***
Sekarang Anin dan Yusuf tengah mencari warung Gudeg yang ada di Bali. Yeps, bukan Anin yang ingin makan Gudeg di Bali, tapi Yusuf yang menginginkannya.
"Mas aneh deh.. pengen Gudeg kog larinya di Bali.."
Anin tengah mengaduk teh manisnya sambil menatap Yusuf yang tersenyum setelah mendapatkan keinginannya.
"Emangnya ada yang salah kalau Mas pengen makan Gudeg disini?? Mas cuma ngga pengen aja anak kita ileran, karena Ayahnya yang pengen makan Gudeg tapi ngga di turuti sama Bundanya.."
"Bawa-bawa anak pas kaya gini.."
Yusuf tidaka menghiraukan sindiran dari istrinya. Dia segera menikmati satu porsi Gudeg yang ada di hadapannya sekarang.
"Dek, jangan makan kreceknya loh.. Pedes.."
Tambah Yusuf sambil mengambil krecek yang ada di piring Anin. Anin hanya membiarkannya saja, karena dia juga tidak begitu menyukainya.
"Tapi kog ada aja sih, rumah makan yang nyediain menu Gudeg. Padahal ini Bali loh.. Banyak makanan khasnya.."
"Yang di Bali bukan cuma orang Bali, Dek.. Tapi semua orang di seluruh dunia ini juga datang ke Bali, termasuk orang Jogja.. Masakan Padang aja juga ada kog, masa Gudeg ngga??"
"Ishhh, bisa aja jawabnya.."
"Ya bisa dong.. di luar negeri aja juga ada yang jualan Gudeg, ya sekalipun dalam bentuk kaleng. Tapi seenggaknya ada yang jualan kan??"
Yusuf masih dengan sikap ngeyelnya menyanggah setiap ucapan yang di lontarkan oleh Anin. Entah mengapa, sekarang ini malah Yusuf lah yang lebih sensitive dari istrinya. Padahal biasanya yang akan berubah sensitive adalah Anin yang tengah hamil muda. Mereka pun melanjutkan acara makan mereka dengan diam.
"Kita langsung balik ke hotel aja ya.. Kasian kamunya keliatan capek banget.."
Kata Yusuf sambil mengenakan seat-belt. Anin menjawab dengan gelengan kepala.
"Sayang tau ngga, Mas.. mumpung cuacanya cerah kaya gini. Pasti sunsetnya lagi bagus banget di Pantai Kuta.."
"Ngga..Dek.. Besok aja ya, ngga inget kata dokter, kalau kamu itu harus perbanyak jam istirahat. Bukannya banyak jalan-jalannya.."
"Tapi Mas.."
"Besok ya.. Besok Mas temenin kamu seharian disana, tapi ngga buat hari ini.."
Yusuf mengusap kepala Anin dengan sayang. Sedangkan Anin sendiri sudah mengerucutkan bibirnya sebagai ungkapan protesnya kepada Yusuf yang kali ini tidak memberikan efek apapun. Yusuf sama sekali tidak menghiraukan keinginan Anin sekarang, karena dia sendiri juga khawatir dengan kondisi Anin yang seharusnya banyak istrirahat. Yusuf pun memilih membiarkan Anin yang sekarang memilih untuk konsentrasi dengan HP-nya tidak tahu dengan apa yang di lakukan istrinya tersebut.
Sampai di hotel pun, Anin masih bersikeras dengan aksi diamnya kepada Yusuf. Setelah sholat Isya pun Anin langsung tidur begitu saja. Membuat Yusuf akhirnya mengalah saja.
"Dek.. Kamu beneran yakin mau diemin Mas kaya gini??"
Tanya Yusuf sebagai awal pengibaran bendera putih. Namun tidak ada respon dari Anin yang membuat Yusuf juga ikutan tidur menghadap ke arah Anin. Dengan bertumpu pada tangannya. Yusuf menyangga kepalanya dan membuka selimut yang menutupi kepala Anin.
"Jangan gitu dong, Dek.. Kamu pengen anak kita jadi tukang ngambek.."
