***
Anin tidak tahu lagi mengenai hatinya sekarang. Terlalu banyak rasa yang ada di dalam hatinya sekarang yang justru membuatnya berada di posisi sekarang. Sulit untuk menentukan rasa terhadap Yusuf. Dia memang harus mengakui jika dirinya masih cinta dengan suaminya dan itu sudah jangan dipertanyakan lagi kebenarannya. Tapi jika dia ingat separah apakah luka yang dirasakannya sekarang, itupun cukup sulit terhindarkan jika dia memang begitu sakit yang luar biasa.
Anin selalu mengira jika dirinya dan Yusuf sudah maju kedepan, namun kenyataan malah mungkin satu langkahpun tidak pernah mereka lampaui. Mereka masih berada dititik yang sama, dititik dimana mereka mengawali semuanya. Atau justru mereka malah melangkah mundur dan akhirnya mereka bertemu kembali dengan masalalu yang tak pernah ingin dilihatnya.
Anin tidak menginginkan apapun dari Yusuf jika suaminya itu menginginkan dirinya untuk tinggal bersamanya. Yang dia inginkan hanya secuil rasa yang bahkan itu sudah seharusnya menjadi haknya sebagai seorang istri untuk mendapatkannya. Tapi jika memang secuil rasa itu memang salah jika dia merasakannya, maka dia memilih untuk mundur. Suatu keputusan yang teramat sangat dibencinya, karena dengan begitu dia akan kehilangan Yusuf untuk kesekian kalinya, tapi juga harus dia lakukan apapun alasannya.
Sekeras apapun Yusuf ingin memperbaiki hubungan yang ada, namun pada kenyataannya hubungan yang ada sudah terlalu sulit untuk kembali. Terlalu banyak kenangan yang menyakitkan. Kenangan manis hanya akan menyakitkan, karena kenangan itu hanya akan menjadi kenangan tanpa bisa terulang lagi. Sedangkan kenangan yang pahit, sudah pasti menambah goresan luka ketika mengingatnya kembali.
Tidak ada lagi ikatan yang bisa menguatkan keduanya. Semua ikatan yang ada diantara keduanya hanya sebatas tali yang rapuh yang suatu saat bisa putus begitu saja. Calon anak mereka. Bukannya Anin tidak memikirkan bagaimana nasib anaknya nanti, justru anaknya yang menjadi salah satu alasan mengapa dia harus meninggalkan Yusuf. Karena dia tidak ingin anaknya melihat bagaimana rasa yang harus dia terima dari ayahnya sendiri. Dia tidak ingin anaknya juga merasakan rasa sakit sama seperti dirinya.
***
Anin seperti biasa akan membaca novel untuk mengisi waktu luangnya jika tidak ada yang menemaninya di rumah sakit. Baru beberapa menit yang lalu, Umi pulang setelah seharian menemaninya, Bundanya juga baru datang nanti sore, sedangkan Yusuf terpaksa harus kekantor karena ada berkas yang harus dia tandatangani.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..."
Ucap Anin sambil menutup novelnya. Betapa terkejutnya saat dia melihat siapa yang baru saja mengucapkan salam yang tak lain adalah Fahira yang tentu saja ditemani oleh Fina.
Setelah Fahira berada persis di sebelah tempat tidur Anin, dia pun memberikan kode kepada Fina dan Fina pun mengerti. Dia langsung meninggalkan Fahira sekalipun dia tidak ingin.
"Bagaimana keadaanmu, Anin??"
Tidak ada jawaban dari Anin. Dia terlalu terpaku mendapati wanita yang jelas-jelas tidak ingin ditemuinya. Sekalipun yang memintanya untuk merelakan Yusuf untuk Fahira bukanlah Fahira sendiri, namun sudah jelas jika Fahira juga turut andil dengan keadaannya sekarang.
"Perkenalkan saya Fahira.. kebetulan saya dirawat dirumah sakit ini, jadi ketika mengetahui kalau kamu juga dirawat disini, saya ingin langsung menemui kamu.."
"Mas Yusuf lagi di kantor, mungkin sebentar lagi dia akan kembali karena dia bilang hanya menandatangani beberapa berkas. Jadi Mbak Fahira ngga perlu datang kesini untuk sekedar menemui Mas Yusuf.."
