***
*Flashback ON
"Tapi untuk sekarang Lo juga belum tau kan, gimana perasaan Anin ke Lo?? atau lebih tepatnya Lo belum sadar dari sejak kapan Anin mencintai seorang Yusuf??"
Robbi dengan gampangnya dapat menghentikan langkah kaki Yusuf yang baru beberapa langkah akan meninggalkannya. Dia tahu dengan jelas bagaimana ekspresi dari laki-laki yang begitu di cintai oleh wanita pujaannya itu.
Yusuf tidak ingin berlama-lama dengan Robbi. Semuanya bisa menjadi tidak terkendali saat emosi yang sebisa mungkin di tahannya, malah keluar tanpa penghalang apapun. Sekalipun Yusuf sudah merapalkan berkali-kali kata "Astagfirullah" dalam hatinya.
"Lo belum tau kan Anin itu udah mencintai seorang Yusuf Dhyaksa sejak dulu?? Sejak dia kenal sama Lo.. dan itulah alasan dia bisa menerima tawaran gila Lo.. Tawaran untuk Lo nikahin.."
Honestly, Yusuf sudah mengetahui hal ini dari siapapun yang mengenal dirinya dan Anin sejak dulu. Namun, Yusuf terlalu menutup dirinya akan fakta itu. Menerima fakta itu berarti menerima keadaan jika saat ini dirinya membuat Anin untuk menunggunya lagi. Menyakiti Anin dengan cara lain.
"Tapi Lo terlalu menutup mata akan semua kenyataan itu. Karena Lo masih terlalu egois. Lo terlalu naif, jika kalian baru belajar untuk mencintai satu sama lain dari awal. Jika Lo pikir lagi, perempuan mana yang akan menerima calon suaminya masih memikirkan masalalunya saat dia jelas-jelas akan menikahinya?? perempuan mana yang mau untuk belajar saling mencintai satu sama lain saat mereka menikah nanti?? perempuan mana yang tidak pernah mempertanyakan cinta dari suaminya saat mereka sudah menikah??"
Ucap Robbi dengan kesal.
"Anin. Anin adalah perempuan yang menerima Lo dan masalalu Lo yang masih tersimpan rapi di hati Lo. Anin yang mau mengupayakan dirinya kembali di titik nol untuk menemani suaminya untuk belajar mencintainya. Anin, dia yang ngga pernah menanyakan cinta dari suaminya, karena baginya cukup seorang Yusuf yang di cintainya itu menjadi suaminya. Dia udah ngga mau terlalu mengharapkan hal lebih. Mengharapkan hal lebih dari suaminya, hanya membuatnya bermimpi tanpa dia tau kapan mimpi itu menjadi nyata atau justru mimpi itu malah menyakitkannya saat dia sadar bahwa itu hanya sekedar mimpinya.."
Lanjut Robbi yang juga menahan amarahnya. Dia memang sudah mengetahui jika hari ini, orang yang akan di temuinya bukanlah seorang yang teramat dia cintai, melainkan seseorang yang telah di cintai oleh wanita yang ada di dalam hatinya. Tapi dia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa keputusannya saat ini adalah yang terbaik untuk Anin. Setidaknya dia mengikhlaskan Anin bersama seseorang yang memang menginginkan Anin dan tentu saja mencintai Anin.
Mungkin keputusan Robbi saat ini adalah yang tepat. Dia sadar, jika lelaki yang sudah menyandang title 'Suaminya Anin' itu memang mencintai Anin dan terlihat jelas jika dia memang membutuhkan Anin melebihi apapun. Suatu rasa yang mungkin sama dengan dirinya, tapi dirinya juga harus mengalah jika dirinya memang ingin melihat Anin bahagia bersama dengan orang yang di cintainya dengan tulus. Robbi tahu, jika Anin memang mencintai Yusuf, apapun itu. Robbi tahu, jika Anin menerima keadaan Yusuf yang masih tenggelam bersama masalalunya. Terlalu menyakitkan untuk Robbi merelakan Anin bersama Yusuf. Tapi jauh lebih menyakitkan lagi, jika dia melihat Anin tidak bersama dengan Yusuf.
