Chapter 37 - Bab 37-Kekacauan Hati

Mencederai seikat janji

yang diucapkan semudah cipratan ludah

menggerus sepotong hati

yang lantas pecah berantakan

seperti jatuhnya hujan di bebatuan

Sudah beberapa lama Sekar Wangi menghabiskan waktunya di Istana Kerajaan Pajang. Bercengkrama dengan Pangeran Arya Batara. Banyak membaca buku-buku dan bertukar pikiran dengan pangeran tampan yang sangat menyenangkan itu. Sekar Wangi sampai lupa bahwa waktu untuk menjenguk kemajuan pengobatan Jaka Umbara telah terlewat beberapa hari. Gadis itu baru teringat saat melihat sosok Wedya Hananta sedang duduk bersama Pangeran Arya Batara di Paseban. Buru-buru Sekar Wangi menghampiri.

" Paman Wedya Hananta, bagaimana kabar Jaka Umbara? Apakah masih menjalani pengobatan di rumah Paman?"

Wedya Hananta menatap Sekar Wangi dengan raut muka bingung.

"Sudah 5 hari yang lalu Jaka Umbara menyelesaikan pengobatannya, Nduk. Pemuda itu sempat bertanya di mana dirimu berada. Aku jawab berada di istana bersama Pangeran Arya Batara. Dia langsung berpamitan denganku setelah berkali-kali mengucapkan terimakasih. Dia sudah pulih seperti sedia kala, Nduk."

Sekar Wangi terpekur. Itu artinya dia sudah berada di istana lebih dari lima belas hari. Waktu yang cukup lama namun terasa sebentar saja baginya. Dia tidak sadar telah melupakan janjinya untuk menjenguk Jaka Umbara. Sekar Wangi merasa bersalah. Tatap matanya beradu dengan Arya Batara. Sebuah kekuatan tak nampak langsung menguatkan hatinya dan menghapus rasa bersalah itu seketika. Aneh dan salah. Tapi Sekar Wangi menyerah. Dia jatuh cinta kepada Pangeran Pajang ini. Itu jelas. Dia tidak tahu bagaimana isi hati sesungguhnya dari Arya Batara, tapi sepertinya dia tidak bertepuk sebelah tangan. Sekar Wangi yakin sekali.

Sekar Wangi larut dalam pembicaraan dengan Arya Batara dan juga Wedya Hananta. Pangeran Pajang ini memang sama sekali tidak tertarik mempelajari ilmu kanuragan maupun sihir, tapi sangat menyukai keahlian obat-obatan, sastra dan seni. Sultan Hadiwijaya berkali-kali minta putranya itu untuk memilih guru manapun yang dikehendakinya.

Bahkan Ki Sasmita yang merupakan penasihat Kerajaan Pajang dan memiliki kepandaian tinggi, membujuknya untuk paling sedikit mengenal dasar-dasar ilmu kanuragan. Lagi-lagi harus menghadapi penolakan dari pangeran yang sangat lembut itu.

Sementara Sekar Wangi sibuk dengan urusan asmaranya dengan Pangeran Arya Batara, Jaka Umbara sedang dalam perjalanan menuju kembali ke Alas Roban. Melarikan hatinya yang patah berkeping-keping. Sekar Wangi sangat mudah melupakannya karena sedang tergila-gila kepada Pangeran Arya Batara.

Tapi Jaka Umbara adalah pemuda yang digembleng batinnya secara kuat di Pesantren Kyai Mustofa. Hatinya memang hancur, tapi pemuda itu menyimpannya dalam-dalam hingga ke ruang yang paling tersembunyi. Tugas utamanya adalah menyelidiki wilayah sekitar Alas Roban. Tempat-tempat yang memungkinkan untuk mendirikan pondok pesantren sesuai permintaan dari penduduk desa sebelumnya.

Pesan Kyai Mustofa adalah sebisa mungkin mencari tempat yang terhindar dari perselisihan antar kerajaan sehingga kegiatan belajar dan mengajar di pesantren akan berjalan dengan baik tanpa gangguan. Jaka Umbara akan memusatkan semua perhatian, pikiran dan tenaga untuk tugas ini. Dia akan melupakan semua urusan asmara. Tidak ada waktu untuk hal seringan itu.

Pemuda ini memang sengaja berjalan cepat tanpa banyak berhenti. Sudah terlalu lama tugas ini terabaikan karena urusan Sekar Wangi. Ah! Kenapa harus teringat gadis itu lagi? Sudah menjadi haknya untuk memilih siapapun yang disukainya. Jaka Umbara menghela nafas dalam-dalam. Urusan hati dengan Sekar Wangi ini ternyata tidak semudah yang dia kira.

