***
"Dek, dengerin penjelasan Mas dulu..."
Yusuf berhasil merengkuh lengan Anin dan memaksa Anin berhenti.
"Kita selesain di rumah aja, Mas..."
Ucap Anin sambil melepas genggaman tangan suaminya. Jika berlama-lama dengan Yusuf, bisa-bisa emosinya bisa membuat semuanya tau akan permasalahan yang terjadi di kehidupan rumah tangga CEO perusahaannya. Terlebih Anin memang tidak ingin mencampur adukkan permasalahannya dengan urusan kantor. Anin masih menjaga profesionalitasnya sebagai karyawan.
Aku memang membutuhkan cintamu, Mas...
Tapi yang membuatku merasa paling sakit saat aku tau jika kamu ngga pernah percaya sama aku..
Yusuf mengacak rambut dengan kesal dan melonggarkan dasi yang terasa menyekat nafasnya. Mengapa permasalahan yang seharusnya menjadi masalah yang sepele bisa menjadi sepatal ini. Bisanya-bisanya dia membuat wanita yang tidak ingin dia lihat airmatanya menetes malah justru menetes deras turun dari sumbernya dan semua itu karena dirinya.
Goblok... Goblok... Goblokkk...
Umpat Yusuf dalam hatinya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat kata istigfar tidak mampu mengendalikan emosinya dan setan berhasil menguasai pikirannya.
***
Yusuf serasa ingin segera pulang kerumah menyelesaikan semua masalah yang menurutnya tidak seharusnya terjadi jika dirinya sedikit terbuka dengan Anin. Yusuf juga tidak habis pikir dengan apa yang dia pikirkan selama ini. Anin sudah mencoba mengingatkannya untuk terbuka dengan Anin, tapi justru Yusuflah yang menutup dirinya dari Anin.
"Anin-nya ada??"
Yusuf dengan deru nafas yang khawatir bertanya dengan Franda yang masih sibuk dengan laporan di komputernya.
"Selesai meeting, Bu Anin langsung pulang, Pak".
Jawab Franda dengan mode formal. Tidak mungkin kan disaat seperti ini dia bersikap sewajarnya dan ternyata feelingnya memang benar, jika ada sesuatu yang telah terjadi antara sahabat dan suaminya.
Tanpa sepatah kata apapun, Yusuf langsung menuju lift.
PULANG.
Satu kata yang langsung menerobos dalam pikirannya jika ia mengingat Anin sekarang. Anin memilih pulang tanpa dirinya. Yusuf memang berpikir bahwa Anin memang marah dengan dirinya, tapi selama ada pertengakaran antara mereka berdua Anin akan selalu berusaha untuk bersamanya. Apakah ini salah satu keegoisannya terhadap Anin??
Setelah kejadian Anin mengetahui permasalahan yang sebenarnya, Yusuf terpaksa harus mengikuti meeting dengan perasaan campur aduk. Terlebih melihat Anin, memang istrinya masih bersikap normal, tapi nampak jelas dari mata Anin yang terlihat sembab seperti habis menangis. Seharusnya memang Yusuf berpikir bahwa siapapun itu, termasuk Anin akan menangis jika suami yang mereka percaya malah justru tidak bisa mempercayai mereka.
Disisi lain, Anin memang tidak tau lagi harus bersikap bagaimana. Dia memang harus mengikuti meeting ini, karena ada beberapa hal yang memang harus dia sampaikan. Dia tidak mungkin memberikan tanggung jawab itu kepada sembarang orang, termasuk Franda. Tapi sekarang ini, pikirannya tidak bisa fokus.
Yusuf menerima segala umpatan dari Hendi. Ya, Yusuf membiarkan Hendi memarahinya dengan kata-kata kasar yang biasa Yusuf dengar dari sahabatnya ketika dia marah. Dia memang pantas mendapatkan hal itu untuk segera menyadarkannya. Dan disitu, Hendi menjelaskan apapun yang sebenarnya terjadi kepada Yusuf.