"Lo tahu, kenapa sampai sekarang Lo lebih memilih untuk menyimpan rasa Lo itu buat Lo sendiri??"
Tidak ada respon sama sekali dari Yusuf. Banyak hal yang sekarang di dalam pikirannya.
"Karena Lo belum siap untuk kehilangan Anin saat Lo sadar kalau Lo cinta sama dia. Lo lebih memilih menyimpannya sendiri, karena menurut Lo, itu lebih mudah bagi kalian untuk pergi jika suatu hari nanti kalian berdua saling menyakiti satu sama lain. Lebih mudah untuk menghentikan semua yang telah kalian mulai, karena ngga ada cinta antara kalian. Tapi sayangnya itu hanya dari sudut pandang Lo, bukan dari apa yang di rasakan Anin.."
"Anin.. Anin bisa melakukan semua, termasuk menghandle rasa cintanya sendiri. Tapi saat melakukan itu semua, dia harus merasakan rasa sakit itu juga.. Dia punya Lo di sampingnya sekarang, tapi pada kenyataannya dia masih harus berdiri sendiri di tambah dengan adanya Lo yang selalu bersandar akan hadirnya Anin disisi Lo.."
Ucap Robbi final, karena memang itulah kenyataannya. Yusuf yang selalu berpikir, jika suatu saat Anin dan dirinya memilih untuk pergi meninggalkan diri mereka masing-masing, maka itu jauh lebih mudah jika tidak memiliki rasa cinta itu, karena Yusuf memang tidak ingin mencintai siapapun lagi.
*Flashback OFF
***
Seminggu ini, Anin harus merelakan dirinya bertahan dengan rasa rindu kepada suaminya. Dia tahu jika ada masalah antara mereka, tapi hanya Yusuf saja yang mengetahuinya. Karena seperti biasa, Yusuf akan berusaha menyelesaikannya sendiri dan Anin harus menunggu lagi. Anin merasa bahwa seharusnya dia juga tahu dengan apa yang terjadi. Sesakit apapun itu, dia lebih menerima hal itu daripada dia merasakan keadaan seperti sekarang dimana suaminya hilang tanpa kabar yang jelas.
Anindiya A. Kamil : Assalamualaikum, Mas.. Miss you, more more more and more..
Anindiya A. Kamil : Jangan lupa makan ya, Mas.. jangan lupa tidur juga..
Anindiya A. Kamil : Kamu ngga kangen sama kita, Mas??
Anindiya A. Kamil : Kamu ngga pengen pulang, Mas?? Kamu punya gebetan di Malang??
Anindiya A. Kamil : My love, what happens with you?? You dont need me??
Anindiya A. Kamil : Maafkan aku Mas jika aku punya salah kepadamu.. Aku bisa bertahan untuk tidak melihatmu, tapi aku tidak bisa bertahan lagi jika kamu mendiamkanku seperti ini. Katakan Mas.. Apa yang kamu inginkan dariku?? Aku tidak akan pernah tahu dengan apa yang kamu harapkan dariku jika kamu bertahan untuk mendiamkanku seperti ini, memilih untuk tidak mengatakannya kepadaku.. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah tahu dengan apa yang ada di dalam pikiranmu, Mas.. Ketahuilah Mas bahwa diriku ini hanya istri biasamu Mas. Yang ngga akan pernah tahu apa yang kamu pikirkan, jika bukan dirimu sendiri yang mengatakannya padaku..
Anindiya A. Kamil : Miss you, Mas..
Anindiya A. Kamil : Need you, Mas..
Anindiya A. Kamil : Love you, Mas..
Segala macam chat, Anin coba untuk mencoba menghubungi suaminya itu. Dari yang bernada bercanda, serius sampai yang terakhir hanya kata 'Love you, Mas..".
