Chereads / Laraku Pilumu / Chapter 33 - Miniatur Neraka 1

Chapter 33 - Miniatur Neraka 1

Siang itu ketika Aisyah sedang menyetrika baju, Mahira menghampirinya dengan wajah cemas. Ia menyerahkan handphone dan Aisyah mendengar bahwa suaminya mengalami demam tinggi. Ia segera menghadap ke ayah mertuanya dan meminta ijin untuk datang ke asrama suaminya agar ia bisa merawatnya. Ayah mertuanya sempat berpikir dua kali. Namun ia yakin bahwa mereka berdua tidak akan melakukan hal itu disaat-saat seperti ini. Ia kemudian memperbolehkannya untuk pergi ke kota. Siang itu juga ia diantarkan oleh Mahira. Sebelumnya juga Aisyah sempat memasakkan makanan kesukaan suaminya atas arahan Mahira. Walaupun rasanya belum sempurna, namun ia berharap bahwa Shoaib akan menyukainya. Mahira juga bisa sedikit lega karena minimal kali ini kakak iparnya itu tidak akan mendapatkan omelan atas apa yang telah dimasaknya. Ia tahu bahwa kakaknya akan memakan apapun yang telah disajikan, terlebih lagi karena ini masakan dari istrinya.

Sesampainya di asrama, teman-teman sekamar Shoaib seketika itu pindah ke kamar sebelah untuk menghormati kedua gadis itu. Sang pemeran utama sedang berbaring lemah diatas kasurnya. Ia terbalut oleh selimut yang hangat. Wajahnya terlihat sedikit pucat. Setelah pintu ditutup, kemudian Aisyah membuka cadarnya. Memandang wajah istrinya itu seolah-olah telah mengangkat setengah penyakitnya. Sisanya terangkat ketika ia mencicipi masakan Aisyah. "Aisyah belajar memasak?" Tanya Shoaib ketika dilihat bungkusan makanan itu. Pemuda itu berusaha untuk duduk. "Mahira yang mengajariku, dia sangat sabar sekali." Aisyah tersenyum melirik kearah adik iparnya. "Bukan Mahira yang sabar, tetapi Aisyah yang pintar", ucap Shoaib dengan suara yang lemah.

Aisyah menyuapkan sendok pertama ke suaminya. Setelah melahap makanan itu, matanya langsung dirasakannya segar kembali dan terlihat senyuman lebar. Kemudian pemuda itu tertawa. Aisyah mengerutkan dahi bertanya-tanya. Mahira pun menunjukkan ekspresi wajah yang sama. "Apakah tidak enak?" Tanya Aisyah hati-hati. "Enak, sangat enak sekali, Aisyah." Tentu saja pemuda itu tidak mengatakan yang sebenarnya. Masakan Aisyah dirasakannya kurang asin sedikit. Namun itu tidak masalah baginya. Bagi Shoaib masakan itu bagaikan makanan dari restoran bintang lima di Swiss.

Pemuda itu kemudian mengecup kening istrinya. Aisyah tersipu malu karena itu. Lalu suaminya melanjutkan makan siangnya dengan sangat lahap. Ia bahkan menambah untuk yang kedua kalinya. Tak lama kemudian Shoaib menyuruh adiknya untuk pulang. Nanti ia sendiri yang akan mengantarkan Aisyah pulang menaiki bis. Seusai Mahira keluar dari kamar itu, pemuda itu bertanya kepada Aisyah sambil melahap suapan terakhir, "Apakah tangan Aisyah tidak terluka ketika memasak ini?" Gadis itu menggeleng lalu tersenyum. "Aku sudah terbiasa didapur sejak dulu." Pemuda itu mengangguk-angguk mengerti.

Ketika Aisyah hendak bangkit untuk membersihkan kamar itu, Shoaib menghentikannya dengan menahan kain rok yang dikenakan Aisyah. Ia menjepitkan jemarinya pada saku samping rok istrinya itu. Aisyah berhenti dan menoleh. "Tolong sekalian juga kunci pintunya." Ia mengerti apa maksud suaminya. Seketika itu wajahnya memerah dan senyumannya terlihat malu-malu. Setelah pintu dikunci, Aisyah kembali ke suaminya dan ia mengisyaratkan gadis itu untuk duduk disampingnya. Aisyah kemudian membuka jilbabnya dan terlihatlah sudah rambut panjangnya yang berwarna pirang. Itulah pertama kali ia melihat rambut gadis itu dan Shoaib semakin jatuh cinta padanya. Jantungnya berdetak semakin kencang. Makhluk didepannya itu sungguh sempurna dengan mata birunya, rambut pirangnya, kulit putihnya, semuanya. Memang tidak ada gadis lain seperti dia.

Di tempat yang berbeda ketika Mahira sampai dirumah tanpa Aisyah, ayahnya segera menelpon nomor pemuda itu berkali-kali. Namun tidak sekalipun ada jawaban diseberang sana. Sudah enam kali handphone nya berdering namun pemuda itu dengan sengaja tidak mengangkatnya. Ayahnya yang marah dan panik itu segera menyusul ke asrama. Namun karena jarak yang jauh, maka ia sampai ketika Shoaib sudah selesai melakukan tugasnya dan Aisyah tengah mencuci piring-piring kotor di belakang. Rambut hitam putranya itu dilihatnya basah dan menandakan bahwa ia baru saja mandi seusai melakukan hubungan itu. Pemuda itu terkejut sekali melihat kedatangan ayahnya. "Mana Aisyah?" Tanyanya dengan nada garang. Putranya menghentikan langkahnya dan berkata dengan sopan, "Ada apa, ayah? Apakah Aisyah melakukan kesalahan di rumah?"

