Setelah kejadian itu, aku bertemu dan berbincang-bincang dengan beberapa orang lain di dalam kelas maupun di luar kelas untuk mencari beberapa informasi.
Nama perempuan yang ingin bunuh diri dan yang dibuli itu adalah Nathania Dea.
Silvia Anggraini sudah dari dulu melindungi Nathania Dea dari pembulian. Tapi sepertinya, itu justru membuat situasi semakin buruk.
Anehnya berada di situ. Jika seorang ketua OSIS memutuskan untuk menyelesaikan pembulian, bukannya itu hal yang bagus? Kenapa itu justru semakin memburukkan pembulian? Bukankah seharusnya orang-orang membantunya?
Aku menggali lebih dalam lagi.
Reputasi Silvia Anggraini berdasarkan pendapat orang-orang yang aku tanyai; mayoritas adalah netral dan negatif. Mereka berkata, Silvia Anggraini terlalu tegas dan keras.
Kemungkinan, kebanyakan dari mereka yang membenci Silvia Anggraini adalah korban dari ketegasan Silvia Anggraini. Semestinya, ketegasan itu wajar bagi ketua OSIS. Namun, kenyataannya mayoritas tidak mau memaklumi ketegasan tersebut. Karena tentunya, tidak ada manusia yang suka dimarahi dan ditegur, apalagi oleh murid yang kurang lebih berumuran sama.
Reputasinya sangat buruk sampai anggota pengurus OSIS juga membencinya.
Aku kenal seseorang yang temannya adalah salah satu anggota pengurus OSIS, dia bercerita bagaimana rapat pengurus OSIS tidak pernah berjalan lancar dan tidak ada koordinasi antar pengurus OSIS sama sekali. Konsekuensinya, acara HUT sekolah tahun ini dalam ancaman bahaya.
Bagaimana caranya seseorang bisa mengacaukan hubungannya dalam tingkat OSIS separah begitu? Aku kira orang-orang yang bekerja sebagai anggota OSIS, setidaknya adalah orang yang bisa membedakan perasaan dan pekerjaan.
Aku jadi penasaran bagaimana dia bisa terpilih menjadi ketua OSIS dari awal.
Bahkan, ada rumor tentang pembuatan pengurus baru, khusus untuk mengatur HUT tahun ini saja. Jadi, kelihatannya OSIS tidak akan turun tangan sama sekali.
Para ketua kelas di semua angkatan dikumpulkan untuk membahas HUT. Para guru dan ketua OSIS akan memberi tahu apa saja yang diperlukan sama seperti tahun lalu. Dan untuk membentuk pengurus sementara, setiap kelas di semua angkatan wajib mengajukan 1 siswa dari kelasnya masing-masing untuk menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa. Bagi yang menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa, mereka tidak diperbolehkan berpartisipasi kegiatan HUT.
...Hm?
Apa karena itu Silvia Anggraini marah kepadaku kemarin sore? Dia diberi tahu oleh para guru sore itu tentang pembuatan Majelis Perwakilan Siswa, dengan kata lain, para guru memberitahunya ke wajahnya langsung bahwa OSIS (dirinya) tidak memiliki kemampuan mengurus HUT.
Kemudian, tanpa sengaja dia berpapasan denganku, dan dia langsung melampiaskan kemarahannya? ...Betapa irasional.
Apa dia merasa frustrasi? Apa dia merasa iri? Aku tidak tahu. Interaksiku dengannya terlalu kecil bagiku untuk mengetahui pemikirannya.
Untuk hari ini, diberikan 1 jam pelajaran kosong untuk menentukan siapa yang akan mengikuti lomba apa dan sebagainya. Dan yang terutama, siapa yang akan menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa.
Calista Anita berada di depan sedang menulis di papan; daftar apa saja yang diperlukan untuk diisi. Wali kelas kami, Pak Kiyo, juga ada di situ.
"...Terus, siapa yang mau jadi anggota Majelis?" Tanya Pak Kiyo.
"""...""" Tidak ada dari kita yang mengangkat tangan. Itu membuat suasana menjadi canggung.
"Hm... Kalau nggak ada yang mau, bagaimana kalau voting?" Usul Pak Kiyo. Aku tetap diam terduduk, tapi dalam hati, aku menentangnya sangat keras.
Kelas jatuh dalam keramaian. Mereka saling menunjuk dan mengajukan siapa yang paling cocok, tapi aku sudah tahu ke mana arah ini akan menuju.
"Ani 'kan yang paling bisa?" "Mendingan, Ani saja." "Alex 'kan lebih cocok." "Eh? Tapi Alex, 'kan yang paling kuat? Dia lebih cocok mengikuti lomba." "Ya, hanya Ani aja yang bisa."
Kenapa aku tidak terkejut?
Aku tidak melihat atau mengikuti mereka berdebat, mataku sedang tertuju kepada satu individu saja.
Yang sekarang sedang kuperhatikan adalah ekspresi wajah Calista Anita.
Sifatnya yang canggung sekarang muncul karena trauma. Aku pernah mendengar kisahnya tentang bagaimana dia dibenci banyak orang waktu SMP.
Di SMP, dia sering menolak ajakan bermain karena terlalu sibuk dengan les. Tapi orang-orang menangkapnya sebagai, "Oh, dia terlalu pintar, jadi dia tidak ingin bermain dengan kami." Tentunya tidak begitu. Calista Anita hanya menuruti kemauan kedua orang tuanya.
Dia benci dimanfaatkan, tapi dia juga tidak ingin orang lain membencinya. Ini rumit, tapi masuk akal. Dibenci oleh orang lain itu tidak pernah terasa enak. Aku mengerti itu.
Dari rasa sakit tersebut, Calista Anita yang di SMA menjadi lebih memperhatikan apa yang orang lain pikirkan tentangnya.
Waktu aku pertama kali bertemu dan berbincang-bincang dengan Calista Anita di kelas 10, dia sangat berbeda dari dirinya yang sekarang. Di kelas 10 dulu, tidak ada yang berteman dengan Calista Anita. Itu karena dia membuat dirinya sendiri sangat membosankan.
Dia hanya berbicara dengan orang lain secukupnya. Dia tidak pernah mencoba memulai perbincangan dengan orang lain. Kebanyakan kegiatannya hanya diam dan melihat handphone saja. Dia tidak dikira aneh oleh orang lain karena dia tidak punya salah. Dia tidak dikira sombong seperti di SMP dulu. Hanya Calista Anita saja yang tidak berusaha untuk berteman dengan orang lain. Bukan menolak, tapi tidak berusaha. Karena tujuannya dari awal adalah hidup tenang tanpa membuat orang lain membencinya.
Pertama kali kita berbicara, kurang lebih biasa saja. Aku memutuskan mendekatinya setelah aku mengetahui bahwa dia adalah orang paling pintar di satu angkatan ini.
Aku terus mendekatinya dan berbicara dengannya berkali-kali. Aku memastikan sebuah garis tetap terus ada supaya orang-orang tidak salah paham tentang kami berdua. Aku tidak mengejarnya terus-terusan sampai kelihatan mencolok sekali di mata orang lain.
Beberapa kali sehari hanyalah percakapan kecil dengannya. Terkadang, aku bisa melihat celah dari personanya. Dia mulai menikmati bercakap-cakap denganku. Tapi terkadang, dia juga teringat dan langsung menjauhkan diri dengan memasang ekspresi patung.
