Chereads / NIKAH (Anin x Yusuf) / Chapter 14 - Part 14 - PROBLEM

Chapter 14 - Part 14 - PROBLEM

***

Yusuf tengah menunggu Anin yang tengah mempersiapkan keperluan mereka selama di Jakarta. Yah, mereka akan ke Jakarta untuk menghadiri acara yang di adakan oleh Dhyaksa Grup. Otomatis, Yusuf juga termasuk salah satu anggota yang mengadakan acara tersebut. Terlebih dirinya harus sebisa mungkin memajukan anak perusahaan di Solo yang sekarang ini di bawah wewenangnya.

"Udah siap, Dek??"

Kata Yusuf yang melihat Anin telah selesai mempacking semua persiapan untuk mereka berdua.

"Beneran cuma 3 hari kan, Mas??"

"Emang kenapa kalau lebih dari 3 hari??"

Yusuf menarik pinggang istrinya untuk berjalan di sampingnya sambil menenteng koper kecil.

"Soalnya, Aku cuma nyiapin baju pas buat 3 hari aja... Ngga lebih..."

"Gampang, nanti kalau ngga ada baju tinggal beli. Kalau ngga ya pas tidur ngga usah pake baju, biar irit..."

Goda Yusuf yang sudah mendapat kilatan mata dari Anin.

"Mas... Ihhh.. kumat deh..."

"Tapi suka kan??"

Tangan kanan Yusuf sudah beralih menggenggam tangan Anin sambil tersenyum. Sedangkan Anin juga hanya bisa tersenyum mendengar kelakuan suaminya yang mulai normal kembali. Semenjak kejadian SMS dan telepon dari stalker yang entah apa motivasinya mengganggu Anin, Yusuf memang sedikit menjadi pendiam dan jujur Anin sedikit kelabakan mendapat perlakuan dingin dari Yusuf.

Di dalam pesawat Anin sedikit merasa pusing, karena dirinya memang tidak terlalu menyukai perjalanan dengan menggunakan pesawat. Yusuf yang melihat ekspresi cemas dari Anin segera menggenggam tangan Anin untuk memberikan ketenangan.

"Isshhh, baru aja naik pesawat udah takut gitu..."

Goda Yusuf saat mereka menaiki mobil yang sudah di siapkan oleh perusahaan saat dirinya dan Anin sampai di Jakarta.

"Bukannya takut Mas, tapi deg-degan. Getarannya itu loh..."

Jawab Anin yang membayangkan kejadian di pesawat saat Take-Off ataupun saat Landing yang benar-benar membuat Anin seperti ibu-ibu melahirkan.

Yusuf hanya terkekeh mendengar pernyataan dari Anin. Bisa-bisanya istrinya begitu takut dengan hal itu. Tidak seperti Anin yang dia kenal selama ini. Yusuf pun segera melajukan mobilnya menuju ke hotel tempat istirahat sekaligus tempat acaranya berlangsung.

***

Yusuf masih dengan manja meminta tolong Anin untuk menyimpulkan dasi seperti biasanya yang menurutnya dapat menjadi penambah kadar ketampanannya yang sudah mengenakan tuxedo. Yusuf sesekali menjaili Anin dengan menowel pipi Anin sampai menarik hidung Anin yang membuat sang empunya hanya bisa menghela nafas pelan. Percuma jika Anin mengeluarkan kata protes untuk suami jahilnya itu. Itu semua hanya akan menambah rasa jahil dari Yusuf.

"Dah siap..."

Kata Anin sembari menepuk-nepuk dada Yusuf merapikan tuxedo yang di kenakan Yusuf.

"Kamu malem ini cantik banget sih?? kita ngga usah dateng aja ya??"

Rengek Yusuf tiba-tiba membuat Anin bersemu sekaligus penasaran dengan apa yang baru saja Yusuf katakan.

"Eman banget kan kalau pemandangan satu-satunya hanya buat Mas harus Mas bagi buat orang lain??"

Seketika itu juga Anin mencubit pipi Yusuf dengan gemas. Tidak cukupkah Yusuf menjahilinya sepanjang hari yang membuat dirinya kesal bercampur senang karena kelakuan Yusuf terhadap dirinya.

"Dan Anin juga harus sedekah kegantengan Mas Yusuf, karena pasti para kolega perempuan bakal nglirik Mas..."

Timpal Anin yang membuat Yusuf terkekeh saat mendengarnya.

"Dandananku ngga menor kan, Mas??"

Kata Anin sambil melihat cermin yang ada di meja rias sambil melirik Yusuf yang sudah di sampingnya. Yusuf pun sambil mengusap dagunya mencari sesuatu yang kurang.

