***
Yusuf hanya ingin kehidupannya seperti ini saja. Menjalaninya bersama Anin. Apapun keadaannya. Dia bahkan rela memberikan apapun yang ada yang bisa dia berikan, jika taruhannya untuk mendapatkan waktu bersama dengan Anin sebanyak yang ia inginkan. Meskipun dirinya belum mengakui perasaannya kepada Anin, tapi dia ingin membiarkan waktu berjalan dengan apa adanya. Dia ingin semuanya berjalan sebagaimana mestinya, karena di sisi lain dia memang hanya ingin bersama Anin bukan dengan yang lain.
Biarkanlah waktu mengikis semua ingatan yang memang tidak seharusnya di ingatnya. Ingatan yang hanya membawa luka antara dirinya dan Anin. Yusuf tidak ingin kenangan itu merusak keadaan yang ada sekarang. Yusuf ingin waktunya sekarang hanya untuk membahagiakan Anin. Dia ingin memperjuangkan apa yang memang harus di perjuangkannya sejak dulu.
Sekarang kandungan Anin sudah memasuki 7 bulan. Perutnya semakin membuncit dari hari ke hari. Tapi entah mengapa, hal itu malah justru yang di sukai oleh Yusuf. Sedangkan Anin terkadang masih menanyakan apakah Yusuf tidak menyukai perubahan yang terjadi dengan dirinya.
"Aku tambah cubby ya Mas???"
Tanya Anin sambil menangkupkan kedua pipinya.
Yusuf hanya tersenyum saja mendengar hal itu. Untuk kesekian kalinya Anin mengajukan pertanyaan yang sama tanpa rasa bosan.
"Kalau Mas malah tambah sayang gimana??"
"Gombal terus, Mas.. Mau punya anak loh.."
"Emang ngga boleh gombalin istri sendiri?? daripada gombalin istri tetangga??"
Anin pun langsung mencubit lengan suaminya yang masih setia memeluknya dari belakang. Mereka masih stay di kamar sejak sarapan tadi pagi. Saat ini, Anin merasa malas untuk melakukan berbagai hal. Hari ini saja, aktivitas yang baru dia lakukan adalah mandi dan sarapan. Untuk sarapan saja, Yusuf lah yang memasaknya dan membawanya kedalam kamar. Selanjutnya tidak ada lagi selain bangun tidur dan melakukan sholat subuh, itupun dia langsung tidur kembali.
"Awww.."
Anin sedikit merintih ketika merasakan tendangan kecil di perutnya.
"Kenapa?? Ada yang sakit??"
Yusuf pun langsung menatap Anin intens. Dia ingin memastikan memang tidak terjadi sesuatu dengan Anin.
Anin pun menggeleng sambil tersenyum. Senyumnya begitu bahagia hingga membuat Yusuf sedikit lega.
"Ngga papa, Mas. Cuma kayanya, anak kamu itu ngga mau aja ayahnya jahilin bundanya.."
Yusuf yang tahu dengan maksud dari perkataan Anin langsung mengecup kening Anin dalam. Dia senang tidak terjadi sesuatu dengan kedua orang yang sangat berharga dalam hidupnya melebihi dirinya sendiri.
"Atau dia ngga rela kalau bundanya udah cubit ayahnya??"
Sangkal Yusuf sambil mengusap dan memberikan ciuman ke perut Anin dengan lembut. Bahkan dia pun merasakan tendangan kecil yang membuatnya kembali tersenyum sambil melihat Anin kembali.
Sampai saat ini pun, Anin maupun Yusuf tidak tahu jenis kelamin dari anak mereka. Setiap kali melakukan USG, entah mengapa posisi dari anaknya selalu membelakangi alat tersebut, membuat mereka harus rela melihatnya dari posisi belakang.
"Pasti kalau dia cowok, dia akan mirip dengan ayahnya.."
Ucap Anin sambil menatap dengan lekat suaminya yang sudah tidur miring menghadapnya.