Ayahnya tidak tahu harus berkata apa. Emosinya sudah meluap-luap sedari tadi. Ia menahannya sejak dari rumah hingga sampai disini. Ia merasa muak menatap wajah putranya itu dan tanpa basa-basi lagi, ia menghajar putranya itu. Beberapa teman asramanya yang melihatnya kemudian berusaha melerai dan menjauhkan ayahnya yang sedang mengamuk itu. Shoaib hanya diam saja tidak melawan. Beberapa temannya berdiri didepannya melindunginya. "Anak tidak tahu diri kamu ya! Anak tidak tahu diuntung. Anak kurang ajar. Masih untung ayah masih menyekolahkanmu hingga ke universitas. Ayah menyesal sudah melakukan ini semua untukmu." Shoaib terus menunduk tidak sekali-kalinya mengangkat pandangan. Ia menerima semua cacian dan hinaan itu. Teman-temannya berusaha menenangkannya dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Apa permasalahannya. "Dia membawa istrinya kemari. Mana Aisyah, ayah akan membawanya pulang." Mereka menghentikan langkah laki-laki paruh baya itu sambil berkata, "Biarkan saja, paman. Mereka kan pasangan halal. Kita semua tidak masalah dengannya. Tidak ada masalah bagi kami selama Shoaib baik-baik saja dan sembuh dari demamnya. Lagipula kami disini tidak bisa mengurusnya selama seharian penuh. Kami juga mengkhawatirkan kondisinya. Biarkan istrinya saja yang merawatnya."

Mendengar itu, ayahnya diam seribu bahasa. Ia tidak tahu akan berkata apa lagi. Ia tidak tahu akan membuat alasan apa lagi untuk memisahkan mereka berdua. Iapun menyerah dan kembali ke desa dengan amarah yang masih membara. Shoaib masuk ke asrama dipapah oleh kawan-kawannya. Satu disebelah kanan dan satu orang lagi disebelah kirinya. Teman-temannya menjelaskan apa yang terjadi kepada gadis bercadar itu kemudian ia merawat luka-luka suaminya. Beberapa bagian di badannya membiru dan satu luka gesekan terlihat dipipi kirinya. Aisyah terisak-isak melihatnya. "Ayah membenciku."

"Tidak, Aisyah. Ayah sama sekali tidak membencimu. Ayah tidak membenci kita." Pemuda itu memeluk istrinya. Meleburkan perasaan sedih dan kecewa mereka bersama-sama dan berusaha menguatkan hati keduanya. Malamnya Aisyah tidur disana. Suaminya meminta ijin kepada teman-teman sekamarnya agar mereka tidur di kamar sebelah untuk sementara waktu. Mereka dengan senang hati mengabulkan permintaan laki-laki itu. Kemudian mereka mengangkat kasur dan memindahkannya ke kamar sebelah. Malam dingin yang berbintang, tanpa awan, tanpa hujan. Shoaib dan Aisyah menghabiskan sisa malam itu di kamar yang kosong itu. Keempat kasur sudah tidak ada dan hanya menyisakan satu kasur disana. Namun itu lebih dari cukup karena keduanya berpostur kurus.

"Apakah karena ayah, Aisyah menjadi semakin kurus? Apa yang dilakukan ayah selama aku tidak ada? Kenapa Aisyah tidak pernah menceritakannya?" Ia memandang Aisyah yang tengah berkonsentrasi mencukur jenggotnya. Gadis itu masih diam tidak menjawab. Ia masih memegangi dagu suaminya dan mencukur sisi lainnya. Mata biru itu tidak sekalipun berkedip. Ia sangat berkonsentrasi takut kalau akan melukai pemuda Turki itu. Ia tidak menghiraukan pertanyaan suaminya. Kemudian Shoaib memegang jemarinya lembut dan mengulang kembali pertanyaannya. Kali ini ia tidak bisa mengelak lagi. Mata birunya sudah bertemu dengan mata hitam itu.

Ia kemudian memaksakan senyumannya lalu berkata dengan lembut, "Walaupun aku menceritakannya, tuan bisa apa? Aku tidak mau tuan menjadi anak yang kurang ajar kepada orang tua. Aku tidak mau melihat anda bertengkar dengan ayah hanya karena aku." Sekali lagi ia mengecup kening istrinya. Ia sangat terharu mendengarnya. Nyaris saja ia meneteskan air mata. "Maafkan aku, aku telah membawamu ke jurang seperti ini." Mendengarnya, seketika Aisyah meletakkan jari telunjuknya dibibir pemuda itu. "Ssssst. Jangan berkata seperti itu."

Ia kemudian meraih tangan kanan suaminya dan membaliknya. Ia menyentuh lembut telapak tangan itu dan berkata, "Ini adalah pernikahan kita. Ini adalah sebuah kapal. Tantangan sebuah kapal adalah ombak. Maka mau tidak mau, kapal ini harus kuat melewatinya karena tugas kapal memanglah seperti itu. Melewati ombak dan menghantarkan penumpangnya dengan selamat sampai di tujuan. Penumpangnya adalah aku dan tuan. Tujuan kita adalah surga. Maka semoga ombak-ombak itu akan menjadi ladang pahala bagi kita dan mendapatkan ridho Allah untuk memasuki surga-Nya."

Pemuda itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia memeluk istrinya dan berkata, "Kau sungguhlah Aisyah dan Khadijahnya Rasulullah. Sang periang dan sang penghibur hati." Malam itu keduanya berada di dalam frekuensi yang sama. Shoaib menunaikan tugasnya sekali lagi kepada Aisyah. Pada pukul tiga pagi, Aisyah memakai bajunya dan membangunkan suaminya. Ia mengajaknya untuk mandi dan menunaikan sholat tahajud bersama. Shoaib menjadi imam didepan. Seusai salam, ia mengecup kening Aisyah dengan lembut. Kemudian mereka membaca AlQur'an secara bergantian sampai menunggu sinar mentari sedikit terlihat.

