Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 2 - 78 hari sebelum HUT sekolah. Selasa, 4 September. Pagi hari sampai siang hari.

Chapter 2 - 78 hari sebelum HUT sekolah. Selasa, 4 September. Pagi hari sampai siang hari.

Kedua "sahabat"ku, Alex Mahes dan Calista Anita, sedang berkumpul mengelilingiku.

Karena kami bertiga selalu terlihat berkumpul bersama, biasanya kami dipanggil "Trio Sekawan". Jujur saja, itu terdengar agak bodoh. Tapi, aku tidak akan menyuruh mereka berhenti atau menjadi marah karena hal sepele seperti itu.

"Datang pagi lagi..." Kata Calista Anita dengan suara kecil sambil menaruh tasnya ke bangkunya. Panggilannya adalah Ani.

Alex Mahes berada di belakang Calista Anita.

Memang benar kami siswa-siswa sekolah datang pagi, tapi yang dimaksud Calista Anita di sini adalah aku datang lebih awal dibandingkan siswa-siswa lainnya.

"Aku barusan datang." Balasku omong kosong. Aku tersenyum masam.

Teman kelasku yang mendengar balasanku, menjawab dari kejauhan, "Dia datang paling pertama. Pas aku datang tadi, dia sudah di sini sendirian."

Aku memang memastikan bahwa aku selalu bangun dan tiba di sekolah lebih awal, supaya jika ada kejadian-kejadian dan perbincangan-perbincangan membicarakan orang lain yang belum datang, aku bisa tahu. Informasi itu penting.

Mendengar sendiri kebohonganku terungkap, aku mengangkat bahuku. "Tidurku lebih awal dari kalian semua." Kataku dengan omong kosong lagi.

"Bukannya karena nggak punya kerjaan?" Tanya Alex Mahes, panggilannya adalah Alex atau hanya Lex, menerka alasanku datang lebih pagi sambil setengah mengejek ke aku. Alex Mahes kemudian menaruh tasnya di samping kursiku.

"Aku datang pagi gara-gara aku lupa mengerjakan PR tadi malam." Jelasku terlihat terpaksa sambil memperlihatkan buku catatanku di atas meja.

"Oh ya, ada PR!" Teriak Alex Mahes teringat. Alex Mahes segera mengambil buku dan alat tulisnya dari tas.

"Yang PR itu di pelajaran pertama, 'kan? Apa sempat?" Kata Calista Anita dengan acuh tak acuh.

Komentar Calista Anita membuat Alex Mahes menjadi semakin panik. "Minta tolong pinjam punyamu!" Alex Mahes meminta tolong ke aku.

"Ya, 'kan..." Gumam Calista Anita sambil memegang dahinya. Tindakan Calista Anita sengaja dibuat berlebihan.

"Kok minta ke aku? Minta ke Ani aja." Kataku untuk menghindari dosa memberi contekan.

"Nggak mungkin dia mau. Tahu 'kan orangnya gimana." Jelas Alex Mahes.

Memang Calista Anita punya sifat semacam itu. Calista Anita tidak suka dipergunakan orang lain.

Tapi orang yang Alex Mahes bicarakan itu ada di sampingku... Tuh, dia jadi merengut, 'kan?

"...Yang cepet, oke?" Aku dengan pasrah meminjaminya hasil PR-ku.

"Hore!" Soraknya senang berlebihan.

Akibat aku meminjami Alex Mahes pekerjaanku, Calista Anita menarik ujung seragamku. "Kamu terlalu lembek sama Alex." Kata Calista Anita bersungut-sungut.

Aku menoleh ke samping. "Sori, sori. Ini ya salahku nggak mengingatkan ada PR tadi malam."

"Kok itu bisa salahmu dari mana? Dasar aneh." Oloknya, kemudian duduk tenang lagi di bangkunya.

"..." Tidak ada yang salah dari perkataan maupun logika Calista Anita. Maka dari itu, aku hanya tersenyum masam.

Memang semua murid punya sebuah kewajiban untuk belajar, tapi kita tidak memiliki kewajiban untuk mengingatkan atau membantu temannya. Tidak ada yang akan menyalahkanku kalau aku tidak mengingatkan Alex Mahes. Aku tetap meminta maaf meskipun begitu. Aku tahu sendiri bahwa tindakanku ini aneh.

