Chereads / Laraku Pilumu / Chapter 38 - Kebetulan ataukah Kesengajaan

Chapter 38 - Kebetulan ataukah Kesengajaan

Melalui telpon, Aisyah melarang Chris untuk membawa Musa kerumah sakit karena khawatir jika ia akan bersedih melihat kondisi ibunya seperti itu. Chris juga tidak menjenguk Aisyah karena menjaga Musa. Setelah tiga hari menginap dirumah sakit itu, ia akhirnya bisa pulang dan bertemu putranya. Untuk sementara waktu Aisyah tidak pergi bekerja dan ia hidup mengandalkan uang tabungannya dan pemberian teman-teman kerjanya ataupun Chris. Dari kejauhan, diam-diam seseorang mengamati mereka. Ia diam didalam mobil sedan hitamnya dan memandang kearah kontrakan kecil itu. Kemudian ia menoleh ketika ada anak-anak yang menyebut nama Musa. "Musa, ayo sini, kita main petak umpet saja. Aku bosan main kelereng."

Anak yang bernama Musa itu langsung mengingatkannya pada sosok Aisyah. Kedua mata birunya dan wajahnya perpaduan bule dan Turki. Ia langsung merasa adanya ikatan batin dengan anak itu. Ia segera turun dari mobil dan berjalan kearah anak laki-laki itu lalu ia berjongkok disampingnya. "Hai, kapten. Sedang main apa?" Seketika anak itu mengisyaratkannya untuk diam. Salah satu temannya sedang mencarinya yang sedang bersembunyi. Kemudian ia menarik tangan Shoaib untuk merapat agar tidak ketahuan oleh kawannya. Ketika tangannya digenggam oleh Musa, getaran dihatinya semakin terasa. Ia yakin bahwa anak itu adalah anaknya.

"Paman tahu tempat yang paling aman untuk sembunyi." "Dimana?" Shoaib melirik kearah mobilnya diseberang sana. Seketika kedua alis Musa mengkerut. "Mama mengatakan kepadaku agar berhati-hati terhadap orang asing. Jadi, maaf paman." Shoaib tersenyum mendengarnya. Aisyah mengajarinya juga tentang hal sekecil itu padanya. Kemudian laki-laki itu mengelus lembut kepala Musa sambil berkata, "Apakah wajah paman seperti orang jahat?" Musa mengamati wajah berkacamata itu. Ia kemudian menggeleng. "Percayalah pada paman. Kalau paman menyelakaimu, Musa bisa berteriak dan lari secepat mungkin. Oke, kapten? Paman tahu, Musa adalah anak yang sangat pintar. Lagipula rumah paman berada di sekitar sini. Kalau ada apa-apa, Musa bisa langsung melapor polisi untuk menangkap paman."

Musa berguman sejenak. Lalu ia teringat tentang sesuatu. "Tetapi aku sudah ada janji bersama paman Chris. Besok saja ya mainnya." Alis Shoaib terangkat mendengarnya. "Siapa paman Chris?" Seketika itu terdengar nama Musa dipanggil dari kejauhan. Laki-laki itu berlarian pelan menuju kearahnya. "Itu paman Chris. Dia sahabatnya mama ketika di Amerika." Mata hitam Shoaib bertatapan dengan Chris. Laki-laki bule itu kemudian berjongkok dihadapan Musa dan bertanya dengan lembut, "Siapakah paman ini, Musa? Apakah Musa mengenalnya?" Musa mengangguk lalu berkata, "Paman ini adalah temanku. Rumahnya di sekitar sini dan besok dia akan mengajakku untuk jalan-jalan." Chris mengangguk-angguk mendengarnya. "Oh tetangganya Musa." Ia kemudian mengajak Shoaib untuk bersalaman dan menyebutkan nama masing-masing. "Namaku Mehran."

Shoaib melihat kepergian putranya bersama laki-laki asing itu. Dilihat olehnya perannya yang telah digantikan oleh laki-laki bule itu. Ada kecemburuan di lubuk hatinya menyaksikan pemandangan itu. Mereka berdua terlihat sangat akrab. Ia sejenak memikirkan tentang Aisyah. Sosok yang selama ini dirindukan akhirnya dipertemukan lagi dengannya diatas meja operasi. Hal yang sangat tidak diharapkan olehnya terjadi juga akhirnya. Aisyah terluka dan mengharuskannya mendapat operasi. Pertemuan yang sangat menyedihkan. Harusnya pertemuan pertama mereka menjadi hal yang sangat berkesan karena telah terpisah selama bertahun-tahun, namun malah sebaliknya. Mereka bertemu di ruang operasi. "Semua operasi itu tidak baik, Aisyah. Kita seharusnya jangan pernah mengharapkan itu. Semoga hidup kita baik-baik saja dan jangan sampai mengharuskan kita menjalani operasi."