"Kenapa ngga coba pake ini??"

Yusuf memberikan salah satu lipstick yang berwarna merah. Anin hanya menatap Yusuf bingung, tadi suaminya bilang kalau dirinya tidak rela harus berbagi pandang dari orang lain yang menatapnya. Tapi Anin juga menuruti kehendak Yusuf, dia segera menyapukan lipstick warna merah ke bibirnya. Yusuf melihat dengan seksama dan sedikit terkejut dengan tampilan Anin yang sekarang. Jika biasanya Anin tampil anggun dengan make-up yang natural, tapi sekarang meskipun make-upnya masih seperti hari-hari biasanya, namun warna lipstick tersebut sukses membuat tampilan Anin berbeda. Dia tampak lebih sexy di mata Yusuf.

"Mas.. Ahhh... jangan di perhatiin gitu dong... kapan juga kita bakal berangkat kalau kaya gini terus??"

Anin merasa bahwa Yusuf terus memandangnya bahkan tanpa berkedip sebelum Anin melambai-lambaikan tangannya di depan wajah suaminya.

"Kalau kaya gini Mas beneran ngga rela kalau kamu ikut acaranya.."

Kata Yusuf yang sudah menarik pinggang Anin hingga tidak ada jarak antara keduanya dan dalam detik itu juga, Yusuf sudah mencium bibir Anin dengan lembut dan lama.

"Tuh kan lipstick nya malah jadi pindah..."

celetuk Anin sambil mengusap bibir Yusuf yang terkena lipsticknya. Sedangkan Yusuf juga membenahi lipstick Anin yang sedikit keluar jalur karena ulahnya.

"Lain kali isengnya jangan keterlaluan ya..."

Anin akhirnya segera menarik Yusuf yang senantiasa memandangi dirinya. Bahkan sampai di tempat acaranya pun, Yusuf masih tetap ingin berdekatan dengan Anin di tengah pembicaraannya antara kolega.

"Umi... Abi..."

Anin segera mencium punggung tangan kedua orangtua Yusuf yang sempat dia temui setelah acara pernikahan mereka diikuti Yusuf yang sadar dengan kehadiran dari orangtuanya.

"Dasar pengantin baru. Sekarang aja Umi di lupain..."

Rajuk Umi setelah melihat anaknya yang nampak bahagia.

"Salahin menantunya Umi ini.. karena dia yang bikin Yusuf betah di rumah..."

Jawab Yusuf asal sambil mengedipkan matanya ke Anin yang pasti membuat Anin merasa canggung dengan kedua mertuanya.

"Kamu beneran buat anak Abi yang manja ini jadi bahagia banget ya sampai badannya berisi gitu..."

celetuk Abi yang melihat anak laki-lakinya sedikit berisi setelah menikah dan hanya mendapat anggukan dari Anin.

"Lagian dia juga masih manja kali, Abi..."

Anin dengan merasa menang bisa mengadukan kelakuan Yusuf kepada Ayah mertuanya yang sukses membuat Abi dan Umi tertawa bersama.

"Dasar kamu ini nih..."

Umi menjewer telinga Yusuf pelan. Namun bukan Yusuf, jika dia tidak merengek pura-pura kesakitan dan mengadukannya kepada Anin atas perlakuan Uminya. Dia memang suka sekali bermanja ria dengan Anin dan Anin dengan mudahnya juga memanjakan Yusuf.

"Kalau kaya gini, besok mbak Anin bakal repot nih kalau udah punya anak..."

Entah darimana asalnya, Ifa sudah menghampiri mereka sambil menggendong 'Davi' yang masih berumur 6 bulan.

"Iya nih... berasa udah punya anak beneran..."

Tambah Anin yang sukses membuat mereka semua tertawa sekali lagi. Tanpa mereka sadari, acara yang memang sebenarnya untuk kepentingan perusahaan bisa menjadi acara keluarga untuk keluarga besar Anata Dhyaksa.

"Mbak... bisa titip Davi bentar ngga?? mau pipis.."

"Lama juga ngga papa kog..."

Balas Anin dengan senyumnya sembari menerima Davi kedalam gendongannya. Sedangkan Yusuf dan keluarganya yang lain sibuk menjamu para tamu yang hadir dalam acara ini. Acara yang menurut sepengetahuan Anin adalah acara untuk dibukanya beberapa anak perusahaan dari Dhyaksa Grup sekaligus merayakan keberhasilan anak perusahaan di Solo yang pastinya di pimpin sama Yusuf.

"Davi sayang... kog belum bobok sih??"