Anin telah mengusahakannya. Hanya inilah yang mampu dia lakukan sekarang. Dia juga tidak bisa memaksakan Yusuf untuk kembali secepat yang dia inginkan. Dia ingin Yusuf kembali padanya saat suaminya itu memang siap untuk kembali kepadanya. Anin masih ingin bersama Yusuf. Sampai kapanpun itu dan demi apapun itu.
***
Sebisa mungkin Yusuf mengendalikan apa yang di pikirannya sekarang. Tapi dia masih enggan untuk mengakui perasaannya kepada Anin. Baginya, terlalu menyakitkan untuk Anin jika perasaan itu hanyalah semu. Dia tidak ingin menyakiti Anin dengan hal itu. Tapi, tanpa dia melakukan hal itu juga, dia sudah menyakiti Anin begitu dalam, seperti yang di lakukannya sekarang. Membuat Anin kembali menunggunya, menarik ulur kembali akan cinta Anin kepadanya.
Yusuf terlalu menutup mata, jika Anin akan bahagia dengan status yang ada di antara mereka. Sudah cukup untuk mereka mengetahui satu sama lain, jika mereka berdua akan belajar untuk mencintai, menerima satu sama lain. Tapi nyatanya, itu hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Anin sudah terlalu lama memendam perasaannya dalam diam tanpa mampu dia ungkapkan. Yusuf pun tahu, jika Anin sering mengucapkan kata bahwa Anin begitu mencintainya. Namun sampai sekarang pun, Yusuf belum mampu untuk membalasnya. Dia masih terlalu takut dengan perasaannya sendiri.
Membaca chat dari Anin, membuatnya semakin tidak yakin dengan hatinya sendiri. Tapi apa yang di katakan oleh Didit juga tidak bisa dia hindari. Dia tidak bisa berlama-lama bertahan dalam keadaan yang seperti ini. Yang pasti, Anin butuh kejelasan sekarang. Jika memang hati belum bisa menentukan, setidaknya logikalah yang masih bisa Yusuf gunakan. Setidaknya untuk tidak menyakiti Anin semakin jauh. Membawa hubungan mereka semakin jelas, bukannya membuat hubungan mereka kedalam grey area yang tidak tahu kemana arahnya.
Dan sekarang, di tambah mereka berdua akan mempunyai seorang anak di tengah-tengah mereka yang menandakan bahwa mereka telah melangkah terlalu jauh tanpa kendali. Yusuf tidak ingin anaknya nanti mempertanyakan keadaan keluarganya yang tidak seperti keluarga lain yang bisa mencintai satu sama lain tanpa adanya batasan. Yusuf tidak ingin menyakiti anaknya, seperti dirinya yang telah menyakiti Anin.
Mengapa di saat dirinya harusnya berada di samping Anin, menemaninya untuk berjuang bersama, tapi pada nyatanya, dia sibuk dengan hatinya sendiri??
Mengapa, di saat dirinya dan Anin telah di berikan anugerah yang selalu mereka ucapkan di setiap doa malah dia menutup dirinya akan masalah ini??
Mengapa dirinya terlalu bingung di saat dia dengan begitu jelasnya membutuhkan Anin di sampingnya sekarang??
Apa yang perlu dia harapkan kembali untuk membuatnya lebih baik lagi??
***
Yusuf masih setia dengan waktu sendirinya. Masih menikmati waktunya sambil membaca kembali chat dari Anin yang tidak pernah lelah menanyakan keadaannya. Sedangkan Yusuf sendiri dengan brengseknya tidak pernah berinisiatif untuk menanyakan keadaan istrinya terlebih kondisi anak mereka saat ini. Beberapa hari ini dia hanya mampu melihat Anin dari kejauhan saat Anin kebetulan sedang berada di atap rumah untuk merawat tanaman yang sengaja dia tanam di ada di atap rumah mereka. Dia masih enggan untuk pulang dan menemui Anin. Dia masih membiarkan semuanya semuanya menjadi abu-abu untuk mereka berdua.
Brengsek..