Ketika ia melihat nama Aisyah tertulis di lembar kertas putih itu, matanya langsung membelalak lebar. Ia langsung meletakkan lipatan jas putih yang berada dilengannya itu keatas kursi dan langsung berlari menuju kamar Aisyah. Lututnya terasa lemas melihat bahwa itu benar-benar Aisyah, istrinya. "Hai tuan Turki, apa kabarmu?" Suara Aisyah seolah-olah didengarnya lagi. Kini ia terbaring tidak sadarkan diri di kasur itu. Mata birunya pun tertutup dengan damai. Bibir merah yang dulu sering diciumnya itupun tertutup rapat. "Apakah kita akan kesana?" kata Aisyah kala itu sambil menunjuk balon udara diatas sana. Ekspresi bahagianya berputar kembali diingatan Shoaib. "Jeruk Turki." Ingatan-ingatan itu datang silih berganti seperti kaset.

Selama ia membedah lengan kanan Aisyah, jantungnya berdetak kencang. Perasaan rindu dan sedih bercampur menjadi satu. "Aisyah, apa yang terjadi padamu? Apa yang telah terjadi padamu?" Ia berulang kali menyalahkan dirinya sendiri. Ia telah menelantarkan istrinya dan menyelakainya seperti ini. Ia merasa gagal sebagai seorang suami. Ia tidak bisa menjaganya dengan baik. Seusai jalannya operasi, para perawat mendorong kasur Aisyah kembali ke kamarnya. Shoaib berjalan ke ruangan sebelah dengan langkahnya yang lemas dan menutup pintu rapat-rapat. Lututnya terasa lemas dan ia jatuh terduduk dibawah, menyandarkan punggungnya ke pintu. Ia masih mengenakan seragam operasinya lengkap beserta dengan masker putihnya. Ia duduk disana dan menangis seperti orang yang baru saja patah hati. Ia menangis seiring didengarnya roda kasur Aisyah yang didorong menjauh menuju kamarnya.

"Tadi ada tetanggamu yang bernama pak Mehran menghampiri Musa. Dia tampak baik sekali dan wajahnya juga tampan. Jangan jatuh hati padanya ya." Aisyah tersenyum mendengar lelucon itu. "Pak Mehran? Aku belum pernah bertemu dengannya." Musa kemudian datang menyela pembicaraan mereka, "Besok pak Mehran akan mengajakku jalan-jalan, ma. Apakah boleh?" Aisyah memperbolehkannya tetapi dengan syarat dia tidak boleh nakal selama bersamanya. Musa lompat-lompat gembira setelah mendapatkan ijin dari sang ibu.

Sorenya, Chris mengajari Musa membaca dan menulis. Sesekali ia juga bertanya tentang hal-hal yang lucu pada Chris. "Apakah kalau ayahku orang Amerika, wajahku juga akan sama seperti paman?" Chris dan Aisyah tertawa mendengarnya. "Musa malah lebih tampan dari paman karena ayah Musa sangat tampan dibanding paman." Chris mengarang-ngarang cerita seolah-olah ia pernah bertemu dengan ayah Musa. "Musa harusnya senang karena ayah Musa adalah laki-laki yang sangat tampan. Tidak kalah dengan orang Amerika."

Chris pulang ketika adzan magrib berkumandang. Saat ia keluar dari kontrakan Aisyah. Terlihat mobil sedan berwarna hitam yang tadi siang dilihatnya itu masih berada disana. Walaupun ada sedikit kecurigaan, namun ia berusaha untuk berpikiran positif. Di dalam mobil, Shoaib terus mengawasi Chris yang keluar dari kontrakan Aisyah. Ia mencoba mengingat-ingat apakah dulu Aisyah pernah menceritakan tentangnya. Apa hubungan mereka saat di Amerika dulu. Memikirkannya saja sudah membuat hatinya sakit karena cemburu. Ia tiba-tiba memikirkan tentang perasaan Aisyah ketika mengetahui bahwa suaminya akan berpoligami. Ia setidaknya bisa merasakannya sekarang walau hanya sedikit. Melihat laki-laki bule itu keluar dan masuk mengunjungi istrinya, itu sudah cukup membuatnya terbakar oleh api cemburu.