Sepertinya Anin tidak ingin berbasa-basi dengan Fahira. Ntah mengapa rasa sakit yang dirasakannya luar biasa parahnya.
"Bukan itu maksud kedatangan saya kesini. Saya ingin menjengukmu.. Saya ingin bertemu denganmu, karena bagaimanapun kamu telah memberikan kebahagiaan kepada Yusuf.."
Ucap Fahira masih bersabar menghadapi Anin. Dia sudah mengetahui kenyataan yang ada dari Fina, termasuk saat Fina meminta Anin untuk merelakan Yusuf untuk dirinya. Dari alasan itulah Fahira ingin menemui Anin. Dia ingin menjelaskan jika tidak ada hubungan apapun antara Yusuf dengan dirinya.
"Saya berterima kasih kepada Mbak Fahira sebelumnya, karena menyempatkan diri untuk menjenguk saya. Tapi alangkah baiknya, jika Mbak ngga pernah datang kesini. Jadi lebih baik sekarang Mbak pergi dari sini.."
"Tapi Anin.."
"Pergi dari sini, Mbak.. Pergi sekarang juga sebelum saya berbuat lebih jauh.."
Ucap Anin sekali lagi yang sudah menaikkan suaranya satu oktaf.
Fina yang mendengar teriakan Anin dari luar segera menyusul kedalam. Ternyata Yusuf sudah menyusul di belakang dan melihat Anin sudah begitu menahan amarahnya dan dia melihat Fahira sekilas yang sudah menangis mendapat perlakuan dari Anin.
Tanpa sepatah kata apapun lagi, Fahira dan Fina keluar dari kamar Anin. Mereka tidak ingin memperparah keadaan yang ada.
"Kamu kenapa, Dek?? Kenapa kamu marah-marah seperti ini??"
Tanya Yusuf sambil memegang bahu yang langsung ditampik oleh Anin.
"Ohh.. Jadi sekarang Mas Yusuf mau marahin aku karena aku jelas-jelas mengusir wanita yang begitu kamu cintai?? Apa jangan-jangan Mbak Fahira kesini karena Mas yang minta??"
"Dek.. Kamu bicara apa??"
Yusuf sekali lagi ingin menyentuh Anin tapi untuk kesekian kalinya ditolak Anin.
"Jangan sentuh aku, Mas.. Mendingan sekarang kamu pergi.."
"Dek.."
"Pergi, Mas.. aku bilang PERGI.."
Yusuf segera mendekap Anin yang sudah hilang kendali. Berkali-kali Anin menolak, tapi untuk kali ini Yusuf bersikukuh untuk tetap memeluk Anin. Dia tidak mungkin meninggalkan Anin seperti keinginan Anin.
"Aku bilang pergi, Mas.. untuk apa kamu tetap disini??"
Kata Anin sambil terus memukul dada Yusuf semampunya. Airmata yang sudah lama ditahannya, akhirnya jebol juga. Dia tidak tahu mengapa rasanya terlalu sakit setelah melihat Fahira.
"Kamu jahat, Mas.. kamu jahat.."
Sedangkan Yusuf menerima semua perlakuan dari Anin. Di dekapnya tubuh istrinya yang tengah terisak hebat. Begitu dia sesali kejadian hari ini. Andai dirinya tidak meninggalkan Anin sendiri, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Kejadian yang mungkin akan memperparah hubungannya dengan Anin.
***
"Yusuf.. mungkin untuk sekarang mendingan Anin tinggal di rumah Bunda dulu sampe dia merasa lebih baik.. Kamu juga harus kembali ke kantor kan, ngga mungkin kamu ninggalin kantor selama ini seperti sekarang.."
Akhirnya, Bunda mengetahui apa yang sebenarnya terjadi karena dia sendiri melihat apa yang terjadi saat Fahira menjenguk Anin.
"Sebelumnya terima kasih Bunda atas tawarannya. Tapi Yusuf ingin merawat Anin dengan tangan Yusuf sendiri. Ini semua karena Yusuf ingin menyelesaikan masalah yang terjadi. Yusuf ingin memperbaiki semua.. Jadi, tolong izinkan Yusuf sekali lagi untuk bersama dengan Anin.."