Yusuf memang sudah terlalu brengsek sekarang untuk di akui sebagai laki-laki. Sebetulnya, apa yang perlu dia khawatirkan jika memang istrinya bisa mencintainya lebih dulu daripada dirinya, karena dengan begitu dia akan dengan sungguh-sungguh mengusahakan hatinya untuk mencintai Anin seperti Anin yang mencintainya dengan tulus.
Tapi hatinya terlalu sulit untuk melakukan hal itu. Bahkan logikanya pun tidak mau di ajak kerjasama olehnya untuk berusaha menerima cinta dari Anin.
"Mas Yusuf??"
Sapa Arwi sambil menepuk punggung Yusuf pelan, karena dia memang tidak terlalu yakin jika orang yang di lihatnya dari belakang sekarang adalah kakak iparnya.
"Arwi.."
Yusuf menoleh ke sumber suara dan dia sudah melihat adik iparnya ada di sampingnya sekarang.
"Mas ngapain disini?? Udah pulang dari Malang??"
Arwi segera menarik tempat duduk yang ada di sampingnya dan dia juga memang sebatas mengetahui jika Yusuf berada di Malang karena urusan pekerjaan. Jadilah dia disini, di tempat angkringan sambil menunggu pesanan martabak manis untuk Anin di tengah malam seperti sekarang.
Yeps, apa jadinya Anin sekarang di tengah malam pergi untuk sebatas mencari martabak yang begitu dia inginkan, jika Arwi tidak berada di rumah Anin untuk menemaninya. Tapi yang pasti ada yang aneh dari kakak iparnya itu. Terasa Yusuf sedang menghidari suatu hal. Arwi bisa merasakan hal itu. Bukan karena dirinya akan menjadi seorang Psikiater, namun orang normal pun pasti bisa merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan sekarang.
"Lo sendiri ngapain malem-malem masih keluyuran??"
Yusuf memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Jawaban dari pertanyaan Arwi bisa menjadi hal yang panjang, jika Arwi menemukan hal yang ganjil dari jawaban yang diberikan Yusuf kepada adik iparnya itu.
"Semua ini gegara Lo tau ngga, Mas??"
Yusuf menyesap kopi hitam yang ada di hadapannya sekarang. Berusaha untuk menampilkan ekspresi wajah setenang mungkin.
"Well, karena Lo lagi sibuk sama kerjaan. Jadilah gue disini. Beliin martabak buat istri Lo, Mas. Buat Mbak Anin yang kepengen martabak manis di tengah malem kaya gini. Untung gue lagi di rumah, jadi gue bisa beliin dia. Nah, kalau ngga ada gue?? jadinya ya bakal kaya tadi. Dia nekat cari sendiri kali.."
Ucap Arwi dengan gamblang. Dia ingin tahu bagaimana ekspresi selanjutnya dari Yusuf. Tapi pada kenyataannya, sikap tenang yang di tunjukkan Yusuf malah memperkuat rasanya jika memang terjadi sesuatu yang tidak dia ketahui.
"Thanks ya, adik ipar. Selama gue ngga ada, Lo dengan baik hati mau jadi pengganti gue. Gue masih sibuk dengan kerjaan, jadi gue belum sempet pulang pas gue sampe di Solo.."
Akhirnya, Yusuf mengeluarkan suaranya sambil menatap Arwi, jika memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Anin sekalipun rasanya akan percuma kalau orang itu adalah Arwi.
Sedangkan Arwi. Jangan di tanya lagi. Dia bisa saja dengan mudah melempar tinjuannya itu, termasuk kakak iparnya itu. Lagipula, satu tinjuan saja tidak mungkin langsung mengotori tangannya yang memang sudah lama terbebas dengan hal seperti itu.
"Lo beneran serius Mas ngomong kaya gini ke gue??"
Yusuf hanya sekedar menatap dengan apa yang di lihatnya sekadar. Lalu lalang kendaraan yang masih melintas di tengah malam kota Solo dengan tatapan kosong. Pikirannya terlalu bebas menerawang jauh dan membuatnya tidak kunjung pulang.
"Jangan buat gue nyesel karena gue udah relain Mbak Anin buat Lo nikahin, Mas.."
