Jalan raya itu tampak sepi dan lenggang. Hanya mobil itu yang melaju sendirian disana. Aisyah hanya diam saja sambil memandang keluar jendela. Mobil sedan berwana hitam itu berjalan mulus melintasi jalanan beraspal itu. Jalanan tampak berliku di atas pegunungan. Pegunungan itu tandus dan hanya ada sedikit pepohonan hijau. Jalanan itu sangat rata seperti halnya jalan tol. Sisi kiri jalan itu adalah jurang. Aisyah dapat melihat jelas lahan luas yang kering nun jauh disana. Sepanjang mata memandang hanyalah pegunungan yang meliukkan punggungnya melingkari jalan beraspal. Walaupun begitu, cuaca tidaklah panas. Suasana sore itu dirasakannya sejuk dan romantis. Kemudian seperti baru tersadar dan raganya terbangun dari komanya, Aisyah mengedip-ngedipkan kedua matanya secara konstan. Ia melihat pemandangan didepannya yang sama persis seperti apa yang dulu dimimpikannya. Semuanya sama seperti halnya deja vu.
Ia kemudian melirik kearah sang pengemudi dan pemuda itu juga melihat kearahnya dengan seulas senyuman. Rambut hitamnya menari-nari tertiup angin. Kedua mata hitam dibalik kacamata bening itu tampak begitu jelasnya. Telapak tangan kanan Shoaib terasa hangat menggenggam erat tangannya. Ia baru saja menyadarinya. Ia baru saja menyadari semuanya. Melihat ekspresi wajah Aisyah yang berbeda, kemudian Shoaib menghentikan mobilnya ditepi jalan. "Apakah Aisyah lapar?"
Untuk kali pertama gadis itu meresponnya. Ia menggeleng dengan cepat dan airmata keluar dari kedua mata birunya. Shoaib terharu melihatnya dan memeluknya. Ia juga ikut menangis bersama Aisyah. "Aisyahku telah kembali... Aisyahku telah kembali", ucapnya berkali-kali. Beberapa menit mereka berpelukan dan meleburkan perasaan rindu yang terpendam. "Seni çok özledim aşkım." (Aku sangat merindukanmu, sayang) Kata Aisyah ditengah-tengah tangisnya. "Kemana saja selama ini? Kenapa anda meninggalkanku?" "Aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku selalu bersamamu." Jawab Shoaib sambil menangis.
Beberapa menit kemudian, tangis mereka berdua reda dan Shoaib mulai menceritakan banyak hal padanya. Namun ia tak pernah menyinggung soal rumah, Ayesha, ataupun ayahnya. Itu mungkin adalah topik yang sensitif untuknya saat ini. Shoaib juga mengatakan bahwa ia akan mengisi beberapa seminar di Zeytinburnu. Maka ia akan lebih sering mengunjungi Aisyah. Di perjalanan diatas pegunungan itu, ada sebuah peternakan kelinci. Jalan beraspal itu diapit oleh lahan hijau yang luas dan rata. Salah satu sisi di lahan hijau itu dipagari oleh kayu dan ratusan kelinci itu berlarian riang didalamnya dengan bebas. Sedangkan beberapa kilometer didepan sana, bukit-bukit itu mulai terlihat lagi.
Ketika mobil sedan itu melewati lahan dengan kecepatan tinggi, Aisyah reflek tidak melepaskan pandangannya kearah kelinci-kelinci itu. Ia menengok kearah belakang mobil. Ketika ia ingin meminta Shoaib untuk menghentikan mobil, pemuda itu mendahuluinya berbicara, "Apakah Aisyah ingin melihat kelinci?" Dengan antusias Aisyah mengangguk. Suaminya tersenyum lalu berputar balik. Turunnya dari mobil, Aisyah langsung lari memasuki pagar kayu itu. Ia tertawa bahagia mengejar-ngejar mereka. Sifat kekanak-kanakannya muncul. Shoaib tertawa melihatnya. Ia melipat kedua lengannya didepan dadanya menikmati tingkah lucu Aisyah. "Lihatlah, Aisyah. Yang ini mirip sekali denganmu." Shoaib menggendong salah satu kelinci dan menunjukkannya pada istrinya.
