***
"Dek.. Bangun dulu yuk.. Sholat Subuh.."
Yusuf membangunkan Anin dengan begitu sabar. Baru kali ini dia membangunkan Anin, karena biasanya Anin lah yang membangunkannya.
"Subuh, Mas?? Ini jam berapa??"
Yusuf memilih untuk tidak menjawabnya, karena jawaban itu sudah Anin dapatkan lewat jam digital yang ada di meja nakas. Anin tampak membulatkan bola matanya seketika, yang efeknya membuat Yusuf tersenyum saat melihatnya.
"Kenapa Mas baru bangunin aku pas Subuh?? Jadinya aku ngga bisa tahajjud kan, Mas??"
Rajuk Anin yang benar-benar tampak menyesal dengan apa yang terjadi padanya. Dia jarang absen untuk melakukan sholat tahajjud. Baginya sholat tersebut sudah seperti sholat wajib 5 waktu, yang akan terasa penyesalannya ketika dia meninggalkannya, seperti sekarang.
"Tapi tadi malem kamu itu baru tidur tengah malem. Habis itu Mas lihat kamu kelihatan lagi capek banget, makanya Mas ngga bangunin kamu".
"Kan biasanya aku juga tidur jam segitu kan?? Lagian kalau aku baru tidur jam 03.30 pagi, sedangkan subuhnya aja sekarang jam 04.00, Mas ngga bakal bangunin aku gitu buat sholat Subuh, karena aku baru tidur??"
"Itu beda lagi ceritanya, Dek.."
Tanpa Yusuf perjelas, Anin sudah mengetahui maksud dari Yusuf. Mungkin memang dia yang terlalu berlebihan dalam menanggapinya. Anin pun akhirnya memilih untuk diam dan berjalan menuju kamar mandi untuk berwudlu. Dan Yusuf memilih untuk menggelar sajadah untuk mereka berdua.
***
Yusuf yang keluar dari kamar sambil menenteng jas, dasi beserta tas kantornya nampak heran melihat apa yang tersaji di meja makan sekarang. Mie Kuah rasa Kari yang menjadi bahan perdebatannya dengan istrinya itu tadi malam. Sedangkan Anin masih menuangkan susu ke dalam gelas.
"Jangan kira aku bakal lupa sama yang aku pengen, Mas.."
"Bukannya persediaan mie-nya habis ya??"
Tanpa Anin menjawab pun seharusnya Yusuf tahu jika Anin bisa saja menyuruh Pak Agus untuk membelinya di minimarket dekat rumahnya itu. Atau malahan Anin sendiri yang membelinya sekaligus jalan pagi sebagai kebiasaannya saat hamil.
"Tadi aku jalan pagi trus sekalian mampir ke minimarket.."
"Mas kirain kamu udah lupa sama kepengenan kamu makan mie.."
Ucap Yusuf sambil mengusap pipi Anin yang tengah menyimpulkan dasinya. Sedangkan Anin hanya mendengus sebal sambil menatap suaminya yang masih bisa tersenyum. Anin memang benar-benar kesal jika mengingat perbuatan Yusuf yang tidak membolehkannya makan mie. Tapi di sisi lain, dia juga tidak bisa mengaplikasikan rasa kesalnya itu ketika melihat wajah Yusuf yang nyatanya mampu mengalihkan rasa kesalnya itu.
"O iya.. InshaAllah Mbok Minah udah mulai kerja hari ini. Jadi mulai sekarang, kamu jangan sok hiperaktif lagi. OK??"
"Tapi masih boleh beraktivitas kan??"
"Boleh, tapi jangan berlebihan ya.. Apalagi pas Mas lagi kerja dan kamu sendirian di rumah. Jangan buat Mas ngga tenang pas kerja.."
"Ohh.. jadi selama ini Mas ngrasa kalau aku bikin pikiran Mas ke ganggu pas lagi kerja. OK, Fine.. Yes I do.."
Gerutu Anin pura-pura sebal dengan pernyataan Yusuf tadi. Sedangkan Yusuf menghela nafas bertanda jika dirinya salah lagi.