Anin langsung menatap tajam Yusuf yang sekarang selalu menyangkut pautkan segala sesuatu dengan anak mereka.
"Suatu perkataan dari orangtua itu adalah doa loh, Mas.."
"Lah tapi mau gimana lagi juga.. Sifat anak itu terbentuk saat di dalam kandungan juga loh.."
"Kalaupun iya anak kita jadi tukang ngambek, itu di turunkan dari Mas Yusuf sendiri. Mas sendiri kan yang sering ngambekan.."
Anin kali ini tidak mau kalah beradu argumen dengan suaminya. Yusuf sendiri hanya bisa menghela nafas saja. Dia mulai berpikir bahwa Anin sudah terkena efek lebih sensitive selama masa kehamilannya.
"Udah ya ngambeknya.. Istirahat aja mendingan. Besok kan kita mau jalan??"
Rayu Yusuf membuat Anin hanya menggembungkan pipinya dengan lucu. Yusuf yang melihat hal itu langsung mencubit pipi Anin sambil tersenyum.
"Kamu udah mau punya anak aja, masih tetep gemesin kaya gini.."
"Udah ngga mempan kali, Mas.."
Balas Anin sambil menowel hidung bangir suaminya itu. Kali ini dengan senyuman yang sudah kembali di wajahnya, membuat Yusuf juga ikut tersenyum dan langsung memeluknya.
"Nah gini dong.. Senyum terus kaya biasanya. Ngga pake acara mendung kaya tadi.."
"Mas juga sih yang mancing Anin buat cuekin kamu.."
"Udah.. sekarang bobok ya.. Kasian anak kita juga pengen bobok kali.."
Anin segera merapatkan pelukannya kepada Yusuf membuat Yusuf tersenyum bahagia. Dia segera mengusap punggung istrinya agar segera tertidur.
Alhamdulillah, Dek..
Allah mempercayakan amanah ini kepada kita..
Semoga ini menjadi salah satu pengikat yang kuat untuk kita..
Yusuf pun akhirnya juga ikut terlelap dengan posisi memeluk Anin. Memeluk Anin adalah salah hal favoritnya selain menggoda Anin yang membuat dirinya bisa melihat betapa merahnya pipi istrinya saat itu juga.
***
Seperti yang telah di janjikan oleh Yusuf sebelumnya, sekarang mereka sudah ada di Pantai Kuta menunggu sunset yang ada. Mereka pun juga memutuskan untuk pulang minggu depan. Menunggu kondisi Anin agar lebih stabil. Tapi sekarang ini, Anin merasa sebal dengan suaminya yang memang pada dasarnya ganteng, tapi perlukah Yusuf berpenampilan seperti sekarang. Dengan setelan celana jeans hitam selutut, kaos putih oblong di padukan dengan jaket berwarna putih, Yusuf berhasil menarik beberapa perhatian cewek yang tidak sengaja melihatnya. Terlebih sekarang Yusuf juga memakai topi, yang membuatnya terkesan masih muda.
"Mas bisa ngga sih copot aja topinya?? Mas kalau kaya gini serasa belum punya istri tau ngga.."
Yusuf yang mendapat tatapan sebal dari Anin segera memeluk pinggang Anin dengan protektif.
"Biasanya Mas yang sering di bilang lagi jalan sama adek sendiri.."
Timpal Yusuf mengembalikan apa yang selama ini dia terima. Yusuf sudah sangat terbiasa jika dia sedang jalan-jalan bersama Anin, biasanya orang-orang lebih memandangnya sedang jalan dengan adiknya sendiri. Itu semua karena Anin memiliki tubuh yang mungil dan wajahnya yang semakin lama terlihat mirip dirinya.
"Mas jadi inget, berarti pas kita jalan di Jogja itu, kamu udah hamil dong.."
Ucap Yusuf yang masih berjalan di samping Anin mengitari sekitar pantai. Anin pun segera mengingat dan menghitung kembali waktu saat mereka pergi ke Yogya sampai sekarang dan memang perkiraan dari Yusuf adalah benar. Anin akhirnya hanya mengangguk saja sambil menatap mata Yusuf yang selalu berhasil membawa keteduhan untuknya.
