***
"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam.. Mas Yusuf kog tumben jam segini udah pulang??"
Seperti biasa, memberikan senyum terbaiknya menyambut Yusuf pulang dari kantor. Disalimnya punggung tangan suaminya dengan lembut serasa ingin mengembalikan kekuatan kepada Yusuf.
"Mas udah kangen aja sama kamu sama adek.."
"Mas ngga malu ada Mbok Minah??"
Sampai sekarang pun, Anin masih dengan pipinya yang langsung berubah kemerahan saat Yusuf berusaha untuk menggodanya. Sedangkan Mbok Minah yang ada di dapur dekat dengan Anin dan Yusuf berdiri sekarang, hanya tersenyum melihat kemesraan mereka berdua.
"Aku ada kejuatan loh Mas.."
Anin dengan bersemangat langsung menarik lengan suaminya untuk mengikutinya naik tangga.
KEJUTAN..
Kamar kosong yang ada disebelah kamar mereka sudah di sulap menjadi kamar bayi dengan segala pernak-pernik yang lucu. Kerjaan siapa lagi kalau bukan ulah dari Anin yang selalu berusaha untuk mengisi waktu luangnya untuk melakukan aktivitas.
"Mas tahu siapa yang design ulang kamar ini??"
Anin terlihat sangat senang dengan hasil kreativitasnya untuk mendesign ulang kamar yang akan menjadi kamar calon anak mereka.
"Aku, Mas.. Mas suka ngga sama design-nya??"
Belum ada jawaban sepatah kata pun dari Yusuf. Yusuf terlalu terpaku dengan apa yang dilihatnya sekarang.
"Kamu yang design ulang semuanya??"
"Iya, Mas.. dari design, beli barang-barang sama pas penataannya.. semuanya aku.."
"Udah berapa kali Mas bilang, kalau kamu cukup berhenti dari segala aktivitas.. Apapun itu.."
Anin nampak bingung dengan apa yang di ucapkan Yusuf sekarang. Baru kali ini selama pernikahan mereka, Yusuf meninggikan suaranya ketika berbicara.
"Tapi Mas.."
"Tapi apa?? Kamu bosen.. kamu capek kalau seharian ngga ngapa-ngapain?? Kamu bisa bilang gitu, tapi anak kita ngga.. Karena semuanya itu berimbas ke anak kita, bukan kamu.. Kamu inget kan sama kondisi dari kesehatan kamu?? Kamu juga masih inget kan sama apa yang dikatakan dokter??"
"Tapi aku juga dibantuin Mbok Minah sama Pak Agus.."
"Mas ngga peduli, kamu mau di bantuin sama siapapun.. Yang Mas peduliin kalau kamu itu cukup diem, jaga kondisi kandungan kamu.. Mas ngga mau ada apa-apa sama kalian.."
Tanpa mendengar penjelasan dari Anin lagi, Yusuf langsung pergi meninggalkannya. Sedangkan Anin hanya bisa menangis tanpa dia sadari. Dia tidak tahu mengapa Yusuf bisa semarah ini kepadanya. Biasanya Yusuf akan berbicara dengan lembut, jika Yusuf tidak menyukai apa yang dilakukannya.
"Maafin Bunda ya, sayang.. Ayah ngga marah kog sama kita..Ayah cuma khawatir sama kita karena Bunda ngga bisa dibilangin.. Kamu baik-baik ya didalem sana.."
Ucap Anin mengelus perutnya setelah mendapat tendangan kecil dari anaknya itu. Anin pun berusaha untuk mengusap airmatanya. Dia tidak ingin rasa sedihnya akan berdampak pada anaknya kelak. Dia pun segera menyusul Yusuf untuk menyiapkan baju untuknya, karena biasanya Yusuf akan langsung mandi setelah pulang dari kerja.
***
Anin memang sudah merasakan keganjilan yang terjadi antara dirinya dan Yusuf. Tapi dirinya juga tidak tahu harus bagaimana. Dia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak terjadi apapun dengan rumah tangganya. Tapi keganjilan itu memang terlalu terasa jika dibiarkan begitu saja. Seperti kejadian tadi sore, dimana Yusuf langsung memarahi saat Yusuf tahu apa yang dia lakukan.
Ditatapnya wajah suaminya yang sekarang tengah tidur menghadap dirinya. Melihat dengan situasi seperti sekarang ternyata membuat ketakutannya akan kehilangan Yusuf menjadi berkali-kali lipat dibanding sebelumnya. Dia tidak pernah setakut ini sebelumnya. Tapi keadaan yang sekaranglah yang membuat Anin berpikir sedemikian rupa membentuk pemikiran bahwa Yusuf cepat atau lambat akan meninggalkannya, ntah apapun itu alasannya.
