***
Entah mengapa, setelah Arwi mengetahui bahwa Yusuf dan kakaknya itu sudah di restui, malah membuatnya gelisah. Seperti tidak ingin membagi kakaknya terlebih dahulu. Tidak ingin membagi perhatian kakaknya, yang sebenarnya dia lebih sering kena marah daripada kata-kata yang lembut, karena sikap Arwi sendiri yang kelewat manja jika bersama dengan Anin.
"Mbak, masakin sayur asem sama orek tempe dong…"
Kata Arwi setelah selesai sholat subuh berjamaah bersama dengan Anin. Anin yang masih melipat mukena hanya menautkan alisnya heran dengan sikap Arwi yang tiba-tiba memintanya untuk memasak. Biasanya, Arwi bakal lebih suka masak sendiri sesuai seleranya daripada makan makanan yang tidak sesuai dengan keinginannya.
"Mbak, masakin… gue udah lama ngga ngrasain masakan Lo.."
Pinta Arwi dengan manja yang sekarang ada di hadapan Anin sambil menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya berharap kakaknya mau memasakkan untuknya.
"Ishh, tumben minta di masakkin. Biasanya juga masak sendiri".
Jawab Anin sambil turun ke lantai dasar menuju dapur.
"Mbak…"
"Kalau ada bahannya ya…"
Jawab Anin seadanya dan meminum kembali air putih yang ada di gelasnya.
"Ada lah mbak…"
Arwi pun dengan semangatnya mengeluarkan semua bahan yang di perlukan untuk membuat sayur asem dan orek tempe pesanannya. Satu set bahan sayur asem yang tersedia di kulkas bagian bawah langsung di keluarkan oleh Arwi. Dan sekarang dia mengaduk-aduk isi dari kulkas mencari bahan yang juga penting dalam pesanan makanannya. TEMPE. Tapi sekarang, barang tersebut tidak ada di sepanjang Arwi mencari.
"Kog ngga ada tempe mbak??"
"Mbak emang ngga stok tempe, Dek. Gimana kalau pake teri aja??"
Kata Anin sambil menunjukkan ikan teri yang ada di kantong plastic.
"Ya udah deh…"
Arwi pun menyetujui ide dari kakaknya, ketimbang Anin nanti ngambek ngga mau masakin mendingan untuk kali ini dia mengalah. Arwi pun dengan sigap membantu Anin mengupas dan memotong bahan-bahan yang ada di bantu dengan Anin yang sekarang sedang memotong labu siam.
Anin pun segera meng-uleg bumbu yang ada. Satu untuk sayur asem dan satu bumbu lainnya untuk membuat ikan teri sambal balado.
Dengan menyalakan 2 kompor, Anin segera memasak sayur asem dan ikan teri dalam satu waktu untuk menghemat waktu. Untung saja untuk urusan nasi sekarang tinggal di memakai alat magic yang mengubah beras menjadi nasi pulen siap makan. Tinggal tambah air, beri aliran listrik pada alat tersebut dan tunggu sampai alat tersebut memberikan pemberitahuan bahwa nasi telah siap.
Tidak butuh waktu lama, kedua masakan yang di pesan oleh Arwi telah siap di meja makan. Anin sedikit lega, karena sekarang masih pukul 06.30. Setidaknya untuk hari ini, dia tidak di sibukkan dengan jadwal meeting pagi yang mengharuskannya datang lebih awal.
Anin segera bersiap diri dan sekarang sudah turun ke lantai dasar rumahnya menuju meja makan sambil menenteng tas ranselnya. Arwi juga ternyata telah siap menunggu Anin di meja makan dan sudah menyiapkan piring dan 2 gelas susu untuk mereka berdua.
"Wiiiissss, tumben jam segini udah siap?? Mau kemana??"
Arwi mengerti dengan sindiran Anin, karena memang dirinya bisa di katakan alergi mandi pagi, apalagi saat dirinya libur dari jadwal kuliah.
"Mau kuliah Mbak. Kaya ngga tau aja…"
"Pantes jam segini udah siap, pake nggelak-nggelak Mbak buat masak…"
Anin segera meminum sedikit susu putih yang ada di hadapannya sekarang. Dia mengambil nasi serta lauk pauk yang ada di meja. Mereka memilih makan dalam diam sampai suara isakkan terdengar oleh Anin. Anin pun langsung menoleh ke arah Arwi, karena siapa lagi yang akan mengeluarkan suara itu selain dirinya dan Arwi sedangkan dirinya sendiri masih santai memakan masakannya.
"Lo kenapa, Dek??"
Tanya Anin sambil meminum air putih untuk menetralkan suaranya. Untung saja acara makannya sudah selasai.
"Selesain dulu gih makannya, mbak tungguin…"
Anin tau bahwa Arwi sedang merahasiakan sesuatu darinya dan ingin mengungkapkannya. Tapi anin membiarkan Arwi menghabiskan sisa makanan yang ada di piring yang tinggal beberapa suap lagi. Anin masih dengan santai meminum susunya meskipun sekarang waktu menunjukkan pukul 8.00. Yang berarti Anin sudah telat dari jam masuk kantornya.
Arwi pun segera menghabiskan makanannya dengan cepat. Dia sepertinya benar-benar ingin mengungkapkan apa yang ingin dia sampaikan kepada Anin. Tapi malah airmata yang sudah ada di pelupuk matanya yang sekeras tenaga dia tahan malah jatuh juga.
"Arwi, Lo nangis kenapa?? Kepedesan??"
Anin mengira bahwa Arwi yang tidak tahan dengan makanan pedas, menangis karena hal itu. Berbanding terbalik dari dirinya yang menyukai makanan pedas sekalipun dia sendiri memiliki maag.
