***
Entah mengapa Anin yang sebenarnya berusaha untuk menemani Yusuf saat menyetir mobil malah ketiduran. Mungkin efek makan siang dan acara jalan-jalannya sejak pagi membuatnya merasa lebih lelah daripada seharian mengerjakan pekerjaan di kantornya. Yusuf yang melihat hal itu hanya tersenyum dan sesekali melihat guratan lelah yang nampak di wajah Anin. Dia membiarkan Anin tertidur dan kadang membenarkan posisi kepala Anin agar tidak terpentok dengan kaca mobil yang ada di sebelahnya.
Akhirnya mereka berdua sudah sampai di depan butik yang menjadi tujuan terakhir mereka hari ini. Butuh waktu 2 jam untuk sampai disana dan untung saja Yusuf memutuskan untuk sholat Ashar terlebih dahulu sebelum keluar dari Mall. Sebenarnya Yusuf tidak tega untuk membangunkan Anin, namun dia juga tidak mempunyai pilihan lain. Lebih baik segera di bangunkan daripada mereka pulang terlalu malam. Dengan pelan-pelan Yusuf memanggil nama Anin yang sebenarnya lebih bersifat menidurkan Anin.
"Dek.."
"Dek Anin..."
Yusuf masih dengan suara yang lirih mencoba membangunkan Anin. Anin mengerjapkan matanya, menormalkan kembali penglihatannya, mencoba menerima cahaya dari lampu yang ada di depan butik yang menyala dengan terang.
"Maaf ya, Mas..."
Yusuf hanya mengangguk sembari memberikan senyum yang mengatakan 'tidak apa-apa' yang membuat Anin juga tersenyum sebagai balasannya. Yusuf pun segera keluar dari mobil di susul dengan Anin yang ada di belakangnya sekarang.
"Assalamualaikum, mbak Ratih..."
Kata Yusuf membuka pintu masuk dan ternyata sudah ada Ratih yang sudah ada disana. Dia memang sengaja menunggu di dekat kasir karena dia sendiri langsung mendapatkan SMS dari Uminya Yusuf bahwa Yusuf akan ke butiknya bersama calon istrinya.
"Waalaikumsalam, Yusuf..."
Jawab Ratih dengan senyum keibuaannya dan melirik Anin.
"Assalamualaikum..."
Kata Anin sedikit sungkan ketika di lihat oleh Ratih.
"Waalaikumsalam, Anin..."
Anin sedikit kaget ketika Ratih sudah mengetahui namanya, padahal dia belum mengenalkan dirinya. Sedangkan Yusuf hanya tersenyum. Dia sudah mengira bahwa Uminya telah memberitahukan rencana kedatangannya kepada Ratih.
"Dapet darimana?? Kayanya yang kemarin bukan yang ini deh..."
Wajah Yusuf seketika berubah menjadi dingin. Rahangnya tampak mengeras dan Anin yang mendengar hal tersebut seketika itu juga menebak bahwa orang yang di maksud adalah mantan tunangannya Yusuf.
"Tadi Bulik bilang kalau semuanya kalian yang ngatur..."
Lanjut Ratih sedikit mengalihkan pembicaraannya. Ratih adalah anak dari saudara tertua dari Umi. Jadi, wajarlah jika dia mengetahui kehidupan Yusuf. Meskipun bukan versi lengkapnya.
"Ya udah, kalian pilih-pilih dulu..."
"Tema pernikahan kalian gimana??"
"Rustic, mbak..."
Jawab Anin dengan senyuman, sedangkan Yusuf masih bersikap dingin menciptakan suasana canggung.
"Tapi, akunya pengen pas akad nikah sama acara pas siangnya pake kebaya mbak..."
"Trus baru malemnya pake gaun, tapi gaunnya yang simple aja. Ngga usah rempong-rempong".
Ratih yang mendengar request dari calon adik sepupu ipar itu hanya cekikikan. Ternyata kalau kaya gini, dia bisa melihat persamaan antara Anin dan Yusuf. Ngga mau ribet.
"Kalau ngga mau ribet kenapa ngga pake kemeja aja kaya sekarang?? Malah kesini. Kalian udah couple gitu kog bajunya".