Tidak ada jawaban apapun dari Bunda. Sedangkan Ayah yang ada di samping Bunda mengangguk kepada Yusuf sebagai tanda setuju. Bagaimanapun juga, Anin sudah menjadi hak milik dari Yusuf. Yusuf pantas untuk mempertahankan apa yang dia bangun bersama Anin dan memang harus dia lakukan.
***
"Mbak Anin..."
Sapa Mbok Minah setelah melihat Anin pulang dari rumah sakit. Yusuf yang berada di belakang untuk mendorong kursi roda yang dipakai Anin sekarang hanya bisa tersenyum bagaimana melihat reaksi dari pengasuhnya sejak kecil melihat Anin kembali. Anin harus benar-benar mengurangi gerakan apapun sekalipun dia tidak diharuskan untuk bedrest.
"Mbak Anin udah sembuh, kan?? terus gimana sama calon anaknya?? Mbak Anin mulai sekarang jangan ngapa-ngapain, jangan banyak gerak.. Kalau butuh apa-apa, panggil Mbok aja.."
Anin hanya tersenyum saja melihat bagaimana perlakuan yang ia terima dari Mbok Minah.
"Anin nya mau jawab dari mana Mbok kalau pertanyaannya langsung tumpah ruah gitu.. kalau gitu saya bawa Anin kekamar dulu ya.."
Tanpa aba-aba, Yusuf sudah mengangkat tubuh Anin ala bridal style. Anin hanya melirik sekilas Yusuf sebagai tanda protesnya, tapi seakan tidak mau tahu Yusuf segera melangkahkan kakinya menuju kamar.
Mbok Minah yang melihat hal tersebut hanya bisa berdoa semoga Anin dan Yusuf kembali seperti diawal pertama kali dia melihat mereka berdua. Rumah tangga yang begitu hangat dan banyak terdapat senyuman di kedua wajah mereka.
"Turunin aku sekarang, Mas.."
Pinta Anin saat berada tepat di depan kamar yang biasa di gunakan Arwi. Yusuf pun hanya mengerutkan keningnya menunggu kelanjutan dari perkataan Anin.
"Aku ingin tidur dikamarnya Arwi. Sedangkan kamar kita bisa kamu pakai selama kamu masih disini.."
"Apa maksudmu, Dek??"
"Sampai sekarang, aku mengizinkanmu untuk tetap tinggal disini bersamaku Mas. Tapi setelah anak kita lahir, secepat mungkin aku akan mengurus perceraian kita.."
"Jadi aku mohon, Mas.. Jangan membuat semuanya bertambah rumit. Aku ngga bisa selamanya berpura-pura jika semuanya baik-baik saja. Aku hanya ingin segera mengakhiri ini semua.."
Serasa energinya menguap begitu saja, Yusuf menurunkan Anin dari gendongannya. Anin pun segera masuk kedalam kamar tanpa ingin melihat bagaimana ekspresi dari Yusuf selanjutnya. Yusuf tidak menyangka jika Anin akan berbuat sampai sejauh ini. Dia tahu jika Anin tidak pernah main-main dengan apa yang diucapkannya, tapi dia tidak menyangka jika keinginan Anin untuk berpisah dengannya benar-benar akan dilakukannya.
Didalam kamar, Anin meneteskan airmatanya kembali. Memikirkan begitu jahat sikapnya terhadap Yusuf. Tapi dia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika dirinya memang benar-benar sakit jika dia terus bersama Yusuf. Bahkan hanya melihat Yusuf saja, sakitnya semakin luar biasa dia rasakan. Anin sedikit meringis saat merasakan tendangan keras yang dia dapatkan dari anaknya.
"Maafin Bunda ya, Nak.. maafin Bunda karena udah jahat sama Ayah.."
Anin mengusap airmatanya sambil mengelus perutnya mencoba menenangkan anaknya yang mungkin mengetahui apa yang terjadi diantara kedua orangtuanya.
***
"Assalamualaikum, Anin.."
"Waalaikumsalam.. Franda.. Tirta.."
Anin tidak menyangka dengan siapa yang dilihatnya sekarang. Sahabat yang begitu dia rindukan yang biasanya selalu ada di sampingnya untuk mendengar semua keluh-kesahnya.
"Lo kenapa sih?? Jadi letoy banget sekarang??"