Hanya demi Aisyah ia rela jauh-jauh kesana dan menunggu didepan kontrakan itu. Ia ingin memandang wajah itu sekali lagi walau hanya dari kejauhan. Kemudian ia teringat kembali tentang Musa. Senyuman Shoaib mengembang. Wajah anak laki-laki itu sungguh mirip dengannya dengan mata biru milik ibunya. Alisnya, hidungnya, bibirnya, mirip sekali dengan ayahnya. Ia juga merasa bersalah telah membiarkan Aisyah mendidik anak itu seorang diri. Tapi apalah daya, Aisyah memutuskan untuk pergi darinya dan tidak ada niatan untuk kembali.

Selama ini ia tidak mengubah alamatnya dan nomor handphonenya berharap kalau Aisyah menghubunginya dan memberitahu dimana lokasinya. Namun itu semua sama sekali tidak pernah dilakukannya. Sakit pada hatinya sudah terlalu dalam dan sulit untuk diobati. Ini semua adalah salahnya karena ia telah menampar Aisyah waktu itu. Paginya ketika selesai sholat subuh di masjid sekitar sana, Shoaib memarkirkan mobilnya ditempat yang sama seperti kemarin. Ia terlalu bersemangat untuk bertemu dengan putranya pagi itu. Ia mengharapkan juga Aisyah akan keluar dari rumah itu bersama Musa.

Pada pukul delapan pagi, pintu kontrakan itu mulai terbuka. Sedari bangun tidur, Musa menjadi bersemangat sekali untuk bertemu dengan tetangganya itu, pak Mehran. Ia tidak sabar untuk berjalan-jalan menaiki mobil sedan hitamnya. Walaupun Chris telah beberapa kali mengajaknya naik mobil mewahnya, tetapi tetap saja Musa ingin mencoba mobil yang lain. Musa bergandengan tangan bersama ibunya berjalan diatas jalan terotoar itu. Si empunya mobil yang sedari tadi melihat kemunculan Aisyah didepan sana, badannya membeku dan tetap diam di kursi kemudinya. Sejenak ia sempat berpikiran untuk mengurungkan niatnya. Lebih baik jika ia menghilang daripada membuat Aisyah menangis lagi. Senyuman yang dilihatnya sekarang itu sangatlah mahal. Ia terlihat sangat bahagia walau hanya hidup berdua bersama Musa. Namun sejenak pikirannya berubah lagi ketika melihat Musa. Ia sangat ingin memeluknya walau hanya sekali. Ia sangat ingin memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah ayahnya. Ia sangat ingin meminta maaf padanya.

Shoaib memberanikan diri untuk menemui mereka dan memenuhi janjinya kepada putranya untuk mengajaknya jalan-jalan hari itu. Sedangkan Aisyah, langkahnya terhenti ketika ia mengenali mobil sedan yang terparkir didepan sana. Langkah Musa pun terhenti karena tangannya terpaut dengan tangan ibunya. Kemudian Musa memanggil si empunya mobil ketika ia turun dari sana. "Paman." Musa melambai-lambaikan tangannya gembira. Seketika Aisyah menunduk memandang putranya dengan tatapan nanar. "Paman, aku disini." Kata Musa ketika dilihatnya Shoaib masih mematung disana. "Dia paman Mehran?" Kata Aisyah meyakinkan sekali lagi. Musa mengangguk dengan polosnya dan berkata, "Iya, dia yang meyapaku kemarin, ma. Lihatlah, paman itu tampan sekali. Aku menyukainya. Boleh ya aku jalan-jalan bersamanya?"

