Menyembuhkan luka
tidak harus dengan tawa
bisa juga dengan disirami cuka
agar tak pernah lupa bahwa luka itu memang ada
Jaka Umbara membuka matanya. Luka dalam di tubuhnya karena Pukulan Kabut Laut Selatan telah berangsur pulih. Sebuah hawa hangat berputar-putar di dalam tubuhnya. Mengurangi rasa nyeri akibat luka dalam. Matanya terantuk pada sebuah kitab kecil yang diletakkan di samping tubuhnya oleh seseorang. Jaka Umbara mengambil dan membaca bagian muka kitab yang bertuliskan namanya.
Jaka Umbara; pelajarilah Kitab Inti Bumi ini baik-baik. Lafadz Sejati akan sempurna apabila kau berhasil mencapai tingkatan hawa sakti yang ada dalam kitab ini.
Ini pasti kakek tua yang sakti itu. Dia masih dalam keadaan sadar saat Ki Ageng Waskita membawa dirinya dan Raden Soca yang dalam keadaan sekarat. Jaka Umbara mencari-cari. Pemuda ini melihat Ki Ageng Waskita sedang bersila dengan mata terpejam di belakang Raden Soca yang juga bersila dengan tekun. Jaka Umbara tidak mau mengganggu. Raden Soca jauh lebih parah lukanya dibanding dirinya. Mungkin Ki Ageng Waskita membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membantu pemuda itu pulih kembali.
Jaka Umbara membaca kitab kecil itu dengan seksama. Kenapa Ki Ageng Waskita tidak memberinya petunjuk saja dan malah memberikan kitab ini untuk dibacanya sendiri. Pemuda ini kembali menoleh ke tempat Ki Ageng Waskita berada. Dilihatnya Ki Ageng Waskita dan Raden Soca masih dalam posisi yang sama. Sama sekali tidak berubah. Jaka Umbara menghela nafas. Kasihan Raden Soca. Demi membela orang yang tak dikenalnya, dia harus rela menyabung nyawa.
Murid Kyai Mustofa ini kembali memusatkan perhatiannya pada kitab kecil yang dipegangnya. Terdapat petunjuk-petunjuk singkat bagaimana cara menghimpun tenaga Inti Bumi. Menyalurkan ke perut dan menyebarkannya ke seluruh tubuh. Hawa sakti yang dimiliki akan berlipat beberapa kali apabila tekun melatih kitab kecil yang ditulis oleh Ki Ageng Waskita dengan tergesa-gesa itu. Dalam hatinya Jaka Umbara juga bertanya-tanya. Kitab ini sangat baru dan ditulis belum terlalu lama. Malah mungkin sebelum Ki Ageng Waskita mulai mengobati Raden Soca.
Jaka Umbara tenggelam dalam samadi sesuai dengan petunjuk Kitab Inti Bumi. Tubuhnya terasa lebih segar dan luka dalamnya semakin membaik. Menarik tenaga dari Inti Bumi untuk disalurkan ke dalam tubuh tidak semudah yang dikiranya. Dia harus benar-benar mengosongkan pikiran, menyerap suasana sekitar yang berhubungan dengan alam, dan melepaskan diri dari pikiran-pikiran duniawi. Jaka Umbara terbiasa melakukan samadi seperti ini setiap pagi di pesantren setelah membaca kita suci. Pemuda ini seperti menemukan hal baru yang sangat menyenangkan dan membahagiakan. Terkadang memang muncul kelebatan bayangan Sekar Wangi, tapi segera ditutupinya dengan terus mengumpulkan sejengkal demi sejengkal tenaga inti bumi yang berhasil diserapnya.
Tak terasa Jaka Umbara telah berjam-jam melakukan samadi Inti Bumi. Pagi ini tubuhnya benar-benar sangat segar ketika dia membuka mata. Luka dalam yang dideritanya belum sembuh betul tapi sudah sangat jauh berkurang. Pemuda ini bermaksud mengucapkan terimakasih kepada Ki Ageng Waskita. Jaka Umbara mendatangi Ki Ageng Waskita yang masih duduk bersila di belakang Raden Soca yang terlihat telah memerah raut mukanya. Tidak lagi sepucat mayat dan nafasnya pun sudah biasa lagi.