Franda mencoba mengeluarkan candaannya seperti biasa. Dia ingin menutup untuk sementara apa yang sesungguhnya terjadi. Dia berharap bahwa yang dia dengar akan rumah tangga dari sahabatnya itu adalah berita bohong. Namun setelah melihat bagaimana suasana yang terjadi, dia baru bisa memastikan jika keadaaannya memang sudah terlanjur parah.
"Gue ngga papa kog.. Biasalah masalah wanita hamil.."
Anin masih mencoba mengumbar senyumnya. Dia tidak ingin perasaannya mempengaruhi ekspresinya. Dia mencoba menutupi semua agar hanya dirinyalah yang tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya.
"Aduh.. Tirta masih kecil gini udah Lo ajak kemana-mana.."
Anin mengalihkan pembicaraan yang secara otomatis Franda tahu jika Anin tidak ingin menceritakan apa yang terjadi kepada dirinya. Franda memaklumi hal itu.
"Dedek bayinya baik-baik aja kan??"
Anin hanya mengangguk saja sambil mengepuk-ngepuk Tirta yang sudah ada di gendongannya. Dia membayangkan begitu bahagianya Tirta mempunyai kedua orangtua yang begitu bahagia saling mencintai satu sama lain. Berbanding terbalik dengan anak yang di kandungnya sekarang. Bahkan belum terlahir pun, anaknya sudah merasakan kesulitan yang harus dia lewati, bagaimana jika dia terlahir nanti. Terasa perih memikirkan itu semua.
"Mas Yusuf keliatan kurusan ya?? Pasti karena dia terlalu mikirin kondisi kalian berdua, makanya dia sampe ngga sempet ngurus dirinya sendiri.."
Sekali lagi Anin hanya bisa tersenyum sambil menerawang membayangkan bagaimana Yusuf sekarang. Dan memang benar, Yusuf memang kurusan, karena yang pasti masalah yang menerpa kehidupannya memang sudah pasti menguras tenaga dan pikirannya. Tapi Anin tidak pernah meminta itu semua. Dia sudah membebaskan Yusuf untuk memilih dan Anin sudah tahu akan konsekuensi yang harus dia terima dari apa yang Yusuf putuskan. Namun, Yusuf memutuskan untuk memilihnya. Mencoba bertahan dengan dirinya sekalipun dia harus merelakan cinta di masalalunya. Anin benar-benar tidak tahu apa yang sedang dicoba Yusuf untuk memenangkan hatinya kembali. Tapi untuk kali ini, Anin sudah tidak tahu apakah hatinya masih terbuka untuk Yusuf atau sudah tertutup rapat.
***
Arwi melihat Yusuf tertidur di sofa ruang keluarga. Di lihatnya betapa lelah terlukis jelas dari di wajah tampan milik kakak iparnya tersebut. Dia melihat Anin yang terduduk melihat bunga yang sengaja dia tanam di atap rumah. Dia melihat setetes airmata mengalir diwajah pucat milik kakaknya.
"Mbak Anin..."
"Arwi..."
Anin segera mengusap airmatanya. Sekalipun sudah pasti Arwi mengetahui semuanya, dia tidak ingin menunjukkannya secara jelas kepada Arwi.
"Mbak ngapain sore-sore disini?? Mbak ngga istirahat??"
"Mbak udah kebanyakan istirahat. Ngga papakan kalau Mbak cari udara diluar??"
"Aku udah tau dengan semua yang terjadi Mbak?? Mbak bisa cerita apapun kepadaku, karena seperti biasa aku akan menjadi pendengar setiamu.. Jangan membebani dirimu sendiri dengan semua yang terjadi.."
"Ngga ada yang terjadi kepadaku.. Kamu tenang aja.."
Anin memang tidak ingin mengingat akan apa yang telah terjadi. Dia ingin melangkah maju. Namun sayangnya, untuk kali ini dalam setiap langkahnya dia hanya ingin sendiri bersama anaknya. Bukan lagi bersama Yusuf.
"Jangan terlalu mengorbankan dirimu, Mbak.. Kamu pantas untuk egois jika kamu masih tetap ingin bersama Mas Yusuf. Kamu ngga pernah salah jika kamu ingin bahagia bersamanya. Tapi salah jika kamu melakukan ini semua, karena kamu ingin berkorban lagi agar Mas Yusuf kembali dengan masalalunya.."
