Chereads / Trilogi Langgam Amerta Agni-Kumara Akasa & Apsari Bhumi / Chapter 33 - Bab 33-Pertunangan Aneh

Chapter 33 - Bab 33-Pertunangan Aneh

Mengikatkan simpul di galangan

kapal yang bahkan masih belum bersandar

bukanlah sia-sia

hanya saja membutuhkan tekad lebih dari ibunda yang berani melahirkan anak-anaknya

"Arawinda, bagaimana kalau kita serahkan saja keputusannya kepada mereka yang akan menjalani?" Arya Dahana mengarahkan pandangan kepada Ratri Geni dan Ario Langit. Dia tidak boleh gegabah. Putrinya itu seorang pemberontak yang bisa meledak setiap saat.

Arawinda kembali terkekeh tertawa. Dia sangat senang berjumpa dengan Arya Dahana yang semenjak muda adalah orang yang sangat dikaguminya. Apalagi perjumpaan ini dilengkapi dengan kehadiran anak-anak mereka.

"Hahaha! Kau bercanda Arya! Ratri Geni dan Ario Langit pasti menyerahkan semua keputusan kepada orang tua. Bukan begitu anakku, Langit?" Arawinda punya panggilan kesayangan terhadap Ario Langit dengan selalu memanggil nama belakangnya.

Ario Langit tergagap-gagap. Dia tidak tahu harus bicara apa. Dia sangat menyayangi ibu angkat yang mengasuhnya sedari kecil. Melindungi dan membimbingnya tanpa kenal lelah. Mengajarinya banyak kebaikan dan dengan tulus menyayangi dirinya seperti anak sendiri. Dia tidak pernah membantah sedikitpun apa yang dikatakan ibunya selama puluhan tahun hidup bersama. Sekarangpun dia tidak akan berani membantah. Bisa-bisa telinganya putus dijewer ibunya yang terkadang menjadi manusia paling galak di dunia.

Tapi ini tentang pertunangan. Hal yang sama sekali tak disangkanya. Di atas puncak gunung yang sepi. Dan gadis yang dijodohkan dengannya adalah putri seorang pendekar terkenal yang sakti. Ario Langit menatap ibunya dan memohon agar jangan membicarakan ini melalui sorot matanya yang murung. Arawinda menarik lembut rambut Ario Langit. Anak pungut yang sangat disayanginya. Anak kecil pemurung yang sekarang tumbuh dewasa menjadi pemuda yang juga pemurung.

"Sudahlah anakku yang ganteng. Serahkan semua urusan kepada ibumu. Kau tidak tahu alangkah berbahagianya ibu bisa berbesan dengan sepasang pendekar luar biasa bernama Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri. Bahagiakanlah ibumu ini sebelum mati, Nak." Mata Arawinda berkaca-kaca.

Dia ingin sekali anak lelakinya ini berbahagia dan tidak murung lagi. Mungkin perjodohan ini bisa menjadi salah satu caranya. Dia sempat melihat bagaimana cara Ario Langit memandang Ratri Geni saat berhadapan dengan Raden Soca tadi. Nampak sekali kecemasan di wajahnya membayangkan Ratri Geni akan bertarung melawan Raden Soca yang sakti, kemarahan terhadap Raden Soca, dan kegeraman kepada diri sendiri karena tidak bisa ikut campur. Arawinda tahu putranya ini sedang jatuh cinta. Dia sangat yakin sekali akan hal itu. Oleh sebab itulah dia langsung saja meminang putri Arya Dahana saat ini juga. Dia ingin membahagiakan putranya.

Arya Dahana menggaruk hidungnya yang tidak gatal. Arawinda mulai mengerutkan kening. Dia tahu kebiasaan lelaki di depannya ini. Menggaruk hidung berarti bingung dan tidak punya keputusan cepat. Suara Arawinda mulai meninggi.

"Apakah kau menolak pinanganku Arya?"

Meskipun jengkel karena merasa seperti barang dagangan yang tidak layak didengarkan pendapatnya, namun Ratri Geni geli juga melihat ayahnya nampak berdiri kikuk sambil tak henti menggaruk hidungnya. Gadis ini menyentuh lengan ayahnya.

"Ayah, lakukan saja pertunangan yang diminta Pendekar Arawinda di sini dan saat ini. Saksinya malahan hebat bukan, Ayah? Kepundan gunung berapi dan bau belerang yang menyengat." Ratri Geni tersenyum kepada ayahnya sambil mengedipkan mata dua kali. Wajahnya membelakangi Arawinda sehingga wanita itu tidak tahu. Arya Dahana mendelik kesal kepada Ratri Geni. Putrinya ini mulai merencanakan pemberontakan. Tapi Arya Dahana mencoba mengikuti alur pikiran putrinya.

"Maksudmu kamu bersedia, Nduk?"

Ratri Geni mengangkat bahunya dengan enteng.

"Tentu Ayah tidak mau mengecewakan teman baik Ayah bukan? Turuti permintaan Bibi Arawinda untuk saat ini Ayah." Ratri Geni mulai berteka-teki. Arya Dahana merasakan perutnya mulai mulas. Ah, celaka! Tapi bagaimanapun juga ini harus diputuskan. Kalau tidak, bisa-bisa Arawinda akan menyerangnya mati-matian karena ini menyangkut harga diri. Arya Dahana menghela nafas.

