Waktu berjalan dengan cepat dan hari itu nyaris berakhir. Hanya sedikit lagi aktingnya akan segera berakhir. Hanya sedikit lagi senyuman itu dipertahankan olehnya. Orang-orang sudah menata kembali kursi-kursi, meja-meja, dan hiasan lainnya. Aisyah ikut membantu menyapu dan membuang sampah. Ketika semua sudah bersih, ia melangkah kembali ke kamarnya. Ia membuka cadarnya dan perlahan senyuman itu terlihat memudar dan menampakkan ekspresi wajahnya yang sendu. Walaupun tanpa air mata, kedua mata biru itu telah mengatakan semuanya apa yang dirasakan oleh sang hati. Mata itu dapat menjelaskan semuanya jika Allah mengijinkannya untuk berbicara. Namun sayang seribu sayang, bibirlah yang tugasnya berbicara dan bibir itu selalu terkunci rapat. Ia sudah tidak mampu mendeskripsikan perasaannya. Lidahnya sudah kelu dan mati rasa.
Seketika senyuman itu terlihat lagi ketika namanya dipanggil dari arah belakang. Bagaikan berganti topeng, wajah cerianya terlihat lagi. Ayesha datang menghampirinya dengan sedikit berlari. "Hati-hati, Ayesha. Nanti kau terjatuh. Gaunmu yang cantik nanti rusak." Aisyah menyambut kedua tangan gadis itu. mereka berpegangan tangan dan Ayesha berkata dengan mata yang berbinar-binar, "Terimakasih banyak, Aisyah. Kau banyak sekali membantu hari ini." Ayesha memeluknya dengan pelukan hangat dan Aisyah membalasnya.
Shoaib berdiri tak jauh dari situ sambil mengajak berbicara temannya yang belum pulang. Drillis berkata padanya, "Kau sangat beruntung memiliki dua mutiara di dalam rumah tanggamu, dua Aisyah. Lihatlah mereka, mereka terlihat sangat dekat dan akrab." Shoaib menoleh kearah dua istrinya itu. Aisyah sungguh ahli dalam berpura-pura, senyuman itu tak pernah memudar sepanjang hari ini. Walaupun begitu, hati Shoaib serasa teriris melihatnya. Hanya dia yang tahu bahwa gadis itu sedang berpura-pura. Seusai ia melepaskan pelukan itu, lalu dilihatnya Aisyah yang menuju kamarnya. Ketika gadis itu menutup pintu, sekilas dilihat ekspresi wajahnya yang berubah menjadi sendu lagi. Ekspresi sayu yang beberapa hari terakhir ini sering terlihat menghiasi paras bule itu. Ia telah kembali ke sudut sunyinya yang melantunkan irama-irama meratap.
Tak lama kemudian, Shoaib menyusulnya ke kamar itu. Ia tengah memandang jauh kearah jendela. Aisyah berdiri didepan sana, dekat meja. Jendela itu langsung menuju ke lahan luas di belakang rumah itu. Tatapannya yang kosong seakan-akan menculik jiwanya sejenak untuk berjalan-jalan ke pegunungan, pantai, cafe-cafe, perpustakaan, dan tempat-tempat favorit lainnya. Ia tidak menangis lagi. Air matanya sudah terkuras habis dan kedua matanya sudah lelah untuk menangisi hidupnya yang terlalu menyedihkan. Ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi saat ini. Suaminya sudah terbagi. Ia tidak menyadari ketika suaminya masuk dan memeluknya dari belakang. Ia terkejut dan tubuhnya sedikit terhenyak. Menyadari kehadiran suaminya, kemudian ia memasang senyum palsu itu lagi dan berbalik. "Hai, tampan. Ada apa? Apakah teman-teman mu sudah pulang? Oh iya sini aku rapikan. Mungkin saja Ayesha tidak menyukainya jika terlalu lebat." Gadis itu meraih pisau cukur dan mendudukkan suaminya di kursi. Shoaib memandangi setiap inci wajah istrinya. Semuanya adalah kebohongan. Senyuman itu adalah kebohongan.