Mengingatnya saja sudah membuat Yusuf menahan segala penyesalannya. Untung jalanan di Solo sudah lancar. Jika tidak, Yusuf mungkin sudah menabrak siapapun yang menghalangi jalannya. Hanya air wudhu dan shalat maghrib lah yang membuat Yusuf sempat tenang. Tapi sekarang, dia sudah tidak bisa tenang sampai di rumah.
"Assalamualaikum..."
Ucap Yusuf sambil setengah berlari.
"Waalaikumsalam, Mas..."
Namun orang yang dia khawatirkan akan perubahan sikapnya, malah bersikap sebagaimana normalnya. Anin masih dengan senyumnya menyambut Yusuf, mencium punggung tangan suaminya dengan penuh kasih dan mengambil alih tas kerja yang ada di bahu Yusuf.
"Mas kenapa lari-lari gitu sih?? Udah laper??"
Yusuf hanya meraih tangan Anin dan menepuk-nepuknya. Dia tidak tahan melihat istrinya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dia lebih baik menerima segala kemarahan yang ada di dalam hati Anin, daripada menerima sikap Anin seperti sekarang. Dia semakin merasa berdosa terhadap Anin.
"Mas mau mandi dulu?? Anin siapin airnya dulu..."
"Mas pengen jelasin semuanya dulu..."
Dengan cepat Yusuf mencengkram tangan Anin yang masih ada di genggamannya yang membuat Anin menatapnya.
"Kita bicarain nanti..."
Jawab Anin dengan suara setenang mungkin. Dia tidak ingin semuanya bertambah buruk. Yusuf pun pasti juga menginginkan hal yang sama.
"Dek..."
Yusuf mencoba menekan nada suaranya selembut mungkin.
"Nanti, Mas... pasti kita bicara soal tadi, tapi ngga untuk sekarang..."
Jelas Anin yang sudah naik tangga menyiapkan air untuk Yusuf mandi. Yusuf mengekori istrinya, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Anin masih mau menyiapkan bajunya, masih sempat memasak untuk makan malam mereka dan bahkan sholat isya' pun mereka kerjakan berjamaah dengan khusyu'. Meskipun Yusuf sendiri merasa ada dinding tipis yang menghalangi mereka. Dinding tipis yang malah justru berhasil membuat suasana rumah menjadi sedingin es batu.
"Dek... Mas pengen bicara sama kamu..."
Anin hanya sebatas menatap Yusuf, menunggu kelanjutan kata-kata dari Yusuf yang serasa masih terpotong.
"Ngga ada kata nanti..."
Lanjut Yusuf dengan suara yang tidak bisa di ganggu gugat sambil mengajak Anin duduk di tepi ranjang.
"Apa yang perlu di bicarain lagi, Mas??"
Akhirnya Anin dengan suara serak menahan airmata keluar juga.
"Aku udah nglakuin apa yang Mas Yusuf minta... BERHENTI DARI KERJAANKU SAAT INI".
Jelas Anin dengan menekankan kalimat terakhir yang menjadi permintaan Yusuf beberapa waktu lalu dengan suara yang sekuat hati dia tekan. Anin sudah mengajukan surat pengunduran dirinya kepada perusahaan. Bukan ke HRD, namun ke Yusuf secara langsung dan dia lakukan dengan ikhlas sebelum dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Mas tarik apa yang Mas katakan ke kamu kemarin... Mas minta maaf karena memutuskan hal ini secara sepihak ke kamu.. Ngga seharusnya Mas nglakuin hal itu..."
Anin hanya menutup mata menahan airmatanya. Dia tidak habis pikir mengapa Yusuf dengan mudahnya menarik kata-katanya tersebut dan mengucapkan maaf seakan Anin begitu mudah untuk membalikkan keadaan yang ada menjadi normal kembali.
"Bukannya itu yang Mas inginkan?? Aku keluar dari pekerjaanku jadi istri baik-baik, tidak seperti yang Mas Yusuf dengar dari orang yang bahkan aku sendiri ngga tau siapa mereka yang udah buat kamu berpikiran kaya gitu ke aku. Di tambah lagi dengan berhentinya aku dari pekerjaanku itu semakin memperjelas semua yang udah Mas denger, kalau aku emang cuma mau hartanya Mas... dan Mas Yusuf cuma mendiamkannya saja kan?? Mas ngga ada niatan buat bela aku??"