Ledek Ratih kepada Anin yang seketika membuat Anin teringat kalau saat ini, dirinya dan Yusuf memakai baju couple dan itu tidak pernah di rencanakan.
"Ngga sengaja, mbak..."
Yusuf mulai menanggapi dengan santai. Mungkin Yusuf sudah mulai melepas emosi yang ada di pikirannya.
Anin pun mencoba baju yang telah dia pilih bersama Ratih. Sedangkan Yusuf memilih untuk sholat Maghrib terlebih dahulu. Untuk urusan baju, cowok kan tinggal menyelaraskan dengan bajunya cewek. Jadi alangkah baiknya dia menunggu baju yang di pilih Anin, baru gilirannya untuk memilih.
Sebenarnya Anin ingin menunjukkan baju yang telah dia pilih, namun dilarang oleh Ratih. Alasannya, agar Yusuf baru mengetahuinya saat hari H. Biar kejutan maksudnya. Untuk urusan bajunya Yusuf, Ratih bisa mengaturnya.
"Tapi, mbak... jangan yang ini ya... akunya ngga mau bebani Mas Yusuf".
Tampak Anin memikir ulang haruskan dia membeli pakaian yang sebenarnya terlalu mahal baginya.
"Ngga apa-apa kali. Buat apa coba dia ngumpulin uang terus tapi calonnya malah pelit kaya gini?"
"Tapi mbak..."
"Ngga papa, Dek. Paling nanti dikasih diskon sama mbak Ratih".
Entah sejak kapan Yusuf ada di hadapan Anin dan Ratih sekarang, tapi yang pasti dia mendengar Anin yang mengeluh dan pastinya itu soal harga.
"Kamu itu uangnya banyak, tapi masih ngarep diskon. Kapan butiknya mbak berkembang kalau pelanggannya kaya kamu..."
Yusuf hanya terkekeh mendengar protes dari Ratih.
"Udah ngga papa. Nanti kamu bisa tuker uangnya setelah nikah kalau kamu keberatan. Tapi biarin aku lihat kamu pake baju yang udah kamu pilih".
Kata Yusuf menenangkan Anin dan berhasil. Karena sekarang, Anin sedang mengulas senyum dan lagi-lagi membuat jantung milik Yusuf seperti mendapat serangan bom atom.
"Ya udah, selesai kan masalahnya?? Oiya, buat baju kamu, mbak aja ya yang milihin".
Tawar Ratih kepada Yusuf.
"Tapi jangan yang ribet lho, Mbak. Ukurannya masih sama kog..."
Ratih pun mengangguk.
"Lagian ini semua bakal di tanggung kog sama Bulik jadi kalian gratis gitu buat kalian".
"GRATISS??"
Anin spontan mengulang kata 'gratis'. Padahal dirinya dan Yusuf sudah sepakat untuk menanggung biaya pernikahan mereka bersama. Lebih tepatnya, Anin lah yang memaksa hal itu karena tidak ingin membebankan semuanya kepada Yusuf.
"Udah kebiasaan dari keluarganya Umi, Dek. Ngga usah khawatir".
"Tapi, Mas..."
"Udah, ngga papa. Biarin Umi nglakuin hal ini. Kita hargain aja ya??"
Anin pun hanya mengangguk sebagai jawabannya. Padahal sedari tadi Yusuf lah yang mengeluarkan semua biayanya. Sedangkan disaat Anin ingin sedikit membantu, pasti sudah di dahului oleh Yusuf.
"Ini ngga perlu fitting-fitting lagi kan??"
Tanya Yusuf kepada Ratih.
"Ngga, udah pas sama badannya. Gue seneng sama badannya Anin. Berisi, cuma tau tempatnya. SEKSI".
Anin itu memang terlihat kurus. Tapi sebenarnya, beberapa bagian tubuhnya memang lebih berisi daripada bagian yang lain. Anin saja yang terlalu pintar menutupinya dengan cara berpakaiannya. Mungkin Anin terlihat kecil karena tinggi badannya yang jika bersanding dengan Yusuf tanpa high heels-nya hanya sampai di lekuk leher milik Yusuf. Dan kata terakhir yang di katakan Ratih cukup sukses membuat Anin melongo. Darimana Ratih menganggapnya SEKSI. Bagian mana???