"Kamu belum tidur??"
Yusuf akhirnya membuka matanya. Menatap mata Anin yang terlihat berkaca-kaca. Anin hanya bisa menggelengkan kepalanya tanpa mampu menjawab pertanyaan dari Yusuf.
"Kamu kenapa?? Hm??"
Yusuf mengusap airmata yang lolos juga dari mata indah milik Anin. Yusuf pun mendekatkan dirinya dan meraih Anin dalam pelukannya.
"Jangan nangis, Dek.. Apa semua karena kejadian tadi sore?? Kamu sendiri tahu kan kalau Mas ini orangnya egois, cuma mikirin diri sendiri bahkan Mas juga sering mengabaikan perasaan kamu?? Maafin Mas lagi ya??"
"Aku hanya takut jika suatu hari nanti kamu bakal ninggalin aku.. ninggalin anak kita juga.."
Jawab Anin di sela isakannya. Dengan susah payah dia berusaha untuk menahan isakannya, namun semakin dia tahan malah justru mempersulit jalan nafasnya.
Yusuf pun membangunkan Anin. Dia khawatir dengan Anin yang semakin terisak. Entah apapun itu, dia tidak ingin Anin menangis karenanya. Tidak akan dia biarkan hal itu terjadi.
"Siapa bilang Mas akan ninggalin kamu?? Kamu itu hidupnya Mas.. tanpa kamu, Mas ngga ada artinya.."
Yusuf merasakan jika Anin semakin berlarut dengan airmatanya. Terbukti dari baju yang dia kenakan sudah terasa basah saat ini. Sedangkan Anin, tidak mampu untuk mengucapkan sepatah kata lagi. Terlalu sesak rasanya ketika dia harus meyakinkan dirinya lagi untuk percaya bahwa dirinya tidak akan pernah ditinggalkan oleh Yusuf.
Tapi mengapa saat Anin berusaha untuk mempercayainya, malah rasanya seperti berbanding terbalik. Rasanya seperti Yusuf semakin jauh dari pandangannya. Bahkan saat dia berusaha mempercepat langkah kakinya malah dirinya merasakan kelelahan yang tak berujung.
"Maafin Mas, ya??? Kamu tahu kan kalau Mas khawatir sama kalian berdua?? Mas ngga mau ada apa-apa sama kalian, apalagi Mas jarang dirumah. Mas sering pulang malem. Sekalipun dirumah ada Mbok Minah sama Pak Agus, tapi tetep aja rasanya beda kalau Mas lihat langsung kondisi kamu saat itu.. Jadi Mas mohon, untuk kali ini kamu dengerin apa yang Mas bilang.."
Anin hanya mengangguk. Yusuf pun langsung mencium kelopak mata Anin yang masih setia meneteskan airmatanya.
"Udah dong.. Kamunya sampai susah nafasnya kaya gitu.."
Yusuf memeluk Anin memberikan ketenangan. Diusapnya punggung Anin sampai dia merasakan nafas teratur dari Anin bertanda bahwa Anin sudah tertidur. Didalam hatinya, Yusuf benar-benar menyesal telah mengucapkan kata sekasar itu kepada Anin. Dia juga tidak tahu mengapa dia bisa bersikap seperti tadi. Padahal hal itu adalah hal sepele yang bisa dia ucapkan dengan halus tanpa perlu menyakiti perasaan dari Anin.
"Maafin Mas ya.. Ngga seharusnya kamu nangis kaya gini karena Mas.."
Ucap Yusuf sambil menidurkan Anin dan memeluknya dalam dekapannya. Anin pun semakin mendusal kedalam pelukan Yusuf sekalipun sesekali masih terdengar isakkannya sisa tangisannya tadi. Yusuf pun semakin mengeratkan pelukannya. Rasanya dia tidak ingin kehilangan Anin. Apapun yang terjadi, dia ingin memperjuangkan Anin sampai kapanpun.
***
"Dek.. kamu ngga mau keluar kemana gitu??"
Anin hanya menatap suaminya sambil menyimpulkan dasi ke leher jenjang milik Yusuf.
"Mas beneran tanya loh.. Mas lihat kamu beberapa hari ini jadi sering dirumah. Apa ini karena ucapan Mas waktu itu?? Kalau iya, maafin Mas ya?? Mas ngga bermaksud ngomong seperti itu. Mas cuma khawatir aja, karena kamu baru aja design ulang sebuah kamar. Dan Mas taunya kalau itu pekerjaan yang ngga gampang. Mas ngga mau terjadi sesuatu sama kalian.."