Butuh waktu lumayan lama supaya tempurungnya benar-benar terlepas sendiri.
Aku tidak bisa memaksanya karena dia tidak ingin orang lain membencinya. "Orang lain" itu juga termasuk aku.
Orang biasa akan bercakap-cakap dan berusaha melanjutkan perbincangan selama mungkin. Itu bisa dikategorikan sebagai tata krama di masyarakat. Tapi Calista Anita selalu menahan dirinya sendiri karena dia tidak ingin membuatku membencinya. Maka dari itu, butuh waktu lama dari yang kuperkirakan.
Aku harus menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan, dan bahwa aku tidak mudah dibuat marah. Aku juga harus membuatnya sangat menyukai berbicara denganku sampai dia tidak peduli lagi terhadap traumanya, dan sampai dia takut jika dia terus akan bertindak menjauhi aku, aku akan benar-benar pergi.
Aku mendekatinya dengan sangat tulus. Aku bisa membuatnya tertawa dan meringankan semua ketegangannya. Aku tidak berusaha memanfaatkannya. Bahkan, dia yang paling sering meminta tolong padaku, sehingga membuatnya merasa berhutang budi.
Tanpa Calista Anita sendiri sadari, dia sudah merasa sangat senang bergaul denganku. Dan kemudian, dia mulai percaya bahwa pertemanan di antara kami berdua adalah murni.
"...!" Ekspresi Calista Anita menjerit "tidak ingin", tapi dia tidak berbicara satu kata pun.
Ini sama seperti ketika Calista Anita pertama kali dipilih menjadi ketua kelas waktu kelas 10. Dia masih tidak berani menentang teman-teman sekelasnya.
Waktu itu aku masih belum menentukan posisi-posisi hierarki setiap orang di kelas dan belum mengenal jauh semua murid, apalagi tentang Calista Anita.
Alex Mahes juga ikut berdebat untuk mengubah pendapat mereka; untuk menyelamatkan Calista Anita, tapi itu percuma. Mereka tidak bisa dihentikan lagi.
Dan seolah berserah kepada takdirnya, Calista Anita menutup matanya-
"Aku pingin ikut Majelis. Apa itu nggak apa?" Tanyaku kepada semua orang. Suaraku cukup keras sampai menghentikan keributan mereka. "Dari dulu pingin coba aku. Aku memang nggak suka ikut lomba." Jelasku omong kosong.
"Kebebasan berpendapat" bukanlah main-main. Mereka tidak punya hak untuk menentangku. Maka dari itu, meskipun aku bertanya "Apa itu nggak apa?" kepada mereka, hasilnya akan tetap sama seperti yang kuduga.
Kalau misalnya masih ada orang yang tetap memaksakan Calista Anita menjadi anggota Majelis, orang tersebut bisa dikira memiliki dendam terhadap Calista Anita. Jika itu terjadi, mereka telah memberiku alasan untuk menghancurkan mereka.
"Eh, tapi Ani saja 'kan lebih bisa." "Cowok bisa ikut lomba." Mereka berdebat lagi, tapi kali ini mengenai usulanku.
"..." Alex Mahes ternganga mendengar usulanku. Tapi ketika matanya bertemu denganku, dia memahami maksudku. Alex Mahes yang melihat kesempatan yang telah kuberikan, ikut bergabung. "Ani; cewek yang paling jago main basket, jadi dia bisa ikut basket perempuan."
Alex Mahes berhasil menangkap jelas maksudku.
Panggilan "Trio Sekawan" tidak dibuat hanya karena kita kelihatan selalu bersama. Kita berdua pernah mendengar curahan hatinya tentang kesusahannya menolak orang lain. Aku dan Alex Mahes dengan sendirinya sepakat untuk menolong Calista Anita dalam keadaan sukar apa pun. Pertemanan memanglah berharga...
Aku menyuarakan sebuah pertanyaan yang mematikan seluruh perdebatan ini. "Sori ya, Ni. Nggak apa, 'kan?" Aku menengok ke Calista Anita dan suaraku kubuat keras lagi supaya mereka semua bisa mendengarku.
"-Eh? Ya! Ya, nggak apa kok..."
Aku meminta maaf kepada Calista Anita untuk membuatnya seolah dia bermaksud menjadi anggota Majelis. Dengan begini, dia tidak terlihat menolak usulan murid-murid di kelas, melainkan akulah yang menolak usulan mereka.
Ini bisa melegakan hati Calista Anita dan menarik kebencian mereka ke arahku. Tapi ya, mana mungkin mereka bisa jadi membenciku hanya karena hal sepele ini?
Dari awal, tujuan perdebatan ini adalah menentukan siapa yang rela menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa. Bukan masalah siapa yang cocok atau tidak. Pak Kiyo juga memulai kelas tadi dengan bertanya siapa yang ingin. Dan aku tahu, di kelas ini tidak ada yang peduli kenapa dan siapa yang akan jadi perwakilan kelas.
"..." Meskipun aku melihat ke arah lain, di ujung mataku aku melihat Calista Anita menghembuskan nafas lega.
Jam pulang sekolah. Aku tidak berjalan menuju tempat parkir, tetapi menuju ruang multimedia.
Bagi yang terpilih menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa, mereka dipanggil ke ruang multimedia. Bagi yang ada kegiatan ekstrakurikuler, mereka meminta izin membolos ke ekstrakurikulernya masing-masing.
Di seluruh sekolah ini, ruang multimedia adalah ruang yang paling luas dan paling cocok sebagai tempat kumpul besar-besaran. Setiap satu angkatan ada sepuluh kelas, maka anggota Majelis Perwakilan Siswa ada 30 anak.
Aku sampai di ruang multimedia dan tidak heran Silvia Anggraini juga ada di situ. Dia sedang berbincang-bincang dengan seorang guru sambil menunggu anggota yang lain tiba.
Kebanyakan orang- atau lebih tepatnya kebanyakan anggota Majelis Perwakilan Siswa, adalah murid perempuan. Laki-laki sangat diperlukan untuk memenangkan lomba-lomba yang bernilai banyak poin. Jadi, di mana pun mataku melirik, selalu kelihatan satu atau dua murid perempuan.
Beberapa anggota yang sudah tiba berkumpul membentuk beberapa kelompok. Tapi juga ada beberapa murid yang sendirian yang diam saja di depan ruang multimedia. Mereka memutuskan untuk menunggu di luar ruang multimedia daripada di dalam ruang yang sudah disiapkan kursi. Kemungkinan mereka merasa gelisah di tengah kelompok-kelompok sosial yang tidak mereka kenal, atau mungkin mereka merasa takut bisa tanpa sengaja menduduki tempat yang sudah disetujui kelompok-kelompok tersebut.
Mereka, menundukkan kepala, bermain-main dengan handphone mereka, dan menghindari kontak mata dengan orang lain. Mereka berusaha menghabiskan waktu sampai rapat pertama ini dimulai.
Mereka mungkin tahu wajah orang-orang di sekitar mereka, tapi mereka tetap memutuskan untuk menyendiri. Menurutku, memang lebih baik mereka diam saja daripada berpura-pura peduli terhadap "teman" yang bukan teman. Namun, ketika mereka bertemu dengan orang yang mereka kenal, wajah mereka akan langsung kelihatan ceria dan mulai bercakap-cakap dengan senang. Inilah jenis interaksi sosial di luar kelas.