Selama Aisyah mencukur bulu-bulu halus itu, Shoaib tidak berkata apa-apa. Ia duduk diam dan terus menyusuri wajah yang sedang tersenyum itu. Matanya yang berbinar-binar juga hanyalah kebohongan. Ketika Aisyah meletakkan pisau cukur itu, Shoaib berkata dengan lembut, "Aisyah, tidak apa-apa. Sekarang hanya kita berdua disini. Pukullah aku jika kau mau, marahilah aku, lakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku akan tetap disini untukmu. Luapkan kemarahanmu." Mendengarnya, Aisyah tertawa lebar dan memukul pelan lengan suaminya. "Sudah kan? Aku sudah memukulmu. Sekarang pergilah. Temui Ayesha. Pasti dia sangat merindukanmu. Aku tahu dia sangat mencintaimu dari dulu." Melihat kepura-puraan itu, semakin membuat hati suaminya sakit. Ia tahu bahwa Aisyah masih belum rela untuk dibagi cintanya. Gadis itu kemudian mendorongnya keluar kamar untuk menemui Ayesha, istri barunya. "Aku tidak apa-apa. Sana temui Ayesha. Besok kita bicara lagi."
Lelaki itu berjalan menjauh dengan langkah yang lemas. Sedangkan di balik pintu kamar itu, Aisyah duduk berjongkok memeluk kedua lututnya. Air matanya telah benar-benar habis. Hatinya sudah mati rasa. Tidak ada cinta yang menggebu-nggebu lagi. Ia melakukan semuanya hanya dikarenakan tugasnya sebagai istri, tidak lebih dari itu. Malamnya pada pukul delapan malam setelah mencuci piring, Aisyah tidur lebih awal dikamarnya, seorang diri. Suaminya dan Ayesha masih berbincang-bincang di depan TV bersama ayah mertuanya. Aisyah tak sekalipun menoleh dan terus berjalan melewati mereka. Hingga pukul sepuluh malam, ia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang-layang ke kamar sebelah. Ia cemburu dan marah. Ia pura-pura tidur ketika suaminya memasuki kamar itu. Dirasakannya pemuda itu yang mengecup keningnya dan mengelus lembut rambut pirangnya yang panjang itu. Kemudian ia meninggalkannya sendirian dan menutup pintu kayu itu kembali.
Merasakan bekas kecupan itu, amarahnya semakin memuncak dan ia bangun dari kasurnya. Ia melampiaskan amarahnya dengan mengobrak-akbrik seisi lemari dan membuang semuanya ke lantai kamar. Baju-baju yang rapi itu dalam sekejab berubah seperti kain lap yang kusut. Ia lompat-lompat diatasnya sambil menginjak-injak bajunya dan baju suaminya itu. Ia juga mencoret-coret baju-baju itu menggunakan lipstick nya. Ia juga membuang semua bedaknya diatas baju-baju itu. Gadis itu sudah kehilangan akalnya. Dua jam kemudian ia lelah dan tertidur diatas lantai yang dingin itu. Pada pukul dua belas malam tepat, Shoaib keluar dari kamar Ayesha. Ia sama sekali tidak menyentuhnya dan hanya tidur disamping Ayesha hingga gadis itu terlelap. Dengan mengendap-endap ia menuju ke kamar Aisyah.
Alangkah terkejut nya ia ketika melihat kondisi kamar itu yang kacau balau. Baju berantakan dimana-mana. Lipstick-lipstick dan bedak-bedak yang kosong berhamburan diatas baju-baju mereka. Lalu dilihatnya Aisyah yang tidur di lantai. Air matanya meleleh dan menggendong Aisyah kembali keatas kasurnya. Ia membisikkan kata maaf berkali-kali padanya. Namun percuma, Aisyah sudah terlelap dalam mimpinya. Shoaib kemudian memilih baju yang masih bersih lalu melipatnya kembali kedalam lemari. Sisanya dicuci di kamar mandi yang berada di dalam kamar itu malam itu juga. Sesekali didengarnya Aisyah yang mengigau di dalam tidurnya. Ia meringik kemudian berhenti. Lalu ia meringik, beberapa saat berhenti lagi. Begitu seterusnya. Setelah mencuci, Shoaib berbaring disamping Aisyah. Ia memeluknya dan tidur bersamanya malam itu. Aisyah samar-samar merasakan pelukan itu. Namun ia berpikiran bahwa itu hanyalah bagian dari mimpinya saja. Suaminya pasti sedang bersenang senang dengan Ayesha di kamar sebelah, pikirnya.