"Waahh, anak ayah kuat banget ya berarti. Awal-awal aja udah sampe Jogja trus sekarang udah sampe Bali.. Besok-besok kemana lagi ya??"
Yusuf dengan bahagianya sambil mengusap perut datar istrinya itu membuat Anin sedikit terharu. Yusuf boleh saja mengatakan bahwa dirinya santai saja saat dirinya di tanya soal anak, namun di dalam hatinya dia juga menginginkan hal itu. Dia bersikap seperti itu, karena dia tidak ingin membebani Anin dengan hal-hal seperti itu.
"Hai Anin.."
Sapa seorang bule ganteng yang menyapa Anin. Membuat Anin langsung mendongak senang saat mengetahui siapa yang baru saja menyapanya.
"Hai Daniel.. Finally, I can see you again, right??"
"Its long time after garden party... How are you doing in here??"
"Just enjoying with me time.. HHHH"
Bule yang bernama Daniel itu akhirnya hanya mengangguk saja, mengiyakan candaan dari Anin. Daniel telah sedikit tahu bagaimana sifat dari Anin, karena mereka pernah dalam satu tahun penuh sering bertemu untuk urusan pekerjaan yang membuat mereka menjadi akrab seperti sekarang. Yusuf yang merasa di kacangi akhirnya menginterupsi percakapan mereka dengan sebuah deheman yang otomatis membuat Anin dan Daniel menatap Yusuf.
"Ohh,This is my hubby.."
Anin mengenalkan Yusuf dengan senyum yang masih terukir membuat Yusuf tanpa sebal, tapi dia masih mau untuk meraih tangan Daniel untuk bersalaman.
"Yusuf Dhyaksa.."
"Daniel Prince.."
Terdengar suara teriakan dari seberang sana yang memanggil nama Daniel. Daniel pun segera mengundurkan diri. Dia hanya bisa tertawa tanpa menghiraukan tatapan elang dari Yusuf yang siap menerkam dirinya kapanpun saat Anin membisikkan sesuatu ke Daniel. Anin mengatakan bahwa sekarang ini suaminya sedang cemburu kepada Daniel, tapi yang pasti Anin mengatakannya dengan nada bercanda.
"Okay, See you next time, Anin.."
"See you, Daniel.."
"And.. Yusuf.. You're a lucky man.."
Ucap Daniel sambil mengepuk bahu Yusuf yang membuat Yusuf bertambah cemburu pada Anin.
Yusuf buru-buru menatap Anin meminta penjelasan. Bisa-bisanya Anin benar-benar berkenalan dengan seorang bule yang memang pada kenyataannya jauh lebih tampan dari dirinya. Sedangkan Anin hanya cekikikan mendapat tatapan seperti itu. Betapa beruntungnya tadi dia bisa bertemu dengan Daniel, Karena dengan begitu dia bisa membuat Yusuf jealous seperti sekarang.
"Apa sih, Mas?? Kamu lucu banget tau ngga??"
Anin menowel hidung suaminya yang memandang lurus sunset yang ada di hadapan mereka sekarang. Yusuf masih bersikeras dengan sikapnya, meskipun Anin sudah memeluk lengan.
"Dia tadi siapa??"
"Daniel?? Temen, Mas.. Cakep kan??"
Jawab Anin sambil menaik-turunkan alisnya dengan lucu membuat Yusuf mendengus sebal dengan sikap Anin.
"Kamu beneran niat banget ya mau buat Mas cemburu??"
"Siapa sih Mas yang ngga mau temenan sama Daniel. Dia ganteng, pengusaha sukses, baik dan yang perlu di catat dan di inget, dia masih single alias JOMBLO. Jadi ya kita satu nasib gitu lah.."
"Kamu statusnya udah berubah jadi istri orang dan mau punya anak juga. Masih aja deket-deketan sama cowok lain disini.."
Jawab Yusuf yang sekarang menatap Anin yang tengah tersenyum kepadanya. Anin bisa melihat dengan jelas bagaimana Yusuf tidak menyukai dirinya yang berdekatan dengan cowok lain. Karena tidak tahan dengan sikap dari suaminya yang bersikap menggemaskan seperti sekarang, Anin pun tertawa sejadi-jadinya.