Aku mengenal semua orang di ruang multimedia dan mereka semua juga mengenalku.
Pertama, aku menghampiri kelompok perempuan yang berkumpul di dekat pintu.
Ini merupakan kesempatan besar untuk mendekatkan hubunganku dengan murid kelas lain.
Aku menuju kelompok ke kelompok sekaligus menyapa yang sendirian.
Informasi yang aku dapatkan dari mereka terkadang bisa dipertanyakan, tapi aku bisa menelaahnya. Jika hampir semua orang mengatakan hal yang sama, maka informasi itu bisa kuanggap kurang lebih sebagai sah.
'Plak! Plak!' Silvia Anggraini menepuk tangan untuk mengambil perhatian seluruh orang.
Kami semua berhenti bercakap-cakap dan menengok ke arah Silvia Anggraini.
"Ayo masuk! Sudah mau mulai."
Dilihat dari tindakan mengambil perhatian begitu saja, itu sudah mengatakan besar bahwa dia sudah terbiasa memimpin.
Sekarang aku bisa melihat sedikit karisma pemimpin di Silvia Anggraini. Kurang lebih, aku bisa paham kenapa dia bisa dipilih menjadi ketua OSIS. Dan sebaliknya, aku tidak paham kenapa OSIS bisa gagal.
"Terima kasih telah kumpul di sini." Salam pembuka formal dari Silvia Anggraini. "Sebelum dimulai, aku ingin kalian tahu bahwa OSIS tidak akan ikut campur sama sekali. Maka dari itu, dibentuk Majelis ini sebagai penggantinya OSIS sementara untuk acara HUT tahun ini saja."
Mendengar penjelasan tersebut, hampir semua orang tidak ada yang terkejut, tapi tetap saja bisa terdengar suara berbisik di sana sini.
Memang terdengar sepele "OSIS tidak ikut campur", tapi ini adalah OSIS. Badan sekolah yang beranggotakan siswa ini seharusnya adalah kelompok yang paling aktif di kegiatan seperti HUT ini. Jika OSIS tidak ikut campur, dan justru sekolah mengandalkan program kegiatannya kepada siswa sembarangan... kredibilitas Majelis Perwakilan Siswa sudah berkurang dari awal penciptaannya.
Antara siswa sembarangan dan anggota OSIS yang sudah terbiasa dengan pekerjaan semacam HUT, mana yang akan lebih dipercaya?
"..." Silvia Anggraini menutup mata dan berhenti berbicara untuk menunggu mereka yang berbisik-bisik untuk berhenti.
Rumor sudah tersebar ke mana-mana dan kelihatannya Silvia Anggraini sendiri sudah tahu bahwa kita sudah tahu. Meskipun Silvia Anggraini bisa memilih untuk tidak mengatakan apa pun, dia tetap memutuskan untuk mengungkapkannya. Aku yakin dari awal tidak ada dari kita yang akan berani menyentuh topik tersebut... Apa ini semacam prinsip yang dia pegang?
Aku menemukan sebuah rasa hormat baru terhadapnya.
"Karena ini organisasi baru, kita belum menentukan pembagian tugasnya." Ketika Silvia Anggraini selesai mengucapkannya, kita semua langsung tahu apa yang akan dikatakannya berikutnya. "Maka untuk kelancaran rapat berikutnya, hari ini harus ditentukan pembagian tugasnya. Langsung saja, siapa yang ingin jadi ketua?"
Sama seperti ketika Pak Kiyo bertanya siapa yang ingin menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa di kelas tadi, keheningan jatuh di ruangan multimedia. Tidak ada yang berkata apa pun.
Memang tawaran pemimpin itu bagus. Apalagi jika ditawarkan begitu saja, orang yang bersedia bisa dengan sekilas berada di puncak hierarki.
Manusia adalah makhluk yang ingin dipuji. Tidak ada yang membenci dipuji atau dihormati oleh teman ataupun keluarga. Bekerja keras untuk dipuji adalah motif yang wajar. Ini umumnya dikenal sebagai "the desire for approval" yang merupakan bagian dasar dan tak terpisahkan dari masyarakat.
Tapi, ada satu hal yang manusia lebih takutkan daripada pilihan manis dipuji, yaitu: "tanggung jawab".
Memang, ada sebagian orang yang suka merasa "diandalkan" oleh orang lain, tapi bukan berarti mereka suka "bertanggung jawab". Itu adalah dua hal yang berbeda.
Seorang pemimpin harus menanggung beban dan tanggung jawab seluruh anggota kelompoknya. Dan dalam situasi yang melibatkan satu sekolah dan dana yang besar, jika masih ada orang yang berani mengambil posisi tersebut, hanya karena alasannya "ingin saja", maka orang itu bodoh.
Tidak ada yang suka menanggung kesalahan. Apa pun alasannya. Meskipun itu adalah kesalahan yang orang itu lakukan sendiri, mereka tetap tidak akan suka. Yang mereka lebih suka adalah mendapatkan dan menerima hasil, bukan bertanggung jawab. Memang ada sebutan "orang yang bertanggung jawab", tapi sekali lagi, ada dua perbedaan antara "suka bertanggung jawab" dan "bertanggung jawab".
Berbeda dengan situasi Calista Anita di kelasku dan pemilihan ketua Majelis Perwakilan Siswa di multimedia, kali ini aku tidak bertindak sama sekali.
Aku tahu sendiri beban tanggung jawab ini. Apa aku punya kemampuan memimpin? Aku tidak berhak menjawab itu.
Aku tidak bisa melihat diriku menjadi orang yang memimpin banyak orang... Bukan. Itu bukan alasan yang sebenarnya. Aku tidak suka memiliki banyak keuntungan.
Hukum utilitas marginal yang menurun menyatakan bahwa utilitas marginal turun ketika menambah satu lagi konsumsi barang. Hukum ini memang berbeda dari situasi sekarang, tapi prinsipnya tetap sama. Intinya, kalau aku memiliki banyak keuntungan tersebut, itu bisa saja akan menjadi tidak berguna bahkan menjadi berbahaya.
Ya, memang betul menjadi ketua memiliki banyak keuntungan yang aku ingini, tapi siapa yang bilang kalau aku PERLU jadi ketua untuk mendapat keuntungan tersebut? Aku bisa saja menjadi anggota biasa, dan meskipun hanya mendapat keuntungan sedikit, setidaknya tidak berisiko menjadi ketua.
Jika aku bisa memiliki keuntungan sedikit saja sebagai anggota biasa, aku akan menjalaninya. Aku tidak sangat terobsesi untuk mendapat banyak hubungan dengan banyak orang. Aku bisa menghentikan diriku sendiri kapan pun aku anggap patut.
Murid-murid di sini bukanlah anggota OSIS ataupun seorang pemimpin natural. Kita hanyalah murid buangan untuk mengisi kolom jabatan. Tiba-tiba menanggung posisi ketua di sini hanyalah...
"..." Silvia Anggraini merengutkan keningnya.
Aku menduga Silvia Anggraini sebenarnya tahu hal ini akan terjadi tapi masih dia tawarkan untuk formalitas belaka... atau mungkin, untuk memegang harapan jika saja ada yang menginginkan tanggung jawab ini.
Ini di luar dugaanku. Kukira Silvia Anggraini adalah tipe orang yang lebih suka mengandalkan dirinya sendiri. Dia terlihat tipe orang yang langsung memilih dirinya sendiri sebagai ketua karena melihat orang lain tidak pantas.
