Chereads / NIKAH (Anin x Yusuf) / Chapter 28 - Part 28 - HANCUR

Chapter 28 - Part 28 - HANCUR

***

"Seharusnya aku sadar, jika kamu sudah kembali dengan Mbak Fahira saat kamu mulai menyebut namanya di setiap tidurmu. Kemudian seharusnya aku tidak perlu sebodoh ini saat aku tahu siapa yang membuatmu menangis sendirian di ruang kerjamu.. Seharusnya aku sadar Mas dengan perubahan sikapmu selama ini, sehingga aku tidak perlu merasakan sakit seperti ini.."

Yusuf langsung memeluk Anin dengan eratnya. Tidak peduli lagi, apakah Anin mau menerimanya atau tidak. Yang dia tahu bahwa dirinya memang salah. Memang dirinya patut disalahkan oleh Anin. Tidak seharusnya dia menciptakan luka hingga separah ini.

"Aku minta cerai, Mas.."

Terasa disambar petir, tubuh Yusuf tampak menegang dan Anin masih mampu merasakan jika pelukan dari suaminya itu mulai mengendur.

"Sadar, Dek.. hentikan untuk mengucapkan kata-kata terlaknat itu.."

Yusuf mengguncang bahu Anin berusaha menyadarkan istrinya ersebut. Tapi Yusuf juga tidak tahu dengan jalan pikiran dari istrinya itu. Dia tahu jika hal ini begitu menyakitinya, tapi separah inikah sampai Anin meminta cerai.

"Mungkin lebih baik kalau ikatan ini memang tidak pernah terjadi Mas.."

Yusuf langsung berdiri begitu saja, sedangkan Anin sekuat hati mengucapkan kata-kata yang tidak pernah dibayangkan akan dia ucapkan.

"Aku minta cerai, Mas.. keputusanku udah final dan mungkin itu yang terbaik Mas.. Aku ngga mau menjadi penghalang antara dirimu dan Mbak Fahira.."

Anin pun ikut berdiri di belakang Yusuf sambil menahan rasa sakit yang tiba-tiba menjalar dari perutnya.

"Stop, Anin.. Mas ngga mau mendengar apapun lagi. Mungkin kamu butuh waktu untuk menenangkan diri.."

Yusuf sudah menaikkan satu oktaf dari suara normalnya. Untuk kali kedua dalam seminggu ini, Anin harus mendengar bentakkan dari Yusuf yang memang disebabkan olehnya. Tapi mengapa disini yang marah bukannya dia tapi justru Yusuf lah yang marah.

"Jangan pernah berharap kalau keinginanmu itu akan terjadi.. Selamanya itu ngga akan pernah terjadi, karena Mas ngga akan melepasmu sampai kapanpun. Dan kata-kata terlaknat itu, cukup hari ini aja Mas dengar.."

Anin mendengar semua itu sambil menahan rasa sakit di perutnya yang semakin menjadi. Dia tidak tahu mengapa rasanya bisa sesakit ini sampai dia tidak bisa mencerna dengan baik setiap kata yang Yusuf ucapkan. Dia juga tidak yakin jika dia akan melahirkan sekarang, karena masih sebulan lagi dari prediksi dokter.

Buukkk..

Yusuf yang mendengar hal itu dari belakang langsung menoleh mencari sumber suara dan menemukan Anin sudah tersungkur dengan keadaan tidak sadarkan diri.

"Dek.."

Yusuf langsung menghampiri Anin. Mencoba menyadarkan Anin, namun usahanya mungkin sia-sia saja, karena Anin masih tetap tidak menanggapi panggilannya.

"Dek.. Bangun.."

"Anin.."

Yusuf langsung membopong Anin keluar kamar dengan terburu-buru.

"Mbak Anin kenapa Mas??"

Mbok Minah sendiri sudah hampir menangis melihat keadaan Anin yang tak sadarkan diri seperti sekarang. Sekalipun dia baru mengenal Anin, tapi Mbok Minah tidak bisa menampik jika Anin adalah seseorang yang begitu baik dan betapa beruntungnya Yusuf yang telah dia asuh sejak kecil mendapatkan Anin sebagai istrinya.