Pada pukul tiga dini hari, Aisyah bangun dan menyadari bahwa Shoaib tidur sambil memeluknya. Ia melihat kamarnya telah bersih disapu dan baju-baju itu sudah tidak ada. Tercium aroma sabun cuci dari arah kamar mandi. Ia terenyuh dan memandangi pemuda berparas Turki itu. Ia mengelus lembut pipinya dan menyibakkan helaian rambut hitamnya yang sempat menutupi alis tebalnya. Wajahnya terlihat sangat lelah. Ia tidak tega untuk membangunkannya. Kemudian Aisyah menunaikan sholat tahajud sendirian. Setelah salam yang ketiga, dirasakannya suaminya yang memeluknya dari belakang. Sesaat kemudian, Shoaib berbisik dengan suara yang parau. "Aku tidak menyentuhnya sama sekali. Aisyah jangan cemburu. Tidak terjadi apa-apa diantara kita."
Seusai memimpin sholat tahajud didepan Aisyah, ia membangunkan Ayesha di kamarnya untuk mengajaknya bergabung menunggu adzan subuh. Gadis itu tidak menyadari bahwa semalaman Shoaib tidak tidur disebelahnya. Ia tidur pulas sampai Shoaib membangunkannya untuk sholat subuh. Ia mengira bahwa pemuda itu juga baru bangun. Matahari mencuat keluar dan Shoaib bersiap-siap berangkat ke rumah sakit. Mengingat kondisi Shoaib yang kelelahan maka Aisyah membuatkannya susu hangat. Sedangkan disisi lain tanpa diketahui, Ayesha juga membuatkan teh hangat untuknya. Kedua gadis itu tidak menyadari sampai Shoaib duduk di kursi dan dilihatnya ada dua gelas disana. Ia memanggil keduanya dan bertanya apa yang terjadi. Kedua istrinya malu menyadari kesamaan itu. Aisyah dan Ayesha menunduk pasrah. Mereka menerima dengan lapang dada minuman siapa yang akan diminum oleh suami mereka. Shoaib tersenyum menyadari situasi itu dan tanpa pikir panjang ia meminum habis dua gelas tersebut. Perutnya seketika dirasakannya sangat penuh. Ia kemudian berpamitan dan pergi ke halte bus.
Setelah kepergian Shoaib, kedua gadis itu saling membantu mengurus rumah. Harapan Shoaib terbukti adanya. Selama ada Ayesha dirumah itu, ayahnya menjadi jarang sekali mengomentarinya dan memarahinya atas hal-hal kecil. Ia sering menghindari Aisyah dan tidak berkomentar apa apa. Hari itu adalah hari yang sangat damai bagi Aisyah. Ia merasakan kemerdekaannya sekali lagi. Namun itu berakhir ketika sore hari. Ketika itu mereka sedang makan bersama di ruang makan.
Tanpa memperdulikan keberadaan Aisyah, ayahnya berbicara dengan hangat kepada Ayesha, menantu keduanya itu. Percakapan hangat itu tidak pernah dialami Aisyah dengan ayah mertuanya selama ini. Yang didapatnya hanyalah cacian, hinaan, dan amarah. Ia tidak pernah sekali-kalinya tersenyum padanya seperti apa yang selalu dilakukan kepada Ayesha. Aisyah disana diperlakukan seperti halnya anak tiri.
Ternyata benar dugaannya sedari awal bahwa hubungan mereka bukanlah hanya sekedar antara paman dan keponakan. Namun ia memang menginginkan Ayesha agar menjadi menantunya. Kini semua keinginannya terwujud dan Aisyah benar-benar tidak dianggapnya ada dirumah itu. Walaupun begitu disana ia masih memiliki suaminya dan Mahira yang selalu berada dipihaknya. Ayesha juga menyadari kejanggalan itu. Ayah mertuanya tak pernah sekalipun berbicara kepada Aisyah. Ia bahkan tak pernah memandang kearahnya. Ia hanya berbicara kepada Ayesha seorang.