Aku mengira alasan pecahnya OSIS adalah sifat Silvia Anggraini yang tidak suka mengandalkan dan memercayai orang lain ini. Mungkin aku salah atau ada alasan lain.
Aku tidak sepenuhnya menolak pandangan "mengandalkan diri sendiri daripada orang lain". Memercayakan orang lain dengan tanggung jawab sangat melelahkan. Ditambah lagi, jika aku lebih cakap dari orang lain tersebut. Menjalani hidup sambil membayangkan jika saja orang tersebut melakukan ini atau itu, sangatlah menyakitkan dan menyedihkan.
Guru pembimbing yang ada di dekat Silvia Anggraini hanya bisa melihatnya dengan pasrah, dan Silvia Anggraini juga membalasnya dengan tatapan pasrah.
"..." Silvia Anggraini menutup mata.
Kali ini aku tidak akan membantu. Bukan karena aku tidak bisa, tapi karena aku tidak peduli.
Aku bisa, tapi aku tidak ingin, maka aku adalah jahat. Memang, aku tidak pernah berkata kepada diriku sendiri bahwa aku adalah orang yang baik. Tapi, apa benar aku adalah orang yang jahat?
Aku katakan kepada semua manusia di dunia ini: "Aku tidak peduli apa itu betul atau salah. Yang kupercaya hanyalah diriku sendiri dan semuanya omong kosong." Aku adalah orang egois. Dunia hanyalah pandangan subjektifku.
Jika membunuh adalah kejahatan, bagaimana dengan tentara yang mengabdi kepada negara?
Pada akhirnya, yang menentukan baik atau jahat adalah setiap individu sendiri. Tetapi, sebaliknya juga bisa saja terjadi. Pembentukan peraturan seperti undang-undang merupakan salah satu penentuan definisi "kejahatan" oleh mayoritas.
Aku penasaran. Jika pihak ketiga melihat kasus pemilihan ketua ini, apakah tindakanku yang tidak berbuat apa-apa akan dinilai sebagai "kejahatan"? Lalu, jika mereka menilaiku jahat, bagaimana dengan orang lain yang tidak ingin ikut campur sama sepertiku? Berarti mereka juga jahat?
Jika aku perlu membela diriku sendiri, aku akan mengatakan: "Bukannya aku lebih baik dari mereka? Karena aku menyadari bahwa aku ini jahat dan kejam, sedangkan mereka menolak kenyataan dan tetap membohongi diri mereka sendiri."
Ditambah lagi, "kebebasan berpendapat" tidak hanya terbatas dengan dua pilihan: "iya" dan "tidak". Ada pilihan ketiga; "tidak memilih". Memang terdengar curang, tapi itu pun juga termasuk memilih sebuah pilihan.
Selagi aku sedang merenung, keputusan sudah dibuat.
Dengan begini, secara otomatis Silvia Anggraini telah terpilih menjadi ketua Majelis Perwakilan Siswa.
Jujur saja, dibandingkan murid-murid ini, aku lebih memilih seseorang yang sudah memiliki pengalaman memimpin untuk menjadi ketua. Dan satu-satunya orang di ruangan ini yang memiliki pengalaman memimpin secara formal adalah ketua OSIS, Silvia Anggraini.
Beberapa menit berlalu dan Silvia Anggraini telah menjelaskan panjang lebar. Aku mencatat di handphoneku hal-hal yang penting. Ada yang melakukan sama sepertiku, ada juga yang menulis di buku, dan ada yang hanya mendengarkan saja.
Setelah diberi arahan, para anggota memilih tugasnya masing-masing. Ada yang karena hanya ingin saja, ada yang karena punya pengalaman, ada yang karena cocok.
Suasananya kurang lebih terlihat santai dibandingkan suasana hening sebelumnya. Mereka bisa bersikap santai seperti ini karena mereka sadar bahwa ini lebih baik daripada menjadi ketua.
Silvia Anggraini juga menambahkan peringatan bahwa seluruh anggota harus hadir di setiap rapat. Para anggota hanya mengangguk saja tanpa terlalu memedulikannya.
Hari pertama Majelis Perwakilan Siswa; kami hanya dikenalkan tugas dan diberitahu apa saja yang akan diperlukan untuk acara HUT sekolah. Maka dari itu, untuk hari ini saja rapat cepat selesai.
Setelah rapat berakhir, kami belum diperbolehkan keluar ruangan dulu. Kami diminta untuk menulis nomor telepon supaya dimasukkan grup chat. Pemikiran yang masuk akal dan normal.
Misalnya mereka tidak membuat grup chat, aku akan menaikkan tanganku dan menyarankan mereka untuk melakukannya. Karena ini adalah kesempatan langka bagiku untuk berada di satu grup chat dengan murid-murid kelas lain dengan alasan yang jelas.
Satu per satu, murid-murid berjalan keluar ruangan. Karena rapat pertama ini berakhir lumayan cepat, ada dari mereka yang langsung kembali ke kegiatan ekstrakurikuler mereka. Bagi yang membenci ekstrakurikuler, mereka sengaja memperlambat jalan kembali mereka.
Aku sengaja keluar terakhir. Mungkin akan ada perbincangan yang bermanfaat yang tanpa sengaja kudengar.
Silvia Anggraini juga rupanya sengaja keluar terakhir karena tadi aku melihatnya sedang berbicara dengan guru pembimbing di dalam ruang multimedia.
"..." Ketika dia melihatku "tanpa sengaja" keluar bersamaan dengannya, dia langsung meningkatkan pertahanannya.
"Halo..." Sapaku dengan senyuman masam.
Silvia Anggraini membalas sapaanku dengan langsung memasang wajah jijik. Apa dia tidak khawatir orang lain masih bisa melihat kita? Atau hanya dia saja yang tidak peduli tentang reputasinya sendiri?
Kami berdua keluar ruangan dan menuju ke tangga.
"...Apa?" Tanyanya dengan nada kasar.
Dia benar-benar tidak punya sopan santun kepada orang yang telah dia nyatakan sebagai musuh.
Aku sangat ingin tahu kenapa bisa punya sifat seperti ini... atau hanya kepadaku saja? Tapi itu justru membuatku semakin bingung.
Aku memutuskan untuk memulai perbincangan dengannya.
"Nggak ada yang mau ikut Majelis di kelasku, jadi aku 'ngajuin diri." Jelasku sambil mengangkat bahu. Aku menjelaskan situasiku tanpa dorongan apa pun.
Aku tidak mengatakan kebohongan dalam penjelasanku. Memang karena tidak ada yang ingin, aku mengajukan diriku sendiri dengan alasan aku bersedia menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa.
"Ketos ya gitu? Atau memang karena ketos wajib ikut?"
"..." Silvia Anggraini tidak membalas atau menanggapi omong kosongku sama sekali. Justru, dia kelihatan sedang memikirkan penjelasanku tadi.
Aku bisa menebak apa yang dia pikirkan. Dia pasti berpikir aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk merusak kegiatan HUT sekolah semacam itu.
Itu agak bodoh dan naif. Aku tidak akan menyangkal diriku bahwa aku adalah orang yang jahat dan keji, tapi aku tidak akan melakukan hal yang dapat merusak reputasiku...