Waktu demi waktu mereka lewati dengan kebahagiaan yang melimpah walaupun serba kekurangan. Mereka berdua melengkapi satu dan yang lainnya. Sebelum Shoaib pergi ke kampusnya, ia mengantarkan istrinya ke toko handphone. Ia membelikannya handphone walaupun Aisyah sempat menolaknya. Ia menggunakan uang pemberian teman-teman Aisyah pada hari pernikahan mereka. Dengan itu ia akan sangat mudah untuk menghubungi istrinya dimanapun ia berada dan kapanpun itu. Selama Shoaib menemui dosen pembimbingnya, Aisyah keluar meninggalkan asrama laki-laki untuk menghindari fitnah dan ia menunggu di taman kampus sambil berkeliling melihat-lihat.

Selama melihat-lihat kampus suaminya, ia juga menelpon rekan-rekan dan keluarganya di Amerika. Ia menggunakan handphone barunya dan mengirimkan beberapa foto selfienya di kampus itu. Kedua orang tuanya dan Asma juga melakukan video call dengannya. Mereka sangat senang melihat Aisyah yang baik-baik saja dan bahagia di negeri orang. Orang tuanya juga mengatakan bahwa mereka telah mengurus tentang perpindahannya dari Amerika. Mereka mengirimkan semua dokumen yang mungkin diperlukan oleh Aisyah melalui email. Secepatnya ia akan mengurus semuanya dengan ditemani oleh suaminya ke kantor kewarganegaraan. Ini akan lebih mudah karena ia mengetahui bagaimana sistem hukum dan pernah belajar tentang hukum. Ditambah lagi suaminya adalah orang asli setempat. Aisyah akan lebih mudah mengurus semuanya dan memilah-milah dokumen untuk diserahkan kepada petugas. Ia juga memiliki trik agar tidak dicurigai sebagai penyelundup.

Disamping itu, Shoaib juga mencari pekerjaan sampingan di rumah sakit dekat sana dan juga menjadi pelayan di salah satu rumah makan demi menghidupi kehidupan mereka, karena ia tahu bahwa ayahnya tidak akan peduli tentang kelangsungan pernikahannya. Ayahnya hanya sudi membayar kuliahnya saja, tidak lebih dari itu. Ia juga mendiskusikan kepada seniornya yang beberapa kali ditemuinya di kampus tentang kontrakan yang murah untuknya dan Aisyah. Setelah menerima beberapa pilihan, ia pun mengajak Aisyah pindah ke kontrakan kecil tersebut. Sesampainya di kontrakan baru itu, Aisyah dengan tanggap dan cekatan membersihkan setiap sudut ruangan supaya nyaman untuk ditinggali. Walaupun serba kekurangan, namun itu lebih baik baginya daripada harus tinggal dirumah bersama dengan ayah mertuanya.

Shoaib membagi waktunya untuk mengerjakan skripsi, bertemu dengan dosennya, bekerja di rumah sakit, bekerja di rumah makan, dan sisanya ia habiskan bersama Aisyah di kontrakan kecil itu. Minggu pertama dirasakannya sangat sulit. Ia merasa sangat kelelahan. Namun ketika dilihat senyuman Aisyah, itu dapat mengurangi setengah bebannya. Ia juga menerima apapun yang dimasak oleh Aisyah. Masakan Turki, masakan Amerika, dan terkadang entah apa itu namanya. Ia menerima betapa asinnya masakannya, kadang Aisyah juga lupa menambahkan garam, atau bahkan ia melewatkan bumbu rempah-rempah lainnya. Ia hanya senyum saja merasakan aneka rasa dari masakan Aisyah. Lama-kelamaan ia juga terbiasa dan Aisyah juga akan semakin ahli dalam memasak. Gaji pertama Shoaib tidaklah besar, namun itu cukup untuk menghidupi kehidupan mereka berdua. Aisyah juga sempat menyisihkan uang belanja untuk ditabung. Mereka sama sekali tidak menggunakan uang pemberian teman-teman Aisyah setelah itu. Ia hanya menggunakannya untuk membeli handphone saja. Sisanya masih utuh tersimpan di rekening Shoaib.

Suatu hari ketika Shoaib keluar dari ruangan dosen pembimbingnya, dilihatnya pergerakan awan yang cepat dan ia menghitam dalam seketika. Angin pun bertiup dengan kencang. Sepersekian detik kemudian, hujan yang lembut pun turun secara perlahan seperti butiran salju yang sangat tipis. Ia memutuskan untuk pulang lebih cepat daripada ia harus terjebak disana sampai larut malam. Ia tahu bahwa cepat atau lambat, hujan akan turun dengan derasnya tanpa henti. Diantara langkahnya yang cepat ia melihat ada seorang wanita yang sangat familiar tengah berdiri menanti seseorang di teras gedung depan sana. Itu adalah istrinya, Aisyah Smith. Dengan setengah berlari ia menghampirinya dan seulas senyuman yang lebar menghiasi wajah Turkinya.

Setibanya ia didepan Aisyah, pemuda itu segera memeluknya dengan pelukan yang hangat diantara dinginnya cuaca saat itu. "Maaf aku tidak membawa payung. Aku tidak tahu kalau akan turun hujan. Tadi cuacanya sangat cerah sekali", ucapnya didalam pelukan suaminya. "Tidak apa-apa, Aisyah. Yang kuperlukan saat ini bukanlah payung, tetapi dirimu." Aisyah tersenyum mendengar rayuan itu. Pipinya memerah karena malu. "Kenapa Aisyah datang kesini?" tanyanya dengan lembut. "Aku sangat merindukanmu, tuan Turki." Hujan perlahan turun dengan derasnya tanpa adanya celah untuk burung terbang di antaranya. Ia seolah-olah sengaja menunggu pemuda itu untuk sampai di teras itu dan menjebak keduanya disana. Memberi jeda antara kelelahan duniawi dan mempererat karunia Allah ke dalam hati mereka masing-masing.