Alih-alih memuji Aisyah, Ayesha malah mendapatkan respon sebaliknya. Ayah mertuanya malah merespon pujian itu dengan menjelek-jelekkannya dan membongkar rahasianya kepada Ayesha. Ia juga beberapa kali melontarkan kebohongan dan memfitnahnya. Walaupun nada bicaranya halus, namun kata-katanya sangat menyakitkan. Ayesha yang tidak mengetahui apa-apa tentang Aisyah, ia menerima semuanya dengan mentah dan tidak menanggapinya lebih lanjut. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan hal yang salah. Ia salah melempar umpan.
Mendengar hinaan dan fitnah itu, wajah Aisyah memerah memendam amarahnya. Ia yang semula menunduk kemudian memandang ayahnya. Ia berdiri dan kedua bola matanya seperti telah kerasukan oleh setan. Tatapan yang mengerikan tidak pernah terlihat selama ini darinya. Ia selalu menjadi menantu yang penurut dan sabar. Namun detik ini ia telah kehilangan kontrolnya dan meluapkan semua amarahnya. Tanpa basa-basi dengan cepat ia meraih pisau yang terletak diatas piring dan mengacungkannya ke ayah mertuanya. "Aku sudah terlalu sabar sampai detik ini. Seharusnya aku mengakhirinya sedari awal."
Dengan panik Mahira dan Ayesha berusaha menghentikan gerakan Aisyah. Mahira menahan tubuhnya dan Ayesha berusaha merebut pisau itu. Tubuhnya yang kurus berusaha memberontak dan ia ingin membunuh ayah mertuanya itu sekarang juga. Karena dialah rumah tangganya hancur, karena dialah ia membagi suaminya, dan karena dialah ia tidak bisa menghirup nafas bebas. Dengan serangkaian perlawanan, akhirnya pisau itu mengenai lengan Ayesha. Darah menetes dan gadis itu kesakitan. Mendengar jeritan dari Ayesha, tetangga-tetangga datang kesana.
Darahnya mengalir deras dan ia tidak tahan melihat merahnya darah itu, kemudian Ayesha jatuh pingsan. Melihat situasi yang kacau itu, Aisyah masih berdiri termangu. Ia telah melukai seseorang yang tidak bersalah. Pisau yang terlumuri oleh darah itu masih dipegangnya kuat. Ambulance pun datang setelah itu. Tak lama kemudian, polisi datang atas panggilan seseorang dan mereka mengamankan barang bukti. Mereka juga membawa Aisyah ke kantor polisi untuk diperiksa lebih lanjut. Ia sama sekali tidak melawan. Ia pasrah ketika polisi membawanya ke dalam mobil. Mahira dan tetangganya yang panik segera menghubungi Shoaib berkali-kali namun panggilan itu tidak diangkat olehnya. Akhirnya beberapa menyusulnya ke rumah sakit tempatnya bekerja.
Pada saat yang sama, pemuda itu sedang ada panggilan ke luar kota untuk melakukan operasi pada seorang pasien. Jarak rumah sakit itu dengan rumah sakit tempatnya bekerja sekitar dua jam. Pisau bedahnya masuk diantara daging-daging untuk membersihkan serpihan tulang yang patah. Kemudian ia menyambung tulang dengan pen lalu menjahit daging-daging itu kembali. Setelah operasi selesai, ia melepas jubah hijaunya, sarung tangannya, dan juga masker putihnya.
Kemudian ia mencuci kedua tangannya menggunakan sabun berkali-kali karena dirasakannya bau amis darah itu masih ada. Setelah dirasanya bersih, ia kemudian kembali ke ruangannya untuk mengisi beberapa dokumen. Saat ia memasuki ruangan itu, ada petugas administrasi yang menemuinya. Ia mengatakan bahwa ada telpon dari rumah sakit tempatnya bekerja. Sepertinya itu keadaan darurat. Pihak administrasi menyuruhnya untuk menelpon mereka terlebih dahulu. Shoaib kemudian menuju ruang administrasi untuk menggunakan telpon rumah sakit itu.