"Lo pasti masih ingat kan saat Lo dateng pertama kali buat nglamar Mbak Anin yang di tolak sama Bunda?? Gue bilang waktu itu, kalau Lo harus berjuang lagi, karena Mbak Anin emang pantes buat Lo perjuangin.."
Lanjut Arwi yang sejujurnya Yusuf sendiri sudah tahu bagaimana ujung pembicaraan ini.
"Dia udah terlalu mempercayakan hatinya hanya untuk Lo seorang, Mas.. bahkan sampai saat itu dia memilih untuk menikmati waktu sendirinya, karena dia belum bisa berpaling ke siapapun itu orangnya.. Dia tidak ingin menyakiti laki-laki lain untuk menunggu cinta darinya yang masih buat Lo.. Bagi Mbak Anin, cukup dia yang merasakan ini semua.. Bukan dengan orang lain yang ikut merasakannya juga.."
Itulah yang di rasakan Yusuf juga saat ini. Dia tidak ingin menyakiti Anin, jika dia masih tetap nekat memberikan hatinya yang masih belum bisa berpaling dari masalalunya. Tapi mengapa dia juga berani untuk menikahi Anin hanya untuk keegoisannya saja.
"Mas Arwi, martabaknya udah.."
Arwi pun segera berdiri dari posisi duduknya.
"Inget mas.. kalau suatu hari nanti, semuanya bisa berpaling kalau Lo juga ngga segera untuk melihat apa yang ada di depan Lo, karena Lo terlalu sibuk membangun masalalu Lo itu Mas.. Kalau bukan Lo yang membiarkan masalalu itu terkikis dari hati Lo, semua perjuangannya Mbak Anin mungkin akan sia-sia aja.. Assalamualaikum.."
Ucap Arwi sebelum dia pergi meninggalkan Yusuf.
"Waalaikumsalam.."
Sedangkan Yusuf sendiri hanya bisa menghela nafas dengan kasar. Mungkin memang lebih baik untuknya jika semua berpaling darinya.
***
Yusuf melihat Anin yang tengah tertidur pulas di sofa ruang keluarga dengan laptop yang masih menyala memperlihatkan serial TV Supernatural yang menjadi salah satu yang terfavorit bagi Anin. Yusuf segera men-shutdown laptop tersebut. Di tatapnya wajah Anin yang masih cantik meskipun sekarang terlihat lebih pucat dari biasanya. Yusuf menebak bahwa ini efek dari morning sickness yang di alami oleh Anin seperti yang pernah di ceritakan oleh Mei. Hanya rasa bersalah kepada Anin yang kini menghinggapi apapun yang ada di dalam pikiran dan hatinya sekarang. Di tambah dengan pakaian yang Anin kenakan sekarang, itu adalah semua adalah bajunya. Mulai kaos panjang warna abu-abu sampai celana panjang dengan warna yang sama dengan kaosnya. Membuat Yusuf bertambah sakit. Apakah sebegitu cintanya kah Anin kepadanya??
Ini bukanlah mimpi.
Ini adalah nyatanya.
Yusuf memutuskan untuk pulang setelah 2 minggu lebih dia meninggalkan Anin. Di kecupnya kening milik istrinya itu dengan sayang. Sedikit senyum terlukis di wajah Yusuf, karena Anin tetap tidak terbangun meskipun dia menggeliat kecil merasakan sesuatu yang pasti akibat kecupan yang mendarat di keningnya tersebut.
Yusuf segera menggendong Anin ala bridal style menuju kamar mereka. Badannya Anin malah terasa ringan bagi Yusuf sekarang di banding saat Yusuf menggendong Anin saat Anin pingsan di hotel waktu itu. Di tidurkannya dengan hati-hati, agar Anin tidak terbangun. Di elusnya dengan lembut pipi Anin menggunakan ibu jarinya. Sudah lama sekali dia tidak melihat wajah istrinya itu secara langsung. Di lihatnya Anin belum memakai kaos kaki sebagai habitnya sebelum tidur, membuat Yusuf beranjak dari posisinya sekarang untuk mengambil kaos kaki.