"Mbok dirumah aja, jaga rumah sama Pak Agus.."

Yusuf pun segera keluar dari rumah menyambar mobil yang paling cepat untuk keluar. Kali ini dia yang menyetir. Dia ingin memastikan sendiri bahwa secepat mungkin dia dan Anin sampai dirumah sakit.

***

Yusuf tidak menyangka jika kabar dari keadaan Anin sekarang akan menyebar begitu cepat. Disini, seluruh keluarga dari Anin dan dirinya sudah ada di tempat dirinya menunggu keadaan Anin sekarang. Sampai sekarang Anin belum sadarkan diri, padahal dokter mengatakan jika Anin mengalami hipertensi seperti pemeriksaan terakhir ditambah dengan banyaknya pikiran yang tergambar jelas dari raut wajah Anin. Tapi untung saja, tidak terjadi hal yang membahayakan untuk kandungannya membuat semua orang yang ada disana sedikit bernafas lega.

Sekarang Yusuf juga harus menghadapi Umi dan Abinya yang sudah ada dihadapannya. Tidak ada orang lain karena Umi dan Abinya yang mengajaknya disini. Nampak jelas dari wajah Abinya yang sudah menahan amarahnya. Sedangkan Uminya sudah pasti menangis, karena keadaan ini. Yusuf menebak jika kedua orangtuanya itu sudah mengetahui apa yang telah terjadi yang menyebabkan menantunya sampai seperti itu.

Buukkkk..

Tanpa persiapan apapun, Yusuf jatuh tersungkur setelah mendapat pukulan dari Abinya. Baru pertama kali ini Yusuf mendapat pukulan dari Abinya . Mungkin memang hal ini harus dilakukan, agar dia segera sadar dengan apa yang telah dia lakukan.

"Demi Allah.. Abi ngga pernah nyangka jika kamu akan tega melakukannya sampai sejauh ini.."

Umi berusaha untuk menenangkan suaminya yang benar-benar marah sekarang. Disisi lain, dia juga tidak bisa membela Yusuf karena anaknya itu memang salah.

"Abi pernah menanyakanmu perihal kesiapanmu untuk menikahi Anin, kamu sendiri kan yang menjawab kalau kamu siap menanggung apapun yang terjadi nanti. Tapi kenyataannya semuanya hanya Anin yang menanggung kesedihan yang ada, sedangkan kamu.."

".. Kamu hanya egois memikirkan perasaan bodohmu itu"

Jelas Abi yang membuat Yusuf tidak mampu sanggahannya sama sekali. Dia membenarkan semua yang dikatakan Abinya.

"Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ayah. Bayangkan jika Abimu ini menyakiti Umimu seperti yang kamu lakukan terhadap istrimu sekarang?? Sakitkah engkau saat mengetahuinya?? Jika iya, begitu juga dengan apa yang dirasakan anakmu kelak.. Tapi jika tidak, hatimu memang sudah membatu, Yusuf.. Kamu sudah buta dan tuli karena cintamu itu.."

Tambah Umi mencoba menengahi suami dan anaknya itu. Umi tahu bagaimana perasaan dari anaknya sekarang, tapi Umi sendiri tidak bisa membenarkan apa yang telah di lakukan anaknya itu. Bagaimanapun juga, Yusuf sudah melukai perasaan Anin dengan begitu parahnya. Siapapun pasti akan merasa sakit, jika mengetahui bahwa suaminya masih berhubungan dengan masalalu. Terlebih jika masih terdapat ikatan yang kuat pada hubungan itu.

"Lepaskanlah salah satu diantara mereka berdua. Akan terlalu sakit untuk kalian jika kamu berdiri di tengah-tengah mereka. Pilih seseorang yang kembali dari masalalu yang ditinggalkannya atau seseorang yang telah kamu pilih untuk menemanimu meninggalkan masalalu dan menapak masa depan.."

Tidak ada jawaban apapun dari Yusuf. Perang batin yang dia rasakan sekarang jauh lebih sulit daripada rasa sakit yang disebabkan luka pukulan dari Abinya tadi.