Jaka Umbara sampai di sebuah desa kecil yang terlihat tentram. Anak-anak bermain di luar dengan riang. Para ibu dan anak gadis saling bercengkrama di pendopo rumah. Sedangkan para bapak dan pemudanya baru saja pulang dari sawah dan ladang dengan raut wajah gembira. Jaka Umbara tersenyum. Hal-hal seperti inilah yang dicarinya sebagai cara tercepat untuk melupakan Sekar Wangi. Duh! Kenapa pikirannya selalu kembali kepada gadis itu?

"Kisanak silahkan mampir. Kami bisa menyediakan air minum kalau saja Kisanak kehausan." Seorang ibu setengah baya menyapa Jaka Umbara yang sedang berdiri termangu di pinggiran jalan depan rumahnya.

Jaka Umbara berterimakasih dengan membungkukkan badan dalam-dalam. Menolak dengan sopan. Sebuah penawaran yang sangat tulus. Dia bisa merasakannya.

"Kalau Kisanak lapar, singgahlah di rumah Bapak di depan. Kebetulan hari ini cukup banyak tangkapan ikan di sungai. Cukup untuk makan malam ini bersama Kisanak." Seorang Bapak yang menyandang cangkul di bahu dan jaring ikan di tangannya, menjajari langkah Jaka Umbara dan berkata. Juga dengan sangat ramah.

Kembali Jaka Umbara berterimakasih dengan membungkukkan badan dalam-dalam dan menolak dengan halus. Perutnya kenyang dan dia membawa bekal air minum yang cukup.

Pemuda itu melanjutkan perjalanan dengan wajah berseri-seri. Betapa mereka sangat menghargai para musafir seperti dirinya. Sepertinya desa ini sangat cocok untuk didirikan pesantren. Jaka Umbara mencatat dalam hatinya. Tapi ada satu hal lagi yang harus dipastikan. Pemuda ini mengejar petani yang tadi menawarinya makan malam.

"Paman, kalau boleh tahu desa ini termasuk wilayah Pajang atau Jipang?"

Petani itu menoleh dan tersenyum.

"Bukan wilayah siapa-siapa setahuku, Nak. Wilayah pinggiran yang mengitari Alas Roban ini dengan jarak lima ribu depa tidak termasuk di kedua wilayah kerajaan tersebut."

"Apakah selama ini Pajang atau Jipang tidak menarik pajak, Paman?"

Kembali petani itu tersenyum ramah.

"Tidak, Nak. Kedua kerajaan itu tidak pernah mengganggu karena wilayah yang aku sebutkan tadi berada dalam perlindungan Ki Ageng Waskita. Bahkan Sultan Hadiwijaya dan Adipati Aryo Penangsang sendiri segan kepada Ki Ageng Waskita."

Jaka Umbara teringat penjelasan Kyai Mustofa mengenai tokoh-tokoh di dunia persilatan yang disegani oleh pihak manapun karena tidak pernah mau turut campur segala macam urusan meski punya kemampuan luar biasa dan sangat sakti. Salah satunya adalah Ki Ageng Waskita. Pantas saja. Jaka Umbara mengucapkan terimakasih dan melanjutkan perjalanannya kembali.

Keterangan dari petani tadi sangat berharga bagi Jaka Umbara. Artinya selama dia membangun pesantren di sepanjang batas luar Alas Roban dan tidak melebihi lima ribu depan, maka Pajang dan Jipang tidak akan mengganggu. Jaka Umbara puas dengan penemuannya. Dia akan meneruskan perjalanan mengitari Alas Roban dan mencatat semua nama desa, termasuk menemui para petinggi desa untuk dimintai pendapat mengenai rencana tersebut.

Jaka Umbara tersenyum. Setidaknya dia mempunyai tujuan yang pasti saat ini. Tidak perlu lagi memikirkan gadis yang telah menjatuhkan hatinya dan sekaligus meremukkannya itu.

Pemuda itu memutus lamunannya karena terdengar derap kaki kuda berlari kencang dari arah belakang. Beberapa orang berpakaian prajurit memacu kudanya seolah ada sesuatu yang dikejar atau terdapat masalah genting yang harus segera diselesaikan.

Jaka Umbara mengerahkan ingatannya. Rasanya itu bukan seragam prajurit Pajang maupun Jipang Panolan.

---*******