Aisyah menghentikan larinya dan menoleh ke belakang. Senyumannya masih mengembang lalu ia lari mendekati suaminya. Aisyah tertawa melihat kelinci putih yang bermata biru itu. "Seperti ini?" Ia menirukan kelinci itu yang sedang mengunyah makanan. Shoaib tertawa melihatnya. "Dulu sewaktu aku kecil, ayah pernah memberikanku seekor kelinci. Waktu itu kami masih tinggal didesa dan ayah berkebun setelah kejadian 11 September. Itu adalah kelinci pertama yang pernah aku miliki", kata Aisyah. "Iya, mama pernah mengirimkanku fotomu bersama kelinci itu. Aisyah sangat imut sekali sewaktu kecil. Sama seperti kelinci ini." Aisyah tersenyum mendengar pujian itu.
"Waktu itu aku berlarian mengejar kelinci itu hingga kelinciku tidak betah denganku. Aku kalah gesit dengannya. Tak jarang aku jatuh di tanah bekas air hujan sehingga membuat bajuku kotor oleh lumpur." Shoaib tertawa mendengar cerita itu. "Biar aku menebak satu hal. Pasti Aisyah memberi nama kelinci itu Muezza." Aisyah membelalakkan matanya terkejut. "Bagaimana anda bisa tahu? Apakah ibu juga yang memberitahu tentang itu?" Shoaib menggeleng dan berkata, "Tentu saja aku tahu." Kemudian ia menunjuk kearah Aisyah. "Namamu Aisyah. Kakakmu bernama Asma. Istri Rasulullah bernama Aisyah dan kakak Aisyah juga bernama Asma. Jadi pasti kau juga memberi nama kelinci itu dengan nama kucing kesayangannya Rasulullah, Muezza."
Aisyah melongo mendengar tebakan Shoaib yang sempurna itu. Shoaib tersenyum lalu berkata, "Lalu Aisyah mau memberi nama siapa ke anak kita nanti?" Gadis itu tersenyum malu mendengarnya. "Tebaklah, tuan. Anda bisa membaca pikiranku." Shoaib berpikir keras menerima tantangan itu. "Apakah nama nabi?" Aisyah mengangguk lagi. Ia terkejut atas bakat suaminya itu. Kemudian ia memberikan petunjuk. "Gabungan antara dua orang nama nabi. Nabi yang pertama, anda pasti bisa menebaknya. Lalu nabi yang kedua, kakak beliau juga seorang nabi." Kemudian mata hitam itu membelalak lebar ketika menemukan nama itu. "Muhammad Musa?"
Aisyah mengangguk senang. Shoaib juga sangat menyukai nama itu. Perpaduan nama yang sempurna. "Lalu bagaimana kalau bayinya perempuan?" "Itu terserah anda, tuan", kata Aisyah. Ia memberinya kesempatan untuk memikirkan satu nama untuk anak perempuan mereka kelak. Tanpa pikir panjang, ia berkata dengan yakin, "Aku akan memberi nama seperti dengan nama ibunya. Aisyah. Anak-anak kita akan menjadi cinta pertamaku setelah dirimu."
Kemudian kelinci-kelinci itu berlarian kearah mereka. Sang empunya sudah kembali dan memasuki kandang. Ia menyapa sepasang suami-istri itu dengan ramah. Seusai saling mengucapkan salam, si empunya kelinci bertanya apakah mereka ingin membeli kelinci. Aisyah memohon pada suaminya untuk membelinya. "Apakah tidak apa-apa membawa binatang ke rumah sakit?" Aisyah meyakinkannya sekali lagi. Ia memohon sambil menggoyang-nggoyangkan lengan kanannya. Akhirnya Shoaib membelinya untuk Aisyah. Lalu mereka melanjutkan perjalanan.