"Em..." Aku menerima kediamannya dengan bersikap bingung. Demi melanjutkan percakapan, aku mengubah topik. "Ah, sama itu- maaf kemarin. Kemarin itu dah sore banget, makanya ditelepon bokap." Jika aku adalah orang biasa yang baik hati, setidaknya aku harus meminta maaf dan menyatakan alasanku selogis mungkin.
"..." Silvia Anggraini tetap diam saja.
Silvia Anggraini masih tidak menengok ke aku atau menanggapi kata-kataku. Dia terus berjalan sambil mengabaikanku dan aku hanya terus berjalan di sampingnya.
Orang lain bisa melihat ini sebagai percakapan satu arah. Aku juga bisa saja kelihatan sedang berusaha menggoda Silvia Anggraini, dan Silvia Anggraini kelihatan sangat berusaha melepaskan diri dariku. Memang sebenarnya itulah yang dilakukan Silvia Anggraini.
"Emangnya ada apa sih kemarin; kok tiba-tiba marah?" Ini juga pertanyaan yang normal. Jika tiba-tiba ada orang asing datang kemudian berteriak marah-marah tanpa alasan, ini adalah reaksi yang sepatutnya tampak di orang yang baik hati. "Apa aku ada salah?"
"Ah... Mmm..." Silvia Anggraini berusaha menjelaskannya, tapi tidak ada kata yang bisa menjelaskan kemarahannya secara masuk akal yang terlintas di benaknya.
Karena aku menyatakan dengan jelas maksud dan alasanku, ditambah kemampuan aktingku, itu menyebabkan Silvia Anggraini menjadi ragu-ragu. 'Jika ternyata dia tidak salah apa-apa gimana?' 'Jika ternyata aku yang salah paham gimana?' Pikirannya akan terus berputar-putar; memikirkan kemungkinan yang semakin jauh dari kebenaran.
Aku berjalan menuruni tangga bersama Silvia Anggraini yang masih waswas.
"..." Karena sepertinya Silvia Anggraini tidak ingin berbicara denganku sama sekali, aku berhenti berusaha.
Tiba-tiba Silvia Anggraini menuruni tangga dengan cepat, melewati aku, kemudian berhenti jauh di depanku.
"..." Silvia Anggraini melirik tajam ke arahku untuk terakhir kalinya, seolah mengatakan bahwa dia akan selalu mengawasiku. Setelah itu, dia melanjutkan larinya.
Aku masih belum menghilangkan perseteruannya denganku. Setidaknya, keraguan yang kutanam telah membuat Silvia Anggraini berpikir dua kali.
Kesan pertamaku sudah luar biasa buruk di mata Silvia Anggraini. Kalau sudah begitu, dia akan terus berpikiran negatif tentangku.
Kuharap dengan ini, aku bisa mengubah atau setidaknya memperlambat Silvia Anggraini dari apa pun yang akan dia pikirkan tentangku.
Setelah aku mengucapkan salam pergi ke orang-orang di sekitarku, aku berjalan menuju ke tempat parkir sendirian.
Mereka berencana keluar bermain sebelum pulang ke rumah. Tapi karena aku harus pulang ke rumah, aku menolak tawaran mereka dan pamit pulang dulu.
Di tengah perjalanan, mataku menangkap wujud orang dewasa laki-laki. Pak Kiyo, wali kelasku, sedang berjalan di depan.
"Ah." Begitu menyadari keberadaanku, dia berhenti berjalan dan berpaling ke belakang, ke arahku. Dia tersenyum, menantikanku berjalan bersamaan dengannya.
Aku tidak menanggapi tatapannya dan terus berjalan sampai melewati Pak Kiyo-
"Kerja bagus 'nyelamatkan nak Ani." Kata Pak Kiyo tiba-tiba. Pak Kiyo menyindir kejadian Calista Anita yang kesusahan menolak ditunjuk menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa tadi siang.
"..." Aku mengabaikannya, meskipun dia adalah seorang guru, aku tidak peduli untuk memasang "Topeng"ku (?).
Aku sendiri tahu sikapku itu tidak sopan... tetapi, aku tetap saja mengabaikan guru wali kelasku.
"Loh? Santunmu di depan gurumu hilang ke mana? ...Oh ya. Aku lupa. Kan aku sudah tahu sifat aslimu." Kata Pak Kiyo sambil menahan geli. Dia sengaja mengucapkan kata-kata tersebut untuk membuatku jengkel.
"..."
"Sori, sori." Pak Kiyo cepat-cepat meminta maaf. Nadanya yang masih dilumuri senyuman, menunjukkan dia meminta maaf tidak dengan sepenuh hati. Dia hanya meminta maaf supaya aku tidak lari darinya.
Aku menghentikan langkahku. "...Mau apa?" Tanyaku dengan enggan.
Meskipun di hadapan seorang guru, aku tidak menggunakan nada atau kata-kata sopan. Namun, Pak Kiyo sendiri juga tidak mempermasalahkan sikap kurang ajarku.
Kami berdua memiliki hubungan yang aneh. Hubungan ini tidak bisa dengan mudahnya didefinisikan sebagai hubungan antara guru dan murid yang sangat akrab.
"...Kamu nggak akan membiarkan begitu saja... 'kan?" Tiba-tiba Pak Kiyo bertanya abstrak dengan nada serius dan setengah takut.
"Sebenarnya pingin bilang apa, sih?" Aku melampiaskan kejengkelanku terhadap permainan katanya. Aku ingin segera pulang ke rumah, dan Pak Kiyo hanya menghabiskan waktuku di sini.
"Acara HUT. Pembulian Dea. Masalah OSIS. Itu yang kumaksud." Dengan sekali nafas, Pak Kiyo menyindir semua masalah yang kusadari.
"Memangnya kenapa itu?"
Aku akan berbohong jika aku berkata 'aku tidak tahu apa yang kamu maksud'. Sebenarnya, aku tahu mengapa Pak Kiyo menyebutkan semua masalah itu di depan wajahku. Dan sebaliknya, Pak Kiyo juga tahu bahwa sebenarnya aku tahu.
"..." Dia tersenyum ketika menyadari pesannya telah tersampaikan. "Oh! Lihat sudah waktunya." Katanya sambil melihat jam tangannya.
Dengan sikapnya yang dilebih-lebihkan tersebut, seluruh suasana serius tadi hilang begitu saja.
"Aku duluan, ya..." Pak Kiyo melambaikan tangannya ke arahku, kemudian pergi ke arah lain. Jadi, dari awal dia tidak perlu menggunakan jalan keluar yang sama denganku...
Seperti biasa, menyebalkan.
Pak Kiyo membiarkanku pergi setelah menyadari bahwa aku menangkap maksudnya. Dia selalu begini. Dia selalu menggunakan posisinya sebagai guru untuk mengancamku.
Sebenarnya, dapat dari mana sifat menjengkelkannya itu? Apa karena seseorang lahir beberapa tahun lebih awal, semua orang langsung jadi menjengkelkan sepertinya?
Aku menyimpan harapan pemusnahan terhadap semua orang yang suka berlagak sok tahu; khususnya orang yang lebih tua.
Tidak ada yang tahu masa depan. Tidak ada jaminan untuk sukses. Namun, ada cara untuk mengurangi kemungkinan kegagalan.
"Teman" adalah hal yang sangat penting. Tepatnya, koneksi, relasi, hubungan antar sesama manusia adalah kunci untuk sukses.
Potensi manusia itu sangat luar biasa. Hal-hal yang manusia telah capai sangat luar biasa. Penciptaan pesawat, penciptaan roket ke luar angkasa, penciptaan nuklir, penciptaan obat, dan masih banyak lagi.