Jelas Yusuf sambil mengusap pipi gembil milik Anin. Yusuf jadi tidak tega, karena setelah kejadian dimana dia memarahi Anin, istrinya itu langsung berubah sikap menjadi pendiam tidak seceria seperti yang biasa dilihatnya.
"Nanti kalau mau pergi, inbox Mas aja. Mas hari ini ada meeting penting diluar, jadi mungkin Mas sibuk. Trus nanti minta di anter sama Pak Agus. Jangan nyetir sendiri.."
Lanjut Yusuf yang mendapat anggukan dari Anin. Yusuf sendiri hanya bisa menghela nafas mendapat tanggapan seperti itu dari Anin. Jujur, dia sangat merindukan momen dimana Anin dengan segala topik pembicaraan yang tidak ada habisnya. Yang pasti dengan ekspresi lucu dari Anin ketika Yusuf berhasil menggodanya.
"Anak Ayah baik-baik ya dirumah sama Bunda. Cukup Ayah yang buat Bundamu susah, kamu jangan ikut-ikutan.."
Seperti biasa, Yusuf mengajak komunikasi dengan calon anaknya setiap dia akan berangkat kerja dan disaat itu juga Yusuf juga merasakan tendangan kecil mengenai tangannya yang ada diperut Anin. Yusuf langsung menatap Anin dengan senyumnya dan dibalas dengan senyuman pula dari Anin. Setelah itu, Yusuf akan mengecup kening Anin dan memeluknya sebentar, menghirup aroma greentea yang menyeruak di ceruk leher milik Anin.
***
Setelah mengirim chat ke Yusuf, Anin di antar oleh Pak Agus sesuai pesan dari Yusuf ke luar untuk bertemu dengan seseorang. Seseorang yang sudah lama Anin tidak melihatnya dan tumben-tumbennya orang tersebut menghubunginya kembali. Padahal hari ini, Anin hanya mau dirumah saja sambil membantu Mbok Minah membuat kue untuk stock camilannya.
"Pak Agus nanti boleh pulang atau jalan kemana dulu. Terserah Pak Agus daripada bosen nungguin saya disini. Nanti kalau urusan saya udah selesai, nanti saya kabari.."
Ucap Anin sebelum keluar dari mobil.
"Kalau saya nungguin Mbak Anin disini aja boleh, kan?? Saya ngga tau harus kemana. Lagian kalau pulang nanti Mbak Anin lama lagi nungguin saya buat njemput.."
"Ya udah, terserah Pak Agus aja.. Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam, Mbak.."
Jawab Pak Agus dengan sopan. Baginya, dia sudah terlalu lancang memanggil majikannya itu hanya dengan panggilan 'Mbak' padahal memang Anin lah yang meminta panggilan itu. Anin justru merasa sungkan jika di panggil dengan sapaan lainnya.
Anin pun segera menuju meja yang dimaksud dari seseorang yang akan di temuinya yang ternyata sudah disana terlebih dahulu.
"Assalamualaikum, Fina.."
"Waalaikumsalam, Mbak Anin.."
Hari ini, orang yang akan ditemui oleh Anin adalah Fina. Fina sendiri bukanlah orang asing untuk Anin, karena Fina adalah mantan pacar dari Arwi yang kebetulan juga akrab dengannya. Sekalipun Fina jelas-jelas sudah meninggalkan Arwi, Anin tidak ingin mencampuradukkan persoalan tersebut dengan hubungan antara dirinya dan Fina, karena Anin memang mengetahui alasan Fina memilih untuk meninggalkan adiknya tersebut.
"Kamu itu ya, jahat banget habis nikah langsung lost contact gitu.."
Protes Anin sebagai pendahuluan.
"Maafin aku, Mbak. Mbak tau sendiri kan gimana situasiku saat itu bahkan sampai sekarang juga.."
"Tapi Mbak juga jahat ihh, udah nikah gitu aja.."
Kata Fina sambil memanggil pelayan untuk menghampiri meja mereka.
"Mbak mau apa?? Hari ini aku traktir deh.."
Lanjut Fina sambil membolak-bolik daftar menu yang ada.
"Smooties aja deh rasa strawberry.."
"Udah?? Itu aja??"
"Nanti kalau mau pesen lagi tinggal bilang ya, Mas??"
Ucap Anin sembari mengembalikan daftar menu tersebut kepada pelayan. Pelayan tersebut membacakan kembali pesanan mereka sebelum kembali untuk menyiapkan pesanan yang ada.