"Ya udah, Mbak, kita pamit dulu... Assalamualaikum..."
"Assalamualaikum, mbak.."
Kata Anin setelah cipika-cipiki dengan Ratih.
"Waalaikumsalam, ati-ati ya. Inget lho, belum halal. Langsung pulang. OK".
Ledek Ratih sambil mengerlingkan mata. Sedangkan Yusuf sudah melotot melihat Ratih yang masih di balik pintu masuk dan Anin seketika langsung blushing mendengar hal itu dari Ratih. Dia tidak menyangka bahwa seharian ini sebenarnya dia jalan berdua dengan Yusuf. Sekalipun hanya di dalam mobil. Karena faktanya, mereka selalu bertemu dengan orang terdekat mereka dimanapun tempatnya.
Di dalam mobil, Anin hanya menatap yang ada di depannya. Sekarang ini, dia tidak ingin melihat Yusuf yang sudah ada di sampingnya dengan senyumnya yang bisa membuat Anin melting away seketika.
"Tadi nolehnya ke kiri, terus tidur, sekarang lihatnya depan terus. Yang kanan ini emang ngga menarik beneran ya??"
Sindir Yusuf yang membuat Anin semakin berkonsentrasi dengan apa yang ada di depannya sekarang. Dia menebak bahwa sekarang Yusuf sedang tersenyum jahil melihatnya seperti ini.
"Mas tau kalau kamu udah kaya ibu-ibu melahirkan gitu. Kedengeran banget nafasnya".
Memang terdengar beberapa kali Anin menarik nafasnya dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. Dan itu membuat Anin bertambah lucu di mata Yusuf.
"Mas jangan godain Anin terus dong, Mas..."
"Ciiieee yang bahasanya 'Mas' sama 'Anin'".
Goda Yusuf yang semakin membuat pipinya Anin sukses memerah seperti tomat.
"Apaan sih, Mas. Baru kali ini juga..."
Emang benar. Baru kali ini aja Anin membahasakan dirinya dan Yusuf dengan 'Anin-Mas'. Biasanya Anin lebih memilih 'AKU-KAMU'.
"Ngga papa. Latihan sebelum halal beneran. Kan tinggal 5 hari lagi halal-nya".
"Issshhh, Mas ini apaan sih??"
Anin menutupi wajahnya malu karena perkataan Yusuf yang membuat wajahnya benar-benar merah sekalipun langit Solo sudah berganti menjadi gelap.
Yusuf pun tertawa dengan kelakuan calon istrinya. Entah mengapa, dia merasa bersyukur karena dia memilih Anin menjadi istrinya sekalipun belum ada cinta di antara mereka.
"Mas, langsung pulang aja ya... Mas keliatan capek banget..."
Yusuf hanya mengangguk saja. Sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu pada Anin. Sesuatu menyangkut dirinya. Tentang masa lalunya yang sebenarnya ingin di kubur rapat-rapat. Tidak ingin membukanya untuk di bahas dengan siapapun, termasuk Anin. Calon istrinya. Tapi sekarang, dia dihadapkan dengan calon istrinya yang mungkin sudah tau semuanya walau sebenarnya dia belum menceritakannya.
"Dek..."
"Iya, Mas... ada apa??"
Jawab Anin menaruh kembali ponsel dalam tasnya. Sebenarnya dia akan membalas chat dari Franda, namun panggilan dari Yusuf sudah cukup membuatnya mengurungkan niat untuk membalasnya. Mungkin setelah sampai rumah. Pikir Anin.
"Mas boleh bicara sesuatu??"
Tanya Yusuf dengan penuh hati-hati.
"Bicara apa Mas??"
Tanya Anin yang justru malah penasaran dengan apa yang akan Yusuf bicarakan. Yusuf pun segera menepikan mobil mereka. Dia tidak bisa berbicara serius jika konsentrasinya terpecah untuk menyetir mobil.
"Tapi kamu harus janji satu hal sama Mas..."
"..."
Anin hanya menautkan kedua alisnya yang hitam dan tebal alami.