Telpon itu diangkat oleh Murat. "Pak, tadi tetangga anda kesini dan ingin menemui anda. Ia menitip pesan agar anda menelpon adik anda secepatnya." Setelah menerima telpon itu, firasatnya langsung dirasakan tidak enak. Ia segera mengambil handphone nya di ruangannya dan terlihat banyak sekali telpon yang masuk. Ia segera menelpon Mahira. Setelah ia mengetahui apa yang telah terjadi dirumahnya, dengan segera ia menyelesaikan urusannya disana dan menyerahkan dokumen-dokumen ke administrasi. Melihat wajah pucat Shoaib, Serkan bertanya, "Apakah semua baik-baik saja, pak?" Tanpa banyak bicara, pemuda itu hanya mengangguk mengiyakan. Kemudian dengan langkah terburu-buru ia keluar dari rumah sakit itu. Sepanjang jalan menuju halte, ia bingung harus menuju kantor polisi terlebih dahulu atau rumah sakit. Pertanyaan itu berputar-putar dikepalanya hingga sampai di halte. Wajah Aisyah dan Ayesha bergantian muncul dipikirannya. Kemudian ia memutuskan untuk pergi ke kantor polisi terlebih dahulu.
Sesampainya di kantor polisi, ia ingin bertemu dengan istrinya terlebih dahulu. Ia menolak untuk mendengarkan penjelasan dari polisi. Ia akan mendengarkan itu nanti saja. Yang terpenting saat ini adalah Aisyah. Bagaimana keadaannya. Aisyah datang dengan kedua tangannya yang terborgol. Ia menunduk merasa malu dan bersalah kepada Shoaib. Melihat kondisi Aisyah yang terbolgol itu, Shoaib memohon kepada petugas untuk membuka borgol itu. Ia juga menjamin bahwa Aisyah tidak akan membuat onar.
"Assalamualaikum, Aisyah." Itulah hal yang sama diucapkan olehnya ketika melakukan panggilan video untuk pertama kali kala itu. Intonasi nadanya juga sama seperti waktu itu. Aisyah terisak-isak mengingatnya. Pemuda itu langsung memeluknya. Tanpa berbicara, mereka dapat memahami hati masing-masing. Pemuda itu mengerti apa yang telah terjadi tanpa gadis itu menjelaskan. Ia tahu rasa takut, sedih, marah, dan kecewa dari Aisyah. Ia mengetahui semuanya. Pemuda itu tidak banyak bertanya dan hanya mengelus-elus kepala istrinya. Sebutir airmata menetes disudut matanya. Ia segera mengusapnya dan bercerita kepada Aisyah berusaha untuk menghiburnya.
"Apakah Aisyah tahu? Tadi aku mengoperasi seorang pasien. Sebelum masuk ruang operasi, ibu itu menangis sejak dari kamarnya hingga sampai di meja operasi. Aku berusaha menenangkannya namun ia berkata dengan nada yang memelas bahwa ia menginginkan obat bius total agar dia tidak perlu menyaksikan jalannya operasi itu. Aku menolaknya dan menjelaskan bahwa tidak perlu untuk dibius total. Kemudian aku menjelaskan padanya tentang cara kerja obat bius spinal. Apakah Aisyah masih ingat apa bedanya obat bius total, obat bius spinal, dan obat bius epidural?"
Aisyah kembali teringat akan kehidupan mereka selama di kontrakan yang damai itu. Ketika itu Shoaib sedang membantunya mencuci baju. Ia tetap saja melakukannya walaupun Aisyah beberapa kali melarangnya. Ketika Shoaib mencuci baju di belakang, Aisyah kembali ke kamarnya untuk menata buku-buku Shoaib dan meletakkannya rapi diatas meja. Ada salah satu buku yang terbuka. Ia tidak sengaja membaca salah satu kalimat disana. Setelah merapikan buku-buku itu, Shoaib telah kembali dari mencuci baju. Aisyah kemudian teringat akan sesuatu dan menanyakannya kepada suaminya. "Apa bedanya bius spinal dan bius epidural?"
Pemuda itu tersenyum lalu mengelus kepala Aisyah lembut. Ternyata gadis itu juga membaca bukunya dan tertarik untuk mengetahuinya. "Bedanya bius spinal dan epidural adalah aku tidak akan pernah bisa menggunakan bius epidural." Alis Aisyah mengerut mendengarnya. "Kenapa? Semua obat bius kan digunakan untuk operasi?" Shoaib tertawa mendengarnya, "Aku tidak bisa menggunakannya karena nanti jika Aisyah melahirkan dan membutuhkan operasi, maka bukan aku dokternya. Maka dari itu aku tidak pernah bisa menggunakan obat bius epidural." Aisyah mengangguk-angguk mendengarnya. "Kalau begitu seharusnya sedari awal aku menikah dengan dokter kandungan saja supaya nanti dia bisa mengoperasiku." Shoaib tersenyum mendengar lelucon itu. Kemudian ia memeluk istrinya. "Semua operasi itu tidak baik, Aisyah. Kita seharusnya jangan pernah mengharapkan itu. Semoga hidup kita baik-baik saja dan jangan sampai mengharuskan kita menjalani operasi."