Anin mengajak Davi komunikasi, karena sekarang ini dia benar-benar di tinggal Yusuf sendirian yang sibuk menyapa para kolega perusahaan membuat Anin merasa mati bosan. Untung beberapa orang yang menghadiri acara ini, ada yang mengenal Anin. Sekalipun hanya saling ber-say hello, setidaknya Anin masih dianggap manusia yang hadir dan bukanlah makhluk invisible yang tidak terlihat keberadaannya.

Hanya senyum dari Davi saja yang Anin terima yang membuat Anin memilih untuk mengepuk-ngepuk bokong Davi pelan agar tertidur. Dan tak butuh waktu lama, Davi sudah tertidur dalam gendongannya. Dia mencari Ifa yang lumayan lama di kamar mandinya membuat Anin lebih memilih mencari tempat duduk. Udah ngga kuat rasanya tangannya menahan berat badan Davi yang lumayan gempal.

"Udah pantes lho kamunya gendong anak kaya gini..."

Celetuk Rizal bersama dengan Farida yang sudah berdiri di samping Anin.

"Ifanya mana?? kog Davi malah di kamu??"

Farida sambil celingukan mencari keberadaan adik bungsunya tersebut dan menemukan Ifa sudah berjalan menghampiri mereka.

"Maaf ya mbak.. tadi toiletnya rusak, jadi harus naik ke kamar..."

Anin hanya mengangguk dengan senyum khasnya sambil memberikan Davi ke Ifa.

"Isshhh, sayangnya Mama malah tidur sama Tante Anin... Tadi rewel ngga, Mbak??"

Tanya Ifa yang penasaran, karena melihat Anin sampai mencari tempat duduk.

"Ngga.. Davi anak baik ya, jadi ikut sama Tante malah senyum terus..."

Anin dengan gemasnya menciumi Davi dan menowel pipi bayi yang sudah tertidur pulas tersebut.

"Padahal Davi itu paling ngga suka sama tempat yang rame kaya gini. Tapi Papanya tadi ngotot ngajak Davi kesini. Ya udah deh.."

Kalau boleh jujur, Davi memang tidak menangis namun dia selalu menggeliat tidak bisa diam yang membuat Ifa sedikit kewalahan saat menggendong Davi.

"Mbak cepetan nyusul dong biar Davi ada temennya..."

Ujar Luqman entah dari mana sudah ikut nimbrung sembari mengambil alih Davi dari Ifa.

"Sedikasinya ajalah..."

Jawab Anin dengan entengnya. Dia dengan Yusuf memang untuk saat ini masih ingin menikmati waktu bersama mereka. Jika mereka di berikan anugerah itu sekarang, pastinya mereka akan menerima dengan rasa syukur yang tidak dapat mereka ungkapkan lagi. Dan jika memang belum, ya memang ini masih menjadi waktu mereka berdua untuk menghabiskan waktu berdua saja.

Mereka masih dengan candaan yang membuat Anin terkadang bersemu. Tidak henti-hentinya Luqman menggodanya yang menurut Anin 11:12 dan Ifa malah menambahi apa yang di katakan Luqman membuat mereka tambah serasi dan cocok di sebut 'Duo Kompor Maut'.

Sedangkan Rizal dan Farida sesekali juga mendukung apa yang dikatakan Luqman dan Ifa. Maklumlah, mereka tidak separah Duo Kompor karena dilihat dari umur mereka jauh lebih dewasa.

"Mas Yusuf..."

Sapa Anin sedikit kaget karena Yusuf sudah ada di sampingnya dan memeluk pinggangnya. Tapi Anin merasakan ada yang aneh. Yusuf dengan wajah dinginnya, seperti menahan emosi yang siap meledak.

"Kita pulang sekarang ya??"

Entah apa yang terjadi di luar sana, yang pasti di dalam ruangan saat ini, tidak ada hujan, tidak ada angin, Yusuf mengajak pulang. Apalagi dengan ekspresi seperti itu, Anin sudah tau bahwa suaminya ini sedang menahan emosi dalam hatinya.

Anin hanya mengangguk saja sembari tersenyum kepada Yusuf dan itu sedikit melunak.

"Kita pulang dulu ya... Assalamualaikum..."

Kata Yusuf dengan senyum palsunya sudah menggandeng Anin keluar dari ruangan tersebut. Sedangkan Luqman, Ifa, Farida dan Rizal hanya mengangguk dan serempak mengucap 'Waalaikumsalam...' saat Yusuf dan Anin berjalan keluar. Anin hanya tersenyum sebagai ucapan pamitnya.

"Yusuf, mau kemana?? Acaranya belum selesai loh??"