"Bukan gitu maksudnya, Bumil.. sensitif banget sih"
"Habisnya Mas Yusuf sih kalau ngomong suka ngasal.."
Yusuf hanya mengeleng-geleng saja dan menikmati perdebatan paginya bersama dengan Anin. Berdebat dengan Anin itu bisa menjadi hiburan tersendiri jika yang mereka perdebatkan adalah hal-hal sepele, seperti sekarang. Baginya, Anin bertambah lucu jika dia sudah mulai ngambek. Dengan begitu, Yusuf bisa dengan leluasa akan menggodanya dan dengan mudahnya Anin akan melunak karena sikap dari Yusuf.
"Hati-hati ya, Dek.. Kalau mau kemana-mana suruh anter Pak Agus. Jangan main nyetir sendiri.."
Anin hanya mengangguk saja sambil mencium punggung tangan suaminya itu.
"Ayah kerja dulu ya, Nak.. Jadi anak baik di dalam perut Bunda. Jangan buat Bunda kesusahan, OK??"
Selalu seperti itu. Yusuf tidak akan lupa untuk pamit dengan anaknya yang terkadang membuat Anin merasa was-was jika anak mereka lahir nanti. Bisa di pastikan jika Yusuf akan lebih perhatian dengan anaknya daripada terhadap dirinya.
"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam.. Ati-ati ya, Mas.."
***
Yusuf sekarang nampak senyum-senyum sendiri sembari memandangi wajah dari seseorang yang begitu dia puja. Siapa lagi kalau bukan Anin. Wajahnya yang memang menurut Yusuf sudah menggemaskan, sekarang bertambah berkali-kali lipat semenjak Anin mengandung. Sudah dia katakan sebelumnya, jika wajah Anin terlihat lebih berseri-seri dan jujur itu menambah kadar kecantikannya, sekalipun Anin beberapa kali protes dengan ketakutannya akan pendapat Yusuf yang mungkin saja berbohong kepadanya.
Mengingat sikap Anin sekarang yang memang bertambah manja. Yusuf memang tidak terlalu mempermasalahkannya. Bagi Yusuf, yang terpenting dia harus menyiapkan lautan kesabaran untuk menghadapi sikap Anin. Sudah cukup dengan Anin yang memiliki tubuh yang kecil harus bertambah dengan adanya anak mereka yang masih didalam kandungan. Yusuf pun melihat sendiri betapa lelahnya Anin saat dia mulai tidur. Terlihat dari bengkak-bengkak yang ada di telapak kakinya, karena menahan berat badannya. Yusuf hanya bisa memijat kaki-kaki tersebut, karena memang tidak ada yang bisa dia lakukan selain itu.
"Woi..senyum-senyum aja dari tadi.."
Sapa Hendi yang dengan wajah bahagianya melihat sahabatnya yang juga begitu bahagia.
"Kalau Lo mau terus-terusan seharian lihat wajahnya Anin, mendingan Lo pulang deh. Ngga tega gue mah kalau lihat temen kangen gitu sama istri.."
"Lo tau ngga sih, sifatnya Anin sekarang kaya gimana??"
Hendi mengerutkan alisnya karena dia memang tidak tahu dengan maksud dari perkataan Yusuf.
"Anin yang emang ngga jutek seperti yang orang kira itu, sikapnya malah childish, ngambekan, pokoknya tambah lucu lah.."
Yusuf membayangkan sendiri bagaimana sikap Anin yang memang sedikit berubah semenjak dia hamil.
"Bagus dong. Seenggaknya itu ngga buat Lo sebel sama dia..".
Sedangkan Hendi malah bertolak belakang dengan pendapat milik Yusuf. Betapa menyebalkannya istrinya saat hamil, terlebih untuk anak pertama yang memang pada dasarnya butuh perhatian lebih dari siapapun itu.