"Baiklah Arawinda. Aku terima setengah pinanganmu. Karena setengahnya lagi menjadi hak Dewi Mulia Ratri untuk memutuskan." Ratri Geni gantian yang terbelalak. Pantas saja dia pandai bersilat lidah. Ayahnya ternyata menurunkan sifat itu secara utuh kepadanya.

Arawinda juga tertegun. Menerima setengah pinangan? Apa-apaan ini? Wanita sakti ini nampak termangu kebingungan mencerna maksud Arya Dahana. Ario Langit yang melihat Ibunya kebingungan, memeluk bahunya dengan lembut.

"Maksudnya begini Ibu, pendekar besar ini menerima pinangan Ibu setengahnya saja. Karena setengahnya lagi harus diputuskan oleh Ibu dari Ratri Geni. Jadi pertunangan yang akan terjadi hari ini adalah Setengah Pertunangan."

Arawinda mengangguk-angguk seperti orang pikun. Ini aneh. Tapi sudahlah. Daripada tidak ada ikatan sama sekali, setengah pertunangan juga boleh. Arawinda kembali terkekeh gembira.

"Baiklah. Baiklah Arya. Ayo kita laksanakan upacara Setengah Pertunangan sekarang!"

Arya Dahana memandang sekitarnya mencari-cari sesuatu. Pendekar sakti ini mengambil sebuah bongkahan beku lava yang banyak terdapat di sekitar kawah lalu mengerahkan tenaga Amurti Arundaya. Bongkahan batu itu memerah dan mengepulkan asap karena panas yang ditimbulkan ilmu dahsyat itu. Arya Dahana ganti mengerahkan Danu Cayapata sehingga batu yang sedang membara itu mendingin seketika dan membeku seperti es. Pendekar itu meremas batu menjadi bongkahan kecil yang dipanasinya kemudian didinginkan lagi. Tidak lupa dilubanginya batu itu menggunakan ujung jarinya. Tak lama kemudian di tangan pendekar itu sudah tersedia dua buah cincin dari batu lava yang terlihat cantik.

Arawinda bertepuk tangan meriah melihat pertunjukan ilmu kesaktian yang dipadukan dengan citarasa seni tingkat tinggi Arya Dahana. Ratri Geni menjulurkan lidah saking kagumnya. Sedangkan Ario Langit hanya terpana tak sanggup berkata-kata. Pendekar ini benar-benar tak ada tandingannya.

Ratri Geni dan Ario Langit berdiri berhadapan di pinggir kawah Puncak Ciremai. Arawinda mendampingi putranya, sedangkan Arya Dahana berada di samping Ratri Geni. Keempatnya saling berpandangan. Bagaimana cara memulai upacara pertunangan ini?

Terdengar kesiur angin disusul berkelebatnya bayangan yang berdiri di dahapan mereka semua sambil tertawa terbahak-bahak. Ki Ageng Ciremai meraih sepasang cincin itu dari tangan Arya Dahana. Rupanya Ki Ageng Ciremai sedari tadi melihat dan mendengarkan peristiwa aneh di sekitar tempat tinggalnya ini.

"Pendekar, biarlah aku yang akan memimpin acara pertunangan ini. Aku sangat bahagia ada upacara bahagia di Puncak Ciremai yang juga sedang berbahagia…hahaha!" Ki Ageng Ciremai memberi isyarat agar semua orang memperhatikan.

"Aku, Ki Ageng Ciremai dengan ini meresmikan pertunangan antara…." Ucapan Ki Ageng Ciremai terhenti karena Ratri Geni mengangkat tangannya memprotes.

"Setengah Pertunangan, Ki Ageng."

Ki Ageng Ciremai sejenak terpana. Setengah Pertunangan? Apakah memang istilah ini ada? Sambil mengangkat bahunya, Ki Ageng Ciremai mengangguk dan melanjutkan.

"Aku, Ki Ageng Ciremai dengan ini meresmikan upacara Setengah Pertunangan antara Ario Langit putra dari Arawinda dengan …" Ucapan Ki Ageng Ciremai terhenti lagi. Lagi-lagi Ratri Geni mengangkat tangannya. Arya Dahana tersenyum geli.

"Ratri Geni diucapkan terlebih dahulu, Ki Ageng."

Ki Ageng Ciremai yang biasanya ceria memajukan mulutnya. Tapi mengulangi perkataannya setelah menghela nafas sangat panjang. Putri Arya Dahana ini sangat tengil.

"Aku, Ki Ageng Ciremai dengan ini meresmikan upacara Setengah Pertunangan antara Ratri Geni putri dari Arya Dahana dengan Ario Langit putra dari Arawinda."

Ratri Geni bertepuk tangan dengan gembira setelah menerima cincin dari Ki Ageng Ciremai. Tanpa menunggu penyerahan cincin ke tangan Ario Langit lagi, gadis ini memeluk dan mencium pipi ayahnya lalu mencium tangan Arawinda dan menepuk bahu Ario Langit sambil berkelebat pergi dengan kecepatan luar biasa.

"Ayah, Bibi Arawinda, Ario dan Ki Ageng, aku pamit pergi. Aku harus segera sampai ke puncak Merbabu secepatnya. Gunung itu sudah hendak meletus!"

---***