Chapter 41 - Bab 41-Istana Pajang

Menapis cahaya di dedaunan meranggas

agar bisa melihat serangga menari-nari

di keremangan petang

yang lupa menyalakan bintang

Di pelataran Balairung Istana Pajang, Panglima Amranutta menangkupkan kedua tangan di dada sambil membungkukkan tubuh. Memberi hormat kepada Sultan Hadiwijaya yang berdiri di hadapannya dengan sikap heran.

"Perkenalkan kami dari Kerajaan Lawa Agung yang berpusat di Pulau Kabut, Paduka Sultan. Nama saya Panglima Amranutta, dan ini adalah para pembantu saya bernama Putri Aruna dan Putri Anila. Perkenankan kami menyampaikan sembah bakti kepada Paduka Sultan yang agung dan jaya."

Sultan Hadiwijaya mengangguk memberi hormat. Rupanya kerajaan kecil yang memberontak terhadap Galuh Pakuan ini masih ada.

"Panglima Amranutta, terimakasih atas kunjungannya. Perkenalkan ini putraku Arya Batara, Ki Sasmita penasihat kerajaan, Panglima Sandika, dan tamu kehormatan kami Sekar Wangi. Apakah maksud kunjungan Paduka Panglima selain sekedar berkenalan dan menjalin hubungan pertemanan dengan Pajang?"

Tidak biasanya seorang tamu dari jauh, apalagi tamu dari kerajaan lain diterima di luar balairung. Namun Sultan Hadiwijaya memang sedang bersiap melakukan perjalanan menuju Tuban untuk bertemu dengan para ulama di sana ketika tiba-tiba rombongan kecil ini mendadak tiba dan mohon waktu untuk menghadap.

Panglima Amranutta melirik Sekar Wangi dengan pandangan heran dan menduga-duga. Lalu menjawab pertanyaan Sultan Hadiwijaya dengan tegas dan ringkas.

"Kami menawarkan kerjasama untuk menjadi sekutu dengan tujuan menaklukkan Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda itu akan menjadi bagian dari Kerajaan Pajang dengan kami dari Lawa Agung yang akan mengelolanya. Selanjutnya kami juga akan membantu Pajang untuk menaklukkan Kadipaten Jipang Panolan yang memberontak."

Sultan Hadiwijaya sedikit mengerutkan kening. Tamunya ini kasar dan kurang memiliki unggah-ungguh. Dan tawarannya sungguh menakutkan. Memancing timbulnya peperangan demi peperangan. Sementara Pajang lebih banyak bertujuan untuk menciptakan kedamaian karena rakyat sudah bosan berperang dan ingin hidup dengan tenang tanpa terus dihantui ketakutan akan denting pedang dan hawa kematian.

"Paduka Panglima yang saya hormati, saya menghargai tawaran Paduka Panglima. Tapi saat ini Pajang sedang tidak ingin memulai sebuah perang atau permusuhan dengan siapapun. Mengenai Ario Penangsang, itu sudah menjadi tugas saya secara pribadi untuk menuntaskannya. Sekali lagi terimakasih, tapi tidak."

Panglima Amranutta sudah menduga jawaban Sultan Hadiwijaya akan seperti ini.

"Baik Paduka Sultan. Terimakasih telah menegaskan sikap. Kami mohon pamit undur diri. Maaf jika telah mengganggu acara Paduka Sultan."

Rombongan kecil Lawa Agung itu pergi. Disusul tak lama kemudian dengan keberangkatan rombongan besar Sultan Hadiwijaya menuju Tuban. Pengawalan dipimpin langsung oleh Panglima Sandika dan Ki Sasmita. Sedangkan keamanan istana diserahkan kepada Panglima Kedua yang bernama Panglima Santana. Adik dari Panglima Sandika.

Istana Pajang malam itu terasa sangat sepi. Penjagaan tidak terlalu ketat karena Sultan Hadiwijaya sedang tidak berada di istana. Lagipula selama ini Istana Pajang termasuk aman dari gangguan. Berkat ketangguhan para pengawal istana dan juga jadwal patroli yang tak pernah putus. Para penjaga mengelilingi bagian luar istana dan dilapis oleh regu-regu penjaga yang mengeliling bagian dalam tembok istana. Belum lagi para penjaga yang bersiaga di setiap bangunan utama istana. Termasuk taman dan keputren tempat Sekar Wangi kembali menghabiskan separuh malam bersama Arya Batara.

Kali ini mereka membicarakan kedatangan mendadak rombongan dari Lawa Agung tadi siang. Termasuk bagaimana Raja Lawa Agung menawarkan kesepakatan untuk menaklukkan Sumedang Larang dan Jipang Panolan.

"Aku tahu mereka pasti punya maksud dibalik tawaran itu. Ada udang di balik batu. Ada maksud tersembunyi yang mengerikan di balik persekutuan itu." Arya Batara membuka perbincangan. Pangeran ini hanya punya kelemahan dalam hal olah kanuragan. Tapi pikirannya sangat cerdas dalam berbagai hal lainnya. Termasuk hubungan antar kerajaan beserta kepentingan-kepentingannya.