Lama mereka berbincang, terdengar pintu terbuka dari ruangan milik Yusuf yang seketika itu juga Yusuf maupun Hendi pun melihat seseorang disana. Seseorang yang nampak tidak asing untuk mereka berdua. Seseorang yang sudah cukup lama tidak mereka lihat. Dan sekarang orang itu muncul di hadapan mereka dengan tatapan yang begitu sayu, seperti menahan beban yang ada di punggungnya.
"Fina.."
Ucap Hendi tidak percaya dengan apa yang di lihatnya sekarang. Dan dia pun juga tidak tahu, untuk apa perempuan yang memiliki status sebagai adiknya Fahira ini datang ke kantor, setelah apa yang selama ini terjadi.
"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam.."
Ucap Hendi dan Yusuf hampir bersamaan. Mungkin hanya terdengar suara dari Hendi saja, sedangkan suara dari Yusuf sendiri sudah hilang entah kemana.
"Bisa kita bicara sebentar??"
Tanpa tedeng aling-aling, Fina langsung mengutarakan maksud dirinya dengan berani melangkahkan kakinya berhadapan dengan Yusuf.
"Hanya kita berdua Mas Yusuf.."
Tambah Fina sambil memandangi Hendi yang ingin menyangkal permintaan dari Fina. Sedangkan Hendi sendiri memutuskan untuk memandangi Yusuf dan secara sekilas Yusuf menganggukkan kepalanya. Hendi pun mengerti dengan maksud dari Yusuf. Dia pun segera keluar dari ruangan Yusuf tanpa berkata sepatah kata apapun.
"Aku akan duduk, karena aku lihat Mas Yusuf ngga bakal nawarin aku buat duduk."
Fina pun duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerja Yusuf sesuai dengan apa yang dia ucapkan. Yusuf pun hanya bisa menghela nafas sambil melihat apa yang membuat salah satu orang yang tidak ingin di temuinya ini, malah tiba-tiba menerobos masuk kedalam hidupnya yang mulai tertata.
"Aku tau Mas Yusuf ngga mau lihat aku ataupun anggota keluarga Sanjaya lainnya, terutama Mbak Fahira.."
"Kamu bilang hanya sebentar kan??"
Kata Yusuf dengan lembut, namun siapapun yang mendengarnya pasti orang itu tahu jika saat ini Yusuf sedang menahan emosinya.
"Jadi.. gunakanlah waktumu sebaik mungkin sebelum aku menghubungi pihak keamanan.."
Tambah Yusuf yang justru membuat Fina tersenyum miring.
"Aku tau, setelah kejadian itu. Mas Yusuf langsung menutup akses keluargamu dengan keluargaku. Apapun itu, termasuk urusan bisnis. Tapi, well.. aku disini bukan untuk bicara soal bisnis, melainkan tentang Mbak Fahira.."
Yusuf hanya menghela nafas kasar saja. Karena demi apapun, dia tidak ingin mendengar mengenai Fahira, bahkan jika itu hanya menyita waktunya selama 1detik pun. Dia tidak ingin mengetahuinya, apapun itu.
"Mbak Fahira sekarang lagi sakit.."
"Trus apa hubungannya denganku?? dia udah punya suami, kenapa kamu malah memberikan kabar ini ke seseorang yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan dia?? Seseorang yang sudah dia tinggalkan di masalalunya.."
"Mbak Fahira ngga pernah nikah dengan siapapun Mas.. dan itu ngga akan pernah terjadi dalam hidupnya.."
Yusuf hanya mengerutkan keningnya meminta penjelasan lebih lanjut dari Fina. Dia tidak tahu mengapa Fina mengatakan jika Fahira belum menikah dengan siapapun, sedangkan alasan disaat Fahira memilih untuk meninggalkan Yusuf karena ada pria lain yang ada di dalam hati Fahira.
"Mbak Fahira sekarat, Mas.. dia memutuskan hubungan denganmu karena penyakitnya, bukan karena alasan yang lain.."