Manusia bisa berkembang secara luar biasa. Dan perkembangan itu muncul di saat-saat tertentu, di kondisi tertentu, di salah satu waktu di perjalanan hidup mereka.
Tidak ada yang tahu teman yang duduk di sampingmu sekarang akan menjadi presiden yang memimpin negara. Tidak ada yang tahu bahwa pacarmu di SMP akan menjadi artis paling terkenal. Tidak ada yang tahu teman dekatmu akan menjadi pemilik perusahaan kaya raya. Banyak orang-orang kecil dan tidak dikenal yang akan menjadi orang ternama di masa depan.
Dengan menghargai hubungan dengan orang lain dan terus menjaganya, siapa pun bisa memanfaatkannya suatu hari nanti.
Membuat mereka berhutang budi padaku. Membuat orang lain mengingat perbuatan-perbuatan baikku. Menjaga baik pertemanan dengan mereka.
Untuk melakukan itu, dengan langkah kecil, aku menghafalkan nama lengkap semua murid di semua angkatan, guru, dan para pekerja di sekolah ini. Di semester 2 kelas 10, aku berhasil mendapatkan info akun media sosial mereka semua. Di kelas 11 sekarang, aku masih dalam proses berteman dan bertemu dengan mereka semua tanpa dicurigai, terlihat seperti betul-betul kebetulan belaka.
Di dunia ini, tidak ada yang namanya "adil". Dunia ini busuk dan manusianya kejam dan keji.
Namun, manusia pada intinya adalah baik. Tidak ada yang benar-benar jahat. Manusia bisa merasa bersalah dan dasar tindakan mereka diatur oleh hati nurani. Seorang tentara, perampok, pembunuh, siapa pun orangnya, mereka akan mendua hati untuk membunuh seorang anak kecil atau kucing di pinggir jalan.
Fakta ini membuatku tertarik. Dan di saat yang sama, aku merasa muak; terhadap umat manusia secara keseluruhan... Ini untuk cerita di lain hari.
Justru karena manusia memiliki hati nurani, walaupun ada yang memiliki sedikit saja, mereka bisa menjadi sangat mudah dibodohi.
Ada perkataan bahwa hewan paling menakutkan di bumi adalah manusia, tapi aku berpikir sebaliknya. Manusia adalah makhluk yang paling membuatku nyaman.
Aku tidak bisa menipu babi hutan. Jika aku menjumpai babi hutan, yang bisa kulakukan hanyalah mati.
Tapi manusia...? Manusia bisa ditipu.
Melalui sebuah pertunjukan, siapa pun bisa memainkan hati orang lain.
Seorang anak SMA masuk ke dalam toko dan mencuri beberapa permen.
"Kenapa hanya permen?" Jika aku di posisinya aku tidak akan ragu-ragu untuk mencuri lebih dari permen.
Aku dapat mengerti kenapa, tetapi tidak dapat memahami.
Lalu, kenapa pemikiranku berbeda dengan anak SMA itu? Apa karena bagiku, pencurian permen itu hanyalah sebuah "jika"?
Bukan itu. Aku benar-benar tidak takut mencuri lebih dari permen. Tentunya, aku tidak akan melakukannya karena konsekuensinya lebih berat daripada beberapa barang.
Contoh lainnya adalah dalam hal menyontek. Orang-orang di sekitarku akan meminta contekan, tapi mereka tidak ingin mendapat nilai 100. Ini membingungkanku. Meskipun tujuan mereka adalah mendapat nilai bagus, mereka tetap dengan sengaja membuat kesalahan di jawaban mereka untuk tetap merasa layak mendapat nilai tidak terlalu bagus. Aku sendiri yang mengamati ini.
"Rasa bersalah" adalah hal yang dimiliki semua manusia. Namun, aku tidak memilikinya.
Aku tidak bisa paham kenapa aku harus merasa bersalah ketika aku membunuh seekor kucing. Pada akhirnya mereka juga akan mati tua, apa salahnya mati sekarang?
Tetapi, bukan berarti aku sepenuhnya tidak bisa membedakan yang salah dan yang benar. Aku hanya perlu mengamati orang-orang dan kurang lebih, aku akan mengerti.
Aku berpikir logis dan efisien karena aku percaya aku adalah seorang realis. Aku tidak akan tegun untuk memanfaatkan orang lain jika diperlukan.
Di situasi ini, orang lain akan mulai jadi ragu-ragu. Namun, aku yang tidak dapat merasa bersalah, dapat menggunakan kedinginanku dengan maksimal.
Kita semua memakai topeng yang berbeda-beda. Sebuah persona yang orang lain tidak ketahui. Aku tidak terkecuali juga memiliki topeng; sebuah topeng yang disukai banyak orang.
Sayangnya, ada satu orang di dunia ini yang menyadari sifat asliku. Pak Kiyo, wali kelasku.
Sampai hari ini, aku mengakui dengan penyesalan yang mendalam bahwa orang yang pertama kali tahu sifat asliku, dan dari semua orang yang kukenal, adalah wali kelasku sendiri... ini sangat memalukan.
Entah bagaimana caranya dia bisa tahu, tapi juga berkatnyalah yang membangunkan aku bahwa jika aku tidak berhati-hati, "Topeng" ini bisa diintip oleh siapa pun.
Semenjak hari ketika Pak Kiyo membuka "Topeng"ku, aku menjadi semakin lebih berhati-hati.
Tidak ada yang mutlak dan selamanya. Suatu hari nanti rahasiaku akan terbuka lagi.
Bukan berarti aku harus pasrah begitu saja. Setidaknya, yang bisa kulakukan hanyalah mencegah hari itu tiba selama mungkin dan meminimalisasi jumlah orang yang tahu.
Sayangnya, belakangan ini aku jadi mulai ragu akan kemampuanku menyembunyikan sesuatu. Contohnya, ketika aku pertama kali bertemu dengan Nathania Dea... kemudian Silvia Anggraini yang entah bagaimana bisa tahu.
Aku sampai di rumah tanpa masalah seperti hari-hari biasanya.
Aku melepas sepatu dan masuk ke ruang tamu.
Meskipun hari ini aku pulang lumayan telat, ayahku masih belum pulang. Ini mengingatkanku pada hal yang sama terjadi dua hari lalu. Aku merenungkan keanehan ini sambil melakukan kegiatan keseharianku.
Aku melepas seragam, ganti baju, memasak makan, menghidangkan masakan ke meja makan, dan ayahku masih belum pulang.
"..." Aku yang melihat ayahku masih belum sampai di rumah setelah selama ini, berpikiran untuk meneleponnya... tapi aku tidak melakukannya. Dia selalu sampai di rumah meskipun dia sangat telat. Aku tidak ingin merepotkannya atau mengganggunya jika dia tengah-tengah sesuatu.
Sebaliknya, jika aku yang pulang terlambat, dia akan selalu meneleponku. Itu wajar bagi orang tua yang memiliki anak. Tapi, karena aku adalah seorang anak, aku tidak memiliki semacam hak yang sama untuk campur tangan terhadap kehidupan pribadinya ataupun kehidupan kerjanya.
Karena ayahku belakangan ini sudah berkali-kali pulang telat, itu mematikan rasa khawatirku dan mulai menerimanya sebagai norma baru.