Sekar Wangi mengerutkan keningnya. Teringat tatapan sekilas Panglima Amranutta terhadapnya. Apakah Raja Lawa Agung itu mengenalinya sebagai putri dari Pangeran Bunga dan Ayu Wulan yang pernah menentang dan melawan Kerajaan Lawa Agung puluhan tahun yang lalu?

"Aku sering mendengar cerita ayah dan ibuku mengenai kerajaan kecil yang misterius itu Kanda Batara. Intinya, mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya." Panggilan Sekar Wangi kepada Pangeran Arya Batara ditambah dengan sebutan Kanda sejak beberapa hari yang lalu. Pangeran Arya Batara juga tidak keberatan. Gadis ini sangat baik dan menjadi teman yang sangat menyenangkan untuk berbincang apa saja.

"Seberbahaya apa mereka Sekar?" Arya Batara nampak penasaran. Hubungan antar kerajaan dan kepentingan politiknya selalu menarik perhatian pangeran ini.

"Dulu mereka sangat tangguh karena mampu menarik banyak orang-orang sakti dari dunia persilatan untuk bergabung dengan mereka. Pasukan Lawa Agung juga terkenal hebat karena dilatih secara keras setiap hari. Istana kerajaan yang berpusat di sebuah pulau bernama Pulau Kabut masih menjadi misteri hingga sekarang di mana tepatnya letak pulau tersebut. Jarang orang yang bisa sampai ke sana kecuali diperkenankan oleh Istana Lawa Agung."

Pangeran Arya Batara memandang kagum. Pengetahuan gadis ini memang sangat luas. Sekar Wangi melanjutkan dengan lebih bersemangat melihat tatapan kagum Arya Batara.

"Pulau itu sulit dicari dan didatangi karena berada dalam perlindungan Ratu Laut Selatan. Dari apa yang pernah aku dengar, apabila dihitung, hanya pendekar besar Arya Dahana dan Putri Anjani saja yang pernah sampai di sana dengan usaha mereka sendiri."

"Maksudmu? Apakah ada juga yang pernah di istana misterius itu tidak dengan usaha sendiri?"

Sekar Wangi tersenyum manis.

"Ibuku Kanda Batara. Ibuku pernah menjadi tawanan di sana untuk menjamin nenek buyutku membantu Kerajaan Lawa Agung dan membela kepentingan mereka."

Pangeran Arya Batara mengangguk-angguk mengerti. Sebuah pikiran melintas. Nenek buyut Sekar Wangi adalah datuk sihir yang sangat terkenal di masa lampau.

"Maukah kau menunjukkan sedikit pertunjukan sihir Sekar? Nenek buyutmu adalah datuk sihir nomor satu di Tanah Jawa saat itu bukan?"

Tanpa menunggu lama, untuk menyenangkan pangeran yang sangat dipujanya ini, Sekar Wangi mengebutkan lengan bajunya. Seekor Burung Hantu berukuran besar tiba-tiba saja ada di depan mereka. Berdiri dan menatap tajam dari ujung meja besar taman tempat hidangan disajikan.

Pangeran Arya Batara nyaris terlompat kaget. Apalagi saat Sekar Wangi mengebutkan lengan bajunya lagi dan Burung Hantu itu sudah berganti menjadi seekor ular besar yang melingkar dan mendesis-desis. Wajah Pangeran Arya Batara nampak memucat ketakutan. Ular itu merayap dan mendatangi mereka. Sekar Wangi terkikik pelan dan mengebutkan lengan bajunya lagi. Ular itu lenyap tak berbekas.

"Wah! Wah! Luar biasa! Kau hebat sekali Sekar! Apalagi yang bisa kau lakukan dengan sihirmu itu?"

Sekar Wangi berpikir sejenak. Dia akan membuat pujaan hatinya sangat terkesan. Sekar Wangi memejamkan mata. Mengerahkan kekuatan sihirnya yang terkuat. Lampu-lampu taman mendadak padam seketika. Seolah ditiup iblis pada saat yang bersamaan. Pangeran Arya Batara menggeser tempat duduknya ke dekat Sekar Wangi yang tersenyum gembira. Hanya tersisa dua buah lampu kecil di meja itu saja yang masih menyala.

"Sudah cukup Sekar! Aku sangat terkesan dengan pertunjukan hebat ini." Pangeran Arya Batara bertepuk tangan ringan memuji. Sekar Dewi semakin gembira. Gadis ini memejamkan matanya untuk membuat keadaan taman normal kembali. Tapi tak ada satupun lampu taman yang menyala setelah sekian lama. Meskipun Sekar Wangi telah mengerahkan semua kemampuan sihirnya namun suasana gelap gulita itu tidak berubah sama sekali. Sekar Wangi terkesiap. Menyadari bahwa ada orang yang telah ikut campur dalam pertunjukan sihirnya ini.

Benar saja dugaan Sekar Wangi. Dua sosok bayangan tiba-tiba telah berdiri di hadapan mereka. Salah seorang menyerangnya dengan pukulan mematikan dan seorang lagi bergerak cepat menotok leher dan punggung Pangeran Arya Batara yang langsung lunglai tak berdaya.

----*