"Kalau kamu kesini cuma mau ngomong kaya gitu untuk sekedar memperbaiki hubungan antara kami, maaf.. Aku ngga bisa. Bukan karena aku masih mencintai Fahira, tapi karena ada perempuan lain yang lebih berharga melebihi hidupku sendiri.."
Jelas Yusuf berusaha setenang mungkin menanggapi kabar tentang Fahira. Dia tidak akan percaya begitu saja dengan Fina, karena memang selama ini Fina masih menghubungi dan itu semua membuat kehidupan Yusuf belum sepenuhnya menjauh dari kehidupan Fahira.
"Aku tau.. Gimana kehidupan dari Mas Yusuf sekarang. Tapi keadaan yang ada sekarang, juga memaksaku untuk menceritakannya kepada Mas Yusuf.."
Fina memejamkan matanya. Mencoba meraup sebanyak mungkin oksigen untuk menguatkannya kembali.
"Mas Yusuf kira aku bercanda dengan keadaannya Mbak Fahira. Sejahat itukah kami di matamu Mas?? Kalau ngga percaya, kamu bisa temui Mbak Fahira di Rumah Sakit.. Disana, Mas Yusuf akan lihat bagaimana kondisi dari Mbak Fahira yang sebenarnya.."
Fina meninggalkan sepucuk kertas bertuliskan alamat rumah sakit beserta ruangan dimana Fahira di rawat.
Yusuf sendiri masih enggan untuk melihatnya, karena dia takut jika dirinya akan tergoda untuk mengikuti perkataan dari Fina. Dia saja masih belajar untuk meninggalkan masalalunya itu. Akan sia-sia jika dia melihat Fahira lagi. Dia belum yakin akan hatinya, apakah benar-benar telah meninggalkan Fahira.
"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam.."
Fina meninggalkan ruangan dari Yusuf dan otomatis mendapat tatapan tajam dari Hendi. Namun Hendi juga enggan bertanya tentang apa saja yang mereka bicarakan. Karena, apapun yang mereka bicarakan, pasti itu ada kaitannya tentang Fahira. Dia tahu, jika hal sekecil apapun tentang Fahira bisa merunyamkan apa yang telah di jalani Yusuf bersama Anin sekarang. Tapi, disisi lain Hendi juga ingin Yusuf dengan berbesar hati menerima Anin dan mengikhlaskan masalalunya.
Pada akhirnya, Yusuf mengambil kertas yang di tinggalkan Fina. Memang tidak ada kebohongan yang dicari oleh Yusuf ketika Fina berbicara tentang Fahira. Namun haruskah dia mempercayai apa yang di katakan oleh Fina. Haruskah dia kembali membawa luka dari masalalunya itu.
Lalu bagaimana dengan Anin dan anak mereka berdua??
Yusuf tidak ingin menyakiti hati Anin begitu dalam lagi. Sudah cukup untuknya melihat Anin menerima dirinya dengan apa adanya. Dia tidak ingin semua yang mereka berdua usahakan, hanya berakhir dengan saling menyakiti satu sama lain.
***
00.30..
Yusuf baru saja sampai dirumah. Untuk pertama kalinya dia pulang dari kantor pada tengah malam, karena biasanya dia memilih untuk membawa pulang pekerjaan yang bisa dia kerjakan di rumah. Di lihatnya, Anin dengan setia menunggunya sambil memakan camilan tengah malam seperti kebiasaannya.
"Assalamualaikum.."
Yusuf berusaha tersenyum saat Anin dengan pelan-pelan menuruni anak tangga yang ada untuk menghampiri Yusuf.
"Waalaikumsalam, Mas.."
Jawab Anin menyalim dan mencium punggung tangan suaminya yang wajahnya terlihat lelah. Yusuf mengecup kening istrinya itu dengan khitmad sambil memejamkan matanya. Menikmati suasana hening yang mereka ciptakan, tapi terasa hangat untuk mereka berdua.
Anin berusaha mengambil alih tas serta jas yang sudah tersampir begitu saja di lengan Yusuf.
"Ngga usah.. Kamu cukup gendong anak kita seharian aja.."