Aisyah tersenyum mengingat kenangan itu. Kenangan terindah di kontrakan kecil selama perjalanan pernikahannya. Ia sangat merindukan masa-masa itu. Masa-masa hanya mereka berdua. Shoaib berhasil membuat gadis itu melupakan masalah ini sejenak. Melihat senyuman itu kemudian Shoaib berkata lagi, "Apakah aku masih terlihat seksi dengan jenggotku ini?" Aisyah tersenyum lagi mendengarnya. "Anda selalu terlihat seksi walaupun anda sedang berkonsentrasi dengan ekpresi serius anda." Ia mengulangi kalimat yang pernah diucapkannya ketika masih tinggal di kontrakan. Sesaat kemudian, petugas datang dan mengatakan bahwa waktu jenguk telah habis. Shoaib mengecup keningnya sekali lagi untuk yang terakhir kalinya. Ia janji bahwa besok ia akan mengunjunginya lagi. Ia juga berjanji akan mengurus masalah ini agar Aisyah bisa bebas secepatnya.
Namun dua hari kemudian polisi memutuskan bahwa Aisyah mengalami gangguan jiwa atas hasil tesnya dengan seorang psikiater. Akhirnya mereka memindahkannya ke rumah sakit jiwa yang terletak sangat jauh dari sana. Shoaib belum sempat menghentikan pemindahan itu namun mereka langsung mengirim Aisyah kesana. Setelah menerima telpon dari kepolisian, Shoaib langsung berganti bus dan mengganti tujuannya. Aisyah telah divonis mengalami gangguan jiwa oleh psikiater dikarenakan depresinya yang terlalu berat sampai berani melukai orang-orang sekitarnya. Aisyah akhirnya tinggal dan menetap disana hingga diputuskan bahwa ia telah sembuh. Ia setiap hari mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter. Minggu-minggu selanjutnya sangat berat bagi Shoaib. Disamping pekerjaannya di rumah sakit, ia juga harus menjenguk kedua istrinya. Namun Aisyah hanya seminggu dua kali dijenguk olehnya dikarenakan jarak yang jauh dan jadwalnya di rumah sakit yang padat.
Dengan kekosongan perannya, Aisyah menjadi sangat pendiam dan sering murung. Ia tidak semangat menjalani aktifitasnya disana. Ia melakukan latihan-latihannya dengan setengah hati. Shoaib merasakan perubahan Aisyah. Ia tahu bahwa Aisyah sangat merindukannya. Namun Shoaib tidak mampu untuk datang setiap hari seperti apa yang dilakukannya pada Ayesha. Ayesha sudah pulang ke rumah namun perban pada lukanya belum dibuka. "Aisyah mau makanan apa? Biar aku belikan sekarang." Gadis itu tidak merespon pertanyaannya dan terus menunduk. Ia terus memainkan ujung bajunya tanpa henti. "Apakah Aisyah mau jeruk Turki?" Shoaib tersenyum mengingat kejadian di dapur ketika Aisyah dan Mahira membuat kue khas Turki kala itu. Namun Aisyah tidak tersenyum sedikitpun. Sepertinya urat senyumnya sudah terputus.
Dua jam ia berusaha untuk mengajak Aisyah berbicara, namun tidak ada hasilnya. Disore hari, sebelum pulang Shoaib bertemu dengan dokter yang menangani Aisyah. Dokter membenarkan semua dugaan Shoaib. Kondisi mental Aisyah memburuk. Lalu muncul ide dibenaknya. Ia mengkonsultasikan pada dokter dan beliau memperbolehkannya. Kemudian ia menuju ke kamar Aisyah lagi, ia mengajaknya menaiki mobil yang empat hari yang lalu baru dibelinya. Seperti biasa, Aisyah tidak merespon apa-apa dan langsung duduk disebelah kursi kemudi. Shoaib membawanya ke pegunungan dan berkeliling di atas sana, menghirup udara segar tanpa ada siapapun disana.