"Rambut, mata, hidung, bibir.. semuanya yang ada di kamu, Mas. Aku ingin semuanya ada di anak kita nantinya.."
Tambah Anin sambil menyisir rambut suaminya dengan jarinya.
"Kalau dia cewek??"
Tanya Yusuf sambil mengecup tangan Anin yang tadinya masih menyisir rambutnya, sudah berganti posisi berada di genggamannya.
"Dia juga tetap sama. Dia tetap mirip dengan ayahnya. Mungkin lebih lucu kalau ada Mas Yusuf versi ceweknya.."
"Apapun itu. Entah cewek atau cowok, aku akan merasa bersyukur. Bersyukur karena aku akan punya anak dari seorang wanita yang begitu hebat. Wanita yang begitu hebat yang mau melengkapi hidupku. Yaitu kamu Dek. Kamu, Anindiya Anastasya Kamil.."
Hati Anin langsung menghangat begitu saja saat mendengar nama lengkapnya di sebut oleh suaminya. Dengan hanya menyebut namanya saja bisa menghadirkan efek seperti itu, bagaimana jika Yusuf mengatakan "Aku mencintaimu". Mungkin saat itu juga, Anin akan merasa hidupnya sempurna begitu saja dan tidak membutuhkan apapun lagi. Terdengar berlebihan, tapi memang begitu adanya yang Anin rasakan saat ini.
"Kamu yang membuat hidupku sempurna begitu aja, Dek.. Aku ngga tau bagaimana jadinya jika yang saat ini ada di sampingku itu bukan kamu.."
"Maka dari itu, jadikan aku sebagai titik kekuatanmu Mas.. jangan jadikan aku menjadi kelemahanmu, apalagi saat kamu akan bertindak. Lakukan semua hal yang menurutmu itu yang terbaik. Tapi, ingatlah aku selalu Mas. Aku yang selamanya hanya akan di sisimu.."
Anin pun mencium rahang dari Yusuf dengan lembut. Yusuf pun semakin mengetatkan pelukannya untuk Anin. Dia tidak tahu lagi dengan apa yang harus di katakannya. Ternyata tanpa Yusuf sadari, masih terlalu banyak hal yang tersimpan rapi dihatinya dan itu akan terlalu menyakitkan jika Anin mengetahuinya.
Masih teringat betul oleh Yusuf bagaimana Anin dengan diam-diam menangis setelah mendengar cerita Yusuf akan hubungannya dengan Fahira. Padahal saat itu, dia hanya berusaha untuk meloloskan kenangannya dan mulai membuka hatinya untuk di penuhi oleh cinta dari Anin dan hanya untuk Anin. Masalalu dari Yusuf yang terlalu menyakitkan untuk Anin, karena dia harus membagi hati suaminya yang masih secara gamblang menyimpan sisa cintanya untuk masalalunya. Entah untuk apapun itu, yang di takutkan Anin adalah jika masalalu itu datang kembali. Mengambil Yusuf dari pandangannya. Cukup sekali Anin merasakannya dan Anin tidak ingin merasakannya lagi, terlebih Anin tidak ingin anaknya juga ikut merasakannya.
Setelah berbincang-bincang, Anin pun tertidur dengan posisi membelakangi Yusuf. Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelum dia hamil seperti sekarang. Itu pun dia lakukan karena memang dirinya gampang pegal jika harus stay dengan satu posisi saja saat tidur. Terlebih saat hamil seperti sekarang, tidak bekerja lagi, otomatis jam tidurnya pun bertambah lama. Membuatnya harus pintar-pintar dalam mencari posisi ternyaman.
Yusuf pun memakluminya. Awalnya memang dia merasa aneh. Karena saat dia akan mengawali tidurnya, dia akan selalu melihat wajah Anin. Wajah Anin yang tampak begitu polos saat tertidur. Dia pun mengecup bahu Anin sambil mengusap perut Anin dari belakang dan akhirnya dia ikut tertidur dengan posisi yang sama.