"Mbak, Lo bisa ngga sih nikahnya di undur aja. Tahun depan gitu misalnya??"
Kata Arwi di tengah isakannya menahan airmatanya.
Anin yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum. Dia dengan Arwi memang tidak pernah akur, tapi bukan berarti hubungan mereka renggang. Justru karena hal itu hubungannya menjadi lebih dekat satu sama lain, hingga urusan hati masing-masing dari mereka pun, mereka ketahui dengan detail.
"Lo takut kalau Lo ngga bias minta yang aneh-aneh lagi ke gue??"
Goda Anin masih menahan tawanya melihat Arwi menangis takut kehilangannya.
"Mbak…"
Terdengar nada protes dari Arwi tidak menerima dengan apa yang dikatakan Anin, seakan dirinya hanya memanfaatkan kakaknya saja.
"Dengerin mbak… dalam hitungan hari emang gue menikah dan berarti gue udah punya kewajiban yang lain. Tapi bukan berarti Lo bukan siapa-siapa gue lagi. Lo masih adik gue. Lo juga tau sendiri kan kalau kita udah sepakat kalau setelah nikah gue sama Mas Yusuf masih tetep tinggal disini".
Jelas Anin tidak ingin membuat Arwi semakin menangisinya. Di acara lamaran minggu lalu, memang sudah di sepakati bahwa Anin dan Yusuf akan tinggal dirumahnya Anin. Bukan karena Yusuf tidak mempunyai rumah, tapi karena rumahnya Yusuf berada di Jogja, sedangkan pekerjaan mereka di Solo lebih dekat rumahnya Anin. Toh selama ini Yusuf juga memilih untuk tinggal bersama Mey. Kakak keduanya yang tinggal di Solo.
"Ya udah, gue mau berangkat dulu. Kalau ada apa-apa hubungin gue…"
Jelas Anin kepada Arwi.
"Assalamualaikum…"
"Waalaikumsalam mbak, ati-ati…"
Jawab Arwi lirih namun masih terdengar oleh Anin yang masih mengecek isi tas ranselnya.
***
Anin begitu sibuk dengan pekerjaannya. Laporan yang mesti dia selesaikan dan bahkan dia rela tidak mengambil cuti satu hari pun sebelum acara pernikahannya yang tinggal 4 hari lagi membuatnya benar-benar harus bekerja ekstra membaggi waktunya untuk bekerja sekaligus mempersiapkan acara pernikahannya.
"Assalamualaikum Mbak Anin…"
Anin langsung mendongak mendengar suara tidak asing itu. Arwi. Untuk apa dia datang ke kantornya. Dan bukankah dia harusnya kuliah hari ini.
"Jawab dong salamnya…"
"Waalaikumsalam… ada apa Lo kesini??"
Arwi langsung mengangkat telepon dari saku celananya yang telah berdering.
"…"
"Waalaikumsalam Bunda…"
"…"
"Iya, ini baru aja sampe…"
"…"
"Waalaikumsalam…"
Memang tidak terlalu jelas apa yang di bicarakan Arwi di telepon tadi, tapi Anin yakin bahwa Arwi sedang berbicara dengan Bundanya dilihat dari cara berbicaranya Arwi.
"Mbak, Lo disuruh pulang sekarang. Lo harus di pingit dulu katanya…"
"WHAT?? PINGIT?? Lo hidup di zaman apa sih dek??"
Anin langsung membulatkan matanya menatap Arwi dan Arwi hanya bisa menampangkan ekspresi sok polosnya tidak mengetahui apapun yang terjadi.
"Gue cuma nurutin perintahnya Bunda aja. Kalau mau protes, protes aja di rumah nanti. Tapi sekarang mendingan Lo ikut gue pulang. Gue ngga mau kena marah gegara Lo…"
Arwi sudah menarik lengannya Anin sekaligus mengambil tas ransel milik Anin yang ada di bawah meja kerja.
"Tapi…"
"Tapi apaan?? Kerjaan?? Gue tadi udah bilang sama mas ipar kalau mulai hari ini sampe acara nikahannya selesai, Lo bakal cuti".
Anin hanya bisa membentuk O pada bibirnya, tidak menyangka bahwa Arwi bisa berpikiran sejauh itu.
"Udah, ngga usah banyak protes. Mendingan Lo anteng nurut sama kata orangtua".
Akhirnya Anin menuruti apa yang di katakan Arwi. Tapi disini siapa yang lebih tua sebenarnya. Anin tidak ingin bersusah payah mengartikan maksud pembicaraan adik tengilnya itu.
***
Dan benar saja, sampai di rumahnya, rumah orangtuanya lebih tepatnya. Semua alat komunikasi yang dimiliki Anin langsung disita. Mulai dari ponsel, tablet dan laptop yang pastinya semua alat yang bias di jadikan alat komunikasi bagi Anin telah di sita oleh Arwi sesuai mandat dari Bundanya. Bahkan hanya untuk menghubungi Franda agar melanjutkan pekerjaannya pun tidak boleh, apalagi menghubungi Yusuf. Membuat Anin memutuskan untuk menonton TV di kamarnya daripada di mati kena serangan bosen. Ngga lucu kan mau nikah malah kena serangan mati bosen. Haruskah dia melewati ini semua.
Emang kita hidup di zaman apaan sih??
Masih aja kena pingit…
Batin Anin dongkol setiap dia mengingat bahwa sekarang dia bagai Rapunzel yang terkurung di menara yang tinggi menanti seseorang membawanya ke dunia luar yang indah.
***