"Dek.."
"Iya Mas.. Kamu lucu banget deh kalau kaya gini.."
Anin pun berusaha meredam tawanya mencoba menjelaskan fakta yang ada antara dirinya dan Daniel.
"Bentar Mas.. Kamu cemburu sama Daniel??"
Tidak ada respon dari Yusuf yang membuat Anin menyimpulkan bahwa itu adalah jawaban 'IYA' dari pertanyaannya tadi.
"Aku sama Daniel itu kenal pas aku masih di Jakarta..."
Yusuf tidak mengatakan apapun. Dia memilih menunggu lanjutan cerita dari Anin.
"Ya.. lebih tepatnya sih kita kenal karena urusan kerjaan Mas.. Ngga lebih dari itu. Kalau pun lebih, paling kita pernah jalan bareng sekedar makan siang.."
"Udah?? Yakin?? Cuma kaya gitu aja??"
"Yakin lah, suamiku sayang.. Kamu mah ada-ada aja kalau mau cemburu.."
Anin segera mencubit sayang pipi suaminya dengan gemas. Semakin hari, suaminya ini malah bertambah manja kepadanya membuat dirinya harus siap mengelus dada.
Yusuf pun langsung mengeluarkan benda yang sudah beberapa hari ini selalu berada di saku celananya. Dia pun segera meraih tangan kiri Anin dan mengenakan cincin tersebut ke jari manis milik Anin. Anin yang tidak menyangka dengan apa yang di lakukan Yusuf sekarang hanya bisa tersenyum bahagia.
"Mas ngga bisa kasih kata-kata gombal lagi ke kamu.."
Ucap Yusuf sambil mengelus pipi Anin dengan senyum yang sudah kembali di wajahnya.
Anin hanya tersenyum saja sambil melihat jarinya yang sudah ada cincin yang terpasang manis disana.
"Kamu pernah bilang kalau kamu ngga terlalu suka pake macem kaya gini, seperti yang pernah kamu bilang sewaktu kita belum nikah.. Kamu aja Mas suruh milih salah satu model kalung aja, ogah-ogahan kaya gitu.."
Anin tersenyum saja mengingat kejadian dulu sewaktu mereka mencari cincin nikah. Dia tidak menyangka jika Yusuf masih mengingat kejadian itu.
"Tapi Mas juga terpaksa nekat beliin kamu cincin. Mas juga pengen sesekali beliin kamu sesuatu yang bisa kamu inget Mas terus.."
"Tapi kan udah pake cincin nikah?? Masa aku lupa, kalau aku udah punya suami??"
Sanggah Anin yang masih mencoba bercanda dengan suaminya sekarang.
"Tapi kenyataannya, kamu baru ditinggal 3 hari aja udah deket aja sama cowok lain.."
Balas Yusuf sambil mencebikkan bibirnya.
"Ya Allah, Mas. Masih terus di lanjutin juga rupanya??"
Yusuf hanya menggelengkan kepalanya dan segera memeluk Anin dengan erat. Anin juga membalas pelukan hangat dari suaminya yang tidak akan pernah bosan untuk dia rasakan sampai kapanpun. Hal itu di tambah pula dengan indahnya sunset yang menjadi background langsung kemesraan mereka.
"Tanpa apapun itu, aku akan selalu ingat Mas. Apapun tentang Mas Yusuf itu udah terlalu terikat di dalam pikiranku, Mas.."
Anin mengusap punggung lebar suaminya merasakan betapa beruntungnya sekarang bisa memilki Yusuf seperti ini.
"Ngga ada balesannya nih ceritanya??"
Ucap Yusuf sambil merenggangkan pelukannya, menatap Anin dengan intens membuat Anin dengan sekejab mencium pipi Yusuf sekilas. Yusuf termenung sebentar sebelum kembali ke dunia nyatanya.
"Bonusnya??"
Imbuh Yusuf yang membuat Anin langsung memeluk Yusuf.
"Bonusnya disini loh, Dek..."
Ucap Yusuf sambil menunjuk bibirnya dengan jarinya. Anin hanya mendelik kesal melihat permintaan suaminya yang aneh-aneh.