Mungkin dia harus mempersiapkan dirinya lagi, jika saatnya tiba, keluarga dari Anin juga mengetahui hal yang telah diketahui keluarganya itu.

***

Yusuf memandangi wajah teduh dari istrinya yang sampai sekarang belum sadar dari pingsannya tadi. Dilihatnya dengan seksama begitu tergambar dengan jelas bagaimana Anin menyimpan luka yang disebabkan oleh dirinya. Semua orang sudah pulang, lebih tepatnya Yusuf lah yang menyuruh mereka pulang. Dia membutuhkan waktu berdua dengan Anin.

Diciumnya telapak tangan dari Anin yang bebas dari selang infus. Setetes airmata kini berhasil menambah kekacauan dari penampilannya sekarang. Yusuf masih menggunakan setelan kantornya minus dasi dan jas yang sudah dia lepas saat dirumah tadi.

"Maafkan diriku ini atas kesalahan yang telah aku lakukan kepadamu.."

"Maafkan suami bodohmu ini, Dek.."

"Tolong.. jangan mendiamkanku seperti ini. Keadaan seperti ini jauh lebih menghancurkanku daripada kamu memarahiku sepuas hatimu.."

Tangan kiri Yusuf beralih ke perut besar Anin. Diusapnya dengan lembut seperti yang biasa dilakukannya.

"Maafin Ayah karena membuat Bundamu dan kamu berada disituasi sulit seperti sekarang.."

Tidak ada gerakan seperti yang biasa dia terima saat dia mencoba berkomunikasi dengan calon anaknya tersebut. Yusuf hanya tersenyum kecut. Dia berpikir mungkin anaknya itu tahu jika Ayahnya telah menyakiti Bundanya.

Yusuf pun mengecup kening Anin dan mengusap puncak kepala Anin yang masih rapi tertutupi jilbab. Sekarang ini, pikirannya terlalu sulit untuk menerka apa yang harus dia lakukan nanti. Apa yang harus dia jelaskan kepada Anin untuk meyakinkan istrinya tersebut.

***

Ditatapnya wajah Anin sekarang setelah dia sadar dan telah diperiksa oleh dokter. Namun sebisa mungkin Anin menghindar untuk melihat wajah suaminya itu. Anin pun tahu jika terdapat luka diwajah tampan milik suaminya tersebut, tapi dia memilih untuk menahan pertanyaan tersebut keluar dari bibirnya. Bukannya tidak khawatir atau dirinya tidak ingin tahu bagaimana keadaan dari Yusuf, namun dirinya masih terlalu sakit untuk peduli lagi dengan Yusuf.

"Makan dulu ya, Dek.. Mas suapin.."

Yusuf sudah dengan sendok beserta isinya bersiap untuk menyuapi Anin.

"Nanti aja, Mas.. aku belum laper.."

"Kamunya belum laper, tapi anak kita udah laper dari kemarin siang, karena kamu belum makan sama sekali.."

Anin tidak mengerti, mengapa Yusuf bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu diantara mereka. Masih jelas dipikirannya akan apa yang telah dia katakan tadi malam.

"Anak kita, Mas?? Seenggaknya untuk hari ini kamu masih inget kalau kamu akan mempunyai anak bersamaku.."

Anin tersenyum sinis melihat Yusuf sekilas. Dia tidak menyangka jika Yusuf mampu memutar balikkan keadaan secepat ini.

"Maksudmu apa, Dek?? Jelaslah Mas selalu ingat kalau Mas akan mempunyai anak bersamamu.. Jadi sekarang kamu makan ya.."

Anin menutup matanya, mencoba menahan airmata yang sebentar lagi akan lepas dari bendungannya. Kali ini dia tidak ingin menangis. Cukup sudah dia menangis karena Yusuf.

"Aku ngga pernah main-main dengan apa yang aku ucapkan, Mas.. termasuk dengan permintaanku agar kamu menceraikanku.."

Yusuf langsung meletakkan piring ke nakas. Dilihatnya istrinya tersebut sekalipun yang dilihatnya sekarang mengalihkan pandangannya.