Anin hanya tersenyum saja sambil mengelus perutnya yang kian hari kian membuncit. Yusuf pun segera menunduk dan mengusap perut Anin dengan sayang sambil mengajaknya berkomunikasi.
"Seharian ini, anak ayah ngapain aja sama Bundanya?? Baik-baik ya Nak sama Bunda.."
"Seharian ini, aku sama Bunda nungguin ayah pulang.."
Ucap Anin menirukan suara anak kecil yang membuat Yusuf terkekeh pelan.
"Mas mau makan dulu atau mandi atau langsung tidur??"
Tanya Anin ketika mereka sudah sampai di kamar.
"Mas mau mandi aja trus langsung tidur.."
"Ohh..Yaudah, kalau gitu aku siapin dulu air panasnya.."
Yusuf langsung mencekal lengan Anin dan dalam hitungan detik Anin sudah berada dalam dekapannya. Anin yang tadinya mematung, akhirnya membalas pelukan dari Yusuf. Di hiruplah aroma greentea yang menguar dari tengkuk leher Anin, membuat Yusuf sedikit tenang dengan pikirannya saat ini.
"Mas ngga papa kan??"
Yusuf merenggangkan pelukannya dan menggelengkan kepalanya saja.
"Mas ngga papa kog. Cuma lagi banyak kerjaan aja di kantor sampai bikin Mas lembur kaya gini.."
Anin pun mencium telapak tangan yang tadinya mengusap pipinya dengan lembut. Dia mencoba menyalurkan energi untuk Yusuf, berharap Yusuf merasa lebih baik.
"Berjanjilah, Dek.. Apapun nanti yang akan terjadi, kamu akan selalu di sampingku.. Apapun itu.."
Anin pun mengangguk saja sambil mengusap pipi tirus milik suaminya itu. Di lihatnya tatapan mata yang selalu dia rindukan itu. Kembali, dia peluk suaminya dengan erat dan merasakan kehangatan yang tidak pernah ada kata bosan di dalamnya.
"Sebisa mungkin aku akan selalu berdiri di sampingmu, karena aku atas izin dari Allah, aku tidak akan pernah lelah untuk mencintaimu, Mas.."
Aku pegang janjimu itu, Dek..
Jika engkau takkan pernah lelah mencintaiku..
Jika engkau akan selalu di sampingku..
Maafkan diri ini yang egois, tapi diri ini juga sedang memperjuangkanmu di tempat yang seharusnya..
***
*Flashback ON
Yusuf dengan ragu mulai berjalan menuju ruangan yang di maksud dari Fina. Berbekal kertas dan keterangan suster yang ditanyainya, Yusuf berhasil menemukan ruangan yang di maksud. Berulang kali, Yusuf ingin mengelak keinginan hatinya untuk melihat Fahira yang memang jelas-jelas masih ada di dalam hatinya. Namun pada nyatanya, hati dan pikirannya tidak bisa bekerjasama dengan baik. Karena sekarang, dia sudah berada di depan ruangan dan melihat bagaimana keadaan dari seseorang yang pernah menggenggam hatinya.
Di lihatnya betul-betul pemandangan yang sudah pasti menyakiti hatinya ada di depan matanya. Wanita yang dulu bahkan sekarang pun masih berada dalam hatinya sedang menderita. Menderita melawan penyakit tanpa adanya semangat hidup.
Yusuf belum siap menerima ini semua. Bagaimana jika hatinya kembali goyah hanya dengan melihat Fahira. Siapakah seseorang yang paling terluka saat itu juga. Bukan dirinya. Bukan Fahira juga. Melainkan Anin yang sudah menawarkan hatinya untuk Yusuf.
"Mas Yusuf.."
Sapa Fina yang keluar dari ruangan Fina setelah melihat wajah Yusuf yang sekilas melihat Fahira dan dirinya ada di ruangan tersebut.
Yusuf hanya menoleh sebentar dan berjalan berbalik arah meninggalkan ruangan tersebut.
"Mas.. Tunggu.."