"Iya lah.. OK OK.. Mas sabar kog nunggu sampai nanti malem.."
Anin tidak mau menghiraukannya. Jika sudah seperti itu, pembicaraan Yusuf nanti akan bertambah ngawur yang pastinya tanpa filter seperti biasa. Mereka menikmati matahari yang tinggal beberapa inchi lagi akan tenggelam dan di gantikan dengan rembulan yang siap mempercantik malam mereka di tanah Bali.
***
"Assalamualaikum.."
Ucap Anin di susul Yusuf dari belakang membawa koper mereka.
Yeps, Anin dan Yusuf memilih untuk segera pulang setelah seminggu penuh di Bali dalam acara 'Babymoon Dadakan' ala mereka berdua. Sudah cukup dalam waktu seminggu itu, mereka mengelilingi Pulau Bali. Bukan maunya Yusuf, namun karena ini keinginan dari buah hati mereka seperti yang di katakan Anin setiap Yusuf tidak mengabulkan permintaannya. Karena dengan begitu, Yusuf dengan terpaksa akan mengantar kemanapun Anin pergi, sekalipun di jalan, Yusuf tidak akan berhenti untuk ngedumal sendiri.
"Waalaikumsalam.."
Jawab Bunda yang memang sengaja berkunjung ke Rumah Anin-Yusuf, setelah seminggu ini dia mendapat kabar bahwa dirinya sebentar lagi segera menimang cucu pertamanya.
"Bunda beneran kesini?? Dari tadi pagi??"
Anin segera menyalim Bundanya di ikuti Yusuf.
"Bunda bawa rujak kesini??"
Tanya Yusuf setelah mencium aroma segar buah-buahan di campur dengan sambal yang siap di cocol dengan buah.
Anin dan Yusuf pun segera menuju pantry menikmati rujak dan lotis yang sudah siap di dalam kulkas. Bunda memang sengaja membuatnya, karena pasti saat ini Anin sedang merasakan ngidam ingin menikmati makanan yang asam-asam.
"Anin ngga ngrepotin kan selama kalian di Bali??"
"Maksudnya Bunda apaan??"
Tanya Yusuf dengan polos, karena Anin masih bersikap sewajarnya saja selama di Bali, sekalipun harus di ingat lagi bahwa selama mereka di Bali, Anin lebih suka jalan-jalan daripada berdiam di kamar menuruti nasehatnya.
"Ya maksudnya pengen makan yang aneh-aneh gitu??"
Anin yang connect dengan ucapan Bundanya langsung menjawab sebelum Yusuf sempat bersuara.
"Bukannya Anin tapi Mas Yusuf yang ngidamnya aneh-aneh. Mulai dari pengen makan Gudeg lah, Soto Banjar, Tongseng, Sate.. Macem-macem lah, Nda.. Tapi untung aja ada.."
Yusuf yang mendengar ucapan Anin yang lebih menjurus ke kalimat protes tersenyum saja. Sedangkan Bunda, menggelengkan kepalanya mengerti dengan keadaan mereka berdua.
"Jadi ini yang ngidam ceritanya malah Yusuf, bukannya kamu Mbak??"
"Kita berdua sama-sama ngidam.."
Jawab Yusuf sambil melirik Anin sekilas yang balik menatapnya. Mereka pun segera berbincang dan berakhir ketika Bunda mendapat telepon dari Arwi untuk segera pulang karena ada tamu di rumah mereka. Bunda pun seperti biasa memberikan wejangan kepada Anin-Yusuf, terutama Yusuf. Karena saat seperti ini, wanita yang sedang mengandung akan berubah menjadi makhluk yang menyebalkan dengan segela permintaan aneh-anehnya. Sedangkan Yusuf yang mendapat nasehat tersebut menganggukkan kepalanya saja, merasa Ibu Mertuanya itu salah memberikan nasehat itu kepada dirinya. Sedangkan Anin juga sama saja, mengiyakan apapun nasehat Bundanya yang masih over-protektif terhadapnya.