"Mas juga ngga main-main kalau Mas ngga akan pernah melepaskanmu sampai kapanpun. Beri-ribu kalipun kamu memintanya, Mas hanya akan menganggapnya sebagai angin lalu yang cukup Mas dengar tanpa harus menurutinya.."

Terlihat jelas bagaimana wajah Yusuf yang sudah mengeras mengatakan hal tadi. Dia tidak akan melepas Anin dengan mudahnya, karena suatu alasan yang sampai kini dia juga tidak mengerti. Dia mengaku bahwa dia mencintai Fahira, tapi dia juga membutuhkan Anin layaknya oksigen. Jika Anin tidak ada dihidupnya, maka berakhir juga hidupnya saat itu.

Sedangkan Anin, dia memilih untuk diam. Mencoba untuk membentengi dirinya agar tidak mempercayai apa yang dikatakan Yusuf kepadanya. Cukup sudah kesabarannya menghadapi Yusuf, karena pada akhirnya dirinya juga yang kalah dalam perjuangannya sendiri.

***

Anin memang di haruskan untuk bedrest selama satu minggu di rumah sakit sebelum dia diperbolehkan pulang. Dia juga sudah bisa tersenyum dan berbicara meskipun belum selepas seperti biasanya, tapi itu dengan orang lain bukan dengan Yusuf. Dan saat dia hanya berdua dengan Yusuf, dia akan memilih untuk tidur atau diam atau melakukan apapun yang bisa membuatnya untuk mengacuhkan suaminya tersebut.

"Lap dulu yuk, Dek.."

Yusuf sudah menyiapkan satu baskom air hangat untuk mengelap Anin lengkap dengan handuk kecilnya. Ditambah air tersebut sudah dia beri wangi aromaterapi, agar Anin bisa lebih rileks.

"Biar Bunda aja, Mas.."

Pinta Anin singkat sambil melepas genggaman Yusuf dari tangannya dengan lembut.

"Bunda hari ini datengnya agak sorean. Beliau nganter Ayah buat checkup kesehatan rutin.."

Jelas Yusuf dengan sabar. Untuk kali ini, dialah yang harus menciptakan lautan kesabaran untuk menghadapi sikap Anin yang sekarang. Cukup sakit memang saat mendengar penolakan dari Anin, namun ini semua belum seberapa saat dia mengingat parahnya dia memberikan luka untuk istrinya itu.

Anin hanya menghela nafas saja mendengar penjelasan dari Yusuf, karena dia juga tidak tahu apakah yang dikatakan oleh Yusuf adalah sebuah kebohongan atau memang seperti itulah kenyataannya. Terlalu sulit untuk menilai itu semua ketika dia mengingat bagaimana Yusuf dapat merahasiakan semua hal darinya.

Yusuf mulai mengusapkan handuk hangat tersebut di wajah Anin dengan lembut. Bahkan Yusuf menggantikan baju yang dikenakan Anin sekarang yang awalnya mendapat penolakan kembali dari Anin. Tapi apa yang perlu Anin sembunyikan dari Yusuf, jika Yusuf sendiri sudah pernah melihat semuanya.

"Dahhh.. Akhirnya istrinya Mas lumayan bersinar juga. Setidaknya kamu ngga keliatan pucet.."

Tanpa menunggu tanggapan dari Anin, Yusuf segera ke kamar mandi untuk membuang air yang dia gunakan tadi untuk mengelap Anin.

Dan Anin memang tidak ada niat untuk berterimakasih secara langsung. Dia hanya mengucapkan dalam hatinya saja, karena untuk sekarang egonya terlalu tinggi untuk sekedar mengucapkan rasa terimakasihnya itu untuk suaminya.

"Mas juga bawain kamu bubur ayam.. Kamu selalu bilang sama Bunda ataupun sama Umi kalau makanan rumah sakit itu anyep, ngga ada rasanya.."

Yusuf masih setia memamerkan senyumnya. Dia mulai membuka rantang yang berisi sesuai dengan yang di ucapkannya tadi. Bubur Ayam. Dan kali ini, dia sendiri yang membuatnya. Meskipun dengan bantuan dari Mbok Minah untuk menyiapkannya kedalam rantang.