Tentunya semua ini hanyalah sandiwara belaka di mataku. Aku memang tahu ada PR dan sengaja tidak memberitahukannya ke Alex Mahes.

Dan dengan didasarkan pengalaman dan observasiku, aku tahu tindakan dan reaksi-reaksi yang akan mereka sampaikan, jadi kurancang dari tadi malam untuk membuat Alex Mahes berhutang budi padaku dengan berpura-pura lupa memberi tahu Alex Mahes bahwa ada tugas sekolah yang akan dibahas hari ini.

Mereka berdua, Alex Mahes dan Calista Anita, bisa dibilang memiliki potensi yang paling besar di sekolah ini untuk masa depan.

Alex Mahes adalah laki-laki paling atletik di angkatan tahun ini, bahkan dia adalah atlet sungguhan dan mengikuti latihan atlet sungguhan. Aku tahu karena aku pernah mengunjungi sesi latihannya.

Aku hanya memiliki nilai bagus di beberapa mata pelajaran tertentu. Sama seperti anak SMA lainnya, aku kesusahan di mata pelajaran matematika. Nilai terjelekku ada di mata pelajaran matematika. Itu karena mata pelajaran tersebut tidak bisa dihafalkan, tapi perlu dilatih. Menghafalkan fakta-fakta dan menghitung angka-angka adalah dua hal yang berbeda.

Aku bukan pintar. Aku hanya berhasil mendapat nilai bagus. Dan itu dikarenakan aku sudah bersiap-siap akan materi yang akan muncul di ulangan-ulangan. Semua orang tahu bahwa nilai di ulangan bukanlah satu-satunya ukuran untuk menentukan apakah seseorang itu benar-benar pintar.

Pintar berarti tahu banyak hal, aku hanya tahu fakta-fakta yang aku prediksi akan muncul di soal ulangan dan ujian. Secara akademis, aku dinilai sebagai orang yang pintar, tapi meskipun begitu, aku tidak akan pernah layak dibandingkan dengan ilmuwan terkenal.

Sedangkan Calista Anita adalah seorang jenius. Namun, bukan dalam arti "jenius dari seluruh jenius di zaman ini". Dia jenius dalam arti, dia memiliki otak yang memudahkannya menyerap materi pelajaran apa pun.

Jika seseorang menguis aku tiba-tiba tentang masalah matematika, aku tidak yakin aku akan bisa dengan cepat atau berhasil menjawabnya dengan benar. Tapi Calista Anita akan bisa menghancurkan kuis tersebut. Kesanku terhadap kepintaran Calista Anita semacam itu.

Calista Anita adalah orang yang paling pintar di angkatan tahun ini. Aku tahu karena aku menyimpan semua peringkat di semua kelas dari semester ke semester.

Calista Anita selalu mendapat peringkat 1. Bahkan aku yang dengan sekuat tenagaku belajar setiap harinya, tidak pernah mendekati maupun merebut peringkat 1 itu, kecuali satu kali karena dia lengah ketika dia belum mengenalku. Aku tanpa sengaja membuatnya semakin giat belajar karena aku menempatkan diriku sebagai rivalnya hanya karena aku berhasil mengalahkannya dalam persoalan peringkat.

Ketika melihat perbedaan antara aku dan mereka berdua, kadang-kadang itu membuatku stres.

Setiap beberapa sekali, aku akan menanyakan kepada diriku sendiri; apa aku sepatutnya berada bersama mereka? Di dalam "Trio Sekawan" ini, hanya aku yang tidak mencolok.

Tetapi di sisi lain, ada manfaat positif dari aku tidak mendapat peringkat 1. Kedengkian manusia, terutama iri hati, banyak yang tertuju pada Calista Anita.

Aku menyadari sesuatu dari waktu ke waktu. Di mata orang-orang, entah itu guru ataupun siswa, entah itu siswa kelas ini atau siswa kelas lain, mereka memandang Calista Anita dengan pandangan "tertentu".

Aku tidak mengatakan bahwa pandangan itu selalu ada. Bahkan, kebanyakan siswa yang tidak merasa bisa meraih peringkat 1 sama sekali, tidak berpikir buruk tentang Calista Anita. Mereka hanya ingin menikmati hari-hari mereka sebagai siswa remaja SMA di sekolah ini.