***
"Tambah cantik aja sih, Bundanya dari anakku ini.."
Tiba-tiba Yusuf memeluk Anin yang tengah bersiap ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin kondisi kandungannya saat ini. Yusuf memang selalu merasa, semakin hari istrinya itu tambah cantik saat hamil seperti sekarang. Wajahnya tampak berseri-seri.
"Kamu tambah manja aja deh, Mas.."
Anin pun membalikkan badannya sedikit lambat, karena pengaruh berat badannya yang otomatis naik begitu saja. Dia pun dengan sedikit usaha mengecup bibir suaminya sekilas dan di akhiri dengan senyumnya. Dan apa yang di bilang Anin tentang Yusuf yang semakin manja itu memang ada benarnya. Karena memang dari awal mereka menikah, Yusuf memang selalu bersikap manja terhadap Anin. Apapun itu.
Yusuf yang mendapat perlakuan tersebut juga tak mau kalah. Dia segera mengecup bibir istrinya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali dan bukan hanya ada di bibir. Namun dia juga sekarang tidak pernah ketinggalan memberikan kecupan itu di kedua pipi istrinya yang kelihatan tembam dan menurutnya begitu menggemaskan.
Yusuf pun seperti biasa memeluk Anin. Meskipun tidak bisa serapat seperti yang lalu ketika Anin belum mengandung anak mereka. Namun setidaknya, di tengah keluarga kecil mereka akan segera hadir anugerah yang begitu mereka nantikan. Yang pasti akan menambah rasa istimewa di antara mereka. Satu rasa yang sekali lagi memberikan efek berbeda untuk kehidupan mereka, yang pasti efeknya adalah rasa bahagia.
"Maaf ya, Mas.. gegara aku, kamu jadi repot sendiri pulang jam segini. Padahal kantor pasti masih sibuk.."
Ucap Anin merenggangkan pelukannya.
"Mas direktur disana. Pemilik perusahaan. Jadi sekali-kali, Mas boleh dong buat seenaknya sendiri mau ngapain aja??"
Balas Yusuf dengan enteng sambil mengusap pipi Anin dan memeluknya kembali.
"Isshhh.. Kebiasaan deh.."
Anin pun membalas pelukan dari suaminya itu sebelum dia merenggangkannya kembali. Dia merasakan gerakan kecil dari calon anaknya itu.
"Bagi-bagi dong Nak sama Ayah.."
Yusuf pun langsung menunduk dan mengusap perut Anin. Tak lupa dengan kecupan pada akhirnya. Awalnya, Anin merasa risih dengan apa yang di lakukan Yusuf, namun dia berusaha untuk membiarkannya saja. Dia juga ingin anaknya bisa berkomunikasi dengan ayahnya.
"Kamu jangan nakal-nakal ya di dalam sana. Jadi anak yang baik, OK?? Kamu boleh deh gerak-gerak, tapi jangan sampai buat Bunda jadi kesakitan.."
Anin hanya tersenyum saja mendengar pesan dari suaminya untuk calon anak mereka. Lucu sekaligus menciptakan rasa hangat ketika mendengar. Sekali lagi dia tidak menyangka, bahwa di hadapannya sekarang adalah Yusuf. Orang yang memang begitu dia cintainya, tapi begitu takut untuk dia harapkan. Dan sekarang, orang itulah yang menjadi suaminya dan calon ayah dari anak yang sekarang dikandungannya.
"Berangkat sekarang yuk.. Nanti kesorean lagi.."
Yusuf pun mengangguk dan segera meraih kunci mobilnya. Dia pun langsung menggandeng Anin berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkah Anin. Satu hal yang begitu dia syukuri sekarang, yaitu salah satu kebiasaan Anin yang lebih menyukai memakai flat shoes maupun sandal biasa daripada menggunakan alas yang ada high heels-nya. Setidaknya, rasa khawatirnya sedikit berkurang ketika dia tidak bersama dengan Anin.