Dengan cepat Aisyah dapat mengontrol perasaannya lalu ia memaksakan senyumannya. Ia menghambat ribuan airmata yang ingin mengalir. "Boleh. Musa jangan nakal ya bersama paman." Dilepasnya tangan putranya dan barulah ia menjatuhkan ribuan air mata itu. Putranya berlarian bahagia menuju ayahnya. Shoaib dapat mendengar percakapan itu samar-samar. Hatinya terenyuh melihat Aisyah membolehkan Musa bersamanya. Tidak ada niatan sekalipun dari Aisyah untuk memisahkan sang anak dengan ayahnya walaupun selama ini Shoaib sangatlah brengsek. Ia melihat ketulusan hati Aisyah. Ia tidak pernah menyangkut-pautkan sakit hatinya dengan anaknya. Ia membiarkan rasa sakit itu hanya dia sendiri yang merasakan dan memendamnya. Ia tidak mengajak Musa untuk membenci ayahnya. Sungguh indah didikannya itu.

Shoaib melihat dari kejauhan Aisyah yang menangis. Mereka saling berpandangan dan mempersilahkan semua perasaan bercampur baur disana. Amarah, dendam, rindu, cinta, dan kenangan. Walaupun begitu, Aisyah masih mempercayakan Musa berada disampingnya. Ia percaya bahwa Shoaib tidak akan mengambil Musa dari sisinya. "Hai, kapten. Apa kabar? Sudah sarapan?" Shoaib berjongkok lalu tos dengan Musa. Ia berusaha mengontrol perasaan sedihnya. Sejenak ia melirik kearah Aisyah yang sudah kembali kedalam kontrakan untuk melanjutkan tangisnya. Setelah mengobrol sebentar dengan Musa, kemudian ia mengangkat tubuh kecilnya keatas kursi dan memasangkannya sabuk pengaman. "Siap kapten?" Tanya Shoaib yang sudah duduk di kursi kemudi. Kemudian mobil sedan hitam itu meluncur dengan mulus diatas jalanan beraspal itu.

Sedangkan di dalam rumah, Aisyah menangis tak henti-henti. Kenangannya bersama Shoaib silih berganti berdatangan. Wajah yang selalu dirindukannya kini terlihat lagi. Ia datang di waktu yang salah. Aisyah sudah nyaris melupakan tentang perasaan itu, namun kini ia datang dan mengingatkannya kembali betapa dulu mereka saling mencintai dan merindu ketika terpisahkan jarak Amerika dan Turki. Ketika ia belajar bangkit, laki-laki itu muncul lagi dihadapannya dan membukakan gerbang penderitaan itu lagi disudut lubuk hatinya. Berkali-kali ia memukuli dadanya yang terasa sakit dan sesak itu. Seakan-akan oksigen di ruangan itu telah habis. Mata birunya yang indah telah lebam lagi oleh tangis. Suasana itu mengingatkannya kembali pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Hari-harinya di neraka. Tanpa kedamaian dan tanpa kemerdekaan. Bekas tamparan keras dari Shoaib seakan-akan terasa kembali. Ia masih mengingat semua rasa sakit itu. Setiap jengkal tubuhnya dan urat syarafnya merekam semuanya dengan rinci.

Musa belum pulang hingga siang hari. Walaupun begitu tidak ada rasa khawatir didalam hatinya. Dalam penantiannya, ingatan-ingatan itu terus berputar dikepalanya. "Hai, Aisyah", "Apa yang terjadi, Aisyah?", "Apakah Aisyah perlu bantuan menjemur baju?" Suara itu seolah-olah terdengar lagi olehnya. Waktu tidak terasa sudah sore. Musa pulang dan membuka pintu kayu itu. Namun anak kecil itu lari keluar lagi dan memeluk Shoaib yang masih berdiri menyandarkan punggungnya pada pintu mobil. Musa terlihat sangat ketakutan setelah melihat kondisi kontrakannya yang berantakan seperti kapal pecah. "Mama.... Mama...." Hanya itu saja yang keluar dari bibir mungilnya itu. Ekspresi Shoaib menjadi panik dan segera memasukkan putranya kembali ke dalam mobil, seakan-akan ia tahu apa yang sedang terjadi didalam rumahnya. "Musa diam disini dulu ya. Tutup matamu dan tutup telingamu. Paman akan segera kembali bersama mama."