***
Seperti malam-malam sebelumnya setelah Yusuf mengetahui Anin sedang hamil, dia akan berbicara sendiri dengan perut datar Anin sambil mengusapnya yang menurut Yusuf akan menguatkan ikatan batin antara dirinya dan anak dalam kandungan Anin.
Awalnya, Anin merasa risih dengan sikap Yusuf. Tapi lama-lama, dia merasa haru dengan sikap antusias yang ditunjukkan oleh Yusuf terhadap kehamilannya. Perempuan mana yang tidak bahagia jika melihat suaminya bisa bahagia seperti sekarang, apalagi itu karena akan adanya kehadiran buah hati mereka berdua.
"Adek yang baik-baik didalam sana ya.. Ngga boleh nakal, ngga boleh nyusahin Bunda atau Ayah sekalipun. OKAY??"
Yusuf mengatakannya dengan lembut dan Anin bisa merasakan betapa bahagianya nanti saat anak mereka sudah lahir.
"Udah di minum susunya??"
Anin hanya mengangguk saja. Yusuf seakan mempunyai kegiatan baru setiap malamnya, yaitu mengingatkan Anin untuk minum susu. Kalau sudah seperti ini, Anin merasa bahwa Yusuf serasa seperti Bundanya yang akan mengingatkannya akan banyak hal. Yang pasti dengan rasa over-protektifnya.
"Mulai besok Mas udah balik kerja lagi. Dan kamu masih inget kan sama kesepakatan kita kemarin??"
"Iya, Mas.. Aku masih inget.."
Jawab Anin dengan senyumnya sambil mengusap rambut Yusuf yang tidur di pangkuannya.
Ya, Anin setuju jika dirinya mulai sekarang akan berhenti bekerja. Bukan sekedar mengiyakan permintaan Yusuf, namun ini untuk kebaikan anak dalam kandungannya juga sesuai dengan saran dokter yang mengharuskan dirinya mengurangi aktivitasnya. Dan Anin sadar akan hal itu.
Yusuf pun sedikit lega karena Anin mengabulkan permintaannya dengan mudah untuk berhenti bekerja. Tapi bukan berarti Yusuf akan melarang Anin untuk melakukan aktivitas lainnya. Yusuf masih mengizinkan Anin jika kegiatan Anin hanya sebatas menulis novel ataupun memasak, karena Yusuf tidak ingin Anin merasa mati bosan nantinya. Tapi jika sudah yang berat-berat, Yusuf tidak akan terima hal itu, walaupun untuk sekarang, Anin masih menolak untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga untuk membantunya mengurus rumah.
"Mas cuma ngga pengen sesuatu terjadi sama kalian.."
Yusuf pun mencium bibir Anin dan melumatnya dengan lembut, lebih lembut daripada yang biasa mereka lakukan sambil menarik tengkuk leher Anin memperdalam ciuman mereka yang semakin menuntut. Anin hanya bisa menerima setiap sentuhan dari Yusuf yang pada kenyataanya masih dia rasakan seperti pertama kali mereka melakukannya. Yusuf melakukannya dengan hati-hati, sesuai dengan anjuran dokter agar tidak membuat bayi dalam kandungan Anin terganggu.
Alhamdulillah, Ya Allah..
Engkau begitu berbaik hati kepadaku..
Menyempurnakan hidupku dengan adanya Anin sebagai istriku..
Dan sekarang, Engkau kembali melengkapinya dengan memberikan kami anugerah yang telah kamu rindukan selama ini..
Sungguh, tidak ada lagi kata-kata yang dapat ku ucapkan sebagai wujud syukurku kepada-Mu..
Batin Yusuf saat mencium kening Anin memberikan jeda untuk Anin bernafas sesaat.
***
Yusuf menatap sebal Anin yang sekarang berkutat di dapur, seperti hari minggu biasanya. Anin akan mencoba resep baru dan biasanya Yusuf dengan antusias akan mencicipinya. Tapi kali ini, Yusuf ingin Anin sedikit mengurangi aktivitas hariannya. Dia memang mengizinkan Anin untuk melakukan aktivitasnya, karena takut Anin bosan nantinya. Tapi seharian ini, Anin sudah melakukan berbagai kegiatan, seperti jalan-jalan pagi, membersihkan rumah, memasak sarapan dan sekarang sedang mencoba resep baru. Dia takut dengan keadaan Anin, terlebih kandungannya sekarang belum terlalu kuat membuat Yusuf was-was setiap Anin melakukan aktivitasnya. Yusuf pun memutuskan untuk menonton TV saja daripada dia bertambah jengkel.