"Gimana Dok keadaan istri saya sama calon anak kami??"
Yusuf seperti biasa sangat antusias dengan hasil pemeriksaan kandungan istrinya. Kali ini, Yusuf pun menolak untuk melakukan USG. Dia takut di PHP anaknya, jika anaknya masih nyaman dengan posisi biasanya saat di USG.
"Alhamdulillah, keadaan keduanya baik-baik aja.."
Ucap Dokter cantik yang ber-nametag 'Dr. Dira'.
"Tapi harus di jaga ya aktivitasnya, banyak gerak boleh, malah di anjurkan. Tapi jangan sampe hyperaktif ya. Ibunya sedikit mengalami hipertensi untuk pemeriksaan kali ini.."
Lanjut Dr. Dira memberikan penjelasan kepada Anin maupun Yusuf.
Yusuf pun langsung menatap tajam istrinya dan mengisyaratkan 'Makanya kalau di bilangin suami jangan ngeyel..'
Sedangkan yang mendapatkan tatapan tersebut hanya bisa nyengir saja sambil melihat ke arah dokter yang juga ikut tersenyum melihat kelakuan dari Yusuf.
"Tenang aja, Pak Yusuf. Keadaannya masih normal saja kali ini. Dan saya sudah resepkan obat dan vitaminnya. InshaAllah semuanya akan baik-baik saja.."
Mendapat penjelasan seperti itu, membuat Yusuf sedikit lega. Setidaknya keadaan dari Anin masih baik-baik saja, sekalipun sudah sukses membuatnya ketar-ketir untuk kali ini. Di tambah sampai sekarang Anin masih menolak di bantu oleh ART untuk menyelesaikan urusan rumah, membuat Yusuf harus mengalah untuk kesekian kalinya. Anin pun masih dengan beraninya menyetir mobil sendiri, padahal Yusuf sudah mengirim supir kantor menjadi supir pribadi Anin untuk mengantarnya kemanapun dan berakhir dengan Pak Agus – Pak Supir menjadi penjaga rumah mereka.
"Kita mulai gunain jasa ART aja ya??"
Ucap Yusuf sesaat setelah mengemudikan mobilnya.
"Jangan lebay deh, Mas.."
"Siapa juga yang lebay sih, Dek?? Wajar kan kalau Mas khawatir sama kamu, apalagi dengan apa yang barusan di katakan sama Dr. Dira tadi.. Kamu harus banyakin istirahat.."
"Bukan banyakin istirahat Mas, tapi ngga boleh sampe hiperaktif aja.."
Anin masih ngeyel dengan apa yang baru saja dia dengar dari perkataan super khawatir ala suaminya itu.
"Tuh kan, kamu kalau di bilangin selalu ngeyel.."
"Ngga ngeyel, Mas.. cuma benerin aja.."
"Pokoknya untuk kali ini, Mas yang mutusin. Mulai besok kita pake jasa ART. Titik. Ngga ada ganggu-gugat.."
Yusuf pun masih setia dengan keputusannya memakai ART. Dia tidak ingin mengambil resiko. Dia ingin semuanya baik-baik saja. Dan Anin, dia memilih untuk menuruti kemauan dari suaminya itu. Percuma rasanya jika Yusuf sudah bersikap keras kepala seperti sekarang. Keputusannya tidak akan pernah bisa di ubah. Oleh siapapun itu, termasuk dirinya.
Suasana hening pun menyelimuti perjalanan pulang mereka. Tidak ada sepatah kata pun yang berusaha untuk mereka keluarkan untuk menghentikan keheningan yang tercipta. Bahkan saat mereka sesaat berhenti untuk sholat maghrib.
"Mas laper.. Kamu mau makan apa??"