"Salahkah Mbak jika Mbak ingin melihat suami Mbak sendiri bahagia?? Sekalipun itu bersama yang lain, bukan bersama Mbak?? Mbak ngga ingin jika Mas Yusuf terlalu memaksakan dirinya untuk terus bersama dengan Mbak karena terikat dengan pernikahan ini apalagi terikat karena dia akan memiliki anak bersama dengan Mbak. Mbak hanya ingin Mas Yusuf memilih kebahagiaannya karena hatinya memang menginginkannya. Justru akan salah jika Mbak bersikap egois menginginkan Mas Yusuf tetap disini jika hatinya sudah ada di tempat lain. Karena pada akhirnya, Mbak akan kalah juga untuk memenangkan hatinya.."
Jelas Anin dengan tegar, menatap lurus apa yang dilihatnya sekarang.
"Hanya untuk sekali ini Mbak.. Mbak Anin egois untuk kebahagiaan Mbak sendiri bersama rumah tangga yang udah Mbak bangun bersama Mas Yusuf. Pikirkan anak kalian juga.."
"Tapi sayangnya Mbak terlalu memikirkan bagaimana kebahagiaan Mas Yusuf jika dia terus memilih jalan ini, Dek.."
Arwi langsung memeluk Anin. Anin langsung terisak tidak kuat menahan rasa sakitnya. Baru kali ini dia bisa meloloskan airmatanya bersama orang lain. Biasanya dia memilih untuk menangis seorang diri. Dia tidak ingin memperlihatkan betapa rapuhnya dirinya.
Ternyata selama perbincangan antara Anin dan Arwi, Yusuf juga ikut mendengar semua. Sekali lagi, dia menyalahkan dirinya sendiri karena begitu bodoh menyia-nyiakan istri seperti Anin yang rela berkorban untuk kebahagiaannya, termasuk melepasnya pergi jika dia harus melakukannya. Tapi Yusuf tidak akan pernah melepaskan Anin. Sampai kapanpun. Sudah dia tegaskan jika hidupnya sekarang hanya ingin bersama dengan Anin. Dia membiarkan hatinya yang masih ada di genggaman wanita lain. Dia juga mengakui keserakahannya yang tidak ingin kehilangan Anin, namun dia harus melakukannya karena dia hidup bersama Anin.
***
Yusuf menyusul Anin yang sudah terlelap. Dia tidak bisa tidur jika disampingnya tidak ada Anin. Punggungnya terasa dingin karena selama ini, Anin lah yang selalu memeluknya memberikan kenyamanan yang sangat untuknya. Dia sudah terlalu biasa dengan adanya Anin di hidupnya.
Di usapnya puncak kepala Anin dengan hati-hati. Dia tidak ingin membangunkan Anin. Karena bisa di pastikan jika Anin bangun, dia tidak akan di izinkan untuk tetap tinggal maupun berdekatan dengan Anin. Anin akan secara otomatis membangun dinding di antara mereka. Sudah cukup dengan jarak yang ada di antara mereka, Yusuf tidak ingin Anin semakin menambah jarak di antara mereka.
"Maafin Mas.. Tolong tetaplah tinggal disisi, Mas.. Mas sudah terlalu biasa dengan adanya kamu di hidupnya Mas..".
Setetes airmata ternyata berhasil menjebol pertahanan dari Yusuf.
"Apapun akan Mas lalui agar kamu kembali dihidupnya Mas.. Mas begini bukan karena Mas ingin lari dari kesalahan yang Mas lakukan terhadapmu.. Tapi karena Mas ingin kamu tinggal disisi Mas. Kamu terlalu berharga untuk Mas.."
Dikecupnya kening dari Anin dengan khitmad. Di ciumnya juga telapak tangan Anin yang sedari tadi berada dalam genggamannya. Hanya saat Anin tertidurlah dia bisa mengamati Anin dengan jarak sedekat ini. Dia harus mengakui bahwa sekarang inilah adalah waktu tersulit dalam hidupnya yang harus di laluinya. Dia percaya bahwa Allah telah merencanakan hal yang paling indah setelah kerunyaman yang terjadi.
***