Mei yang melihat gelagat aneh dari Yusuf langsung menatap Anin untuk mendapat kejelasan. Sedangkan Anin sendiri juga tidak tau apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Kita pulang dulu, Mbak.. Kayanya Mas Yusuf lagi capek, jadi mendingan kita pulang sekarang..."

Ucap Anin dengan senyumnya.

"Mbak, nanti salamin ke Umi sama Abi kalau kita udah pulang duluan..."

Yusuf tanpa babibu langsung meninggalkan Mei dan menggandeng Anin dengan langkah lebarnya. Jujur Anin sedikit kewalahan harus menyetarakan langkah kaki suaminya sampai akhirnya Anin kehilangan keseimbangannya dan hampir saja terjatuh jika Yusuf tidak segera menolongnya.

"Makasih Mas..."

Kata Anin singkat dan Yusuf hanya mengangguk saja.

Sampai di kamar hotel pun, Yusuf masih saja terdiam. Tidak mengatakan sepatah kata apapun dan itu membuat Anin sedikit khawatir. Jika sudah seperti ini, bisa di pastikan bahwa suaminya itu sedang marah. Tapi kepada siapa dia marah dan apa penyebabnya.

Seperti biasa, Anin menyiapkan baju ganti untuk Yusuf. Dan suasana di kabar lebih mirip seperti kuburan. Berbanding terbalik dengan suasana sebelum mereka berangkat ke acara tadi yang membuat Anin juga bingung harus melakukan apa.

"Mas, ngga kenapa-napa kan??"

Akhirnya Anin memilih untuk membuka suara terlebih dahulu. Menunggu Yusuf berbicara terlebih dahulu seperti sama saja menunggu ikan menarik kail pancing tanpa adanya umpan. Dan respon yang di berikan Yusuf hanya menggelengkan kepalanya dan sekarang dia tidur dengan memeluk Anin dan Anin hanya bisa mengusap rambut serta punggung Yusuf dengan lembut. Dia tidak tau dengan apa yang terjadi dengan suaminya, tapi setidaknya lebih baik seperti ini. Dia ingin Yusuf lebih tenang terlebih dahulu.

***

"Mas.. keluar yuk, cari sarapan.."

Ya, jam sudah menunjukkan pukul 10.00. namun, Yusuf masih stay dengan keterdiamannya dan Anin tidak tahu bagaimana lagi membuat Yusuf bisa ceria lagi seperti kemarin.

"Ayolah, Mas... Aku yang bakal nyetir mobilnya atau Mas pengen disini sendirian??"

Ancam Anin yang tidak memberikan pilihan apapun untuk Yusuf dan akhirnya Yusuf mengikuti apa yang di katakan Anin.

Sekarang Anin yang memegang kendali mobil. Sedangkan Yusuf, dia sekarang lebih memilih untuk berkutat dengan Tab yang tidak pernah terlepas dari genggamannya sejak tadi pagi.

"Sekarang aku jadi punya saingan berat nih??"

Yusuf melirik ke arah Anin yang sedang mengemudi dan menatap Tab itu kembali. Kali ini dia benar-benar harus extra sabar, kalau tidak bisa-bisa dialah yang akan marah dan meluapkannya ketika dia sudah tidak tahan lagi.

Mereka akhirnya sampai di depan Rumah Makan yang pasti sudah siap mengisi perut mereka yang keroncongan. Yusuf sendiri juga heran, tiba-tiba mereka sudah sampai di tempat makan yang pengunjungnya menurut Yusuf sendiri terlalu banyak. Jangan remehkan Anin, Anin pernah hidup di Jakarta. Bukan saat dia bekerja, tapi sebenarnya memang dia lahir di Jakarta dan hidup beberapa tahun disana sampai akhirnya dia pindah ke Solo bersama orangtuanya.

"Mas mau apa??"

Tanya Anin sambil membolak-balik menu makanan yang ada.

"Terserah aja..."

Yusuf memang baru pertama kali ini ada di Rumah Makan ini, jadi dia tidak mengetahui makanan apa yang enak.

"Char Kway Teow-nya 2 sama Teh anget manisnya 2..."

"Di tunggu ya..."

Anin hanya mengangguk dan memberikan senyum ke arah pelayan yang menulis pesanannya.

Sekarang Anin menunggu pesanannya datang semabari menunggu mood orang di sebelahnya kembali lagi. Apapun yang Anin tanyakan ke Yusuf akan selalu di jawab dengan singkat tanpa memberikan Anin kesempatan untuk feedback dan sukses membuat Anin harus ber-oh-ria. Menyebalkan, pasti. Jika biasanya Yusuf menyebalkan dengan segala bentuk godaannya, tapi kali ini Yusuf benar-benar 200% lebih menyebalkan karena sikap cueknya itu.