Akhirnya, Yusuf memecah rasa sunyi yang ada. Anin yang sedari tadi menunggu sapaan dari Yusuf langsung tersenyum.
"Terserah.. Mas mau apa emangnya??"
"Mas pengen sate ayam.."
Ucap Yusuf sambil melirik wajah Anin sekilas meminta persetujuan.
"Tom Yam aja gimana, Mas?? Tom Yam yang deket manahan itu loh.."
"Tadi katanya terserah.. Lah sekarang malah langsung nentuin.."
"Mas ngga mau??"
Yusuf pun hanya bisa menghela nafas saja. Dia tidak ingin berdebat hanya sekedar urusan makan. Sedangkan Anin langsung tepuk tangan dan memeluk lengan kiri Yusuf yang terlihat bebas. Yusuf juga ikut tersenyum melihat kelakuan Anin sekarang. Melihat Anin bisa tersenyum seperti sekarang, terlebih itu karena dirinya, cukup membuatnya bahagia. Setidaknya, dia bisa menciptakan senyum di wajah Anin yang memang begitu tulus saat dia melakukannya. Setelah hampir 2 tahun mereka menikah, satu hal yang selalu Yusuf syukuri dari awal sampai sekarang, yaitu mengetahui bahwa Anin selalu tulus saat dia tersenyum dan senyuman itu terlihat seperti hanya untuk dirinya seorang.
***
"Kamu mau kemana, Dek??"
Yusuf yang merasakan gerakan di sebelahnya, langsung membuka matanya dan mendapati Anin sudah di ambang pintu. Entah apapun yang akan Anin lakukan yang pasti ini sudah tengah malam dan sudah menjadi kelakuan Anin yang akhir-akhir ini menjadi kebiasaannya, yaitu dia akan bangun untuk makan malam.
"Mau ke dapur, Mas.."
Jawab Anin dengan cengiran khasnya. Sedangkan Yusuf pun langsung bangun dari tempat tidurnya dan menyusul Anin yang masih berdiri di ambang pintu.
Dengan hati-hati, Anin dan Yusuf pun berjalan menuju dapur mereka.
"Mau makan apa emangnya??"
Tanya Yusuf sambil mendudukan Anin di sofa yang ada di ruang keluarga.
"Mau makan mie.."
Anin dengan polosnya menjawab bahwa dirinya ingin mie. Memang sudah lama, semenjak dia di ketahui hamil, Yusuf langsung melarangnya untuk makan mie ataupun makanan junkfood lainnya. Tapi kali ini, dia begitu menginginkan mie sebagai menu makan malam tambahannya.
"Kamu bilang apa tadi?? Mau makan mie??"
Yusuf pun langsung menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah setuju dengan apa yang di inginkan Anin dan tidak ada niatan juga untuk mengabulkannya.
"Ngga.. Ngga boleh.. Mas buatin nasi goreng ya??"
"Ngga mau kalau bukan nasi goreng kambing. Lagian kalau cuma nasi goreng doang, ngga ada gizinya.."
Ternyata Anin masih mengingat kejadian dimana dia ingin nasi goreng kambing, tapi pada kenyataannya Yusuf tidak bisa menemukan penjual nasi goreng kambing dan pulang dengan tangan kosong.
"Lah terus pengen apa??"
"Pengen makan mie, Mas.."
"Ngga ada Mie, Dek.. stok mie-nya udah dimakan semua sama Arwi.."
"Mas bohong. Kemarin Anin baru beli mie.. Ayolah Mas. Aku fine saat kamu ngga bolehin aku makan karedok karena ada bahan mentahnya disana, trus kamu ngga dapet kue pancongnya, karena kamu ngga tahu dimana ada orang yang jualan kuenya di tengah malem. Aku juga terima pas kamu ngga dapet nasi goreng kambingnya. Tapi kali ini, cuma mie. Dan itu udah ada di dapur, tinggal masak aja.."
"Ngga ada mie, right??"
