youth meneteskan air matanya ke lantai, ekspresinya sudah tak dapat ditahan lagi saat ini. Tangisan yang tak dapat di dengar oleh siapapun, rasa sakit yang tak dapat di jelaskan.
Terkadang frustasi menghancurkan seluruh akal sehat. "HUAAA!!"
Pintu kamar berhasil terdobrak. Dengan wajah yang sangat khawatir dan air mata yang tertahan di matanya.
Ibunda Youth langsung berlari menghampiri anaknya kemudian langsung memeluk Youth yang tertunduk menangis di sebelah kasurnya.
"AHHHH!" tangisan yang makin keras semakin membuat Ibunda Youth memeluknya dengan erat.
Seluruh rasa sakit dan frustasi Youth akhirnya pecah, tangisannya terdengar dengan keras.
Tumpahkan semua rasa sakit itu Youth, menangislah sekeras mungkin. Salahkan semua orang jika itu memang meringankan kepalamu, salahkan dunia, salahkan dirimu yang lemah.
Dan setelah kepalamu mendingin, mulailah lembaran baru dan jalanilah hidup dengan penuh keberanian.
----------------
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. sudah sejak 1 jam berlalu sejak Youth menangis dengan keras, saat ini ia sudah mulai tenang dan tidur di pangkuan ibundanya.
Ibunda Youth yang bernama Yoshi dengan rambut panjang di kuncir ke samping dan wajahnya yang manis dengan mata hitam. memangku kepala Youth di atas kedua paha nya, membiarkan anaknya tertidur dengan tenang.
Matanya menatap wajah anaknya yang dipenuhi luka lebam dan plester yang menutupi luka-luka itu. Tangan lembutnya mulai mengusap wajah Youth dengan penuh kasih sayang dan rasa sedih.
"Apakah semua hal menimpamu adalah karma mama karena karmaku padamu nak...
Kamu anak yang sangat peka, mama tahu akan hal itu... Kamu tahu mama tak pernah berniat menelantarkan dirimu...
Kamu selalu melihat mama dan ayah yang bekerja dengan keras dan sibuk, mama dan papa jarang memiliki waktu untuk mu..." ucap Yoshi dengan mata berkaca-kaca.
Air mata kesedihan itu perlahan bergerak menetes ke wajah Youth. Rasa bersalah pada anaknya karena seolah menelantarkannya begitu saja membuatnya menyesal.
Selama ini Youth tidak pernah mengadukan hal-hal yang menimpa dirinya di sekolah, yaitu perundungan. Uang yang diberikan mamanya padanya selama ini tak pernah kurang, meskipun itu semua di rampas oleh para pembully bajingan itu.
Youth tidak pernah mengeluh, selalu berkata ia baik-baik saja. Seperti orang bodoh, Maya lega mendengar kabar itu meski ia jarang bertemu dengan anaknya.
Ketika pulang dari sekolah Youth selalu pulang dengan wajah murung dan luka-luka di sekujur tubuhnya. sedangkan ketika ia sampai di rumah, apakah ada yang menyambutnya?
Tak ada sama sekali. Kosong, anak malang ini selalu berfikir kalau ia mengeluh ia akan menyakiti hati ibundanya yang bekerja dengan sepenuh hati untuk mencukupinya.
Youth menghibur dirinya dengan berkata di dalam hati kalau semua itu baik-baik saja, semua itu untuk kebaikan keluarganya. 'Ayah dan Mama adalah seorang pebisnis di perusahannya, mereka pasti lelah dengan pekerjaannya. Jadi, paling tidak aku tidak boleh menambah beban pada keduanya,'
begitulah yang Youth pikirkan.
Namun, setelah semua kerja keras itu ataupun rumah besar ini setelah banyaknya menghibur diri. Itu semua... tak ada artinya sama sekali.
Maya membayangkan semua yang dilalui oleh Youth, air matanya langsung mengalir lebih deras dari sebelumnya.
Ekspresi bersalah pada Youth terekspresi dengan jelas di wajah cantiknya. Tak bisa ia bayangkan selama ini Youth selalu menyembunyikan itu semua.