"Janji kalau kamu ngga batalin nikah sama Mas..."
Anin seketika langsung tertawa. Yusuf memang serius, tapi ntah mengapa mendengar Yusuf meminta hal tersebut kepadanya malah terdengar lucu sekaligus ada rasa hangat.
"Mas serius Dek..."
"Ya Allah, Mas. Anin juga serius soal pernikahan kita Mas. Buat apa seharian kita capek muter-muter, kesana-kemari kaya Ayu TingTing kalau ujung-ujungnya di batalin??"
Anin masih tertawa sambil mengelap airmatanya.
"Ngomong aja, Mas. Ngga perlu canggung gitu"
Akhirnya Anin memposisikan dirinya, siap untuk mendengar apa yang akan di katakan oleh Yusuf.
"Soal masa lalu Mas..."
"..."
"Kamu tau sendiri kan, gimana dulunya??"
"Tentang Mbak Fahira, Mas??"
SKAKMAT. Yusuf semakin canggung ketika Anin mengatakan nama itu. Nama yang ingin dia lupakan. Nama yang sudah dimiliki oleh seseorang yang seharusnya sudah dia ceritakan kepada calon istri yang ada di hadapannya sekarang. Tapi mengapa Anin serasa mengetahui apa yang ingin dia ceritakan. Sejak kapan Anin mengetahuinya?? Apa berita tentang dirinya dan Fahira memang terlalu luas tersebar dan otomatis Anin juga mengetahui hal tersebut.
"Kenapa tentang Mbak Fahira, Mas?? Mas belum bisa lupain dia?? Belum bisa Move-On??"
Sekali lagi, Anin mengetahui apa yang di pikirkan Yusuf. Bagi Yusuf, waktu sekarang terasa menghentikan setiap detak jantungnya yang membuat fungsi dari tubuhnya tidak sesuai dengan apa yang ingin dia lakukan. Termasuk lidahnya yang terasa kelu.
"Kalau Mas belum mau cerita, ngga usah dipaksa. Anin sedikit juga udah tahu tentang Mbak Fahira. Seenggaknya Anin sekarang tahu bagaimana Anin harus memposisikan diri Anin sebenarnya untuk Mas..."
Seketika ada rasa yang membuat Anin terasa sesak untuk bernafas. Dia seperti membuka rasa sakit yang sebenarnya sudah lama dia rasakan semenjak dia mengetahui kenyataan ini. Tapi dia tahan semua karena rasa cintanya kepada Yusuf dan memilih untuk membuat Yusuf bahagia.
"Aku ngga tahu, Mas. Mungkin untuk sekarang aku egois. Belum menjadi istri sah dari Mas, baru calon istri, tapi aku ngga mau kalau Mas terus-terusan mikirin dia".
Imbuh Anin mencoba mengumbar senyumnya.
"Maafin Mas, Dek..."
Anin segera menggelengkan kepalanya dan sekarang dia menatap sepasang mata hitam dengan lekat-lekat. Dia bahkan sudah tidak peduli lagi, jika setan mulai berjuang kembali untuk menggodanya lebih. Inget kan, kalau sekarang mereka lagi berdua di dalam mobil.
"Ngga ada yang perlu di maafin, Mas. Tapi Mas bisa janji satu hal sama Anin??"
Yusuf pun hanya mengangguk.
"Janji kalau Mas ngga bakal ninggalin Anin saat mau ijab qobul nanti".
Senyum pun terlukis dari wajah milik Yusuf yang membuat Anin lega. Seenggaknya dia ingin memastikan kesungguhan Yusuf untuk menjadikannya makmun dalam sholatnya. Menjadi orang yang akan berjalan dengan Yusuf mencari ridho Allah. Menemaninya disaat senang maupun sudah. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada mereka nantinya, yang pasti Anin ingin berjuang bersama Yusuf.
"Mas ngga main-main sama yang namanya nikah, Dek..."
"Aku tau Mas kalau Mas orangnya serius. Tanggung jawab sama keputusannya yang Mas Yusuf ambil. Tapi hati orang siapa yang tau. Sekarang aja, Anin juga ngga tau Mas, apa yang ada dalam pikiran dan hati Mas Yusuf".