"Lihatlah." Pemuda itu memutar badan istrinya dan menunjukkan sesuatu didepan sana. Jalan setapak yang ditumbuhi pohon-pohon rindang di sepanjang sisinya terlihat sangat indah ketika hujan turun. Dedaunan hijau yang rindang itu seolah-olah menghambat jatuhnya hujan ke jalan berpaving itu. Butiran-butiran hujan tampak sangat anggun menyusup diantara dedaunan dan jatuh membasahi setiap jengkal paving. Pepohonan yang tinggi dan kokoh itu terlihat seakan-akan seperti tiang-tiang pada acara pernikahan dan membiarkan sang pengantin lewat ditengahnya. Kedua mata biru Aisyah berbinar-binar takjub melihat pemandangan itu. Jarum jam telah berpindah posisi dan hujan tidak kunjung reda. Kedua insan itu duduk bersandar di tembok dan Aisyah meletakkan kepalanya ke bahu suaminya. Mereka berdua terlelap tidur sambil menunggu redanya hujan. Melihat itu, para malaikat mengucapkan takbir dan memuji nama Allah.

Itu bukanlah kali pertama mereka berdua terjebak hujan. Awan-awan sepertinya sengaja mempermainkan mereka dengan ijin Allah hanya karena rindu ingin melihat keromantisan kedua insan itu. Kala itu mereka berdua sedang berjalan-jalan santai kembali ke kontrakan. Entah kenapa tiba-tiba hujan turun di cuaca yang panas. Mengetahui kondisi Aisyah yang tidak bisa terkena hujan setetespun, Shoaib segera melepaskan ghutrahnya dan melindungi Aisyah. Ia menggiring Aisyah berlari dan berteduh di masjid terdekat. Lampu masih belum dihidupkan. Sisa-sisa cahaya jingga masih terlihat diufuk sana. Mereka berdua berdiri didepan kaca besar menghadap keluar masjid. Shoaib berdiri dibelakang Aisyah sambil memeluk pinggangnya. Sepasang suami-istri itu menikmati hujan di sore hari dan tercipta suasana romantis di atas tanah yang basah itu.

Keesokan harinya pukul sembilan, seperti biasanya Shoaib bergelut mengerjakan skripsinya. Buku-buku tebal itu berserakan di kamar yang berukuran kecil itu. Setengah jam lagi ia akan menemui dosennya untuk membahas bab selanjutnya. Aisyah datang membawa teh hangat setelah menjemur baju di halaman belakang kontrakan itu. Melihat ekspresi wajah suaminya yang serius tidak berkedip, Aisyah memandanginya terus menerus. Ia menikmati setiap jengkal wajahnya itu. Bulu-bulu halus yang perlahan mulai tumbuh memenuhi dagu pemuda itu mengingatkannya kembali ketika suaminya selalu menggelitiki Aisyah dengan menggesek-nggesekkannya pada leher atau dadanya. Spontan gadis itu tertawa geli dan berusaha untuk menghentikannya.

"Kenapa?" tanya Shoaib ditengah-tengah konsentrasinya. "Apakah Aisyah membutuhkan bantuan untuk menjemur pakaian?" kedua tangan pemuda itu masih sibuk mengetik diatas laptop. Mata hitam itu tidak berpaling dari layar. Gadis itu tersenyum lalu menggeleng. "Anda selalu terlihat seksi, tuan. Bahkan ketika serius seperti ini." Mendengar rayuan itu, seketika tangannya berhenti mengetik lalu berkata dengan manja, "Ayolah, Aisyah. Jangan menggodaku sekarang. Aku tidak ada waktu, nanti malam saja ya." Aisyah tertawa mendengarnya lalu ia beranjak berdiri untuk menyiapkan baju ganti suaminya.

Lima bulan berlalu dan Aisyah belum juga hamil. Walaupun begitu, mereka berdua tetap bersabar menantikan sang jabang bayi. Namun tidak untuk ayah Shoaib. Ia langsung menvonisnya dan terus saja mengatai bahwa Aisyah mandul, kena kutukan, dan lain sebagainya. Aisyah yang mulai fasih dan mengerti bahasa Turki, perasaannya semakin hancur. Namun ia hanya diam saja tidak membalas apa-apa karena ia tahu bahwa Allah bersama dengan orang-orang yang sabar. Allah tidak pernah menjanjikan bahwa hidup akan semakin mudah, namun Allah akan selamatkan hatinya untuk terus bersabar dan melewati cobaan itu.

Shoaib yang beberapa kali sempat tersulut amarahnya karena mendengar Aisyah diperolok-olok seperti itu, Aisyah berusaha untuk melerainya dan membawanya menyendiri di kamar. Mereka berdua telah kembali ke rumah itu dikarenakan kesehatan ayahnya yang memburuk dan Mahira tidak bisa mengurusnya seorang diri. Disamping itu pengerjaan skripsinya sudah selesai dan ia tinggal menanti tanggal sidangnya. Sambil menanti hari-H itu, Shoaib fokus kepada pekerjaannya di rumah sakit dan ia juga menginvestasikan sebagian uangnya untuk merawat kambing-kambing itu lalu menjualnya demi menghidupi keluarganya.