"Mie atau aku ngga tidur??"
Mereka berdua masih setia dengan keputusan masing-masing. Anin pun saat ini memilih untuk menonton TV, apapun itu acaranya, karena kerjaannya pun hanya memainkan remote sambil mengganti-ganti channel yang ada. Sedangkan Yusuf, sejak tadi sudah mondar-mandir dari dapur ke ruang keluarga begitu juga sebaliknya sambil menenteng makanan berharap Anin melupakan keinginannya untuk makan mie. Tapi sama sekali tidak ada tanggapan dari Anin. Anin masih kekeuh dengan keinginannya dan Yusuf masih tidak mau mengalah untuk mengiyakan keinginan Anin.
"Ya udah deh, kamu mau makan mie rasa apa??"
Akhirnya Yusuf mengalah juga. Dia melihat Anin yang sebenarnya sudah menguap beberapa kali, namun di cobanya untuk di tahan sebelum dia mendapatkan keinginannya.
"Emang di dapur ada rasa apa aja??"
Sebenarnya, Anin berbohong soal dirinya yang kemarin me-restock persediaan mie. Tapi Yusuf juga berbohong mengenai Arwi yang telah menghabiskan persedian mie yang ada, karena Arwi akan selalu bilang ke Anin jika persediaan mie di dapurnya habis. Arwi itu seorang pecinta mie. Jadi dia tidak akan membiarkan makanan favoritnya itu tidak ada saat dia ingin makan.
Yusuf pun hanya mengendikkan bahunya, karena dia memang tidak tahu mie rasa apa saja yang ada.
"Ya udah deh, Mas.. rasa apa aja ngga papa, yang penting aku makan mie.. Tapi mie kuah aja deh rasa kari.."
Yusuf tidak terlalu menghiraukan kebingungan Anin, karena memang hanya tersisa satu mie kuah dan itu pun rasa kari ayam.. coba saja jika itu mie dengan rasa lain. Sudah bisa di pastikan jika Yusuf harus rela keluar di tengah malam untuk sekedar membeli mie kuah rasa kari.
Yusuf pun langsung memasaknya. Dia tidak kehilangan akalnya. Dia memasukkan bahan-bahan yang dulu sering Anin campurkan saat dia masak mie. Mulai dari sawi, taoge, wortel dan terakhir adalah tahu putih. Yusuf juga tidak tahu apakah Anin akan memprotes hasil karyanya ini. Tapi dia sudah menyiapkan berbagai sangkalan agar Anin tidak dapat mengelak mie buatannya ini.
Sampai di ruang keluarga sambil membawa mie yang masih panas, Yusuf menemukan Anin yang sudah tertidur di sofa dengan nyenyaknya seakan dia sudah melupakan keinginannya untuk makan mie. Yusuf pun hanya bisa menghela nafas melihat tingkah Anin sekarang. Sedikit menyusahkan, namun dia jujur senang untuk melakukannya. Setidaknya, Anin memintanya hanya kepada dirinya, karena masih teringat dari pikirannya saat dia pergi waktu lalu, dia tahu Anin menahan segala keinginannya saat itu dan hanya akan melakukannya ketika Yusuf kembali.
Yusuf pun langsung menggendong Anin menuju kamar mereka. Dia pun menidurkan Anin dengan hati-hati. Dia segera memakaikan Anin kaos kaki dan menyelimuti tubuhnya, agar tetap hangat. Dia pun mengecup kening Anin dan terakhir mengusap puncak kepala Anin sambil memindahkan anak rambut yang menutupi wajah polos Anin sekarang.
Yusuf pun segera kembali ke dapur untuk membereskan sisa pekerjaannya. Dan 'Mie' yang menjadi bahan perdebatan mereka, akhirnya Yusuf-lah yang memakannya. Yusuf pun bersyukur karena pada akhirnya, Anin gagal untuk makan mie yang sangat di larangnya itu.
***