Bukan berarti pandangan yang ada juga sedikit. Selain kepintarannya, juga ada rupanya yang cantik.

Seluruh kehidupannya penuh dengan alasan untuk iri hati terhadapnya.

Aku hanya bisa menduga bahwa dari dulu, Calista Anita selalu di bawah pandangan tersebut.

Kelihatannya, dia telah mengalami kehidupan yang penuh dengan pandangan iri hati sebelumnya. Dia belajar dari kesusahan hidup di bawah pandangan tersebut, dan memutuskan untuk tidak menjadi mencolok lagi. Itu menjelaskan kenapa dia tidak suka berbincang-bincang dengan orang lain, dan juga kenapa dia sangat susah untuk diajak berbicara ketika pertama kali aku bertemu dengannya.

Terdapat sebuah kelompok teman. Mereka sepakat untuk menjadi atlet yang serius. Mereka mengikuti latihan, mereka mengikuti lomba-lomba, tapi ada satu orang dari kelompok itu yang selalu menang dalam setiap lomba. Teman-teman lainnya juga tidak ingin kalah. Mereka mulai semakin semangat dan latihan lebih keras lagi. Terus dan terus. Namun mereka tidak dapat mengejarnya. Pada saat dia menang lomba yang besar, dia diwawancara. Dia ditanya, "Cara apa yang dilakukan untuk menang?", Dia menjawab, "Oh, hanya kebetulan saja."

Menurutmu apa yang sedang dirasakan teman-temannya yang duduk di bangku cadangan? Dengan ini aku menyatakan, "talenta yang asli mengalahkan kerja keras." Mungkin itu adalah cara pandang yang pesimistis, tapi menurutku, itu adalah pandangan realistis.

Jam istirahat ada keributan.

"Ada apa?" Tanyaku ketika tiba di belakang Alex Mahes.

"Tengkar mungkin."

"Siapa dengan siapa?" Aku bertanya lagi, karena sepertinya Alex Mahes bisa melihat dari sini karena dia lebih tinggi dariku.

Aku tidak pendek, hanya saja, Alex Mahes adalah salah satu orang paling tinggi yang pernah aku temui. Semua orang terlihat pendek dibanding dengannya.

"Ehm... cewek yang ketos dengan pembuli-pembuli itu." Alex Mahes hanya memberi deskripsi simpel.

Kelihatannya Alex Mahes tidak mengingat nama ketua OSIS atau mungkin dia mengira aku tidak tahu namanya, jadi dia hanya menyebut jabatannya saja.

Alex Mahes mengucapkan kata "pembuli-pembuli" dengan santainya, seolah itu adalah sebuah norma.

Aku juga tidak terkejut. Pembuli-pembuli tersebut memang terkenal di sekolah ini.

Aku lebih tergerak ketika mendengar jabatan ketua OSIS yang keluar dari mulut Alex Mahes dibandingkan pembuli-pembuli tersebut.

Silvia Anggraini?

"Hup!" Aku tidak bisa menahan penasaranku, jadi aku melompat ke punggung Alex Mahes. Dan dia menerimaku dan menggendongku dengan santai.

"Ketos itu melindungi cewek yang dibuli itu, loh. Pernah dengar, 'kan?"

"...Ya." Tentu saja aku pernah dengar dan mengenal korban pembulian tersebut.

Sudah kuduga korban pembulian tersebut adalah orang yang sama dengan perempuan yang ingin bunuh diri kemarin sore.

Ini juga menjelaskan kenapa dia ingin bunuh diri dan Silvia Anggraini masih di sekolah kemarin sore. Justru karena mengetahui alasan di balik keinginan bunuh dirinya, aku semakin penasaran lagi.

Silvia Anggraini seharusnya adalah temannya, bukan? Apa yang dilakukan Silvia Anggraini sampai membiarkan temannya sampai ingin bunuh diri?

Kenapa pembulian terjadi?

Banyak orang bertanya, banyak orang berusaha menjawab, tapi rasanya semua jawaban itu hanyalah penolakan terhadap kenyataan.

Yang mereka tanyakan bukanlah situasi atau lingkungan yang menyebabkan munculnya pembulian, melainkan pelaku pembulian tersebut. Itu salah.