Akhirnya pesanan Anin datang juga dan Anin diawali dengan doa dia melahap 'Char Kway Teow' nya dengan nikmat. Dia sudah tidak peduli dengan Yusuf sekarang, biarkanlah Yusuf makan. Mungkin suaminya badmood seperti itu, karena dia lapar.

Yusuf hanya memperhatikan makanan yang ada di hadapannya. Ralat, lebih tepatnya alat makan yang harus dia gunakan. Hanya ada sumpit dan sendok. Tidak ada garpu yang biasanya dia gunakan saat makan, apalagi jika berbentuk seperti mie. Anin sesekali menatap Yusuf yang akhirnya memutuskan untuk menggunakan sendok saja dengan sedikit kesusahan dan sukses membuat tempo makan Yusuf sedikit melambat.

"Kalau susah minta tolong dong..."

Ucap Anin saat mengambil alih sendok dan membuka segel sumpit yang di biarkan Yusuf begitu saja. Anin dengan telaten menaruh makanan tersebut ke dalam sendok dan bersiap menyuapkannya ke Yusuf.

Anin hanya sedikit mengangkat bahu dan senyumnya sebagai tanda bahwa Yusuf harus segera menerima suapannya.

"Ayolah, Mas.. ini udah dingin. Sama Mas ngga mungkin kan biarin tangan ini pegel karena nunggu mulutnya Mas nerima suapan dari Anin??"

Dengan satu helaan nafas panjang, Yusuf menerimanya dan sukses membuat Anin tersenyum lebar. Anin segera memotong Kway Teow menjadi potongan lebih kecil agar Yusuf bisa menyendoknya sendiri.

"Mas, ngga ada acara lain kan di Jakarta selain acara yang tadi malem??"

Tanya Anin setelah Yusuf dengan kilat sudah menghabiskan makananya dan minum teh anget yang mungkin sudah terlanjur dingin. Yusuf hanya menggeleng sebagai responnya di tambah dengan wajah kaku yang jujur membuat Anin teringat betapa sombongnya suaminya itu saat kuliah. Dan Anin tidak ingin mengingat hal itu, karena sekalipun songongnya udah sampe ubun-ubun, tapi pada kenyataannya Yusuf itu pernah berbaik hati menolongnya menyelesaikan tugasnya yang sudah terlanjur deadline dan entah sejak kapan, akhirnya Anin malah jatuh cinta dengan cowok yang pernah dia anggep angkuh yang sekarang sudah menjadi suaminya.

"Ya udah.. mendingan sekarang kita jalan-jalan ya??"

Anin dengan menaik-turunkan alisnya dengan lucu mengajak Yusuf keluar. Sebenarnya lebih memaksa, karena Yusuf tidak pernah memberikan tanggapan atas ajakkannya. Tapi Anin sudah terlanjur dongkol jika harus terus-terusan melihat suaminya mendiamkannya seharian jika mereka balik lagi ke hotel.

Anin segera melajukan mobil dan Yusuf duduk di kursi penumpang kembali. Dengan senyum miring, Anin ingin menjalankan misi jahilnya ini ke suaminya. Yusuf sendiri memilih untuk diam, karena dirinya sendiri juga bingung dengan apa yang sekarang terjadi pada dirinya.

***

Mungkin Anin harus bersyukur karena mereka datang ke Dufan bukan di akhir pekan atau di hari libur. Coba saja mereka kesana saat hari tersebut, bisa jadi bukannya Anin sukses membuat mood suaminya kembali lagi tapi justru dia sendiri yang akan kehilangan moodnya.

Anin terlihat antusias melihat wahana ekstrim yang sudah ada di hadapannya sekarang. Sedangkan Yusuf, dia tidak menyangka bahwa istrinya akan mengajaknya kesini.

"Ayolah, Mas... naik bianglala dulu biar tau wahananya apa aja..."

Anin segera menarik Yusuf untuk mengikuti langkahnya.

Well, sebenarnya Anin sudah berkali-kali datang ke Dufan. Namun tetap saja dia tidak pernah bosan dan faktanya juga, dia sudah hafal betul dengan lokasi dari wahana yang ada di Dufan. Tapi, sekarang dia bersama dengan Yusuf, jadi biar dapet feel-nya, feel romantisnya maksudnya, dia mengajak Yusuf naik bianglala terlebih dahulu.

"Mas.. naik ontang-anting yuk??"