"Mas mau kemana??"
Ucap Anin saat Yusuf baru selangkah membelakanginya.
"Mas mau ambil kaos kaki dulu buat kamu. Pasti nanti kamu tidurnya ngga nyaman kalau ngga pake kaos kaki.."
Anin membiarkan Yusuf melakukan apa yang di inginkan suaminya itu sekarang. Ada rasa lega ketika dia melihat suaminya itu ada di hadapannya sekarang.
Segera Yusuf mengenakan kaos kaki untuk Anin setelah menemukannya. Anin hanya menatap suaminya itu seakan dia mungkin bisa saja tidak bisa melihat Yusuf kembali.
Anin langsung menepuk sisi sebelah kirinya agar Yusuf bergeser ke posisi tersebut. Yusuf melakukannya. Dia mengusap pipi Anin kembali dengan sayang. Anin menyentuh tangan besar milik suaminya itu, seperti dia tidak akan pernah menggenggamnya lagi.
"Jangan lakukan ini lagi, Mas.."
Hanya itu yang mampu Anin ucapkan sebelum airmatanya berhasil mengalir di kedua pipinya. Yusuf pun menggelengkan kepalanya. Di usapnya airmata itu dengan senyumnya yang membuat Anin juga ikut tersenyum lega. Setidaknya dia masih di beri waktu kembali bersama dengan Yusuf.
"Always be there.."
Ucap Anin sekali lagi.
Yusuf langsung mencium kening Anin dengan khitmad. Kemudian, turun ke bibir Anin yang sedikit kering. Berawal dari kecupan yang lama seakan meyakinkan Anin jika Yusuf juga merasakan hal yang sama seperti yang Anin rasakan. Sampai Yusuf sedikit memberikan lumatan kecil dan begitu pelan. Tapi di saat itulah, Anin merasakan airmata yang menetes. Bukan dari matanya, tapi dari mata suaminya. Dia tidak mampu untuk membuka matanya, jika seperti ini. Dia hanya berusaha menerima setiap sentuhan yang di berikan oleh Yusuf.
"Maafin Mas, Dek.."
Yusuf pun mengakhirnya dengan sebuah pelukan hangat ke istrinya itu.
Anin hanya bisa mengeratkan pelukannya sampai dia bisa merasakan airmata yang telah membasahi bahunya itu. Sungguh, Anin tidak tahu dengan apa yang telah terjadi dengan Yusuf selama mereka berpisah tanpa ada komunikasi yang jelas seperti kemarin. Bahkan setelah bertemu dengan Yusuf saja, dirinya juga belum kunjung mengerti dengan apa yang terjadi.
***
Anin-Yusuf sekarang memilih untuk duduk di balkon yang di kamar mereka sambil menikmati gemerlap cahaya bintang yang ada di langit hitam Kota Solo.
Tidak ada pembicaraan sedikitpun disana. Anin hanya memberikan waktu kepada Yusuf sampai Yusuf mau menceritakan apa yang telah terjadi kepadanya. Yusuf pun juga masih menikmati suasana tersebut di temani dengan secangkir coklat panas buatan Anin yang pasti untuk menenangkan hatinya sekarang.
"Maafin Mas, Dek.."
Ucap Yusuf sambil menatap cangkir yang ada di genggamannya sekarang.
"Mas minta maaf bagian mana?? Bagian Mas yang tiba-tiba ninggalin aku ke Malang dengan komunikasi yang absurd?? atau minta maaf karena baru bisa pulang hari ini??"
Timpal Anin yang membuat Yusuf tersenyum. Dia tidak tahu haruskah dia bersyukur saat ini, karena Anin dengan begitu mudahnya seperti melupakan apa yang terjadi. Atau dirinya harus bersiap dengan sikap dari Anin saat Anin tahu dengan apa yang akan dia bicarakan sekarang.