Sambil masih menunggu ayahku untuk pulang ke rumah, aku pergi ke kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai mandi, aku masuk ke ruang tamu lagi dengan handuk di kepalaku (ruang tamu dan ruang makan ada di satu ruangan).
"..." Selagi berpikiran sudah entah berapa kali dia pulang terlambat, aku duduk di sofa sambil menyalakan televisi.
Bukannya menonton televisi yang baru aku hidupkan, aku justru membuka handphoneku.
Ratusan peringatan dari aplikasi media sosial.
Aku membaca tulisan-tulisan dan cerita-cerita yang mereka posting, setiap video yang mereka posting, setiap foto yang mereka posting. Video atau foto tertentu yang kuanggap penting akan kusimpan sebagai bukti. Ketika mereka mendapat teman baru, aku memeriksa dan menggali akun teman baru tersebut.
Entah itu terlihat sepele atau tidak, entah itu sedikit atau banyak, namun dari informasi-informasi yang terus-menerus menimbun tersebut, aku bisa mulai melihat garis besar sejarah ataupun sifat seseorang. Maka dari itu, informasi sangatlah penting.
Setelah satu jam lagi, akhirnya ayahku baru pulang.
Aku mendengar suara pintu rumah terbuka, kemudian suara langkah kaki mendekati ruang tamu.
Tanpa rasa bersalah sama sekali, aku memasang suara ceria dan menyambut ayahku sambil masih melihat handphone. "Pulang-pulang capek, 'kan? Akhir-akhiran ini pulangnya telat terus."
"Eh, ya..."
"?" Aku masih tetap melihat handphoneku, jadi aku bingung kenapa aku diberi jawaban yang setengah-setengah seperti itu. Kepalaku kumiringkan ke arahnya tapi mataku masih menempel ke handphone. Aku tetap melanjutkan tanpa peduli. "Makanannya sudah dingin mungkin. Panasin aja itu."
"Hmm..." Ayahku memandang ke masakan yang telah kutata di meja makan. Dia terdengar bingung.
"?" Aku khawatir. Reaksinya terlalu janggal.
Karena sofa yang aku duduki membelakangi pintu masuk ruang tamu, aku harus memutarbalikkan tubuhku untuk melihat ayahku.
Mungkin di mata dan telinga orang biasa, mereka akan mengabaikan reaksi seperti itu, tapi di mataku tidak seperti itu. Setiap reaksi, tanda suara dan tubuh luar biasa penting untuk mengetahui apa yang orang lain pikirkan. Jika aku tidak seberhati-hati seperti ini, maka aku tidak bisa menjaga "Topeng"ku untuk tetap terpasang.
Apa yang salah dengan ayahku? Kemungkinan dia terkena sakit atau luka?
Lalu, aku melihat dan memeriksa tingkah laku dan fisik tubuhnya... Saat aku melihat jarinya-
"Di mana cincinmu?" Secara refleks, aku bertanya.
"..." Ayah langsung membeku di tempat, kecuali tangannya yang langsung dia katup sehingga membuatnya semakin mencurigakan.
Dan cuman dengan itu saja, aku tahu apa yang terjadi.
Cincin di jari cincin adalah tanda orang yang telah menikah. Sekarang... alasan apa yang dimiliki ayahku, yang selama ini selalu memakai cincinnya, tidak memakainya?
Kemungkinan pertama: lupa memakainya lagi.
Ayahku adalah tipe orang yang tetap memakai cincinnya dari bangun sampai tidur. Mungkin dia melepas cincinnya setiap sebelum mandi, tapi lini masa waktunya mandi jadi tidak sesuai. Tidak mungkin dia mandi ketika jam kerja. Dan meskipun dia mandi ketika jam kerja, akan terlalu ceroboh sekali baginya bahwa tidak memakainya lagi. Benda tersebut adalah benda yang selalu menempel di jarinya selama bertahun-tahun; mana mungkin dia tidak merasakannya? Sifatnya yang setia juga sangat bertentangan dengan kemungkinan "rasanya tidak enak di jari, kemudian melepasnya dan lupa memakainya lagi". Dia memakainya sambil tidur; perasaan tidak enak apa yang bisa membuatnya melepas cincinnya? Itu terlalu di luar akal. Ada juga kemungkinan dia jadi pikun, tapi kenapa tanda-tandanya muncul sekarang? Memangnya kenapa dia melepas cincinnya dari awal? Tidak ada hubungannya dengan jadi pikun. Dan jika betul ayahku lupa memakai cincinnya, dia tidak akan bereaksi aneh seperti itu ketika aku menanyakan cincinnya.
Kemungkinan kedua: hilang.
Selain untuk mandi, dia tidak punya alasan lain untuk melepas cincinnya. Dan meskipun dia melepas cincinnya karena dia mandi ketika jam kerja, akan terlalu ceroboh sekali baginya untuk kehilangan cincinnya. Ada juga kemungkinan dia kehilangan cincinnya di mandi paginya dan aku tidak tahu karena aku sudah berangkat ke sekolah sebelum dia selesai mandi. Kemudian, dia tidak punya waktu untuk mencarinya, jadi dia memutuskan untuk pergi berangkat kerja dan mencarinya setelah pulang nanti. Lalu, kenapa reaksinya aneh sekali? Jika betul ayahku kehilangan cincinnya karena kecerobohannya saja, dia tidak akan bereaksi aneh seperti itu ketika aku menanyakan cincinnya.
Kemungkinan ketiga: dicuri atau dirampok.
Bagi seseorang yang baru saja dirampok, pakaiannya terlalu rapi, dan masih ada dompet di kantongnya. Ada kemungkinan pencuri tersebut hanya mengambil isi dompetnya saja. Dan meskipun dia dicuri atau dirampok pun, pencuri atau perampok itu haruslah orang yang sangat berani sampai dia beraninya mencuri atau merampok ayahku di siang atau sore hari; waktu di mana banyak orang dan polisi sangatlah aktif. Kota tempat di mana kami tinggal bukanlah kota pinggiran atau kota besar juga. Kota ini biasa. Banyak pos kamling yang aktif di kota ini. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada keunikan di kota ini. Aku tidak pernah dengar orang yang kecurian; hanya dicuri cincinnya saja, di tengah hari, dan terjadi di kota ini.
Mungkin saja... aku yang membaca situasi ini terlalu berlebihan. Ayahku betul-betul kehilangan cincinnya dan masih mencarinya, dan entah kenapa, reaksinya adalah panik ketika aku hanya menanyakannya... pernyataan ini sangatlah luar biasa kecil dibandingkan tersambar petir.
Dibanding semua kemungkinan tersebut, ada satu kemungkinan lain yang lebih mungkin dari itu semua...
"...Sori. Mestinya aku nggak usah ngomong." Ucapku berpura-pura merasa bersalah. Aku tahu ini adalah topik yang sensitif, dan seharusnya aku tidak ikut campur dalam urusan privasinya.
"...Nggak papa, kok-"
"Eh, tapi 'kan sudah kadung bertanya, aku lanjutkan aja."
"Bentar-"
"Siapa ceweknya?" Tanyaku datar. Aku perlu informasi. Sangat butuh informasi sekali. Jika aku tidak tahu siapa wanita ini, aku tidak bisa merencanakan masa depanku.
Aku terkejut aku bisa menerima kemungkinan yang paling tidak kuinginkan sebagai fakta.
Belakangan ini, ayahku pulang terlambat kemungkinan karena bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang wanita.