['aku baik-baik saja mah...' ]
"Hikss... harusnya aku lebih peka terhadap keadaanmu... m-maafkan mama sayang...."
Maya menangis meminta maaf pada Youth dengan nada yang lirih.
Tak lama kemudian Maya pun mulai tertidur. Seseorang datang dari lantai 1 membuka pintu. click.
"Sepi sekali? Mamah?" panggil perempuan itu.
Ia adalah Seraphine. Kakak perempuan Youth.
Wajahnya sangat mirip dengan Maya, mungkin ia adalah gambaran Maya yang umurnya masih muda.
Seraphine berjalan kearah dapur namun tidak menemukan dimana Ibundanya berada. "Aneh sekali... Ah! Youth?" panggil Seraphine kearah atas.
Karena tak ada jawaban Seraphine langsung berjalan menaiki tangga untuk pergi ke lantai 2.
"Aduh... Padahal aku lelah banget, masa semua orang pergi sih.." gerutu Seraphine dengan pelan sambil terus berjalan kearah kamar Youth.
Begitu Seraphine membuka pintu kamar Youth yang sedikit terbuka. Terlihat Ibundanya serta Youth yang tertidur dengan mata yang sembab.
'A-Apa yang terjadi?!' Seraphine terkejut melihat keduanya.
Ia mulai menghampiri Ibundanya kemudian menggoyangkan bahu Maya untuk membangunkannya.
"Ma... Bangun..."
Perlahan-lahan mata Maya terbuka, samar-samar ia melihat orang yang berada tepat di hadapannya yang tak lain adalah anak perempuannya Seraphine.
"Ah... Seraphine?"
Seraphine mengangguk pelan kemudian memeluk Maya. "Aku sudah pulang ma..."
"Iya... Tapi... Kamu bisa bantu mama angkat Youth?"
Suasana hening seketika, wajah Seraphine terlihat datar seolah tak percaya kalau Ibundanya memintanya dengan begitu polos.
"Hah... baiklah, padahal dia sudah SMA berat banget pasti badannya," ucap Seraphine, ia pun mulai mengangkat tubuh adiknya lalu membaringkannya di kasur.
Ketika Seraphine membaringkan Youth di kasurnya, ia menyadari sesuatu pada Youth. "Hah? luka lebam?" Seraphine merasa ada yang tak beres.
"Apakah adikku jadi korban perundungan?" gumamnya mencoba menerka-nerka apa yang terjadi.
"Aku akan menanyakan hal ini pada Mama..."
Di ruang makan, Maya menyiapkan makanan untuk Seraphine makan malam. "Lauk dan nasinya sudah disiapkan, makanlah."
Seraphine yang sedang turun dari tangga mengangguk kemudian menghampiri ruang makan.
Ketika makan Seraphine menanyakan kabar Ayah dan Ibundanya. "Kalian sehat semua?"
"Ya... Seperti yang kamu lihat. Kamu juga, apa tugasmu membebani dirimu?"
Seraphine menggeleng sambil tersenyum. "Ah... Tidak kok mah... Semuanya baik-baik saja," ucap Seraphine.
Maya tersenyum lega kemudian mengatakan, "Syukurlah kalau begitu..."
"Mah... Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Seraphine dengan nada dan ekspresi yang terlihat serius.
"Ya?"
"Apa yang terjadi pada Youth selama ini? Apakah ia menjadi korban perundungan?"
Maya tersentak begitu mendengar pertanyaan Seraphine. "I-Itu benar, ini semua salah mama karena kurang memperhatikannya."
Seraphine terlihat sangat marah dan geram, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat dan mencoba untuk meredakan amarahnya.
"Dimana si brengsek yang berani merundung adikku?!"
"Sudahlah Seraphine... Mereka sudah mendapat hukuman yang layak, mama dengar para perundung itu sudah di keluarkan dari sekolah, sekarang kita fokus untuk merawat Youth saja," ucap Maya sambil menenangkan Seraphine yang marah.
'Tidak peduli... Aku tetap akan mengincarnya! Beraninya dia merundung adik kesayangan ku dan menorehkan luka !'
Bersambung....