Anin dengan antusias tanpa memperhatikan ekspresi dari Yusuf langsung mencari wahana ontang-anting. Salah satu wahana favoritnya sejak dulu. Sedangkan Yusuf, dia hanya memegang pelipisnya. Dia sebenarnya agak takut dengan wahana yang menurutnya kurang kerjaan aja untuk siapapun yang ingin menaikkinya dan sekarang malah istrinya mengajaknya membuat dirinya hanya bisa menahan nafas saat wahana yang dinaikkinya mulai berjalan.

Tidak hanya sampai disitu, Anin masih mengajak naik wahana Halilintar, Hysteria, Kicir-Kicir, Tornado sampai Kora-Kora yang menurut Yusuf wahana itulah yang sukses membuatnya senam jantung untuk beberapa saat. Mungkin dirinya harus mengecek kesehatannya setelah pulang nanti dan harus bersyukur karena, senam jantungnya tadi masih bisa di selingi dengan sholat Ashar.

Sebenarnya Anin ingin sekali menikmati Arung Jeram, tapi sayangnya mereka tidak membawa baju ganti dan otomatis sebagai penutupnya Anin memilih untuk memasuki Istana Boneka. Tapi tidak apalah, yang penting dia sukses membuat mood suaminya kembali lagi, meskipun hanya sedikit. Sekarang, ekspresinya Yusuf jauh-jauh lebih baik daripada sebelumnya. Sekarang, Yusuf bisa mengulas senyum di wajahnya, sekalipun masih senyum tipis pelit gitu.

"Gimana Mas?? Seru ngga??"

"Lumayan..."

Jawab Yusuf sambil menikmati boneka-boneka yang berjajar disana. Sedangkan Anin masih sibuk memperhatikan wajah suaminya lekat-lekat. Dia tidak peduli lagi dengan tatapan orang-orang yang menganggap mereka aneh karena memasuki Istana Boneka.

"Mas mau cerita ngga, kenapa Mas aneh dari tadi malem pas tiba-tba ngajak aku pulang??"

Anin dengan sedikt berhati-hati menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran. Yusuf hanya melihat Anin sekilas dan memperhatikan boneka-boneka itu kembali.

"Aku ngga maksa, Mas. Tapi aku cuma mau ngingetin, kalau kita akan terbuka satu sama lain".

Ungkap Anin dengan tulus sambil menggenggam tangan dari Yusuf. Jujur, dia memang khawatir dengan Yusuf, karena sampai sekarang pun dia merasa tidak pernah bisa melangkah lebih jauh kedalam hati suaminya. Yusuf hanya bisa mengelus tangan Anin dengan ibu jarinya, mengungkapkan kalau dia baik-baik saja. Berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang penuh dengan rahasia yang ingin di ketahui oleh Anin.

***

"Hati-hati ya, Bunda... Assalamualaikum..."

"..."

Anin dengan senyumnya menaruh HP-nya kembali kedalam nakas dan bersiap untuk tidur. Seharian jalan-jalan membuat tubuhnya pegal-pegal, yang sebenarnya hatinya juga pegal karena hampir seharian dia kena cuek bebek suaminya.

"Dari siapa??"

Yusuf memposisikan bantal untuknya bersender dan segera meraih Anin dalam pelukannya. Anin menyambutnya dengan senang hati. Dia memang merindukan kehangatan dari pelukan suaminya yang tidak dia rasakan sejak tadi pagi.

"Dari Bunda..."

Yusuf mengusap rambut Anin dan sesekali menyelipkan anak rambut Anin ke belakang telinga.

"Mas boleh minta sesuatu dari kamu ngga??"

Anin langsung menengadah menatap suaminya. Jika sudah seperti ini, berarti permintaan Yusuf bukanlah sesuatu yang main-main.

"InshaAllah, Mas kalau aku bisa lakuin. Aku bakal lakuin itu untuk Mas..."

Dengan helaan nafas Yusuf membuka suaranya dan membuat jantung Anin serasa habis lari marathon.

"Mas pengen kamu berhenti kerja"

Ucap Yusuf dengan lirih namun penuh ketegasan, membuat Anin seketika itu juga melonggarkan pelukannya, mencari kebohongan apa yang coba Yusuf lancarkan untuk menjahilinya. Namun nampaknya, Yusuf memang serius dengan apa yang baru saja dia katakan.

"Mas beneran serius mau aku berhenti kerja?? boleh tau alesannya apa??"

Anin sedikit menahan amarah yang ada di hatinya dengan selalu mengucap kalimat istigfar. Dia tidak ingin emosi yang ada di hatinya dia luapkan kedalam amarah yang membuat keributan antara dirinya dan Yusuf.