Fina berusaha menghentikan langkah kaki dari Yusuf, sebelum dia berhasil meraih tangannya.
"Masuklah, Mas.. aku mohon.."
"Dia mungkin ingin hidup, tapi bukan karena inginnya. Melainkan karena dia hidup untuk orang lain, bukan untuknya sendiri.."
"Aku mohon Mas..setidaknya sampe dia benar-benar tersenyum lagi.."
Rasa sakit di kepala tiba-tiba saja Yusuf rasakan. Kepalanya terasa berat, memikirkan semuanya ini. Yusuf pun mengangguk saja dan berjalan menuju ruangan dari Fahira. Bersiap membuka luka yang masih menganga dengan begitu jelasnya. Dan jujur, melihat Fahira dengan kondisi seperti sekarang hanya menambah rasa sakit itu.
"Yusuf.."
Yusuf sedikit gelagapan ketika Fahira memanggil namanya. Persis seperti yang dulu dia dengar dari Fahira. Begitu lembut dan seperti biasa, selalu sukses membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Sedangkan Fahira, tidak menyangka jika seseorang yang telah lama dia tinggalkan itu akan ada dihadapannya lagi.
Setelah itu, tidak ada suara apapun. Hanya Yusuf yang memandangi Fahira yang sekarang hidup dengan berbagai alat yang ada di samping tempat tidurnya sekarang. Apakah benar, jika ini adalah alasan Fahira yang sebenarnya ketika Fahira memutuskan untuk mengakhiri semua ikatan yang ada.
"Untuk apa kamu kesini lagi?? Bukankah kamu sudah menikah?? dan kamu sendiri juga tau jika aku sudah menikah dengan laki-laki lain. Jauh sebelum aku mendengar jika kamu sudah menikah??"
Yusuf mengusap wajahnya kasar. Merasa betapa bodohnya dirinya saat ini.
"Jangan pernah katakan itu lagi. Aku memang sudah menikah. Tapi kamu sendiri?? Aku sudah tahu akan semuanya, Fahira.."
Fahira tersenyum saja mendengar apa yang di ucapkan Yusuf. Lucu rasanya, ketika melihat Yusuf sekarang ada di hadapannya. Serasa semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Pengorbanan akan dirinya yang rela melepas Yusuf, karena dia tidak ingin Yusuf masih tetap di sampingnya.
Fahira tidak pernah takut, jika Yusuf akan meninggalkannya karena penyakitnya. Bisa di pastikan jika Yusuf akan selalu di sampingnya, menerima dirinya dengan apa adanya. Memberikan cinta yang begitu tulus sampai mungkin rasa sakit akan penyakitnya itu bisa hilang begitu saja.
Fahira tidak bisa seegois itu. Sebagai perempuan yang mencintai seorang laki-laki, pastilah dia ingin memberikan yang terbaik untuk seseorang yang di cintainya itu. Apapun itu. Mungkin salah satunya dengan meninggalkan Yusuf. Namun pada akhirnya, cintanya masih tetap sama seperti yang dulu. Di tengah lelah tubuhnya melawan penyakit yang menggerogoti dirinya. Pada nyatanya, dia tidak pernah lelah untuk mencintai seorang Yusuf.
Tapi keadaannya sekarang, sudah sedikit berubah. Kondisinya tidak lagi sama. Pria yang begitu dicintainya itu, sudah memilih jalan baru bersama wanita lain. Hal yang begitu Fahira syukuri, karena pengorbanannya selama ini tidak akan sia-sia.
"Sampai kapan kamu akan terus menyembunyikan semua ini dariku?? apakah aku benar-benar tidak berarti untukmu??"
Kata Yusuf memecah keheningan yang ada. Sekarang pun, dia sudah tidak peduli dengan berbagai macam pikiran yang terlintas di pikirannya. Dia mencoba untuk menghadapinya. Mencoba menghadapi masalalu yang memang membuat rasa bahagia dan sedih dalam waktu bersamaan.
*Flashback OFF
***