Untuk kesekian kalinya, Yusuf hanya mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan Anin.
"Kaya lagunya Maudy Ayunda... status ngga menjamin cinta Mas. Untuk apa cinta tanpa pembuktian.. tapi, Anin ngga butuh pembuktiannya sekarang. Tapi besok Mas. Setelah ada kata 'SAH' untuk kita, Anin pengen Mas Yusuf jujur, buktiin kata-kata Mas Yusuf, kalau Mas ngga main-main sama yang namanya nikah... itu udah lebih dari cukup, kalau Mas bener-bener milih Anin untuk hidupnya Mas Yusuf. Perempuan yang telah Mas pilih untuk menjadi makmun dalam sholatmu dan memilih Mas menjadi Imamku. Imam dunia akhirat".
Sebenarnya ada rasa sakit saat Anin mengatakan bahwa menerima kenyataan Yusuf memang belum mencintainya dan masih enggan untuk melepas masalalunya. Tapi mellihat bagaimana ekspresi bersalah dari Yusuf, sekali lagi membuat Anin menerima Yusuf, terlepas dari kenyataannya.
"Anin ngga perlu pengakuan kalau Mas udah nglepasin Mbak Fahira. Untuk saat ini, Anin masih mengizinkan Mas buat mikiran dia, nyimpen rasa buat dia. Tapi biarin Anin juga ikut didalam hati dan pikirannya Mas. Jangan masang pintu dihati Mas cuma satu, tapi pasang yang banyak dan kasih Anin kunci dari semua pintu yang ada. Seenggaknya jika Anin merasa lelah dan kehilangan arah, Anin bisa kembali berusaha masuk melalui pintu yang lain. OK ngga kata-kata dari Anin??"
Yusuf berusaha mengerti apa yang dikatakan oleh Anin. Sekalipun dengan nada yang di buat cengengesan, namun tetap saja Yusuf bisa merasakan keseriusan dalam setiap kata yang di sampaikan oleh Anin.
"Terima kasih karena kamu mau ngertiin Mas. Bahkan kamu belum jadi istri Mas, kamu udah support sampai sejauh ini. Bagaimana kalau kamu udah beneran jadi istri Mas. Mas bersyukur banget".
Anin pun tersenyum lega melihat sorot mata Yusuf yang mulai rileks. Anin sendiri juga ingin mendengar langsung tentang Fahira dari Yusuf. Namun, mungkin Yusuf perlu waktu lebih untuk mengatakannya dengan ikhlas dan penuh kelapangan di hatinya. Yusuf pun segera melajukan mobilnya kembali. Lagian sudah terlalu malam membuat dirinya tidak sadar bahwa pembahasan tadi benar-benar serasa menghentikan waktu yang ada.
"Mas boleh tau alesan kenapa kamu ngga nolak lamaran Mas??"
Tanya Yusuf yang menunggu lampu merah di Solo yang terkenal lama. Padahal ngga sampe 5 menit juga.
"Hm..."
Anin tampak sibuk pura-pura berpikir. Yusuf yang mellihatnya hanya mendengus sebal, karena Anin seperti mempermainkannya.
"Mas ganteng, kaya, pinter, dari keluarga baik-baik. Kenapa harus nolak rezeki kaya gitu??".
Jawab Anin dengan nada yang jujur sejujurnya yang membuat Yusuf tambah geregetan. Dia yakin bahwa Anin tidak mungkin menilai dirinya seperti itu kan.
"Apalagi Mas udah ngenalin Anin sebagai calon istri di keluarganya Mas Yusuf. Gimana Anin bisa nolak??"
Imbuh Anin mengingatkan kembali pada memori ketika tanpa dia ketahui kemana dia di bawa, tahu-tahu dia sudah ada di rumah orangtua Yusuf yang sebentar lagi menjadi orangtuanya juga.
"Bukan itu, Dek..."
"Lha terus mau jawaban yang kaya gimana?? Karena Mas baik? Sholeh?? Munafik banget Mas kalau gitu. Lha aku aja belum tau Mas itu sebenernya kaya gimana".
Jawab Anin bohong.
Karena aku sayang sama kamu, Mas...