Anin sekarang membalikkan semuanya ke Yusuf. Airmata yang berusaha dia tahan akhirnya keluar tanpa seizinnya. Rasa sakit yang ada semakin dalam setelah mengucapkan kata-kata tersebut kepada Yusuf. Bukan inginnya dia mengatakan hal itu kepada Yusuf, tapi dia ingin Yusuf sadar dengan apa yang dilakukannya sekarang.
"Dengerin Mas dulu..."
Suara Yusuf dengan tegas membuat Anin semakin terisak.
"Ok, Fine... Mas salah. Mas emang salah hanya mendiamkan semuanya, karena Mas ngga mau kepancing emosi..."
"Dan Mas limpahin semuanya ke aku?? gitu maksud Mas??"
Memang harus diakui Anin bahwa dirinya bukanlah seorang istri yang baik untuk Yusuf. Bahkan dia sendiri juga tidak yakin dengan apa yang di lakukannya sekarang. Yusuf mengerti dengan keadaan Anin sekarang. Tapi dia lebih menerima keadaan saat ini daripada dia tidak akan menemukan apa yang Anin rasakan.
"Jadi apa yang Mas Yusuf ingin sekarang??"
Dengan suara yang tidak terlalu jelas karena suara yang tercekat di tenggorokannya membuat airmata Anin semakin menetes deras. Tidak peduli dengan orang yang ada dihadapannya sekarang yang terus mengusap airmatanya.
"Kamu boleh kerja. Mas emang terlalu egois karena Mas nyimpulin semuanya sendiri dan ngga pernah biarin kamu buat ikut memutuskan. Tapi harus kamu tau kalau Mas menyesali semuanya…"
Yusuf masih dengan mengusap airmata Anin menatap jelas wajah istrinya yang kecewa.
"Seharusnya Mas cerita ke kamu. Dengerin semuanya dari sudut pandang kamu juga. Ngga Cuma satu side aja… Mas hanya takut kalau apa yang mereka bicarakan adalah kebenarannya".
Lanjut Yusuf yang justru membuat Anin menatap suaminya bingung.
"Kebenaran??"
Anin hanya bias memejamkan matanya dan menerka apakah semuanya berhubungan dengan masalalu Yusuf.
"Kebenaran?? Mas takut kalau itu adalah hal yang sebenarnya terjadi. Karena pada kenyataannya aku bukanlah orang yang selalu Mas pikirin??"
"…"
"Biar aku lanjutin dulu, Mas… Kenyataan kalau aku bukanlah orang yang selalu Mas nanti sampai detik ini. Kenyataan kalau aku adalah orang baru yang masuk dalam kehidupan Mas dan Mas Yusuf belum terbiasa sama aku??"
"Bukan itu maksud Mas…"
"I'm not an angel. Aku hanya seseorang yang sedang berusaha masuk dalam hatimu, Mas. Dan pada kenyataannya, kamu belum sepenuhnya terima aku untuk masuk dalam hidupmu, Mas… Nope".
Anin merasakan sakit luar biasa. Mengapa masalahnya menjadi melebar seperti sekarang. Anin ingin keluar dari kamar tersebut, namun tangan dari Yusuf sudah mencekalnya, tidak membiarkannya keluar.
"Dengerin, Mas…"
Anin hanya bisa berdiri dan menatap kedepan. Dia tidak berani menatap Yusuf yang sudah menatapnya. Takut bila dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi.