Ia telah memutuskan berhenti dari pelayan rumah makan agar ia lebih memiliki waktu banyak dirumah, bersama istrinya. Ia juga ingin melindunginya dari amukan ayahnya. Orang tua bagaikan AlQur'an yang sudah lapuk. Disimpan percuma, dibuang berdosa. Ada kalanya Shoaib sedikit terpancing oleh omongan ayahnya. Akhirnya ia mengajak Aisyah untuk datang ke dokter dan mengecek apakah salah satu diantara mereka ada yang mandul, namun hasilnya mengatakan bahwa kandungan Aisyah baik-baik saja, begitu juga dengan sperma Shoaib. Hanya saja takdir Allah yang belum memberi mereka anak.

Ketika Aisyah sedih dan merasa muak, ia sering menyendiri di kandang kambing dan bercengkrama dengan mereka. Ia menganggap bahwa mereka mengerti setiap perkataannya. Ia melakukannya untuk menghibur hatinya karena tidak ada tempat baginya untuk mengeluh. Ia tidak mau merepotkan suaminya. Shoaib sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya. Ia tidak mau menambah bebannya dirumah. Melihat Aisyah yang sering berdiam diri di kandang kambing, itu semakin menjadi bulan-bulanan untuk ayah mertuanya. Ia mengatakan bahwa Aisyah sudah gila, tidak waras karena kemandulannya. Lagi-lagi ia hanya diam ketika mendengarnya.

Tak hanya sekali, Shoaib menjumpai istrinya yang sedang bercengkrama dengan kambing. Namun ia tak pernah mengambil pusing tentang hal itu. Malahan ia ikut menyambung perkataan Aisyah dan ia muncul dari belakang punggung gadis itu. Aisyah tersenyum malu menyadarinya. Kondisi ayahnya semakin memburuk. Ia berjalan dengan bantuan tongkat. Tak jarang ia kencing di kamarnya karena tidak mampu untuk berjalan ke kamar mandi. Aisyah lah yang sering mengambil peran untuk membersihkan kamar ayah mertuanya itu. Ia menghentikan Mahira ataupun Shoaib ketika mereka hendak membersihkan kamar ayahnya. Namun masih saja gadis itu tidak pernah ada benarnya dimata ayah mertuanya.

Rumah itu bagaikan neraka yang nyata baginya. Pernah suatu hari ketika Shoaib bekerja lembur di rumah sakit, ayahnya mengunci Aisyah diluar ketika ia sedang membeli sesuatu di toko. Ayah mertuanya tidak membukakan pintu hingga pagi. Handphone Mahira pun disitanya agar ia tidak menelpon Shoaib. Mahira hanya bisa menangisi kakak iparnya yang kedinginan di luar. Hari itu adalah hari dimana hujan turun begitu derasnya. Aisyah adalah seseorang yang mudah sekali sakit walaupun terkena setetes air hujan dan malam itu ribuan tetes air hujan menghujam tubuh kurusnya.

Aisyah menangis diluar. Ia tidak tahu harus tidur dimana malam ini. Pintu-pintu rumah tetangganya sudah tutup dan lampu sudah dimatikan. Ia berusaha mengetuk pintu-pintu itu tapi sang pemilik rumah dibisingkan oleh suara derasnya hujan. Ia berjalan dan terus berjalan. Suhu tubuhnya dengan cepat naik dan kepalanya dirasakan semakin berat. Ia menggigil kedinginan dan bibirnya membiru. Disaat itulah semua kenangan-kenangannya selama di Amerika berputar-putar di kepalanya. Masa-masa kecilnya, Asma, Bethany, Lucy, Caroline, Helena, Claire, dan juga Chris. Ia teringat semua masa-masa indah itu. Kemudian langkah lemahnya terhenti di taman berukuran kecil.

Disana ada tiga buah mainan anak-anak. Perosotan, jungkat jungkit, dan mainan berbentuk terowongan pendek untuk anak-anak merangkak didalamnya. Aisyah masuk kedalam sana dan tidur meringkuk. Ia berlindung dari derasnya hujan malam itu. Dinginnya air hujan yang membasahi bajunya dirasakan menusuk hingga ke tulang. Ia menggigil hebat disisa-sisa malam itu. Shoaib pulang menjelang subuh. Wajah lelahnya terlihat jelas menghiasi paras tampannya itu. Ia mengacak-acak rambut hitamnya dan membuka pintu kamarnya. Ia terkejut melihat istrinya yang tidak ada disana. Ia segera berlari ke kamar Mahira dan berkata dengan nada suara yang panik.

Dilihatnya kedua mata adiknya yang sembab oleh tangis lalu ia dengan terisak-isak menjelaskan apa yang terjadi semalam. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar dan mencari gadis itu. Ia menanyai semuanya yang berpapasan dengannya. Beberapa tetangganya juga turut mencari. Wajahnya yang lelah terlihat semakin kacau. Jantungnya berdetak tak karuan sedari tadi. Kemudian ia tiba di taman itu. Dengan ekpresi wajah yang panik ia terus berlari ke kiri dan ke kanan memutari taman itu.

Ia bolak-balik kesana dan kemari lalu kembali lagi ke taman itu. Kepalanya dengan cepat menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya tidak berkedip demi menemukan Aisyah. Kemudian matanya melirik kearah sepasang sandal dibalik besi-besi itu. Ia berlari kesana dan dilihatlah pemandangan yang membuat lututnya lemas. Kepalanya serasa meledak dan urat syarafnya melemah. Butiran-butiran airmata membasahi pipinya. "Aisyah..... Aisyah...." Ia menyebut-nyebut nama itu sambil meraih tubuh istrinya. Nada suaranya terdengar sangat parau.