Aku cinta kamu, Mas Yusuf...
"Tapi ya jangan karena Mas ganteng, kaya atau lainnya lah..."
"Mas beneran penasaran?? Harus sekarang jawabnya??"
Yusuf pun mengangguk mantap membuat Anin tersenyum.
"Beneran?? Padahal Mas juga ngga bakalan mati kalau ngga tau sekarang".
"Bodo Ah..."
Anin kembali tertawa. Malam ini dia banyak tertawa karena Yusuf. Dan sekarang Yusuf dengan wajah pura-pura kesal tampak konsentrasi dengan setirnya.
"Besok ya Mas, pas udah nikah. Anin kasih tau alesannya itu apaan..."
Yusuf tidak memberikan respon apapun dan Anin hanya terkekeh. Dai tidak mau menggodanya kali ini gagal. Sudah cukup tadi siang dia digoda terus dengan Yusuf di tambah dengan Arwi saat makan siang membuatnya benar-benar berlomba dengan detak jantung yang semakin hari semakin tidak terkendali untuk di kendalikan.
"Mas, kalau udah sampe rumah, kabari ya. Chat aja ngga papa. Jangan lupa makan. OK??"
Pesan Anin sambil melepas seatbelt-nya dan membuka pintu mobil.
"Jangan mikirin Anin terus Mas. Belum muhrim.."
Goda Anin yang sudah keluar dan menatap Yusuf yang melihatnya dari kaca mobil yang terbuka.
"PD banget sih..."
Yusuf pun terkekeh mendengar Anin yang memang cocok jadi moodmaker-nya. Tapi mengapa orang-orang menganggapnya GALAK?? Mungkin Yusuf harus mencari tahu lebih detail tentang Anin setelah mereka resmi menjadi SUAMI-ISTRI.
"Ya harus PD dong kalau di sampingnya Mas Yusuf. Kalau biasa aja, nanti Anin yang malahan kesenggol sama yang lain.."
Jawab Anin dengan mudahnya.
"Ya udah, Mas.. hati-hati ya... Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Balas Yusuf dengan senyumnya yang membuat Anin kambali salting. Yusuf segera melajukan mobilnya dan mulai menghilang dari pandangan milik Anin. Tampak mata dari Anin berkaca-kaca, tapi dia segera menghirup udara sebanyak yang dia mampu dan masuk kedalam rumahnya. Ternyata oksigen yang baru saja masuk, cukup sukses membuatnya menahan apa yang seharusnya keluar dari matanya sebagai ungkapan rasa sakit yang tidak bias dia ungkapkan.
Sebegitu cintanya kah Mas Yusuf dengan Mbak Fahira??
Dada Anin seketika merasa sesak setiap kali ada hal yang menyangkut-pautkan tentang Fahira. Mantan tunangan dari calon suaminya sekarang. Yusuf.
***
Selesai dengan ritual mandinya, Anin dengan baju kebesarannya saat di rumah, kaos oblong dengan celana pendek selutut dan masih dengan handuk yang melilit di rambutnya, turun ke dapur. Mencari makanan yang bisa dia temukan dalam kulkas. Dirinya sedang malas untuk memasak atau mencari makan. Dan pilihannya sekarang adalah 1 buah pisang dan 1 buah apel sudah ada di tangannya. Di tambah dengan susu fregmentasi yang memang selalu tersedia dalam kulkasnya. Anin pun segera menyalakan TV mencari saluran yang cocok untuk penglihatan dan pendengarannya dan berakhir pada acara berita malam daripada nonton sinetron yang ngga ada ujungnya. Suara HP yang dia letakkan di meja bordering. Mas Yusuf. Anin pun segera mengangkatnya.
"Halo..."
"Assalamualaikum, Dek..."
"Waalaikumsalam, Mas. Ada apa Mas? Udah sampe rumah kan??"
Perlu di ingat, bahwa Anin memang terbiasa menyapa orang pertama kali lewat HP selalu mengunakan kata 'Halo'. Karena dirinya pernah mengangkat kolega kerja dari Ayahnya dan di saat dia mengucapkan salam seperti biasa, malah tidak ada jawaban. Dari situ, Anin belajar untuk menyapa orang lewat telepon dengan 'Halo' agar orang itulah yang memperkenalkan dirinya bahwa dirinya seorang muslim.