"Mas tau, kamu ke klub malam dan itu bersama Hendi. Kalian mencari informasi tentang perusahaan yang sekarang sudah di akuisisi oleh Dhyaksa Grup. Ya, anak cabang di Solo ini yang Mas kelola. Itu adalah bentuk perjuangan kamu sebagai loyalitas kamu terhadap perusahaan. Mas terima hal itu…"
"…Tapi Mas ngga terima kalau ada orang yang menjelek-jelekkan istri Mas didepan Mas sendiri. Mas ngga yakin kalau Mas akan terima hal itu. Tapi kamu tau sendiri kan kalau Mas ngga bisa membalas mereka dan memilih untuk diam. Mas ngga mau emosi dan itu malah membuat kamu semakin salah di depan mereka, karena pasti mereka menganggap kamu pengaruh negatif untuk Mas".
Anin hanya bisa menghela nafas. Tidak tau lagi apa yang seharusnya dia katakan.
"Kamu boleh bekerja. Mas izinkan kamu. Mas emang suami yang terlalu bodoh menyia-nyiakan apa yang bisa istri Mas lakukan bahkan itu sebetulnya untuk kepentingan Mas juga…"
"Tapi ngga untuk kembali ke Dhyaksa Grup…"
Jawab Anin dengan tegas
"Dek… Plis… Kamu pasti juga tau kalau Mas ngga akan pernah biarin kamu ke perusahaan lain".
Yusuf memegang kedua bahu Anin. Mencari mata bening yang selalu menjadi favoritnya, namun yang dia temukan malah tumpukan airmata yang masih meleleh dan membuat Yusuf semakin menyesali semuanya.
"Dan untuk masa lalu Mas?? Mas ngga pernah mikirin hal itu selama Mas bersama kamu. Karena Mas emang benar-benar ingin membuat kehidupan yang baru untuk Mas sendiri. Dan itu harus ada kamu dalam kehidupan yang baru itu".
Jelas Yusuf sembari meraih Anin dalam pelukannya yang justru membuat Anin semakin terisak. Sungguh Anin tidak bisa untuk tidak mengiyakan apapun yang Yusuf katakan. Dia tidak ingin kehilangan Yusuf dan sudah menjadi konsekuensinya menerima Yusuf seperti sekarang, sedangkan hati suaminya saja sekarang entah dimana lokasinya.
Mungkin Yusuf bisa berucap bahwa Anin adalah salah satu orang yang harus ada dalam cerita hidupnya. Namun sorot mata Yusuf tidak pernah bisa membohongi apa yang ada di dalam pikiran pria tersebut. Berani-beraninya dia menjanjikan Anin bahwa Anin-lah yang akan menjadi orang terpenting dalam hidupnya, karena sampai sekarang Yusuf memang harus mengakui dirinya masih menutup hatinya dan menyimpan lukanya rapat-rapat. Tapi pikirannya juga mulai goyah ketika melihat Anin menangis seperti sekarang. Dia tidak ingin melihat wanita yang pada kenyataannya dia putuskan sendiri dengan ikhlas untuk mengisi hari-harinya malah menangis. Sudah cukup dia meminta Anin mengorbankan hidupnya untuk menikah dengannya. Sudah saatnya dia memang harus melupakan semua dan benar-benar membuka hatinya, sebelum Anin memilih untuk meninggalkannya karena rasa lelah untuk menunggu dan berjuang sendirian untuk memenangkan hatinya.
***
Seperti yang pernah dikatakan Yusuf. Dia tidak akan menyetujui pengunduran Anin, sekalipun kini istrinya sudah 3 hari ada di rumah. Mengurus rumah, menunggu Yusuf dan menyapa Yusuf ketika dia pulang. Namun itu malah membuat Yusuf terasa lebih menyakitkan melihat Anin bersikap seperti itu.Yusuf memang membiarkan Anin untuk menenangkan dirinya, tapi sekarang dia juga merindukan apapun hal yang berkenaan dengan Anin. Dia rindu akan semua penolakan Anin terhadap apapun yang Yusuf inginkan, namun pada kenyatannya dia akan menurutinya yang membuat Yusuf selalu tersenyum akan hal itu. Bukan hanya dia yang tersenyum, namun istrinya juga akan tersenyum saat melakukannya, melakukan hal yang hanya dia tolak sebatas di bibirnya.
Apa ini salah satu penolakan dari Anin, namun kenyataan malah justru Anin melakukan hal yang sebelumnya Yusuf inginkan dan kemudian dia tarik kembali keinginan tersebut.