Anin dan Fina pun akhirnya ngobrol panjang lebar, menceritakan kembali apa yang telah mereka lalui selama mereka tidak bertemu. Anin menceritakan tentang kehidupan rumah tangganya bersama dengan Yusuf yang begitu dia syukuri. Sedangkan Fina, dia bercerita akan kehidupan rumah tangganya di samping dirinya mengurus kakaknya di rumah sakit.
"Trus kondisinya sekarang gimana??"
"Kondisinya sekarang, Alhamdulillah udah mulai stabil lagi. Itupun, karena dia bertemu lagi dengan seseorang yang begitu dia cintai.."
"Ahh, jadi calon suami kakakmu itu udah kembali lagi??"
Fina hanya mengangguk saja menjawab pertanyaan dari Anin. Sedangkan Anin melepaskan senyum penuh dengan rasa syukurnya, karena kakak perempuan dari Fina sudah dipertemukan kembali dengan kekasih hatinya. Anin memang sampai sekarang tidak mengetahui nama dari kakak perempuan Fina yang selalu dia dengar kisahnya. Anin begitu terlarut dalam perasaannya ketika dia mengetahui bahwa orang tersebut merelakan hatinya untuk melepas calon suaminya, karena mengetahui bahwa dirinya tidak bisa bertahan lama untuk hidup.
"Mbak Fahira terlihat begitu bahagia saat dia bertemu kembali dengan Mas Yusuf.."
Seketika itu juga Anin berhenti dari aktivitasnya tadi. Ditatapnya Fina dengan baik-baik, mencari kebenaran dari apa yang baru di ucapkan Fina tadi.
Mbak Fahira..
Mas Yusuf..
Apa maksud dari Fina menyangkut-pautkan Mas Yusuf dan Mbak Fahira dengan ceritanya tadi??
Kata-kata tersebut hanya bisa Anin batin tanpa bisa Anin ungkapkan. Dia masih bingung mengapa Fina membahas Fahira dan Yusuf, sedangkan dia sendiri belum pernah menceritakan hal tersebut kepada Fina.
"Mbak Fahira adalah kakak perempuanku yang sering Mbak dengar ceritanya bersama dengan Mas Yusuf yang sekarang menjadi suamimu Mbak.."
"Kamu pasti salah orang kan?? Ngga mungkin kalau itu..."
"Ngga ada yang salah, Mbak.. Mbak Fahira, Mas Yusuf.. Itu semua adalah orang-orang yang begitu aku kenal. Bahkan aku sudah mengenalnya sebelum Mbak Anin mengenal mereka.."
"Mungkin kamu terlalu tertekan dengan kondisi dari kakakmu sekarang. Jadi kamu menghubungkannya dengan masalalu dari suamiku. Mbak maafin itu kog, tapi sekarang Mbak pulang duluan. Mbak udah dari tadi perginya.."
Sebelum Anin sempat berdiri, tangannya sudah di cekal dengan erat oleh Fina hingga terasa nyeri yang menjalar. Anin hanya bisa menghela nafas jika sudah seperti ini. Dia tidak tahu lagi harus berbicara apa selain mendengar penjelasan dari Fina soal Yusuf dan Fahira.
"Aku mohon Mbak, untuk kesekian kalinya.. Mbak mau kan merelakan Mas Yusuf bersama dengan Mbak Fahira.. Bahkan saat aku pergi kesini untuk menemuimu Mbak, Mas Yusuf ada untuk menjaga Mbak Fahira terlebih dahulu sampai aku disana lagi.."
Kata Fina seperti tanpa menghiraukan bagaimana ekspresi wajah dari Anin yang sudah mengeras. Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya membuat Fahira bisa bahagia disisa hidupnya selain bersama dengan Yusuf.
"Aku ngga minta Mbak Anin bercerai dengan Mas Yusuf. Tapi tolong, berbagilah dengan Mbak Fahira yang hidupnya ngga akan lama lagi Mbak.."
"Umur seseorang siapa yang tau, Fin?? Ngga ada yang tau.."
"Maka dari itu Mbak, aku mohon. Mungkin memang udah begini takdir di antara kalian bertiga. Aku mohon.. Aku rela jika Mbak pengen aku bersujud dihadapan Mbak sekarang, asalkan Mbak mau mengabulkan keinginanku.. Aku rela nglakuin apa aja yang Mbak minta.. Tapi aku mohon, Mbak rela untuk Mas Yusuf dan Mbak Fahira bersatu lagi.."
