Setelahnya, hakim juga memutuskan bahwa hak asuh Musa berada ditangan ayahnya dikarenakan Aisyah memiliki riwayat gangguan jiwa. Dengan berat hati Aisyah menata perasaannya untuk berpisah ribuan kilo meter dengan putranya itu. Setelah kehilangan suami, kini ia harus kehilangan anak juga. Sekali lagi, airmatanya sudah kering. Ia hanya memandang kosong kedepan. Orang tuanya di Amerika juga terkejut dan sedih mendengar kabar buruk itu. Entah apa yang terjadi, mereka langsung menerima kabar perceraian dari putrinya tanpa adanya masalah apapun dengan Shoaib. Selama ini rumah tangga mereka tampak harmonis dan baik-baik saja. Mereka berdua dengan sangat rapi menyembunyikan semua itu dari kedua orang tua Aisyah. Aisyah pun tidak mau membuka mulut tentang apa masalah diantara mereka berdua.
Malam telah tiba. Shoaib dan Aisyah tidak tidur di dalam satu kamar yang sama lagi. Untuk terakhir kalinya, Aisyah meminta Musa untuk tidur bersamanya dan ia memeluk putranya semalaman. Tidak ada lagi airmatanya yang menetes sejak hari itu. Namun tetap saja hatinya terasa sakit dan perih. Tanpa sepengetahuan Musa, Aisyah dan Shoaib telah melipat baju-baju Aisyah dan barang-barangnya untuk penerbangan besok pagi.
Mereka berjanji akan terus berkomunikasi dan memberitahu tentang pertumbuhan putra mereka. Walaupun begitu, Shoaib tak henti-hentinya menangis. Airmatanya tiba-tiba mengalir ketika teringat akan Aisyah dan kepergiannya. Kisah cinta mereka hanya berakhir sampai disini. Kisah cinta yang berbeda negara. Sebelah sayapnya akan lepas lagi. Masih belum kering jahitannya, Aisyah memutuskan untuk mengakhiri semuanya dan pergi sangat jauh.
Paginya, Shoaib mengantarkan mantan istrinya itu ke bandara ketika Musa masih terlelap di dalam kamar. Ayah mertuanya sama sekali tidak ada niatan untuk mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir kalinya kepada Aisyah. Ia masih berada di dalam kamarnya. Mahira menangis sejak kemarin mendengar kabar tentang perceraian kakaknya. Ia melepas Aisyah didepan pintu sambil terus menangis hingga mobil sedan hitam itu menghilang diujung jalan. Selama perjalanan menuju bandara, Shoaib terus menangis sambil mengusap airmatanya beberapa kali. Aisyah hanya menatap kosong jauh kedepan memandang jalanan pagi itu. Pikirannya sudah kacau balau. Hatinya sudah mati rasa.
"Jaga dirimu, tuan Turki. Tolong jaga putra kita. Tolong lupakanlah cinta kita karena itu akan semakin menyakitimu. Lanjutkanlah hidupmu tanpa diriku." Aisyah mengusap airmata mantan suaminya itu sekali lagi. Mereka memberi jeda beberapa menit sebelum keberangkatan Aisyah. Mereka berdua berdiri berhadapan di dalam bandara. Mata biru Aisyah sama sekali tidak mengeluarkan airmata. Namun tatapannya terlihat sangat sendu sekali seperti hendak menangis.
"Aku akan segera menghubungimu sesampainya aku di Amerika. Kita akan melakukan panggilan video lagi seperti dulu. Aku menjadi tidak sabar untuk melihat Musa lagi. Tolong segera angkat telponku ya nanti." Aisyah mencoba sedikit menghibur mantan suaminya. Namun itu sama sekali tidak bekerja. Airmatanya masih terus mengalir. Ia sangat tidak siap untuk perceraian dan perpisahan ini. Aisyah adalah cinta yang pertama dan terakhir didalam hidupnya. Namun Aisyah tidak sanggup lagi untuk hidup bersamanya.