Bukan dari sisi penonton yang harus dipertanyakan, dan bukan dari sisi korban yang harus dipertanyakan. Jika para peneliti ingin tahu kenapa pembulian terjadi, mereka harus melihatnya dari sisi sumber. Dari sumber semua pembulian ini, mereka bisa menemukan penyebab atau alasannya.

Para peneliti selalu melihat masalah pembulian lewat akibat, media, dan cara menghentikan pembulian yang sudah terjadi. Namun, apakah mereka pernah melihat pembulian dari mata pembuli secara individu, bukan secara kolektif?

Konsep penciptaan kapal selam sangat menarik bagiku.

Jika bisa dilihat, bisa jadi sasaran. Jika bisa jadi sasaran, bisa ditembak. Jika bisa ditembak, bisa dibunuh. Jadi cara terbaik untuk memutus rantai ini adalah di awal. Itulah konsep kapal selam; mencegah.

Yang perlu mereka lakukan hanyalah melihat.

Bukan melalui data, bukan melalui angka, dan bukan melalui kategori, melainkan melalui memahami psikologi dan melihat lingkungan pembuli.

Jawabannya akan selalu bermacam-macam, tapi setidaknya, manusia bisa mengambil langkah pertama menuju arah yang tidak menjijikkan.

Aku turun dari punggung Alex Mahes.

"..."

Kemarin sore adalah interaksi pertama bagi kita berdua. Meskipun aku tahu siapa dia, tidak mungkin dia mengenalku. Aku pastikan diriku untuk tidak memihak dan tidak terlibat sama sekali di pihak pembuli maupun yang dibuli supaya posisiku di hierarki sekolah maupun kelas adalah positif atau netral.

"Mereka tengkar gara-gara ketos itu sudah nggak tahan lagi sama para pembuli itu." Jelas Alex Mahes.

"...?" Penjelasan Alex Mahes sedikit aneh. Penjelasannya membuatku bingung.

Pembuli sedang dimarahi karena membuli siswa lain, kemudian pembuli dimarahi oleh ketua OSIS. Dalam situasi ini, kenapa pembuli bisa marah? Seharusnya para pembuli itu menjadi takut karena dimarahi oleh orang yang punya kedudukan yang tinggi... Hm... Seharusnya, itu tidak sampai menjadi sebuah pertengkaran, tapi tetap terjadi.

Fakta di depan mataku tidak bisa kuterima begitu saja.

Silvia Anggraini adalah ketua OSIS. Dan kenapa Silvia Anggraini tidak ditakuti oleh pembuli-pembuli tersebut? Bahkan, tidak ada yang berusaha melerai mereka.

"kenapa...?" Aku menggumam kepada diriku sendiri.

Alex Mahes yang mendengarku tanpa sengaja, salah menafsirkan pertanyaanku. "Mungkin kamu nggak ingat? Ini awalnya mulai dari kelas 10. Tempatnya jauh dari kelas kita waktu itu."

"Ya, aku ingat kok." Aku tidak membetulkan kesalahpahamannya. Aku terlalu pusing untuk memedulikannya.

Tentu saja aku tahu dan ingat. Aku ingat ada pertengkaran di kelas 10 dulu tentang seorang murid yang melindungi murid lain dari pembulian. Tapi, itu dulu di kelas 10. Waktu itu aku sedang sibuk mengenal dan menghafal setiap siswa yang satu angkatan denganku. Aku sengaja tidak memperhatikan murid-murid yang mungkin akan merusak hubungan pertemananku dengan murid lainnya. Kemudian, ketika aku di kelas 11, aku sering mendengar ada pertengkaran terjadi. Aku tidak pernah menyaksikannya secara langsung karena biasanya pertengkaran itu terjadi jauh dari kelasku.

Mungkin karena ini Alex Mahes salah paham. Kami berdua juga tidak pernah membahas topik-topik yang sensitif.

"Tapi, dia 'kan ketua OSIS? Ketua OSIS, loh."

"Oh..." Baru itu Alex Mahes sadar maksudku. "Itu mungkin gara-gara nggak ada yang tahu kalau dia ketos, karena nggak ada yang suka- oh! Ada guru datang. Ayo cabut." Panggilan Alex Mahes menyadarkanku dari termenung.

"..." Aku harus menyelidiki dan mencari tahu lebih dalam lagi tentang Silvia Anggraini, para pembuli, dan perempuan korban pembulian tersebut.