Sekali lagi Anin hanya bisa menghela nafas kasar dan kali ini dia tidak bisa melihat wajah dari seseorang yang baru saja memintanya untuk merelakan suaminya kepada wanita lain. Tidak tahukah bagaimana perasaannya bahwa dia juga terlalu sakit menerima suaminya masih setia dengan perasaan yang dia miliki bersama masalalu yang tak kunjung dia tinggalkan.
***
Seperti yang dia ucapkan, untuk hari ini Yusuf begitu sibuk sampai pulang larut malam seperti sekarang. Tapi dia merasa ada yang aneh dengan situasi rumah. Biasanya Anin jam segini masih setia menonton TV yang terkadang ditemani oleh Mbok Minah dan Pak Agus. Terlebih Mbok Minah berkata jika seharian ini, Anin belum keluar dari kamar setelah pergi tadi siang. Anin hanya keluar untuk berwudhu saja, setelah itu dia akan kembali ke kamar. Bahkan Anin sampai melupakan makan malam atau sekedar untuk minum susu seperti kebiasaannya saat hamil.
"Assalamualaikum, Dek.."
Tidak ada sahutan sama sekali. Bahkan kamar pun menjadi gelap gulita karena lampu kamar yang tidak dinyalakan. Tidak biasanya Anin akan bergelap-gelapan seperti sekarang, karena Anin memang phobia dengan ruangan gelap. Penerangan yang ada di kamar mereka sekarang hanya sinar di balik jendela yang belum tertutup gordennya.
Yusuf pun segera menyalakan lampu kamar dan mendapati Anin tengah tertidur, memunggungi dirinya yang sudah berdiri di sisi tempat tidur.
"Dek.. Kamu udah tidur??"
Tidak ada jawaban lagi, membuat Yusuf pun membalikkan posisi tidur dari Anin.
"Dek, kamu kenapa nangis?? Ada yang sakit??"
Yusuf pun segera membangunkan Anin dan memberikan air minum, namun di tolak oleh Anin. Yusuf mencoba memeluk Anin, tapi hanya tidak ada balasan sama sekali yang biasa dia dapatkan saat Yusuf memeluknya.
"Kamu kenapa?? Hm?? Cerita sama Mas.."
Tidak ada jawaban dari Anin yang justru membuat Yusuf frustasi. Dia tidak tahu dengan apa yang terjadi yang membuat Anin menjadi seperti sekarang.
"Semenjak kapan kamu bertemu dengan Mbak Fahira lagi, Mas??"
Tanya Anin tanpa tedeng aling-aling membuat Yusuf gelagapan. Dia tidak menyangka bahwa itu akan menjadi pembuka untuk Anin berbicara dan itu membuat Yusuf tidak bisa mengatakan satu katapun dari mulutnya.
"Jawab Mas.. Sampai kapan kamu akan diem kaya gini?? Sampai aku menceritakan semua yang sudah aku ketahui??"
"Ohh.. Mungkin lebih baik Mas ngga usah cerita apapun lagi, karena aku memang sudah mengetahuinya.."
Anin tidak bisa mengutarakan apa yang sekarang ini benar-benar ingin dikatakannya. Dia terlalu sakit menerima kenyataan seperti sekarang.
"Sudah berapa lama kamu mengetahui semua ini, Dek??"
Pertanyaan yang justru membuat Anin semakin sakit hati.
"Apa tidak ada secuil rasa untukmu khawatir bagaimana perasaanku sekarang dan justru kamu lebih khawatir sejak kapan aku mengetahui semua kebohongan yang ada?? Apa aku benar-benar tidak ada di hidupmu Mas? Apa kata-kata yang selama ini selalu aku dengar dari kamu itu juga salah satu dari kebohonganmu, Mas?? suatu kebohongan jika aku adalah hidupmu??"
Tidak ada satupun jawaban yang Anin dengar dari Yusuf. Membuatnya menarik kesimpulan bahwa apa yang dia pikirkan saat ini adalah jawabannya.
"Seharusnya aku sadar, jika kamu sudah kembali dengan Mbak Fahira saat kamu mulai menyebut namanya di setiap tidurmu. Kemudian seharusnya aku tidak perlu sebodoh ini saat aku tahu siapa yang membuatmu menangis sendirian di ruang kerjamu.. Seharusnya aku sadar Mas dengan perubahan sikapmu selama ini, sehingga aku tidak perlu merasakan sakit seperti ini.."
Yusuf langsung memeluk Anin dengan eratnya. Tidak peduli lagi, apakah Anin mau menerimanya atau tidak. Yang dia tahu bahwa dirinya memang salah. Memang dirinya patut disalahkan oleh Anin. Tidak seharusnya dia menciptakan luka hingga separah ini.
"Aku minta cerai, Mas.."
***