Mungkin dia takut dilihat sebagai orang yang masih peduli dengan almarhum istrinya? Maka dari itu, dia melepas cincinnya?
Dan kelihatannya, dia pulang terlambat kali ini karena makan malam bersama wanita tersebut. Aku bisa melihat wajah rasa bersalah ketika dia menyadari aku membuatkannya makan malam. Padahal, dia terlihat sangat senang sekali sampai dia lupa memakai cincinnya lagi, dan aku langsung menghancurkan kebahagiaannya dengan menginterogasinya dan membuatnya merasa bersalah.
Mungkin dalam hal ini, "pikun" bukanlah kata yang tepat. Mungkin, "gila cinta" adalah kata yang lebih tepat untuk menjelaskan kenapa dia lupa memberi tahu aku kalau dia sudah makan dan lupa memakai cincinnya lagi.
"Kamu... nggak apa?" Tanya ayahku kembali. Dia terkejut aku menanggapi situasi ini dengan santai sekali, padahal baru saja aku tahu tentang hal ini.
"Sudah dulu banget ibu meninggal. Aku nggak akan marah. Nggak ada yang menyalahkan." Aku menjawab sambil tersenyum ceria.
Jika saat ini aku tidak sedang menghadap orang tuaku, aku akan meremas keningku.
Tentu saja ini adalah masalah. Wanita ini telah mengubah seluruh rencana masa depanku.
Aku perlu menentukan apakah wanita itu berguna atau tidak, punya niat jahat atau tidak, dan sebagainya.
Mulai sekarang, aku perlu menyisakan waktu kosong beberapa minggu ke depan untuk mencari tahu tempat tinggalnya dan bertanya-tanya kepada tetangganya. Kalau waktu dan situasinya sesuai, aku berencana bertanya-tanya juga kepada para teman kerja ayahku. Memiliki lebih dari satu sumber informasi menyebabkan setiap informasi yang kusaring menjadi lebih akurat.
Tidak ada yang tidak berlebihan demi informasi. "Celaka" adalah celaka bagi yang tidak siap.
Sama seperti kecelakaan sungguhan; hanya karena kebakaran dan gempa memiliki tingkat kemungkinan yang rendah, bukan berarti kita tidak perlu melakukan persiapan. Jika kamu tidak dapat memahami pentingnya persiapan dalam keadaan darurat, salahkan hanya dirimu sendiri ketika tiba waktunya nanti.
Ayahku mengeluarkan cincinnya dari sakunya. Rupanya ada di situ selama ini.
Dia melihati cincin itu beberapa saat. "...Apa betul nggak apa?"
"..."
Seorang siswa remaja normal seumuranku yang tidak memiliki ibu, biasanya mengalami depresi, krisis identitas, dan cemburu terhadap orang lain yang masih memiliki ibu. Mungkin? Aku kurang tahu.
Jujur saja, jika aku mengalami itu setiap hari, rasanya akan sangat melelahkan. Itu akan menguras tenaga dan melelahkan otakku. Lebih baik, aku belajar dan mencari informasi, daripada meluangkan waktu mengkhawatirkan sesuatu yang sangat sepele. Ibuku sudah meninggal dan tidak ada yang bisa kulakukan. Ada anak lain di luar sana yang lebih menderita dariku. Dari awal, kenapa aku harus merasa menderita bahwa aku tidak memiliki ibu?
"..."
Lagi pula, pertanyaan dari ayahku tersebut sepertinya bukan diarahkan untukku saja.
Dia bertanya, apakah dia pantas mendapatkan kebahagiaan lagi dengan wanita lain selagi istrinya sedang beristirahat di akhirat.
Aku yakin, dilema ini tidak terlintas di kepalanya pertama kali dan satu kali saja.
Ayahku bukanlah tipe orang yang bisa melepaskan cintanya begitu saja, bisa dilihat buktinya dari cincinnya itu. Aku tidak bisa membayangkan jumlah malam tanpa tidur yang dia alami. Aku tidak bisa membayangkan rasa ketakutannya ketika dia berimajinasi tentang dampak-dampak yang akan timbul jika anaknya sendiri sampai tahu. Aku tidak bisa membayangkan betapa berat rasa bersalahnya ketika dia menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada wanita lain.
Bertahun-tahun setelah ibuku meninggal, ayahku sekarang jatuh cinta lagi. Aku penasaran, wanita seperti apa yang bisa membuat ayahku berpikir untuk benar-benar tidak apa jatuh cinta lagi.
Menikah. Rasanya bagaimana? Memilih seseorang sebagai pasangan di kehidupan untuk bertahun-tahun lamanya? Pasti mereka akan melalui kebahagiaan, kesedihan, kesusahan, kemarahan, bersama-sama; bukan sendirian tapi bersama. Sayangnya untuk ayahku, pasangannya telah menuju ke akhirat tanpa mengalami dan menjalani semuanya itu bersama-sama.
Dan meskipun hal ini sering terjadi, manusia tetap saja menikah. Mereka telah mengikat janji seumur hidup untuk bersama dengan pasangan yang mereka pilih. Aku yakin, menikah adalah suatu kebahagiaan tersendiri yang manusia bisa rasakan.
Ini adalah salah satu hal yang tidak akan pernah bisa aku pahami, sebagaimana pun aku berusaha. Bukan "belum", tapi "tidak akan".
Aku memutuskan untuk menjalani bagianku terlebih dahulu.
"...Yang penting dia sudah tahu dulu, 'kan?"
"Tahu apa- oh!" Ayahku menyuarakan kesadarannya. "Ya, dia sudah tahu. Dia sudah tahu aku punya anak dan ibumu sudah meninggal."
...
Kami berdua duduk di meja makan dan berbincang-bincang.
Wanita yang ayahku sukai rupanya adalah seorang ibu yang pasangannya meninggalkan keluarganya.
Wanita itu bekerja di tempat kerja yang sama dengan ayahku. Dia memiliki tiga anak; satu anak perempuan di SMA, dan kembar laki-laki dan perempuan yang masih TK.
Tadi, waktu ayahku makan malam bersama dengannya, dia menyatakan cintanya kepada wanita itu, dan wanita itu menerima cintanya.
Mereka berdua sepakat untuk segera memberi tahu tentang hal ini kepada anak mereka masing-masing. Di kasus ayahku, aku tanpa sengaja mengetahui hal ini langsung di hari yang sama. Ditambah lagi, mereka sudah berpikiran untuk menikah lagi...
Apa cinta orang dewasa secepat ini? Mereka menyatakan cintanya hari ini dan memutuskan hari ini juga untuk berencana menikah lagi? Memang, mereka berdua adalah kepala keluarga, jadi aku bisa mengerti kenapa mereka bisa memutuskan untuk berencana menikah lagi semudah itu, tapi ya...
Sudah sejauh ini hubungan mereka... Jika begitu, aku tidak yakin aku bisa memisahkan mereka berdua ketika aku selesai mengumpulkan semua informasi yang penting.
Kata ayahku, mungkin perlu beberapa hari untuk wanita tersebut memberi tahu anak-anaknya. Karena jika dipikir baik-baik, sebagai orang tua, memberi tahu anak-anaknya bahwa "aku mau menikah lagi"... Itu pasti sangat canggung. Tapi tetap saja... aku harap ayahku memberi tahu aku secepat mungkin kalau lain kali hal yang mirip terjadi.