"Assalamualaikum…"
Ternyata Anin sedang menyiapkan makan malam. Hal yang biasa Yusuf lihat selama 3 hari ini sebagai rutinitas Anin. Biasanya dia akan pulang bersama Anin. Dia akan mandi duluan, sedangkan Anin dengan cepatnya menyiapkan makan malam sederhana. Atau kalau tidak, mereka akan memilih untuk menikmati nasi padang yang menjadi makanan favorit Anin, jika Yusuf melihat Anin sudah terlelap dalam mobil ketika mereka perjalanan pulang.
"Waalaikumsalam, Mas…"
Anin dengan senyumnya meraih tas kerja dan jas milik Yusuf yang sudah tersampir dilengan Yusuf.
"Mas mau makan dulu atau mandi?? Mandi dulu kali ya, sekalian makannya habis maghrib??"
Lanjut Anin hanya bisa membuat Yusuf menatapnya tidak percaya. Apa yang mereka lakukan masih normal, namun keadaanlah yang terasa tidak normal untuk mereka berdua. Sepi. Tidak ada canda-tawa lagi. Hanya sebatas komunikasi yang masih mereka jaga.
"Mas mandi sekarang aja…"
Yusuf langsung masuk kedalam kamar mandi saat Anin menyiapkan baju ganti untuknya.
Anin dengan telaten mengambil nasi dan lauk untuk Yusuf. Yang pasti dengan senyum kalau menurut Yusuf itu adalah senyum palsu dari Anin. Yusuf sendiri merasa ngeri melihat istrinya yang dengan pintarnya menutupi semua darinya dengan begitu rapat.
Yusuf menikmati makanan yang ada di piringnya. Enak seperti biasa. Masakan dengan khas rasa dari istrinya, namun rasanya menjadi hambar karena orang yang ada disebelah kirinya memilih untuk makan dalam diam tanpa ekspresi apapun.
"Biar Mas aja yang cuci piringnya…"
Anin hanya mengangguk saja dan membereskan sisa makanan yang ada di meja untuk di simpan dalam kulkas.
Jika biasanya Yusuf akan mengecek laporan ataupun dokumen kantor yang kadang sengaja dia kerjakan di rumah, tapi kali ini Yusuf memilih untuk segera menyusul Anin ke tempat tidur. Dia tidak tahan berlama-lama didiamkan Anin seperti sekarang. Anin seperti biasa sudah siap di tempat tidur sambil membaca novel seperti kebiasaannya menjelang tidur.
Anin sadar akan kehadiran Yusuf. Dia memilih untuk menatapnya sekilas dan kembali sibuk dengan novelnya.
Tahu akan dirinya yang sudah seperti kacang goreng, membuat Yusuf berpikir keras bagaimana caranya mengalihkan perhatian Anin hanya untuk dirinya saja.
"Dek.. Mas capek banget nih…"
Yusuf menyesali apa yang baru saja di katakannya. Tapi mungkin ini adalah pilihan yang terbaik. Biasanya jika dia mengeluh bahwa dia merasa capek, dengan segera Anin akan memijatnya. Bukan dengan minyak urut seperti orang pada umumnya, melainkan dengan body butter yang harumnya sama dengan harum yang di hirup Yusuf dari Anin yang entah mengapa dia merasa lebih dekat dengan istrinya itu.
Anin hanya menatapnya sekilas dan turun untuk mengambil body butter.
Anin langsung mengoleskannya ke tangan, kaki, leher serta sedikit turun ke pundak membuat Yusuf sudah merasakan kantuk yang luar biasa dari matanya. Tapi dia tidak akan tertidur kali ini. Dia harus mengatakan sesuatu kepada Anin jika dia ingin mendapatkan Anin yang dulu. Anin sudah memasangkan kaos kaki ke Yusuf dan berarti Anin sudah selesai dengan acara memijatnya.
"Mas boleh bicara sesuatu sama kamu??"