Ketika membuka pintu kayu itu, pemandangan itu mengingatkannya kembali pada malam setelah pernikahannya dengan Ayesha. Namun kali ini lebih parah. Aisyah merusak semua perabotan. Kursi-kursi dilihatnya patah. Piring dan gelas semuanya pecah berantakan dilantai. Kulkas terbuka dan isinya dikeluarkan semuanya. Ia mencoreti dinding-dinding itu dengan kata-kata yang tidak pantas. Hinaan dan cacian diungkapkannya disana. Semua isi hatinya dicurahkannya. Shoaib mencari sosok Aisyah. Ia duduk meringkuk disudut dapur sambil memeluk lututnya. Matanya kosong dan terus mengalirkan airmata. Shoaib langsung meringsek masuk dan meraih tubuh kecil itu. Ia mendekapnya erat merapat kedadanya. "Aisyah.... Aisyah.... Aisyah...." Ia mencoba menenangkannya.

Melihat tatapan Aisyah yang masih kosong, ia mengelus-elus lembut kedua pipinya sambil terus menyebut namanya. Butuh lima detik untuknya mengangkat pandangan dan menyadari siapa yang sedang berada didepannya. Melihat kedua mata hitam Shoaib, tangisnya pecah lagi. Sepuluh menit Shoaib berusaha meredakan tangisan itu. "Kenapa anda kembali? Kenapa anda membukakan jurang itu lagi?" Walaupun begitu, Shoaib terus mengatakan kata-kata cinta dan rindu padanya sambil terus mendekap erat tubuh kecil itu. Beberapa menit kemudian, Chris masuk dengan kepanikannya dan terlihatlah pemandangan yang mengiris hatinya. "Kenapa anda kembali lagi padaku?" Rintihan Aisyah terdengar jelas ditelinga Chris. Seketika ia mengenali sosok lelaki Turki itu. Ia adalah orang yang kemarin menyapa Musa. Ternyata dialah yang selama ini telah membuat pujaan hatinya menderita.

Emosinya memuncak dan langsung menarik kasar kerah kemejanya. Ia menghajar Shoaib habis-habisan sampai darah keluar dari mulutnya. Melihat suaminya yang dihajar oleh Chris seperti kejadian di bangku SMA dulu, Aisyah langsung berdiri dan mencoba menghentikannya. Ia mengenal betul siapa Chris. Ia mengenal bagaimana kebrutalannya. Bahkan beberapa penjaga sekolah yang menjadi korbannya dulu sampai terkapar tidak berdaya dan dilarikan ke rumah sakit. Ia tidak mau hal yang sama terjadi pada suaminya. Ia berusaha menghadang-hadangi Chris untuk memukul suaminya untuk yang kesekian kalinya. Melihat tindakan Aisyah, ia kemudian berhenti lalu berkata dengan ketus, "Kau masih membelanya? Setelah semua yang telah dilakukannya padamu. Kau benar-benar gila Aisyah. Pakai otakmu!" Sedari tadi Shoaib tidak melawan dan menerima semua pukulan itu. Ia menyadari semua dosa-dosanya. Ia tertunduk lesu dibelakang punggung Aisyah.

"Dia tetaplah ayah dari putraku. Seburuk apapun perlakuannya, dia tetaplah ayah dari Musa." Mendengarnya, Chris meludah kearah samping lalu berkata, "Kau masih tetap memilihnya walau sudah ada aku disini? Aku lebih baik darinya dan akan kupastikan hidupmu akan bahagia jika bersamaku. Bukalah matamu, Aisyah. Minggirlah dan biarkan aku membunuhnya." Aisyah menghentikan langkahnya dan mendorongnya kearah belakang. "Pergilah, Chris. Terimakasih atas nasehatnya." Dengan tatapan mata penuh kekecewaan dan kemarahan, laki-laki bule itu keluar dan membanting pintu dengan keras. Aisyah berbalik kemudian memeluk tubuh suaminya. Ia mengelus pelan rambut hitamnya yang berantakan. "Terimakasih, Aisyah. Kau telah menyelamatkan sedangkan aku dulu tidak bisa menyelamatkanmu."

Disisa hari itu mereka berdua membersihkan tempat itu bersama-sama dan membuang barang-barang yang rusak. Aisyah juga mengobati luka-luka Shoaib. Kisah cinta mereka seolah-olah terjalin lagi di hari itu. Sementara mereka membersihkan tempat itu, Aisyah menitipkan Musa ke tetangganya. "Ayo pulang. Mari kita besarkan Musa bersama-sama." Aisyah pun mengiyakannya dan membawa Musa bersama mereka. Hari-hari selanjutnya, Musa selalu menempel pada ayahnya. Ia tidak mau lepas darinya. Ia bahkan ikut ke rumah sakit ketika Shoaib ada jadwal operasi. Ia duduk manis diruang tunggu dan kadang menyusuri lorong sambil membaca tulisan-tulisan yang dipasang didinding.