Mobil itu sudah berjalan selama tiga puluh menit. Dari kejauhan terlihat beberapa balon udara yang meninggi didepan sana. Aisyah menunjukkan kehebohannya sambil berkata, "Apakah kita akan kesana?" Kedua mata biru itu berbinar-binar memandang kearah suaminya. Pemuda itu tersenyum tidak menjawab pertanyaan Aisyah. Gadis itu tetap dengan kehebohannya dan kebahagiannya. Mobil itu bergerak semakin dekat dengan lokasi balon udara itu. Aisyah semakin senang tidak karuan. "Apakah ini bukan mimpi? Aku benar-benar berada disini kan? Tolong cubit aku sekarang." Alih-alih mencubitnya, Shoaib malah menciumnya. Menyadari itu, pipinya langsung memerah karena malu. Ia seperti pengantin yang baru saja menikah di hari itu dan sekarang adalah bulan madunya.
Mobil sedannya berhenti dan parkir di dalam lembah itu yang dikelilingi oleh pegunungan bebatuan. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah warna coklat gunung bebatuan, hijaunya rumput, dan warna pelangi dari balon udara yang diatas maupun yang akan terbang. Turunnya dari mobil, Aisyah langsung berlarian mendekat kearah balon-balon udara yang hendak mengudara itu. Shoaib mengikutinya dari belakang dengan senyuman. Ia lari-lari kecil mengejar Aisyah. Sifat Amerikanya masih ada didalam dirinya. Dengan percaya diri Aisyah langsung bertanya kepada sang petugas balon udara itu apakah ia akan membawa balon udara itu mengudara secepatnya. Ia berbicara dalam bahasa Turki.
"Iya, nyonya. Saya akan membawanya terbang ketika para pengunjung sudah terkumpul." Mendengarnya, Shoaib lalu bertanya kepada Aisyah, "Apakah Aisyah mau naik yang ini?" Gadis itu menggangguk bersemangat. Melihat respon istrinya, Shoaib kemudian menoleh ke petugas dan berkata bahwa ia ingin menyewanya hanya untuk dua orang saja, tanpa penumpang lainnya. Kemudian dengan sopan petugas itu meminta ketiga pengunjung yang sudah naik untuk turun dan menaiki balon udara yang lainnya.
Dengan sigap, Aisyah naik kesana tanpa bantuan Shoaib. Pemuda itu berdiri tepat dibelakang Aisyah dan meletakkan kedua tangannya pada tepian keranjang raksasa itu untuk melindungi Aisyah. Tak lama kemudian, api dinyalakan dan perlahan balon itu mulai naik mengudara menuju langit sore yang berwarna jingga. Ia terbang bersama puluhan balon udara lainnya menghiasi langit Turki. Mereka berdua menorehkan kisah cinta mereka kedalam salah satu buku sejarah di negeri para sultan itu.
Terlihat jelas dari atas sana pegunungan dan perumahan yang tampak kecil. Angin dingin menerpa pipi merah Aisyah. Ia merasa sangat dekat sekali dengan awan seakan-akan ia bisa menggapainya. Putih dan selembut kapas. Perlahan namun pasti, cahaya matahari sore yang keemasan itu mulai menyentuh pucuk-pucuk gunung sampai kebadannya lalu menyebar ke pemukiman penduduk dibawah sana. Matahari itu tenggelam dengan anggun dan elegan seolah-olah mengucapkan salam perpisahan untuk malam ini dan berjanji akan kembali esok pagi dengan semangat yang baru. Semangat menyinari dunia dengan cahaya hangatnya.
"Ini yang dinamakan bulan madu diatas mega-mega." Laki-laki itu memeluk pinggang istrinya. Kemudian ia mendaratkan dagunya ke pundak Aisyah. Gadis itu tersenyum dibalik cadarnya dan terus menikmati pemandangan menakjubkan itu. Ia berusaha menyerap semuanya dan menyimpannya sebagai kenangan terindah bersama kekasih Turkinya itu. Mungkin inilah saat-saat yang paling indah selama hidupnya. Kemudian ia menunduk melihat tangan kecilnya yang bersandingan dengan tangan suaminya yang kekar dan berbulu itu ditepian keranjang. Ia memandangi cincin pernikahan mereka untuk sesaat. Aisyah tersenyum lagi mengingat masa-masa indah itu. Masa-masa dimana teman-temannya datang dan memberi selamat pada mereka berdua. Masa-masa ketika Shoaib dengan mudah berbaur dan bersenda gurau dengan teman-temannya. Ia juga teringat ketika Aaron, adik Bethany, yang manja padanya dan tidak mau kembali ke hotel. Ia sangat menginginkan menginap di rumah itu malam itu.