Ia menggendong tubuh kurus itu dan membawanya pulang kerumah. Ia tidak dapat berkata apa-apa ketika para warga menanyainya tentang apa yang telah terjadi. Tatapannya kosong memandang kedepan sambil terus menggendong istrinya pulang. Kedua mata itu terus mengalirkan airmata. Sesampainya dikamar ia segera mengganti baju Aisyah lalu menyelimutinya dengan dua lapis selimut. Ia juga menaruh handuk kecil yang telah dibasahinya menggunakan air es lalu meletakkan ke dahinya untuk mengurangi demamnya.

Beberapa menit kemudian dokter datang. Seharian itu ia berdiam diri di kamar menjaga Aisyah. Ia tidak mau bertemu dengan ayahnya untuk sementara waktu. Ia tidak mau memukul ayahnya. Sedangkan diluar sana masih banyak tetangganya yang berkerumun. Ayahnya hanya berkata dengan santainya bahwa Aisyah kabur karena tidak mau hidup susah disini. Ia sangat menginginkan pulang ke Amerika.

Tentu saja sebagian diantaranya tidak percaya dan memilih untuk tidak ikut campur. Mereka sudah tahu bagaimana sikap ayah Shoaib kepada menantunya. Beberapa sudah mencoba untuk menasehatinya namun ayah Shoaib tetap saja membenci gadis itu. Sejak hari itu komunikasi Shoaib dan ayahnya semakin buruk. Mereka jarang sekali saling memandang. Shoaib lebih banyak menghindar.

Sebulan setelah itu, ayah Shoaib mengusulkannya untuk menikah lagi karena Aisyah yang tidak kunjung hamil. Ia mengusulkan nama Ayesha untuk dinikahinya sebagai istri kedua. Ia mengatakan dengan nada memelas bahwa ia ingin sekali menggendong cucu. Ia juga dengan manis membujuk Shoaib tentang bayi kecil yang imut. Shoaib sedikit luluh mendengarnya, ia juga sangat menginginkan bayi. Tetapi Aisyah tidak menyetujui tentang suaminya yang akan menikah lagi. Ia sama sekali tidak mau membagi suaminya dengan wanita lain. Shoaib menjelaskan dengan lembut bahwa ini semua demi kebaikan mereka. Ia juga mengatakan bahwa ia sangat menginginkan seorang anak. Amarah Aisyah semakin membara mendengarnya. "Jadi anda tidak percaya bahwa saya bisa hamil?"

Shoaib menjawabnya dengan nada suara yang lembut, "Aku percaya bahwa Aisyah tidak mandul. Kandungan Aisyah sangat sehat. Tetapi melihat usia ayah yang sudah tua, maka bagaimana kalau kita mengabulkan permintaannya? Mungkin saja dengan kehadiran Ayesha bisa meredakan amarahnya. Dia juga bisa membantu Aisyah mengerjakan pekerjaan rumah." Kalimat itu menghancurkan hatinya yang sudah tersayat-sayat itu. Ia diam tidak merespon apa-apa setelahnya. Wajahnya memerah memendam amarah. Ia tidak akan pernah menyetujui pernikahan mereka walaupun Ayesha adalah seseorang yang sangat baik.

Suatu pagi saat sarapan, seperti biasa Aisyah yang memasak dengan bantuan Mahira. Kali ini ayah mertuanya tidak mengomentarinya seperti hari-hari sebelumnya karena ada hal yang sangat penting yang ingin dikatakannya. Dengan nada suara yang datar, ia berkata, "Ayah sudah menyuruh teman ayah untuk mengurusnya. Shoaib juga datang ke kantor waktu itu. Mungkin dia belum memberitahumu, maka ayah akan menyampaikannya padamu sekarang." Sejenak ia menoleh kearah putranya yang menunduk tidak merespon apa-apa. Ia mempersilahkannya untuk melanjutkan. Kemudian ia menoleh untuk memandang ke menantunya lagi.

Ia menyerahkan tiga lembar kertas padanya. Aisyah menerimanya dengan tatapan yang bertanya-tanya. Mahira juga mendekat ikut membaca. Aisyah membaca kalimat demi kalimat berbahasa Turki itu dengan baik dan matanya membelalak lebar ketika mengetahui isi surat itu. Seketika wajahnya menjadi merah padam lalu ia berdiri dan menyobek-nyobek kertas itu tepat didepan mata ayah mertuanya dan suaminya. Ia melihat suaminya yang melirik sekilas lalu semakin merapatkan dagunya ke dada. Ia tahu bahwa ayahnya akan marah besar menyaksikan apa yang telah diperbuat oleh istrinya. Benar saja dugaannya, ayahnya berdiri dengan amarah yang meletup-letup lalu menampar Aisyah dengan satu tamparan yang keras.

Shoaib memejamkan kedua matanya rapat-rapat tidak tega menyaksikan itu semua. Ia juga tidak bergerak sedikitpun dari kursinya. Ia mematung ditempat. Aisyah terisak-isak sambil memegangi pipinya yang terasa sangat panas. Mata birunya menatap suaminya yang mematung itu. Mahira yang terkejut berusaha menenangkan ayahnya. Ia merangkul Aisyah sambil mengajaknya masuk ke kamar. "Kau benar-benar sudah gila. Surat itu sangat penting dan susah untuk mengurusnya lagi." Didengarnya dari kejauhan.

Di dalam kamar, pikiran Mahira dan Aisyah menjadi kacau balau. Mahira hanya termangu melihat kakak iparnya yang menangis terus. Ia tidak tahu harus berkata apa kepada ayahnya. Semenjak kejadian itu, Aisyah dan Shoaib tidak saling berbicara lagi. Shoaib tidak berani untuk memulai pembicaraan. Hubungan mereka semakin retak dan beberapa kali Aisyah tidur di kamar Mahira. Namun tengah malam suaminya menggendongnya kembali ke kamar. Aisyah tidak menyadari dan paginya sudah terbangun disamping pemuda itu lagi.