Ia tidak bertanya tentang Chris. Anak kecil mudah sekali melupakan tentang sesuatu yang tidak dianggapnya penting lagi. Sosok Chris sudah tergantikan oleh sosok Shoaib, ayah kandungnya. Apalagi ketika Aisyah hamil anak kedua, Musa semakin menyayangi kedua orang tuanya. Ia sering mengelus-elus perut Aisyah. Kadang tingkah-tingkah konyolnya membuat Aisyah dan Shoaib tertawa. Kakeknya juga sangat mencintai Musa sejak pertama kali bertemu dengannya. Sikap angkuhnya seketika runtuh dan datang memeluk anak laki-laki itu. Namun perasaannya tidak berubah pada Aisyah. Ia masih membencinya bahkan semakin membencinya. Itu dikarenakan oleh perceraian Shoaib dengan Ayesha.

Shoaib bercerai dengan Ayesha sejak dua tahun yang lalu. Ayesha sudah tidak kuat lagi dengannya yang tidak pernah pulang kerumah. Hidup Shoaib selama beberapa tahun terakhir dihabiskannya didalam mobil. Malamnya ia tidur di hotel terdekat. Tahun ke tahun ia habiskan untuk mencari Aisyah. Hanya ketika ada jadwal operasi ia kembali ke rumah sakit dan melakukan tugasnya. Ayesha dianggap hanya sebagai hiasan rumah saja. Atas kejadian itu, maka hubungan ayah Shoaib dan ayah Ayesha menjadi retak. Hubungan kakak dan adik itu tidak sehangat dulu lagi bahkan saling membenci. Itulah yang membuatnya semakin benci kepada Aisyah. Karena dia, Shoaib dan Ayesha bercerai.

Sebulan penuh ia bertahan dirumah itu tanpa komunikasi dengan ayah mertuanya. Selama Shoaib keluar, ia hanya berdiam diri di dalam kamarnya. Musa tidak tahu apa-apa. Ia hanya menyadari satu hal bahwa ibunya berubah menjadi lebih pendiam, tidak seperti dulu. Senyumnya pun dilihatnya sendu. Ketika Shoaib berniat untuk membeli rumah baru agar Aisyah terpisah dengan ayahnya, namun semuanya terlambat. Itu terjadi begitu saja. Pagi hari ketika sarapan, semua sudah duduk di kursi dan hendak menyantap hidangan yang baru matang. Ketika Aisyah hendak menyendok kuah sup ke piringnya dengan menggunakan sendok, tiba-tiba kuah yang panas itu sedikit menyiprat ke ayah mertuanya. Kulitnya yang terkena langsung terasa panas. Ia terhenyak lalu memarahi Aisyah.

Itu adalah pertama kalinya di bulan itu Aisyah mendapatkan omelan. Shoaib menutupi telinga Musa sambil menengahi ayahnya. Ayahnya terus mengomel dan berkata bahwa Aisyah dulunya berniat untuk membunuhnya, Aisyah tidak becus menjadi istri, Aisyah pembawa sial, dan lain sebagainya. Kemudian dipuncak kemarahannya, ia menuangkan kuah panas itu ke lengan Aisyah. Aisyah menjerit kesakitan merasakan kulitnya yang terbakar. Ia kemudian menangis dan segera lari ke kamarnya. Melihat kejadian itu, Shoaib segera menggendong Musa menghampiri Aisyah di dalam kamar. Disana, Aisyah mengunci dirinya di dalam kamar mandi. Kemudian terdengar kran air yang dihidupkan dari dalam sana. Aisyah masih menangis sesenggukan merasakan sakit itu. Musa terus merengek dan menggedor-nggedor pintu kamar mandi. Ia juga sangat khawatir tentang ibunya.

Aisyah tidak keluar sampai siang hari. Ia tertidur di kamar mandi karena kecapekan merendam tangannya yang terbakar itu. Ketika ia keluar, yang dilihatnya pertama kali adalah Musa yang duduk meringkuk diatas kasur sambil dipeluk oleh ayahnya. Melihat Aisyah yang keluar dari kamar mandi, Shoaib dan Musa segera turun dan berlari menuju Aisyah. Ia terlihat sangat lemah sekali dan sendu. Shoaib langsung menggapai lengan Aisyah untuk melihatnya. Kulit putihnya itu mengelupas dan membekaskan luka bakar. Aisyah menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Semuanya telah percuma.