"Apakah Aisyah tahu kenapa di sore hari mahatari berwarna jingga?" Suara Shoaib membuyarkan lamunannya. "Saat matahari berada dalam posisi rendah di cakrawala, semua warna biru dan hijau dihamburkan dan itu membentuk kilau jingga dan merah." Shoaib tersenyum puas atas jawaban Aisyah. "Benar sekali." Mereka mengudara sampai matahari benar-benar tenggelam seutuhnya dan hanya menyisakan langit yang semakin gelap. Sisa-sisa cahaya jingga dari matahari membias di kedua mata biru Aisyah dan mata hitam Shoaib. Tidak ada yang mengganggu mereka saat ini diatas sana. Handphone nya juga telah dimatikan setelah ia mengirim pesan kepada Ayesha bahwa ia tidak akan pulang kerumah malam ini. Ia menyuruhnya agar jangan menantinya. Ia akan menetap disana hingga dua hari kedepannya dan langsung mengisi seminar.
Ketika hari semakin gelap dan adzan magrib mulai berkumandang, ia memerintahkan sang petugas untuk membawanya turun. Ia masih memeluk Aisyah sambil mendengar dan menjawab adzan yang terdengar dari masjid-masjid di bawah sana.
Allahu Akbar, Allahu Akbar
(Aisyah) Allah maha besar dengan segala kemurahan dan kasih sayangnya. Ia masih memberiku harapan diujung keputusasaanku. Ia masih mengirimkanku salah satu Jibril-Nya untuk menyampaikan kasih sayang-Nya dan menenangkan hatiku.
(Shoaib) Allah maha besar, Allah yang adil dan bijaksana. Maafkan aku jika tidak mampu untuk bersikap adil kepada kedua istriku. Maafkan aku jika tanpa sengaja telah melukai salah satu diantaranya. Walaupun aku sudah berusaha dan memberi keduanya apa yang mereka butuhkan, tetapi sesungguhnya hati ini condong pada Aisyah. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Tolong jaga selalu cinta ini dihati kami.
Asy-hadu Allaa Ilaaha illallah
(Aisyah) Ya Allah, Engkaulah pengatur hidupku. Maka tolong jangan Engkau limpahkan kepadaku suatu masalah yang aku sendiri tidak mampu untuk menanggungnya.
(Shoaib) Ya Allah yang maha baik, tolong segerakanlah pertolonganmu kepada kami. Berilah kami kehidupan yang damai tanpa sebuah kebencian kepada ayah kami.
Asy-hadu Anna Muhammadar Rasulullah
(Aisyah) Ya Allah, kuatkanlah selalu hati ini. Kuatkanlah seperti Engkau meneguhkan hati Nabi Muhammad menghadapi hinaan dan cacian dari kafir Quraish.
(Shoaib) Ya Allah, tolonglah kami seperti Engkau menolong Nabi Muhammad dari kejaran musuh yang ingin membunuhnya.
Hayya'alash Shalah
(Aisyah) Sesungguhnya sholatku, matiku, dan hidupku hanya untuk-Mu. Terserah Engkau mau dibawa kemana hidupku ini. Aku akan berusaha untuk tabah sebagai seorang manusia yang lemah. Maafkan aku jika tidak sekuat para malaikat yang tahan banting.
(Shoaib) Tunjukanlah petunjuk-Mu didalam sholatku, Ya Allah. Bimbinglah selalu aku ke jalan yang benar.
Hayya'alal Falah
(Shoaib dan Aisyah) Aku akan menjemput kemenangan itu. Kemenangan di dunia dan di akhirat.