Di dalam pesawat, Aisyah duduk sambil memandang keluar jendela. Kedua matanya tidak berkedip melihat lintasan pesawat diluar sana. Beberapa menit kemudian, pesawat internasional itu sudah mengudara dan sekali lagi Aisyah meninggalkan kenangan demi kenangan indah bersama Shoaib. Ia menguntai satu per satu dengan sebuah benang lalu mengulanginya kembali seperti dzikir. Ia mengingat setiap kebersamaannya dengan lelaki itu. Di dapur, di asrama, di mobil, di balon udara, di restoran, dan masih banyak lagi. Ia menguntainya satu per satu dengan sangat rapi dan menyimpannya baik-baik didalam sudut ingatannya. Shoaib adalah anugerah terbesar baginya.
Aisyah terus mengamati pergerakan awan-awan putih dibawah sana. Terlihat bergerak anggun tanpa hambatan. Sudah tujuh jam ia terbang diantara mega-mega. Besok ia sudah berkumpul kembali dengan kedua orang tuanya. Ia kembali kebawah naungan sang ayah dan tidak akan ada lagi yang bisa menyakitinya. "Tunggu ayah ya, Aisyah. Bersabarlah sebentar. Ayah akan meminjam uang pada teman-teman ayah untuk menjemputmu pulang ke Amerika", ucapnya kala itu saat ia pertama kali mengalami kejadian teleportasi dan membawanya hingga sampai ke Turki. Gadis itu mengangguk dan menanti kedatangan ayahnya sampai detik ini. Akhirnya hari itu tiba juga. Ia akan bertemu dengan ayahnya lagi yang sekian tahun tidak dijumpainya. "Sabar ya nak. Nanti kita akan makan." Ia mengelus lembut perutnya ketika mulai dirasakan olehnya rasa lapar. Kebetulan hari itu adalah hari Senin. Aisyah melaksanakan puasa sunahnya seperti kebiasaannya.
Ia tidak makan sedari subuh tadi. Semalam ketika ia tidur sambil memeluk putranya, tiba-tiba ia bermimpi. Didalam mimpinya seakan-akan Rasulullah datang dan berbicara padanya, "Besok berbukalah bersama kami, Aisyah. Mereka semua sudah menantimu dan sangat ingin menyambutmu." Dengan kedua mata yang berkaca-kaca Aisyah mengangguk mengiyakan. "Iya, ya Rasulullah. Saya dengan senang hati menerima undanganmu."
Sore itu, Shoaib berada di rumah sakit. Walaupun ia nyambung diajak berdiskusi namun jiwanya tidak berada disana. Tatapan matanya kosong. Ketika ia mengisi beberapa dokumen penting di ruangannya seorang diri, tiba-tiba airmatanya jatuh diujung matanya. Ia segera mengusapnya dan melanjutkan aktifitas menulisnya. Setelah ia mengisi dokumen itu, ia mengembalikannya ke pihak administrasi. Ia berdiri disana sambil menempelkan kedua sikunya diujung meja putih yang tinggi itu. Jas putihnya adalah bekas sidik jari terakhir dari Aisyah. Ia menyempatkan diri untuk menyetrikanya sebelum keberangkatannya pagi tadi.
"Pesawat Turkish Airlines yang berangkat pada pukul 08:15 pagi terjatuh di Samudra Atlantik. Diberitakan bahwa pada hari ini, pesawat dengan tujuan akhir New York itu lepas landas dari Bandar Udara Ankara Esenboga pada pukul 08:15 pagi waktu setempat. Pesawat itu dijadwalkan tiba di New York pada pukul 09:30 malam, tetapi kemudian putus kontak sekitar pukul 03:40 sore. Adapun posisi terakhir pesawat tersebut sebelum putus kontak yakni berada di kawasan Samudra Atlantik. Diketahui, pesawat tersebut membawa 239 orang, dengan rincian 227 penumpang dan 12 awak pesawat."