Hingga surat kedua dan ketiga diberikan oleh ayah mertuanya lagi untuk ditanda-tangani. Lagi-lagi dengan beraninya ia menyobek kertas itu. Kali ini ayah mertuanya menghajarnya habis-habisan seperti ia menghajar Shoaib dulu. Gadis itu mendapatkan serangkaian pukulan dan tendangan. Beberapa tamparan mengenai pipi merahnya itu. Lagi-lagi Shoaib diam mematung di kursinya. Entah apa yang telah merasukinya itu. Ia tega melihat istri tercintanya diperlakukan seperti itu. Namun sekali lagi, Aisyah akan bertahan demi rumah tangga mereka.

Seusai babak belur dihajar ayah mertuanya itu, Aisyah tidak keluar sama sekali dari kamar. Beberapa bagian di wajahnya membiru dan terasa sakit sekali. Ia mogok makan dan minum. Ia hanya menangis sepanjang hari. Shoaib hanya duduk diam disebelahnya tanpa mengatakan sepatah katapun. Aisyah sudah lelah dengan semuanya. Bibirnya sudah lelah untuk berbicara. Dengan inisiatif seorang wanita, ia meletakkan kepalanya di bahu suaminya. Lalu tangisannya pecah. "Aku ingin pulang ke Amerika. Ceraikan aku", bisiknya pelan ditengah-tengah tangisnya.

Pemuda itu bergeming tak berkata apa-apa. Hari demi hari, Shoaib terus membawakan makanan untuk istrinya di kamar. Namun untuk kesekian kalinya ia menolak untuk makan. Fisiknya semakin lemah dan tidak berdaya. Hingga di malam ketiga, pada pukul satu dini hari, ia diam-diam menyelinap ke dapur dan mencari makanan apapun yang masih ada. Shoaib menyadarinya sejak ia turun dari kasur. Kemudian ia menghidupkan lampu dapur dan gadis itu terkejut melihat suaminya yang tiba-tiba berdiri dibelakang.

Aisyah membuang pandangannya mengacuhkan pemuda itu. Tak lama kemudian, perut kosongnya berbunyi keroncongan. Aisyah memegangi perutnya yang terasa sakit itu. Tanpa diperintah, Shoaib mengambil makanan yang sengaja disisihkannya untuk Aisyah setiap makan malam. Ia melakukannya setiap malam hingga malam ini. Kemudian ia menuntun istrinya menuju meja makan. Awalnya ia tidak menyentuh sedikitpun sendok itu sampai Shoaib menyuapinya. Tulang selangka istrinya semakin terlihat karena badannya yang semakin kurus.

Ditengah-tengah makannya, Aisyah terisak-isak lagi. Mereka berdua tidak berucap satu patah katapun. Shoaib terus menyuapinya hingga piring itu kosong. Ruangan meja makan yang terang dan sekelilingnya yang gelap itu seperti layar hitam putih pada salah satu film jaman dulu. Setelah piring itu kosong kemudian ia memberinya segelas air putih dan meminumkannya. Ia menuntunnya kembali ke kamar dan menyelimuti tubuh Aisyah dibawah selimut yang sama dengannya. Ia memeluknya dan membiarkan Aisyah tidur didadanya. Beberapa menit kemudian, gadis itu terisak-isak lagi. Suaminya semakin memeluknya.

Keesokan harinya, mereka masih saja membisu. Sesekali Mahira membantu untuk mengoper umpan. Ia berharap bahwa kakak iparnya itu berbicara lagi kepada kakaknya. Namun itu sia-sia. Aisyah bergeming tidak menanggapi dan menatap lurus dengan pandangan mata yang kosong. Pekerjaan Shoaib di rumah sakit juga sedikit terganggu. Walaupun raganya berada disana, namun pikiran dan hatinya berada di rumah memikirkan Aisyah. Sesekali airmata menetes diujung matanya.

Sore harinya, Shoaib masuk kedalam kamar lalu berlutut didepan Aisyah yang duduk di tepian kasur. Aisyah menutup buku bacaannya lalu memandang suaminya. Laki-laki itu menunduk sambil menyerahkan surat itu lagi. Nafas gadis itu tercekat dan air matanya kembali mengalir. Ia menangis dalam diam, tanpa suara. Namun air matanya deras mengucur. Mata birunya sudah sembab selama beberapa hari ini.

Seketika itu, adzan ashar terdengar. Mereka diam mematung hingga adzan selesai berkumandang. Air mata masih mengguyur membasahi pipi merahnya. "Apakah anda benar-benar menginginkan ini? Apakah anda benar-benar mengharapkannya?" pertanyaan Aisyah tidak dijawabnya. Ia terus menunduk memandangi lantai kamar. Diujung penantiannya, suaminya masih belum menjawab. Akhirnya dengan berat hari ia menarik nafas dan meraih bolpon yang ada ditangan suaminya. Tanpa ragu dalam hitungan detik Aisyah menandatangani surat itu dan mengijinkannya untuk menikah lagi.

Shoaib terkejut melihatnya dan memandang wajah sendu istrinya sejenak. Gadis itu bangkit lalu meninggalkan suaminya di kamar sendirian. Ia mengusap air matanya dan keluar menuju kandang kambing. Baginya saat ini hanyalah kambing-kambing itu yang mengerti bagaimana perasaannya. Aisyah duduk berjongkok memeluk lututnya dan tanpa diperintah air matanya mengalir lagi. Ia menunduk kebawah dan berusaha untuk menuntaskan tangisnya. Secara insting hewan-hewan berbulu itu mendekat lalu mengusap-usapkan kepalanya ke punggung dan kepala Aisyah. Itu membuat perasaannya menjadi tak karuan dan tangisnya enggan untuk berhenti.