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Laa Ilaaha illallah
Balon udara itu telah menyentuh tanah. Kali ini Aisyah turun dibantu oleh Shoaib. Pemuda itu menggendongnya didepan dadanya hingga sampai di mobil. Semua pasang mata yang ada disana memandang kearah mereka. Samar-samar dapat didengar oleh Aisyah dan Shoaib, "Romantis sekali mereka." Aisyah diam saja tidak meminta diturunkan. Ia tidak berkedip melihat kra baju suaminya sambil memainkannya. Shoaib juga bergeming tidak berkata apapun. Mereka mengetahui isi hati masing-masing. Perasaan sedih, menyesal, dan rindu yang mendalam. Pemuda itu sangat ingin mengatakan kata maaf kepada Aisyah, namun gadis itu tidak memerlukannya. Ia sama sekali tidak ingin melihat suaminya meminta maaf karena ini semua bukanlah kesalahannya. Ini semua adalah jalan takdir mereka.
"Aisyah mau apa?" tanya Shoaib. Aisyah memandang jakun pemuda itu yang naik-turun. "Jeruk Turki." Shoaib tersenyum mendengarnya. Aisyah juga tersenyum melihat urat leher pemuda itu tertarik. Wajah suaminya terlihat sangat seksi jika dilihat dari samping. Terlebih lagi ketika air wudhu mengalir melewati rahang dan dagunya. Hati aisyah bergetar melihatnya. Sesampainya di mobil, Shoaib membawanya menuju rumah makan untuk mengisi perut mereka. Setelah makanan datang ke meja mereka, mereka melahapnya dengan perlahan. Menikmati lagu romantis yang diputar dan terkadang saling menyuapi satu sama lainnya.
Ditengah-tengah aktifitas makan mereka, beberapa menit kemudian terdengar samar-samar suara seorang anak laki-laki yang sedang berbicara pada ibunya. "Ma, itu dokter Shoaib." Mendengar namanya disebut seketika itu sang pemilik nama menoleh mencari asal suara itu. Matanya yang berkacamata itu membelalak lebar ketika melihat anak kecil itu. Anak yang berumur tujuh tahun itu bernama Ibrahim Arduc. Ia adalah salah satu pasiennya yang mengalami patah tulang tangan beberapa bulan yang lalu. Ia masih mengenakan gips dan digantung ke lehernya.
Ibrahim diantar oleh ibunya menuju meja makan Shoaib. Dokter muda itu kemudian bangkit dari kursinya dan berjongkok didepan Ibrahim. "Hai, kapten. Apa kabarmu?" "Baik, pak dokter." Ia kemudian tos menggunakan tangan kirinya yang sehat. "Bagaimana tanganmu?" Shoaib mengelus lembut tangannya yang di gips itu. Ibrahim dengan manja berkata, "Kadang masih terasa sakit ketika malam tiba, dok." Shoaib menunjukkan ekspresi sedihnya mengasihani anak itu, lalu ia berkata, "Nanti paman beri obat lagi ya. Mungkin obat yang kemarin kurang berfungsi." Mendengarnya, kedua alis Ibrahim mengkerut lalu berkata, "Aku tidak mau disuntik lagi."
Shoaib tertawa mendengarnya. "Tidak, paman tidak akan menyuntikmu. Tenang saja, kapten." Ia kemudian memanggil pelayan untuk meminjam kertas dan bolpoin. Ia menuliskan resep diatas kertas putih itu sambil berkata kepada ibu Ibrahim, "Kebetulan sekali kita bertemu disini. Besok ibu bisa datang ke rumah sakit dan meminta obat ini." Ia menambahi tanda tangannya dibawah kertas itu lalu menyerahkannya ke wanita paruh baya itu. Senyuman khasnya menghiasi wajah tampannya. "Terimakasih banyak, dok. Anda sangat baik sekali. Maaf Ibrahim telah mengganggu makan malam anda." "Tidak apa-apa, bu. Ibrahim sama sekali tidak mengganggu. Mana mungkin saya merasa terganggu oleh anak setampan ini." Shoaib mengelus lembut rambut hitam Ibrahim yang pendek itu.