Kedua lututnya lemas dan suhu tubuhnya seketika panas-dingin melihat berita di TV itu. Beberapa detik kemudian, pandangannya hitam semuanya. Ia jatuh pingsan. Aisyah telah meninggal. Sang pujaan hati sudah tiada. Mereka telah berjanji akan tetap berkomunikasi sesampainya Aisyah di Amerika. Aisyah berjanji akan mengirimkannya pesan setibanya disana. Mereka berjanji akan melakukan panggilan video. Namun Allah berkata lain. Jasadnya terkubur di dasar lautan bersama dengan janin yang dikandungnya. Sekarang ruhnya sudah kembali ke sang pencipta dengan damai dan tentram. Ia meninggalkan semua bebannya, semua rasa sakitnya di dunia. Ia meninggalkan seorang laki-laki Turki yang sangat mencintainya dan menghadap tuhannya. Ia mengadukan semua penderitaannya kepada-Nya.
Shoaib kehilangan sang pujaan hati beserta dengan anak kedua mereka. Sudah habis harapan hidupnya. Kini ia menjalani hidup dan bertahan hanya untuk Musa, untuk masa depannya. Tidak lebih dari itu. Ia tidak pernah menikah lagi setelahnya. Ia terus menerus mengenang Aisyah dan ingatan-ingatan selama bersamanya. Ia terus berdoa dan meratap kepada sang pencipta. Mengapa hidupnya sesedih ini. Mereka terpisahkan oleh dua alam yang berbeda sekarang dan tidak mungkin lagi untuk bertegur sapa. Tidak ada fasilitas secangging apapun yang dapat menjadi perantara. Hanyalah di mimpi ia dapat bertemu dengannya.
Sejak hari itu, ia terus mengirimkan pesan-pesan ke nomor Aisyah. Terkadang ia juga menelponnya ketika sedang sangat merindu. Namun pesan-pesan dan panggilan itu tidak pernah dijawab. Ia terus mengiriminya pesan dan menceritakan tentang perkembangan Musa setiap harinya. Bagaimana kegiatannya, bagaimana hari-harinya, dan apa saja yang dilakukan ayah dan anak itu seharian. Ia menceritakan semuanya seolah-olah Aisyah akan membuka handphonenya dan membacanya.
Setiap muncul pertanyaan dari Musa kecil tentang ibunya, Shoaib selalu berkata bahwa ibunya sedang bekerja diluar kota dan akan segera kembali secepatnya. Setidaknya jawaban itu bisa sedikit menenangkannya. Diusianya ke lima tahun, orang tua dan kakak Aisyah datang ke Turki dan mengunjungi mereka berdua. Yasir, suami Asma juga ikut bersama mereka. Pancaran mata dan cara bicara Musa sungguhlah mirip dengan ibunya. Musa adalah peninggalan Aisyah yang terakhir. Ia adalah saksi hidup tentang perjuangan Aisyah.
Tahun-tahun berikutnya, Asma sering mengunjunginya dan mengajaknya ke Amerika saat liburan sekolah. Ia melihat bagaimana kehidupan ibunya selama di Amerika. Ia merassakan apa yang pernah Aisyah rasakan disana. Ia menghirup udara yang sama dengannya. Musa mengetahui semuanya saat usianya menginjak remaja. Ia menangis mengingat kenangan bersama ibunya sewaktu ia masih kecil. Shoaib memeluknya dan berusaha menenangkannya. Dua laki-laki itu meratap teringat akan sosok Aisyah yang pernah mengisi setiap detik hidup mereka berdua.
Walaupun begitu, Shoaib tidak pernah sekalipun bercerita tentang penderitaan ibunya dan apa yang telah dilakukan kakeknya selama ini. Musa tumbuh sebagai anak yang ceria tanpa membawa rasa sakit hati dari kedua orang tuanya di masa lampau. Ia sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu berapa liter airmata yang dikeluarkan oleh kedua mata biru itu. Shoaib menanggung semuanya sendirian.