Jaka Umbara ragu-ragu untuk menyapa Ki Ageng Waskita yang masih terpejam matanya dengan posisi yang sama persis seperti petang kemarin. Namun Jaka Umbara melihat sesuatu yang aneh. Ki Ageng Waskita memang masih duduk bersila dengan tenang. Matanya tajam namun wajahnya sangat pucat. Jaka Umbara terkesiap. Pemuda ini menyentuh lengan Ki Ageng Waskita dengan perlahan. Sontak tubuhnya terpental seperti tersengat petir. Jaka Umbara bangkit kembali dan melihat Ki Ageng Waskita terguling dalam posisi masih bersila. Buru-buru pemuda ini memeriksa denyut nadi Ki Ageng Waskita. Dia menduga sesuatu telah terjadi.
Dugaannya benar. Denyut itu sudah tak ada dan tubuh Ki Ageng Waskita terasa sangat dingin. Ki Ageng Waskita telah mangkat dengan tenang setelah memindahkan seluruh hawa murni yang dimilikinya demi menyelamatkan Raden Soca yang berada di ambang kematian.
Jaka Umbara menghela nafas. Ganti dia memeriksa keadaan Raden Soca. Pemuda itu dalam keadaan pingsan namun denyut nadinya sudah normal. Tubuhnya sangat aneh. Hawa panas yang lua biasa menguar hebat di sekitar tubuhnya namun saat Jaka Umbara menyentuh pergelangan tangan untuk memeriksa denyut nadi tadi, tubuh itu luar biasa dingin. Raden Soca selamat meskipun lukanya yang sangat parah akan membutuhkan waktu beberapa hari untuk bisa pulih kembali.
Ternyata pemindahan hawa murni dari Ki Ageng Waskita selain membuat orang tua sakti itu mangkat, juga membuat Raden Soca mati suri. Tubuh pemuda dari Lawa Agung itu seperti menerima kedatangan badai hebat yang sementara ini belum bisa dia kendalikan di dalam tubuhnya. Raden Soca seperti sebuah wadah yang menampung pusaran hawa murni yang sangat tinggi yang berasal dari Ki Ageng Waskita.
Jaka Umbara tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya berusaha sebaik mungkin menjaga Raden Soca selama masih dalam keadaan mati suri. Jaka Umbara membuat api di sekitar pemuda itu agar tubuhnya tetap dalam keadaan hangat. Dia sendiri lalu meneruskan samadi Inti Bumi agar kesembuhan luka dalamnya semakin cepat.
Selama beberapa hari Jaka Umbara dan Raden Soca berada dalam keadaan yang persis sama. Jaka Umbara berlatih terus Samadi Inti Bumi sedangkan Raden Soca masih pingsan dalam mati surinya.
Di hari kelima, pada pagi yang cerah meskipun belum seluruh kabut terangkat dari permukaan, dalam samadinya Jaka Umbara mendengar Raden Soca mengeluh lirih. Pemuda itu siuman. Di tangannya telah tergenggam buah pisang yang setengahnya sudah termakan. Rupanya Raden Soca lapar sekali karena di sekitar tubuhnya kulit pisang berserakan. Jaka Umbara menyudahi samadinya dan buru-buru menyiapkan air minum buat Raden Soca.
Pemuda dari Lawa Agung itu mengangguk penuh terimakasih dan menenggak air minum dalam cawan sekaligus. Bahkan kemudian menambah lagi dari kendi yang memang sudah diisi penuh oleh Jaka Umbara.
"Terimakasih telah bersedia menjagaku Kisanak. Aku kira aku sudah tak berada di dunia ini. Siapakah yang telah menolong kita berdua?" Raden Soca bertanya lirih.
Jaka Umbara menatap gundukan tanah baru di depan gua. Tempat jasad Ki Ageng Waskita dimakamkan. Jaka Umbara menunjuk makam itu dan menjawab pertanyaan Raden Soca.
"Orang yang telah menolong kita telah berpulang. Ki Ageng Waskita yang sakti." Jaka Umbara menceritakan urutan peristiwa secara lengkap kepada Raden Soca yang langsung berkaca-kaca matanya. Ki Ageng Waskita rela mati agar dirinya bisa diselamatkan dari maut dengan memindahkan seluruh hawa murni yang dipunyainya. Sungguh sebuah hutang budi yang tak terkira nilainya.
Raden Soca yang masih belum kuat berjalan, merangkak ke makam Ki Ageng Waskita. Bersujud di depan makam dan berkata terbata-bata.
"Terimakasih atas nyawa yang telah kau berikan untuk keselamatan dan kesembuhanku, Guru."
----