Ibunya tersenyum mendengarnya. "Apakah dia istri anda?" ia menoleh melihat ke Aisyah lalu menyapanya. Shoaib tersenyum lalu mengiyakan. "Assalamualaikum, nyonya Yousafzai. Apa kabar?" Aisyah menjawab salam itu lalu menyapanya dengan ramah. "Anda manis sekali, nyonya. Sangat beruntung dokter Shoaib mendapatkan wanita seperti anda. Anda akan menjadi obat penenang ketika dokter Shoaib lelah dengan pekerjaannya dan operasi yang dilakukan olehnya di rumah sakit." Aisyah dan Shoaib tersenyum mendengarnya. Pemuda itu menunduk malu. Kemudian helaian-helaian rambut depannya jatuh menjuntai kedepan menyentuh alis tebalnya.
"Malahan saya yang merasa sangat beruntung karena bertemu dengannya. Dia adalah suami yang sangat sabar dan pengertian." Percakapan itu berlanjut dan Shoaib mengajak ibu dan anak itu untuk makan bersama mereka di meja nomor 16 itu. Kemudian ia membayar semua menu makanan itu walaupun ibu Ibrahim sempat menolaknya. "Ini adalah bentuk rasa syukur saya karena telah dipertemukan dengan anak sepintar Ibrahim. Mohon jangan ditolak, bu." Ibu Ibrahim tidak bisa berkata-kata lagi setelahnya. Ia mempersilahkan Shoaib membayar semuanya. Sebelum berpisah, Shoaib berjongkok didepan Ibrahim lalu berkata dengan lembut padanya, "Lain kali, hati-hati ya ketika bermain. Tulang-tulangmu ini masih sangat muda dan rapuh."
"Apakah nanti ketika aku dewasa, tulang-tulangku akan sekuat dokter?" Ia menyentuh lengan berbulu Shoaib. "Tentu saja. Kau akan sekuat paman." Ia kemudian mengantarkan ibu dan anak itu menuju mobil mereka. Shoaib mengangkat tubuh kecil Ibrahim hingga sampai ke kursi dan memasangkan sabuk pengamannya. Ia mengelus lembut rambutnya sekali lagi lalu menutup pintu itu. Aisyah mengamati mereka dari kaca spion mobil. Setelah mobil berwarna biru itu melaju ke jalan raya, barulah Shoaib menuju mobilnya dan duduk disebelah Aisyah. Senyuman pemuda itu masih terlihat. "Sepertinya anda sangat menginginkan kehadiran Muhammad Musa, tuan?"
Shoaib menoleh ke Aisyah setelah mendengar pertanyaan itu. Ia mengerti bahwa itu adalah sebuah kode. Aisyah tidak pernah mengatakannya secara langsung tentang hal itu. Ia selalu menggunakan kode-kode dan sering kali Shoaib dapat memahaminya. "Apakah Aisyah mau membuatkannya malam ini untukku?" Gadis itu menunduk malu. Wajahnya perlahan memerah. Malam itu dan malam-malam selanjutnya, mereka tidur di hotel. Shoaib akan menetap di hotel itu sampai seminar-seminarnya selesai dan ia akan terus bersama Aisyah selama disana.
Keesokan paginya, sesuai janjinya pada dokter, Shoaib membawanya kembali ke rumah sakit jiwa. Ia selalu berada disampingnya ketika Aisyah menjalani tesnya. "Aisyah diperiksa dulu ya sama dokter. Tidak lama kok. Hanya beberapa pertanyaan saja. Aku tidak akan meninggalkan Aisyah. Aku akan menunggu diluar sini." Pemuda itu berusaha menenangkannya. Ia tidak pernah menyebut bahwa istrinya gila ataupun depresi. Ia melihat Aisyah baik-baik saja.