Di usianya yang ke empat puluh empat tahun barulah ia berani untuk berkunjung ke Amerika untuk yang pertama kalinya, negara asal istrinya. Shoaib dan Musa tinggal di rumah orang tua Aisyah. Menghirup udara yang sama, makan makanan yang sama, dan menyentuh barang-barang yang sama yang dulunya juga pernah disentuh oleh Aisyah. Sampai detik ini mereka semua tidak tahu kenapa putrinya menceraikan lelaki Turki itu. Shoaib pun tidak pernah membuka suara tentang hal itu. Ia yakin bahwa Aisyah juga tidak ingin mereka mengetahuinya. Biarlah mereka berdua saja yang menelan pil pahit itu. Biarlah hanya mereka berdua yang memeluk erat kenangan buruk itu.
"Ayah, aku keluar bersama Imran ya. Tidak lama kok." Musa yang sudah menginjak umur delapan belas tahun itu berpamitan padanya. Imran, sepupunya, mengajaknya berkeliling kota mengendarai mobil barunya. Shoaib perlahan membuka salah satu pintu kamar. Ia melangkah masuk secara perlahan dan duduk di tepian kasur yang dulunya pernah ditempati oleh Aisyah. Ia menghayati setiap udara yang dihirupnya. Inikah aroma kesukaan Aisyah dulu? Inikah kasurnya dulu? Inikah meja belajar tempatnya membaca buku? Ia masih merasakan keberadaan sang pujaan hati di rumah itu. Sebelum berangkatnya ke Amerika, ia sudah menduga tentang ini. Perasaan rindunya semakin memuncak ketika ia memasuki rumah tempat Aisyah dibesarkan.
Setiap benda meninggalkan sidik jari Aisyah. Perasaan itu semakin kuat dirasakannya. Ia merasa bahwa Aisyah ada dirumah itu, menyambutnya dan berkata, "Hai, tuan Turki. Selamat datang di rumahku, selamat datang di Amerika." Airmatanya mengalir dan membasahi pipinya. Ia kemudian bangkit dan berjalan menuju lemari baju. Dengan gemetaran ia membukanya dan diamatinya setiap baju yang dulunya pernah dikenakan oleh Aisyah. "Aisyah, bolehkah aku melihatmu? Bisakah kita video call?" Pinta pemuda itu malu-malu. "Oke kalau begitu. Tunggu sebentar ya, aku akan mengenakan jilbab terlebih dahulu."
Shoaib meraih salah satu jilbab berwarna hijau muda yang dilipat rapi itu. Ia masih mengingatnya dengan jelas tentang panggilan video pertama mereka. Ia memeluk dan menciumi jilbab itu seakan-akan Aisyah baru saja mengenakannya. Inikah parfum kesukaan Aisyah dulu? Inikah bekas sentuhan Aisyah? Inikah sidik jarinya? Kemudian ingatannya berputar kembali berganti kaset.
"Anda sangat pandai merayu, tuan."
"Apakah ini namanya jeruk disini? Kalau di Amerika, kita menyebutnya lemon."
"Apakah masakanku tidak enak?"
"Ini adalah pernikahan kita. Ini adalah sebuah kapal. Tantangan sebuah kapal adalah ombak. Maka mau tidak mau, kapal ini harus kuat melewatinya karena tugas kapal memanglah seperti itu. Melewati ombak dan menghantarkan penumpangnya dengan selamat sampai di tujuan. Penumpangnya adalah aku dan tuan. Tujuan kita adalah surga. Maka semoga ombak-ombak itu akan menjadi ladang pahala bagi kita dan mendapatkan ridho Allah untuk memasuki surga-Nya."
"Sepertinya anda sangat menginginkan kehadiran Muhammad Musa, tuan?"
"Anda terlihat seksi sekali, tuan. Walaupun dengan ekspresi wajah serius seperti itu."
"Saat matahari berada dalam posisi rendah di cakrawala, semua warna biru dan hijau dihamburkan dan itu membentuk kilau jingga dan merah."
"Tadi, di dalam masjid. Mereka mengikuti di belakang kita dan terus berbisik tentangmu. Mereka berkata bahwa kau sangat tampan, senyumanmu sangat indah, bulu-bulu halus di dagu dan rahangmu terlihat seksi, tatapan matamu juga indah."