Dengan hati-hati, Yusuf mengatakannya kepada Anin. Anin hanya bisa menghela nafas dan bersiap untuk mendengar apa yang ingin suaminya katakan.
"Sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini ke Mas?? Hm??"
Tanya Yusuf tanpa basa-basi, karena Yusuf sendiri juga bingung harus mengatakannya dengan awalan yang bagaimana.
"Maksud Mas sikap yang mana??"
Anin tau dengan maksud dari yang Yusuf katakan. Namun dia berusaha untuk tenang, ingin mendengarnya secara langsung dari Yusuf.
"Mas ngga tahan dengan sikapmu yang sekarang. Udah cukup kamu diemin Mas. Mas juga tau kalau kamu ngga pernah marah sama Mas. Karena itu yang selalu kamu katakan. Tapi kamu kecewa kan sama Mas?? Apa yang Mas lakukan dan Mas ucapkan udah membuat kamu kecewa sama Mas??"
Yusuf mengelus rambut Anin yang sekarang ini tergerai. Salah satu penampilan favorit Yusuf, setelah penampilan Anin ketika berjilbab atau ketika Anin mencepol rambutnya asal.
Anin tidak menjawab apapun yang Yusuf katakan. Dia mengiyakan semuanya di dalam hati. Dia kecewa dengan apa yang Yusuf lakukan, tapi dia lebih kecewa terhadap dirinya sendiri yang tidak bisa menuruti apa yang Yusuf inginkan darinya.
"Kamu jangan pernah kecewa jika kamu emang belum bisa nglakuin apa yang Mas inginkan. Kamu emang benar. You're not an angel, but you still as my wife. Istri yang selalu Mas harapkan senyumnya untuk Mas. Hanya untuk Mas, bukan untuk yang lain.."
Lanjut Yusuf sambil mengusap airmata yang sudah tumpah ruah di pipi istrinya.
"Dek, berhenti nangis… Mas tau kalau kamu selalu nangis beberapa waktu ini. Dan udah cukup sampai hari ini Mas lihat hal ini.."
Yusuf selalu mengetahui disaat malam dan Anin merasa bahwa dirinya sudah tertidur. Anin akan menangis dalam diam walau dalam kenyataanya, sekeras apapun Anin menahan isakannya agar tidak terdengar oleh Yusuf, namun Yusuf tetap mendengarnya.
Yusuf segera merengkuh Anin dalam pelukannya. Dia juga tidak bisa membuat Anin berhenti menangis dan Yusuf lebih memilih membiarkan hal tersebut sampai Anin merasa lega.
"Jangan nangis lagi, Dek. Kamu tau kan selama kamu menangis, Mas ngga pernah tau bagaimana caranya agar kamu berhenti menangis. Mas mohon kalau Mas emang ada salah, ucapkan itu. Itu jauh lebih baik daripada kamu diam dan melakukan semuanya yang bertolak belakang dengan apa yang kamu rasain.."
Ucap Yusuf sambil mengusap punggung istrinya dan Anin semakin mengetatkan pelukannya ke Yusuf. Dia sendiri juga tidak tau mengapa rasanya bisa sesakit ini.
Setelah beberapa saat Yusuf tidak mendengar suara isakan dari istrinya. Yusuf sedikit melonggarkan pelukannya dan melihat Anin yang sudah tertidur disana, masih dengan bekas airmata yang ada di wajahnya. Yusuf segera menidurkan Anin dan membiarkan lengannya menjadi bantal untuk Anin, sekalipun rasa kebas sudah menghinggapi lengannya. Jika biasanya dirinya yang menelungkup di ceruk leher milik istrinya untuk mencari kenyamanan saat tidur. Tapi beda untuk kali ini, Anin berada dalam dekapannya sekarang dan dia bisa merasakan hembusan nafas teratur di dadanya yang membuat jantungnya berdetak begitu cepat.
Apa ini yang disebut cinta??
Batin Yusuf sebelum ia ikut tertidur setelah mengecup puncak kepala Anin dan mengusap bekas airmata yang ada di wajah pucat milik Anin yang sudah terlalu banyak mengeluarkan airmata beberapa hari ini.
***