Aisyah yang ketakutan kemudian menangis. "Aku tidak mau disuntik lagi." "Aisyah tidak akan disuntik lagi. Aku jamin itu. Dokter yang menangani Aisyah adalah teman dekatku. Aku akan menyuruhnya untuk bersikap lembut pada Aisyah asalkan Aisyah disana menurut dan menjawab semua pertanyaannya." Gadis itu mengangguk lalu menghapus air matanya. Ia mengikuti suster memasuki ruangan. Shoaib berdiri menanti didepan pintu putih itu. Ia melihat kedalam ruangan melalui kaca kecil transparan yang terdapat ditengah-tengah pintu itu. Setiap Aisyah merasa khawatir, ia menoleh kearah pintu dan melihat suaminya disana. Itu bisa sedikit menenangkannya. Ia merasa bahwa ia tidak akan ditinggalkan lagi.
Tujuh menit kemudian, Aisyah keluar dan langsung memeluk Shoaib. Seperti halnya anak kecil yang baru pulang sekolah. Gadis itu bergeming tidak berkata apa-apa. "Kenapa? Apakah tadi Aisyah disuntik?" Gadis itu menggeleng lalu berkata, "Aku sangat merindukanmu." Shoaib tersenyum mendengarnya. "Aku juga merindukan Aisyah." Semenit kemudian, dokter yang menangani Aisyah keluar dari ruangan itu dan mengajak Shoaib untuk masuk ke ruangannya. "Tunggu disini sebentar ya Aisyah. Aku ingin berbicara kepada dokter." Ia kemudian mendudukkannya di salah satu kursi. Aisyah melihat punggung bidang itu hingga menghilang dibalik lorong.
Dokter itu membersilahkan Shoaib duduk di ruangannya kemudian ia membacakan hasil ujinya. Kertas itu menunjukkan perkembangan mental Aisyah yang membaik. Gadis itu memang benar-benar membutuhkan Shoaib disisinya. Dokter kemudian memberikan resep obat untuk dikonsumsi Aisyah setiap hari untuk menekan depresinya agar tidak melonjak naik lagi. Selanjutnya, Aisyah bisa menjalani rawat jalan.
Shoaib sangat senang mendengarnya. Akhirnya ia bisa membawa Aisyah keluar dari rumah sakit jiwa itu. Selanjutnya, ia memikirkan sebuah cara bagaimana agar Aisyah tidak perlu bertemu dengan ayahnya lagi. Sepulang dari rumah sakit, mereka kembali ke hotel dan Aisyah membiarkan suaminya istirahat. Ia lelah sejak kemarin menyetir mobil demi mengajak Aisyah jalan-jalan. Diam-diam ia menelpon Ayesha dan Mahira dirumah dan menanyakan kabar mereka semua termasuk ayahnya. Didalam kamar ketika Shoaib berbaring diatas kasur, Aisyah memijat kaki dan badannya. Tangan kecil itu dirasakannya sangat lembut memijat setiap jengkal badannya. Walaupun begitu pijatan Aisyah sangat terasa sekali dan dapat merilekskan otot-ototnya. Dalam keheningan itu, Shoaib mulai mengajak Aisyah untuk bercerita. Ia menanyakan banyak hal tentang masa-masa kecil Aisyah. Aisyah menceritakannya dengan semangat. Ia juga bercerita ketika kakaknya yang dihukum karena telah memukul anak tetangga. Ayahnya akhirnya menghukumnya untuk berdiri di sudut ruangan sambil menghafalkan asmaul husna.
Shoaib tertawa mendengarnya. "Bagaimana dengan Aisyah? Apakah Aisyah juga pernah dihukum oleh ayah?" Gadis itu tampak berpikir. Ia memutar kembali ingatannya ke masa-masa kecilnya. Hampir saja ia tidak mengingatnya karena ayahnya yang terlalu sayang padanya. Namun tiba-tiba ada satu ingatan yang muncul dari sudut-sudut ingatannya itu. Ketika itu Aisyah sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Ia sedikit membungkuk karena terlalu fokus. Lalu ayahnya lewat dan memukulkan pelan tasbih yang digenggamnya kearah punggungnya. Shoaib tertawa lagi mendengarnya. Ia kemudian menyahut, "Aisyah saat menyapu juga selalu membungkuk." "Lalu kalau tidak membungkuk, yang benar bagaimana?" Ia mencubit pelan punggung suaminya itu ketika mendengar pernyataan konyolnya.