Musa menangis lagi lalu berkata, "Ma, ayo kita kembali ke kontrakan saja. Disana kita lebih bahagia." Aisyah dan Shoaib terenyuh mendengarnya. Aisyah tidak berkata apa-apa dan menggiringnya ke kasur. Mereka bertiga menangis sesenggukan. Beberapa saat kemudian, Musa tertidur di pangkuannya. Setelah putra mereka terlelap, Aisyah mengangkat pandangannya lalu memandang kearah suaminya. Ia berkata dengan nada suara yang parau, "Lebih baik kalau kita bercerai saja sekarang. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku tidak kuat hidup denganmu. Aku juga khawatir jika suatu saat nanti aku berusaha untuk melukai ayah lagi seperti waktu itu." Itulah yang sedari tadi dipikiran olehnya selama di dalam kamar mandi. Ia sudah mempertimbangkannya matang-matang. Ia ingin mengakhiri semuanya.

Shoaib memohon dan memelas padanya agar tidak meninggalkannya. Ia akan segera membelikannya rumah dan hidup damai seperti dulu lagi. Tetapi Aisyah bergeming dan tetap pada keputusannya. "Pernikahan kita ibaratnya sebuah kapal. Ombak ini adalah tantangan sebuah kapal. Kapal kita harus lebih kuat dan kuat lagi untuk melewatinya dan menghantarkan penumpangnya dengan selamat sampai di tujuan. Aku akan terus berusaha membawa Aisyah menepi ke dermaga dan…." Aisyah memotong kalimatnya lalu berkata, "Aku sudah tidak kuat lagi. Kapal itu sudah berlubang disegala sisinya. Kita tidak akan bisa menambalnya lagi. Cepat atau lambat, kapal itu akan karam juga. Kita berdua tidak akan selamat di dalamnya. Mungkin inilah saatnya untuk kita berpisah dan mengambil sekoci masing-masing. Aku sudah tidak kuat lagi untuk satu kapal denganmu."

Aisyah meletakkan telunjuknya didepan bibir Shoaib dan menghentikannya untuk berbicara. "Anda sudah terlalu banyak bicara tadi didepan ayah. Maka sekarang adalah giliranku. Mari kita tinggalkan kapal kita dan hidup dengan damai. Anda di sini dan aku di Amerika. Aku akan kembali ke bawah naungan kedua orang tuaku. Ternyata hanya sampai disini akhir dari kisah cinta kita. Tetapi, sekalipun aku tidak menyesal telah dipertemukan dengan anda. Pertemuan ini adalah hal yang terindah di dalam hidupku. Anda adalah anugerah terbesar bagiku. Menjadi istri dan ibu dari Musa adalah hadiah yang sangat berharga.

Terimakasih sudah menikahiku, terimakasih sudah memberiku anak yang sholeh seperti Musa, terimakasih untuk kesabaranmu selama ini. Maafkan aku jika aku tidak bisa menjadi istri dan menantu yang baik." Ia mengelus lembut pipi Shoaib yang telah basah oleh airmata. "Aku yang salah dan ayah tidak pernah salah karena orangtua adalah tangan kanan Allah. Ayah benar, seharusnya sedari awal anda jangan jatuh cinta padaku. Aku hanyalah pembawa sial di dalam kehidupan anda."

Ia mengatur tangisnya sejenak lalu berkata lagi, "Tentang Musa, biarlah pengadilan yang memutuskannya akan tinggal bersama aku atau anda. Mari kita ikhlaskan keadaan ini. Mari kita siapkan hati dan pikiran kita. Sekali lagi aku meminta maaf. Aku sudah tidak kuat lagi, tuan." Itulah kata-kata terakhirnya dihari itu. Dengan berat hati Shoaib mengabulkan permintaannya. Keesokannya, mereka pergi ke pengadilan dan mengajukan perceraian. Kemudian sang hakim mengetok palunya. Aisyah dan Shoaib telah resmi bercerai. Airmata Aisyah sudah kering. Ia tidak bisa menangis lagi. Kedua matanya sudah terlalu lelah.