Semenjak Anin di rumah sakit, saat itulah Yusuf hanya berkonsentrasi penuh pada Anin. Semua pekerjaan di kantor dia serahkan sepenuhnya kepada Hendi, meskipun terkadang dia harus turun tangan sendiri dan rela bolak-balik kantor-rumah sakit untuk menangani semuanya. Dia bertekad untuk memperbaiki apa yang telah dihancurkannya.

Cinta..

Kepercayaan..

Senyum..

Semua yang biasa dia terima dari Anin, seakan menghilang begitu saja dalam hidupnya menimbulkan musim dingin berkepanjangan dalam hidupnya. Semuanya telah berubah dan Yusuf mengakui bahwa itu semua karena salahnya. Salahnya yang terlalu egois untuk mementingkan cinta di masalalunya daripada kehidupannya di masa depan.

Tentang masalalu, Yusuf belum sama sekali bertemu dengan Fahira meskipun sekarang segala macam sosmed telah di banjiri chat dari Fina. Tidak ketinggalan SMS yang sering tak di hiraukannya dan telepon yang sering dia biarkan begitu saja ketika tertera nama Fina disana. Sudah dipastikan, jika Fina mencarinya agar dirinya mau menemui Fahira kembali. Terlebih Fahira juga di rawat dirumah sakit yang sama dengan Anin sekarang.

Dan mungkin, usaha dari Yusuf untuk hari ini sepertinya berhasil. Terbukti Anin tidak menolak tawaran bubur ayam yang dia bawakan. Anin memang tidak terlalu menyukai makanan dari rumah sakit dan akan lebih baik jika dia makan sesuai dengan seleranya. Yusuf menyuapi Anin dengan senyum yang tidak pernah putus. Rasanya secuil maaf dia terima sekarang, sekalipun itu belum resmi. Tapi setidaknya, masih ada celah untuknya memperbaiki semua yang telah dihancurkannya.

Tidak ada percakapan ataupun candaan seperti biasa, karena Anin memang benar-benar memilih untuk diam saat dia terpaksa harus berduaan saja dengan Yusuf. Masih terlalu awal untuknya tidur di pagi hari, sedangkan dirinya juga menanti kedatangan dari Bundanya atau ibu mertuanya yang selalu membawakan makanan yang menurutnya berkali-kali lebih lezat, jika dibandingkan dengan masakan rumah sakit.

Yusuf pun menerima keadaan yang ada, karena yang terpenting untuknya sekarang adalah Anin tidak mengungkit kembali kata-kata cerai seperti sebelumnya.

"Terimakasih, Mas.."

Ucap Anin saat Yusuf menyusun rantang di tempat semula.

Yusuf pun hanya memberikan anggukannya dengan senyumnya. Ditahannya sebisa mungkin untuk mencium kening Anin yang sekarang hanya bisa dia lakukan saat Anin sudah tertidur. Dia ingin memulainya dengan perlahan. Tidak terburu-buru.

***

"Mas Yusuf..."

Panggil Fina dari kejauhan. Sedangkan merasa dirinya dipanggil, Yusuf menghentikan langkah kakinya sekarang. Tapi sedetik kemudian, dia begitu menyesali keputusannya untuk berhenti.

"Mas Yusuf.. udah lama Mas ngga jenguk Mbak Fahira lagi.."

Hanya helaan nafas kasar yang di terima Fina sebagai jawaban dari Yusuf.

"Oiya, katanya Mbak Anin juga dirawat dirumah sakit ini.. emangnya ada apa dengan kondisinya??"

Yusuf tidak habis pikir, mengapa Fina dengan polosnya menanyakan keadaan Anin yang sudah jelas-jelas ini semua karena pengakuan dari Fina soal hubungannya dengan Fahira.

"Kamu masih punya hati ternyata.."

Yusuf tersenyum miring sekilas sebelum melanjutkan kembali kata-katanya.

"..Karena semua sudah terjadi, aku hanya berharap kalau mulai sekarang, kamu ngga perlu lagi hadir dalam kehidupan kami. Dan kamu ngga usah sok perhatian dengan keadaan Anin.. Permisi.."