"Apa salah Mas menginginkan istrinya dirumah saja, menunggu Mas pulang kerja dan mengurus suami serta rumah?? Just like that..."

"Ngga ada yang salah dari keinginan Mas yang satu ini. Tapi Mas sendiri tau kan kalau aku kerja itu, karena aku ingin membantu perekonomian keluargaku dan sebelum kita menikah, Mas udah setuju akan hal ini. Mungkin orangtuaku ngga pernah mengharapkan hal ini, tapi aku ingin melakukan hal ini..."

Jelas Anin yang sudah menahan bendungan airmata yang hampir membobol pertahanannya.

"Aku bisa bantu. Aku mampu menafkahi keluarga kita dan juga keluargamu. Apa itu belum cukup untukmu mengabulkan permintaanku ini??"

Yusuf mengusap airmata Anin yang sudah membasahi pipinya.

"Kasih aku waktu, Mas..."

Anin segera berdiri meninggalkan Yusuf menuju kamar mandi. Dia tidak tahan jika saat ini harus menatap Yusuf. Dia tahu dengan konsekuensinya kali ini. Bisa-bisa dia mendapat lebel 'Istri Durhaka', namun mengapa Yusuf tiba-tiba meminta hal ini. Bukankah dulu dia pernah bilang, jika dirinya tidak mempermasalahkan Anin bekerja dan masih menafkahi keluarganya, terlebih dengan Arwi yang masih melanjutkan kuliahnya.

Yusuf sendiri lebih menyesali apa yang baru saja dia ungkapkan, namun dia sendiri juga bingung harus melakukan apa. Mengingat apa yang dia dengar tadi malam, membuatnya berpikir keras dengan apa yang harus dia perbuat untuk Anin.

***

Sudah berhari-hari, sejak kejadian dimana Yusuf ingin agar Anin berhenti bekerja membuat hubungan mereka dingin melebihi dinginnya kutub utara. Meskipun demikian, Anin masih menjalankan kewajibannya sebagai istri. Mulai dari masak, menyiapkan baju untuk Yusuf bahkan Yusuf pun masih dengan kebiasaan lama memastikan bahwa Anin-lah yang menyimpulkan dasinya.

Yusuf memang tidak tahan dengan perang dingin yang terjadi. Tapi setiap kali Yusuf bertanya pada Anin apakah Anin masih marah dengannya, selalu di jawab 'Aku ngga pernah marah sama Mas Yusuf. Tapi tolong beri aku waktu...'. Selalu seperti itu dan serasa Yusuf ingin menarik kata-katanya beberapa hari yang lalu.

Di dalam mobil pun tambah parah. Jika biasanya Yusuf sudah mengeluarkan jurus godaannya berkali-kali, tapi kali ini untuk menatap Anin saja dia butuh berpikir berulang kali karena melihat ekspresi istrinya yang ternyata memang terlalu dingin sekarang ini. Pantas saja, jika di kantor tidak ada seorang pun yang berani memancing emosi istrinya. Dan ternyata inilah alasannya. Butuh proses yang lama dan Yusuf belum tau bagaimana caranya untuk melunakkan hati Anin kembali.

"Assalamualaikum, Mas..."

Ucap Anin setelah mencium punggung tangan suaminya dan Yusuf seperti biasanya mencium kening istrinya. Jauh lebih lama dari biasanya dan untung saja sekarang yang ada di lift hanya mereka berdua, jadi tidak terlalu masalah dengan apapun yang akan mereka lakukan.

"Waalaikumsalam..."

Yusuf memberikan senyumnya saat pintu lift tertutup dan meninggalkan dirinya sendiri, sedangkan istrinya sudah keluar terlebih dahulu, karena ruangan mereka yang berbeda lantai.

"Kusut banget tuh muka??"

Sapa Franda melihat gelagat aneh dari sahabatnya yang sudah berhari-hari nampak tidak bersemangat.

"Lo baik, kan?? Ngga ada masalah sama Pak Yusuf??"

Anin memang selalu menganggap Franda seperti cenanyang sama dengan Arwi yang selalu mengerti dengan apa yang terjadi dalam hidupnya.

"Bukan maksudnya sok ngajarin Lo ya, karena gue sendiri yakin kalau Lo bisa keluar dari permasalahan Lo sama Mas Yusuf... Tapi pikirin dengan kepala dingin, jangan dicampur aduk. Prioritas Lo sekarang adalah suami Lo. Bukan yang lain..."

Sekali lagi, Anin memang harus mengakui kehebatan Franda soal dirinya saat ini. Dia belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, namun Franda serasa tau dengan apa yang terjadi sekarang membuat dirinya berpikir ulang.