Sebenarnya, Yusuf menelpon Anin hanya untuk memastikan bahwa Anin baik-baik saja setelah pembicaraan saat pulang tadi. Dan Yusuf lega karena suaranya Anin yang terdengar ceria.
"Belum apa-apa udah di berondong pertanyaan kaya gitu. Gimana Mas ngga gimana-gimana?"
"Gimana-gimana, maksudnya Mas apaan??"
"Kamu lucu ya, Dek..."
"Mas udah sampe??"
"Hm"
"Udah dari tadi??"
"Baru aja nyampe trus nelpon kamu".
"Ya Allah, Mas. Kenapa ngga bersih-bersih dulu??"
"Emang baunya sampe situ??"
Yusuf pun segera mencium bau badannya.
Masih wangi...
Batin Yusuf setelah memastikan dirinya masih wangi meskipun belum mandi.
"Iya baunya sampe sini Mas. Anin kan bilang kabarinya lewat chat aja. Mas ngga capek apa??"
"Ngga,. Mas emang sengaja pengen denger suara kamu lagi. Tapi ini beneran kamu kan, Dek?? Anindiya Anastasya Kamil?? Calon istrinya, Mas??"
Suara Anin dalam dunia nyata dengan yang ada di telepon memang benar-benar berbeda. Suaranya saat di telpon memang seperti anak kecil. Jadi bakal susah membedakannya, jika belum terbiasa berbincang dengan Anin lewat telepon.
"Emang kenapa, Mas?? Aneh ya suaranya??"
"Iya, suaranya kaya anak kecil gitu... Lucu..."
"Mas..."
Yusuf hanya bisa tertawa mendengar protes dari Anin. Sudah bisa di pastikan bahwa Anin sedang keki, karena di anggap seperti anak kecil lagi. Bahkan calon suaminya juga menganggapnya seperti itu.
"Kalau kamu ngrengeknya kaya git, siapa juga yang ngga nganggep kamu anak kecil??"
Jawab Yusuf yang masih tertawa.
"Udah ah.. Anin sebel sama Mas.. Good night, Mas Yusuf Airlangga Putra Dhyaksa. Jangan mimpiin Anin ya.. belum halal.. Assalamualaikum, Mas".
Anin memberikan penekanan saat menyebut nama Yusuf. Dia benar-benar sebal dengan Yusuf yang selalu sukses menggodanya.
"Waalaikumsalam, Dek.."
Yusuf sengaja menunggu Anin yang mematikan sambungan teleponnya.
"Jangan lupa mandi sama makan lho. Tadi lupa ngajak maem..."
"Iya, makasih ya. Mampir di mimpinya Mas mau ngga??"
"Ishh, Mas Yusuf.."
"Lha udah di tutup pake salam, malah di sambung lagi. Masih kangen sama Mas??"
"Udah ah.. ini beneran aku tutup. Assalamualaikum, Mas.."
"Waalaikumsalam, Dek. Jangan lupa mimpiin, Mas ya..."
Kali ini, Anin memilih untuk tidak menghiraukan candaan dari Yusuf. Semakin dia meladeninya, ya pembicaraan mereka bakal berlanjut entah sampai kapan. Sedangkan dirinya sendiri kalau boleh jujur, matanya sudah tinggal 1 watt yang artinya memang sudah tinggal merem(terpejam).
Di seberang sana, Yusuf sedang menjadi stalker calon istrinya sendiri. Dia mulai melihat foto-foto yang di posting lewat akun instagram milik Anin. Ternyata Anin itu memang tidak selamanya menjadi WORKAHOLIC GIRLS. Pada kenyataannya, di setiap foto yang dia posting berhasil membuat Yusuf tersenyum bahkan sampai ketawa saat dia membaca captionnya.
Mungkin ini sudah jalan dari-Mu bahwa Anin adalah perempuan yang Engkau kirim untukku...
Seorang pendamping yang akan menemaniku mencari jalan yang penuh dengan ridho-Mu...
Berikanlah kemudahan-Mu untuk kami...
***