"Tapi Mas, gimana dengan Mbak Fahira??"

"Aku juga tidak ada hubungannya sama sekali dengan Fahira. Haruskah kuperjelas lagi kata-kataku tadi?? Sudah saatnya aku memilih dan aku lebih memilih Anin daripada apapun.."

"Bagaimana dengan hatimu, Mas?? Apakah hatimu juga mengatakan hal yang sama seperti yang baru saja kamu ucapkan.."

"Persetan dengan hati atau apapun itu namanya.. Aku cuma ingin Anin ada dihidupku.."

Yusuf langsung pergi meninggalkan Fina. Sedangkan Fina sendiri bingung dengan apa yang telah terjadi. Rencananya untuk mengatakan hubungan antara Fahira dan Yusuf dengan harapan agar Anin merelakan Yusuf untuk Fahira. Bukan berarti dia menginginkan perpisahan terjadi antara Anin dan Yusuf, dia hanya ingin secuil kebahagian dari mereka untuk Fahira juga. Karena bagi Fina, tetap saja kakaknya akan selalu menjadi nomor satu di hatinya Yusuf. Atau kali ini, dialah yang salah persepsi. Bahwa memang kenyataannya sekarang yang ada di pikiran maupun di hatinya Yusuf sudah tergantikan oleh hadirnya Anin sebagai istrinya.

***

Sekarang Yusuf sedang mengusap wajah Anin dengan sayang. Dikecupnya telapak tangan Anin, karena hanya saat Anin tertidurlah dia bisa memberikan perhatiannya untuk Anin sepuas hatinya.

"Yusuf, bisa kita bicara di luar?? Sebentar aja kog, lagian Anin juga udah tidur.."

Ajak Bunda tanpa menunggu respon yang lama, Yusuf sudah mengekor di belakangnya.

"Ada apa, Nda?? Kog kayanya ada yang penting yang perlu di sampein ke Yusuf.."

Bunda berusaha menghirup oksigen sebanyak yang dia bisa sebelum memulai perbincangan yang mungkin terlalu sensitif untuk dia tanyakan.

"Bunda lihat, hubungan kalian ngga kaya biasanya.."

"Maksud Bunda 'ngga kaya biasanya' bagian mana??"

Yusuf mencoba mendikte seberapa jauh kemungkinan ibu mertuanya itu mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Anin.

"Sikapnya Anin yang berubah menjadi dingin seperti sekarang, terutama sama kamu.."

".. Bunda juga tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara kalian. Karena sampai sekarangpun, Anin belum menceritakan apapun kepada Bunda. Dia masih menyembunyikan dari semua orang.."

"Bunda hanya bisa berdoa, agar Allah selalu memberikan yang terbaik untuk pernikahan kalian. Sejak kalian telah resmi menikah, disaat itu jugalah Bunda mempercayakan Anin untuk kamu bahagiakan. Karena hanya itulah satu-satunya alasan, mengapa pada akhirnya Bunda memberikan restu untuk kalian menikah. Bunda hanya ingin melihat Anin bahagia dan bahagianya Anin itu ada di kamu, Yusuf.. untuk saat ini, Bunda percayakan sepenuhnya kepadamu, karena kamu adalah kepala keluarga dari rumah tangga kalian. Tapi berjanjilah kepada Bunda bahwa kebahagiaan Anin adalah prioritas utamamu, Yusuf.."

Memang tidak seperti dugaan Yusuf sebelumnya bahwa ibu mertuanya itu sudah mengetahui semuanya. Bahkan dia pun sudah menyiapkan dirinya untuk dimaki-maki. Tapi justru, hanya permintaan sederhana seorang ibu terhadap anak perempuannya yang dia minta dari suami anaknya tersebut. Kebahagiaan. Sederhana, tapi ternyata itu cukup menguras pikirannya jika hubungan antara dirinya dan Anin sudah hancur seperti sekarang. Harus darimana dia memulai semuanya seperti yang pernah ada sebelumnya. Bisakah kebahagiaan itu kembali lagi setelah terhempas badai sedemikian rupa yang hanya menyisakan puing kenangan dalam pikiran dan hati keduanya.

***