Anin hanya bisa memijat keningnya yang terasa pusing mendadak memikirkan tentang keinginan Yusuf.

***

Hendi memang orang ter-kepo dari orang yang pernah di kenal oleh Yusuf sampai akhirnya Yusuf menceritakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Anin.

"Bentar... biar gue tarik kesimpulannya dulu..."

Hendi nampak menghela nafas sebelum dirinya mengeluarkan isi pikirannya setelah mendengar pernyataan dari Yusuf.

"Lo diemin Anin, trus minta dia berhenti kerja dengan alesan yang menurut gue udah ketinggalan zaman banget. Dan sekarang Anin gantian diemin Lo dan Lo jadi bingung sendiri dengan sikapnya ke Lo??"

Yusuf hanya menganggukkan kepalanya dengan tidak bersemangat. Hendi sekarang seperti seorang jaksa penuntut umum yang mencerca terdakwa dengan kebenaran yang terjadi. Dan terdakwanya saat ini adalah Yusuf, sejauh Hendi mendengar cerita dari Yusuf.

"Brengsek banget Lo ya... Lo bisa-bisanya nyuruh istri kece Lo buat berhenti kerja karena alesan apa?? Karena dia pernah masuk klub malem untuk cari informasi ditambah dengan gosip ngga bermutu yang buat Lo jadi manusia aneh??"

Hendi tidak habis pikir dengan apa jalan pikiran dari sahabatnya yang satu ini. Bahkan sekarang dia tidak peduli lagi dengan kosakatanya yang menyebut bosnya 'Brengsek'.

"Gue kira selama 2 bulan Lo nikah sama Anin, hidup bareng sama dia, Lo bisa ngerti gimana sifat asli dari cewek serbabisa kaya Anin. Tapi ternyata... Ck.. Mungkin kalau gue belum nikah, udah gue gebet duluan tuh Anin.."

"Lo bisa bayangin ngga sih, apa yang dilakukan seorang cewek ketika mereka di klub malem??"

Yusuf mencoba meredam segala emosi yang mulai menyelimuti hatinya. Dia tidak ingin terbawa emosi, tidak untuk di kantornya.

"Ok that's right. Gue tahu bahkan Anin juga lebih tau tentang kehidupan di klub malem. Tapi tau ngga sih, kalau sampai Anin tau permasalahan yang sebenarnya, dia bisa sakit hati beneran karena suaminya sendiri udah ngremehin dia??"

"Dan permasalahan soal Lo ngga mau Anin terus di sangka-sangka, cuma mau nikah sama Lo karena harta keluarga Lo... kenapa Lo ngga nyoba nampik gosip itu?? Lo justru milih diem dan nglampiasinnya ke Anin??"

Jelas Hendi yang sepertinya belum selesai dengan apa yang ingin dia ungkapkan ke Yusuf. Sebelum hal itu terjadi, Anin sudah ada di ambang pintu dengan mata memerah.

"Maaf kalau mengganggu, saya hanya ingin menyerahkan laporan ini saja..."

Anin langsung meletakkan beberapa map ke meja dekat dengan pintu keluar dari ruangan Yusuf. Yusuf segera mengejar Anin yang sudah ada di ambang pintu lift.

"Dek, dengerin penjelasan Mas dulu..."

Yusuf berhasil merengkuh lengan Anin dan memaksa Anin berhenti.

"Kita selesain di rumah aja, Mas..."

Ucap Anin sambil melepas genggaman tangan suaminya. Jika berlama-lama dengan Yusuf, bisa-bisa emosinya bisa membuat semuanya tau akan permasalahan yang terjadi di kehidupan rumah tangga CEO perusahaannya. Terlebih Anin memang tidak ingin mencampur adukkan permasalahannya dengan urusan kantor. Anin masih menjaga profesionalitasnya sebagai karyawan.

Aku memang membutuhkan cintamu, Mas...

Tapi yang membuatku merasa paling sakit saat aku tau jika kamu ngga pernah percaya sama aku, Mas..

Yusuf mengacak rambut dengan kesal dan melonggarkan dasi yang terasa menyekat nafasnya. Mengapa permasalahan yang seharusnya menjadi masalah yang sepele bisa menjadi sefatal ini. Bisanya-bisanya dia membuat wanita yang tidak ingin dia lihat airmatanya menetes malah justru menetes deras turun dari sumbernya dan semua itu karena dirinya.

Goblok... Goblok... Goblokkk...

Umpat Yusuf dalam hatinya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat kata istigfar tidak mampu mengendalikan emosinya dan setan berhasil menguasai pikirannya.

***