Beberapa detik setelahnya, dirasakannya kambing-kambing itu yang menjauh karena diusir oleh seseorang di belakang Aisyah. Ia dapat menduga siapa itu. Laki-laki itu duduk berjongkok dan memeluk Aisyah dari belakang. Namun ia melepaskan pelukan itu dengan kasar. Kemudian ia kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci dirinya di kamar. Beberapa hari kemudian, lamaran itu dengan cepat diterima mengingat bahwa pamannya masih menginginkannya sebagai menantu. Tanggal pernikahan sudah ditentukan dan undangan juga disebar luaskan.

Sampai detik ini, Aisyah tidak pernah menceritakan yang sebenarnya kepada keluarganya di Amerika. Ia menutupi semua keburukan rumah tangganya. Ia menutupi aib suaminya. Setiap telpon itu masuk, Aisyah berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak menangis lalu mengangkat telpon itu. Wajahnya yang sendu terkadang ditutupnya mengenakan cadar atau ia menolak untuk melakukan panggilan video.

Hari-H sudah tiba dan wajah memar Aisyah sudah mulai memudar. Pagi itu Shoaib memasuki kamarnya. Satu hari penuh itu Aisyah berubah menjadi orang yang sangat berbeda. Ketika mendengar pintu itu terbuka, Aisyah membalikkan badannya dan terlihat senyuman yang merekah. Wajahnya kembali berseri-seri seperti bunga mawar yang baru saja merekah. Melihat itu, seketika Shoaib membeku ditempat. Sudah lama sekali ia tidak melihat senyuman itu.

Ia menghampiri suaminya dan merapikan kemeja yang dipakainya. Ia juga membenarkan posisi dasinya yang sedikit tidak rapi. Ia kemudian memandang mata hitam itu yang tak berkedip. Sebuah tatapan yang terkejut, heran, dan terharu. Apakah ini mimpi. Ia melihat gadis itu ceria lagi. "Ada apa tuan? Pengantin prianya kok malah melamun seperti ini? Ini adalah hari bahagiamu, tersenyumlah. Tunjukan yang terbaik pada calon istrimu dan calon mertuamu. Sana, temuilah mereka, tuan tampan." Ia kemudian meraih cadar lalu menutupi senyumnya itu. Aisyah kemudian melangkah keluar dengan semangat dan menyambut para tamu dengan ceria. Ia menyapa siapapun disana.

Shoaib menyadari bahwa Aisyah hanya berpura-pura saja. Ia tidak mau menjadi sorot perhatian orang-orang di hari itu. Ia ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Pemuda itu memandanginya dengan tatapan miris. Aisyah terus berbicara dan tidak berhenti menyapa tamu-tamu yang datang. Ia menjadi orang yang sangat sibuk hari itu. Ia berjalan kesana dan kemari menawarkan kue-kue kepada para tamu.

Ketika sesi akad nikah, Aisyah berdiri didekat meja dan melahap kue satu per satu. Ia berusaha mengalihkan perhatiannya dan menghambat air matanya untuk keluar. Ia membuat otaknya terus berpikir memikirkan bahan-bahan yang ada didalam kue itu. Lidahnya mencoba menebak-nebak. Shoaib beberapa kali melirik kearah Aisyah yang terlihat bahagia itu. Gadis itu mengalihkan semua perhatiannya agar tidak menyaksikan dan mendengar akad yang diucapkan oleh suaminya. Akad yang sama yang pernah diucapkannya ketika menikahinya. Seusai akad lalu berlanjut ke acara foto-foto. Aisyah juga ikut mengantri bersama para tamu. Ia berakting seperti ia tidak sabar untuk berfoto dengan pengantin.

Ayesha yang melihat keberadaannya didalam antrian, ia melambaikan tangannya kearah Aisyah dan mengajaknya berfoto mendahului tamu yang lainnya. Ayesha tersenyum bahagia menyambut Aisyah. Aisyah juga bersikap seolah-olah ia sangat senang mendapatkan giliran awal untuk berfoto bersama mereka. Ia berlari-lari kecil maju kedepan. Ia mengambil posisi disebelah sang pengantin wanita lalu dalam hitungan detik foto telah diabadikan. Lalu sang fotografer mengisyaratkannya untuk pindah ke sebelah Shoaib. Dengan sigap ia melakukannya lalu tanpa ragu ia menggandeng tangan kanan Shoaib. Sedangkan tangan kiri pemuda itu menggandeng tangan Ayesha. Dengan aba-aba, momen indah itu diabadikan.

Seusai foto, kemudian ia berbalik memandang kearah Shoaib lalu berkata dengan renyah. "Selamat atas pernikahanmu ya, tuan tampan." Ia mencubit pelan kedua pipinya. Pemuda itu tertegun menyadarinya. Ia masih tidak mempercayai ini semua. Aisyah berubah seratus persen. Lalu gadis itu melangkah untuk memeluk sang pengantin wanita. Aisyah menunjukkan kehebohannya mirip seperti Helena dan Caroline ketika mereka pertama kali melihat wajah tampan Shoaib. Aisyah dan Ayesha terlihat sangat akrab sekali bagaikan sahabat karib yang lama tidak bertemu.

"Selamat atas pernikahanmu ya, Ayesha. Aku sangat senang sekali kau menjadi istri Shoaib. Mari kita jaga suami kita bersama-sama." Mereka berdua tertawa bersama, menertawai pemuda itu. Kemudian ia mencium pipi kiri dan kanan Ayesha. Ketika ia menuruni anak tangga, diam-diam ia menghela nafasnya panjang. Ia lanjut memakan kue-kue itu lalu beranjak ke dapur untuk membantu ibu-ibu mencuci piring ataupun menyendokkan makanan ke masing-masing piring. Ia terlihat ceria sekali dan aktif di hari itu, di pernikahan suaminya.