Anin hanya tersenyum saja sembari melihat Yusuf yang hanya menggonta-ganti channel TV di depannya. Saat Yusuf memutuskan untuk melihat acara berita, HP-nya Anin yang ada di depannya sekarang berbunyi.
"Dek.. Ada telepon.."
"Angkat aja, Mas.."
Setelah mendapat izin dari istrinya, dia segera mengangkatnya.
"Assalamualaikum.."
"..."
Tidak ada suara sama sekali. Yusuf pun mengecek apakah panggilannya masih tersambung atau tidak. Namun timer pada panggilan tersebut masih berjalan.
"Assalamualaikum.."
"..."
"Assalamualaikum.."
"..."
Yusuf yang sudah kesal dari awal, akhirnya memutuskan panggilan tersebut secara sepihak merasa salamnya terabaikan begitu saja. Baru dia ingin meletakkan HP itu ke meja, tapi sudah ada SMS yang masuk. Yusuf pun segera membuka SMS tersebut.
0858xxxxxxxx : Hai, sayang.. Kenapa kamu ngga jawab telepon kamu sendiri??
Yusuf mencermati dengan seksama SMS yang baru saja di bacanya dan melihat nomor telepon yang serasa tidak asing untuknya. Ya, nomor yang pernah melakukan hal sama seperti sekarang yang menurut Anin nomor tersebut sudah menganggunya sejak kuliah dan Anin tidak mengetahui siapa itu. Tapi setahu Yusuf, orang yang mengetahui nomor istrinya yang ini, berarti orang tersebut adalah orang terdekat dari Anin. Anin pernah bilang jika hanya keluarga dan teman-teman dekatnya yang mempunyai nomor Anin yang satu ini. Yusuf yang memang dari dulu penasaran dengan siapapun pemilik nomor tersebut langsung membalasnya dengan dongkol.
Yusuf : Temui aku di Café Bintang jam 10.
Balas Yusuf dengan singkat. Dia ingin menyelesaikan masalah ini. Dia tidak ingin istrinya di terror seperti ini terus-menerus tanpa ada kejelasan siapa yang melakukannya. Yusuf sendiri juga ingin tahu, apa motif di balik ini semua. Jika sesuai dengan dugaan, bila orang yang melakukannya adalah orang terdekat dari Anin, mengapa dia melakukannya terhadap Anin?? Ditambah juga, bukankah seharusnya dia juga sudah tahu bahwa Anin sudah menikah bahkan sekarang Anin juga sedang hamil??
Pikiran tersebut serasa berputar di kepala Yusuf hingga dia tidak sadar bahwa Anin sudah di sampingnya sambil membawakan potongan buah dan satu toples besar es krim yang tersisa di kulkas.
"Ada apa, Mas?? Serius banget mukanya?? Tadi siapa yang telepon??"
Tanya Anin yang mengernyit heran menatap wajah suaminya yang serius seperti itu.
"Ngga papa kog..."
Jawab Yusuf sekenanya sambil mengumpulkan kembali kesadarannya kepada Anin yang masih menatapnya heran.
"Tadi yang telepon siapa, Mas??"
"Ohhh.. tadi yang telepon. Ngga tau, salah sambung kali.."
Anin pun hanya mengangguk saja, karena dia memang tidak tahu apa-apa dengan hal yang terjadi tadi.
Yusuf segera meletakkan HP-nya Anin setelah menghapus pesan yang dia kirim tadi. Dia tidak ingin Anin mengetahui hal ini. Kali ini, dia ingin menyelesaikannya sendiri, karena sudah di pastikan kalau Anin akan melarangnya. Bukan karena apa-apa, tapi karena Anin takut sesuatu yang buruk akan terjadi jika mereka meladeni stalker tersebut.
***