Setelah itu, tidak ada percakapan kembali. Hening kembali menghinggapi sampai Anin menyandarkan kepalanya ke dada bidang milik suaminya yang terbalut dengan kemeja hitam.
"Sejak kapan Dek kamu sayang sama Mas?? cinta sama Mas?? cinta sama aku, Dek??"
Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari tempat persembunyian yang ada di pikirannya Yusuf membuat Anin tersenyum tanpa dia berusaha untuk menggeser posisinya sedikitpun.
"Mas Yusuf inget pas Mas tanya kenapa aku terima lamaran Mas untuk nikah??"
Yusuf lebih memilih untuk menunggu kelanjutan jawaban dari Anin atas pertanyaannya.
"Aku masih inget dengan jawabanku, Mas. Aku jawab, karena 'Mas ganteng, kaya, pinter, dari keluarga baik-baik. Kenapa harus nolak rezeki kaya gitu??' Itukan jawaban yang dulu?? Tapi Mas tetep kekeuh kalau bukan itu jawabannya dan kemudian aku jawab kalau sesudah kita menikah, aku akan menjawabnya dengan jujur. Tapi sampai sekarang pun belum aku jawab juga kan Mas??"
Anin memeluk Yusuf dengan erat, karena dia sendiri sudah merasa kedinginan berada di luar.
"Itu karena aku cinta sama kamu, Mas.. Mungkin kalau rem dalam hariku ini tidak berfungsi, bisa saja aku bisa mengontrol apa yang aku rasain ke kamu. Tapi karena sekarang, kamu suamiku, untuk apa aku mengontrol rasa ini, Mas?? Toh, rasa ini juga halal untukmu Mas.. Allah sudah memberi jalan untuk rasaku ini lewat pernikahan kita, Mas.."
"Kenapa kamu ngga bilang dari dulu, Dek??"
"Apakah itu penting Mas mengetahuinya dari kemarin atau sekarang?? Lagipula, Mas yang menginginkan aku untuk mengajari Mas bagaimana caranya mencintaiku. Begitupala sebaliknya. Jadi siapapun yang merasakan itu di awal, itu bukan hal yang penting lagi Mas.."
Ucap Anin sambil menyisir ke samping rambut suaminya itu.
Sedangkan Yusuf yang mendapat jawaban itu hanya bisa mengusap wajah Anin dengan sayang sambil tersenyum. Mengapa dia dengan bodohnya membiarkan dirinya melarikan diri dari hatinya sendiri yang begitu di tunggu oleh istrinya tersebut.
"Terimakasih karena kamu mau dengan ikhlas mencintai Mas sampai saat ini.."
"Aku istrimu, Mas. Sudah selayaknya aku memberikan apapun yang aku miliki, termasuk cintaku. Kamu surgaku. Ladang pahalaku. Baktiku ada untukmu Mas, bukan untuk orang lain. Sudah sewajarnya aku bersikap seperti sekarang.."
"Terimakasih untuk semuanya, Dek.."
Anin membalas senyuman dari Yusuf dengan tidak kalah lembutnya senyumnya itu.
"Mas boleh minta sesuatu lagi dari kamu??"
Anin hanya mengangguk mantap sambil tersenyum memandangi Yusuf dengan lekat.
"Kamu siap kalau Mas cerita tentang masalalu Mas??"
Yusuf mengatakannya dengan hati-hati meminta persetujuan dari istrinya itu. Kali ini, dia ingin terbuka dengan apa yang ada di dalam hatinya. Dia ingin membiarkan Anin untuk menolongnya sebelum dia benar-benar tenggelam bersama masalalu yang belum bisa keluar juga.
Awalnya, Anin terperangah dengan apa yang baru saja di dengarnya tadi. Tapi, sebisa mungkin dia mengembalikan dirinya pada mode normal. Sudah lama dia menunggu saat ini. Saat Yusuf dengan rela hati membiarkan Anin untuk melihat secuil saja dari apa yang ada di dalam hati seorang suaminya itu. Sekalipun dengan itu, dia harus mempersiapkan hatinya juga untuk sakit.
***