Pagi berguru kepada waktu
sedangkan hati berguru kepada masa lalu
di satu titik mereka bertemu
bersama menyamak kenangan pada tangkai bunga sepatu
Raden Soca benar-benar terperanjat. Bahkan Panglima Amranutta sendiri datang ke sini. Sungguh mengherankan. Sepertinya ada hal besar yang sedang terjadi dan itu pasti ada sangkut pautnya dengan Lawa Agung.
"Aku tidak akan pulang atau pergi kemanapun, Paman Amranutta. Aku akan berada dan menuju kemanapun aku mau. Lawa Agung adalah masa laluku. Masa depanku adalah mencari dan membunuh para pembunuh Ayahku. Setelah ini usaipun aku tidak tertarik untuk pulang ke Pulau Kabut."
Panglima Amranutta mendelik marah. Suaranya yang parau membahana.
"Apakah kau tidak sadar kau sedang berhadapan dengan Raja Lawa Agung? Apakah sebagai seorang berdarah Lawa Agung kau tidak akan patuh kepada Rajamu?!"
Raden Soca menggelengkan kepala.
"Aku memang terlahir di Pulau Kabut. Aku memang keturunan satu-satunya Panglima Kelelawar. Tapi aku tidak merasa menjadi orang Lawa Agung yang harus patuh terhadap Raja sepertimu, Paman. Aku pasti akan patuh kepada seorang Raja yang tidak lalim dan sewenang-wenang kepada rakyatnya maupun manusia lainnya."
Putri Aruna dan Putri Anila melangkah maju. Putri Aruna menggeretakkan giginya saat berkata keras.
"Raden Soca, mengingat kau adalah putra Panglima Kelelawar yang aku hormati dan juga murid dari Kanjeng Ratu secara langsung, aku mengingatkanmu untuk yang terakhir kali. Patuhilah Rajamu!"
Raden Soca tetap menggeleng. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Melawan tiga orang ini akan sangat berat. Dia tidak akan bisa mengalahkan mereka semua. Apalagi dia tahu Panglima Amranutta mempunyai ilmu kepandaian yang mungkin sedikit lebih tinggi darinya. Raden Soca melirik keadaan Jaka Umbara. Pemuda itu semakin payah. Lukanya cukup parah.
"Kalau begitu terimalah hukumanmu!" Putri Aruna menerjang ke depan. Di susul Putri Anila. Keduanya memainkan jurus-jurus Badai Laut Selatan yang sama. Menyerang Raden Soca dengan ganas.
Raden Soca langsung memainkan jurus-jurus Pukulan Bayangan Matahari. Tubuhnya berubah menyilaukan karena diselimuti oleh cahaya berwarna keperakan yang menimbulkan hawa panas luar biasa. Putri Anila dan Putri Aruna menjaga jarak. Jangan sampai terlalu dekat dan terkena pukulan dahsyat Raden Soca yang bisa menghanguskan tubuh mereka.
Pertempuran hebat terjadi. Panglima Amranutta belum mau ikut campur. Bergabungnya Putri Anila dan Putri Aruna akan membuat Raden Soca kesulitan. Gabungan keduanya melipat gandakan kekuatan serangan.
Benar saja. Raden Soca terlihat kerepotan. Tubuhnya terus bergerak-gerak mundur. Pemuda itu terdesak dan harus terus menahan gempuran bertubi-tubi dari kedua wanita ganas itu. Meskipun terdesak, Raden Soca terus bertahan dengan hebat. Tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya. Dia akan mempertahankan prinsipnya hingga mati walau apapun yang terjadi.
Jaka Umbara yang masih sadarkan diri, merasa sangat tidak berguna. Seharusnya dia membantu pemuda yang membela hidupnya itu. Tapi dia tak berdaya. Dadanya sesak dan tulang-tulang di tubuhnya seperti meleleh. Pukulan Kabut Laut Selatan itu luar biasa.
Di arena pertempuran, Raden Soca terus bertahan. Pukulan Bayangan Matahari kini dipadukannya dengan jurus-jurus Kala Hitam. Bau amis merebak. Pukulan beracun yang memuakkan itu berhasil membuatnya bertahan lebih lama. Putri Aruna dan Putri Anila kembali harus menjaga jarak. Asap hitam yang mengepul dari tangan Raden Soca sangat berbahaya. Terhirup sedikit saja akan membuat mereka lemah tak berdaya. Apalagi jika terkena pukulannya, mereka tak akan selamat karena hawa racun itu disarikan dari Kalajengking Hitam yang hanya terdapat di perairan Pulau Kabut.
Pertempuran kembali seimbang meskipun Raden Soca tetap masih sedikit terdesak. Puluhan jurus berlalu tanpa ada tanda-tanda kapan Putri Anila dan Putri Aruna bisa menaklukkan Raden Soca.
Panglima Amranutta menjadi tidak sabar. Mereka masih punya urusan yang lebih besar daripada bertempur berlama-lama melawan putra Panglima Kelelawar yang pemberontak ini. Tubuh Panglima Amranutta menerjang ke depan. Membantu Putri Anila dan Putri Aruna mengeroyok Raden Soca yang kontan mundur-mundur dan mengelak kesana kemari. Tambahan serangan dari Panglima Amranutta membuatnya tak berdaya lagi untuk balas menyerang. Sepertinya tak lama lagi Raden Soca akan menerima satu dua pukulan lawan-lawannya.
Bukan hanya satu dua pukulan yang diterima Raden Soca. Secara hampir berbarengan ketiga penyerangnya mampu mendaratkan pukulan masing-masing ke tubuh Raden Soca. Pukulan tangan Putri Anila berhasil mengenai bahu, kibasan pukulan Badai Laut Selatan mendarat di dada, dan dorongan Panglima Amranutta telak bersarang di perutnya.
Raden Soca terlontar seperti layang-layang putus. Darah berhamburan dari mulut, hidung dan telinganya di tanah tempatnya terjengkang bergulingan. Raden Soca bahkan terluka lebih parah dibanding Jaka Umbara. Nafasnya tersengal-sengal dan terputus-putus. Keadaan pemuda itu jauh lebih gawat daripada Jaka Umbara.
Panglima Amranutta memberi isyarat kepada Putri Anila dan Putri Aruna untuk menghentikan serangan dan pergi dari tempat itu. Putra Mahkota Lawa Agung yang membelot itu sedang sekarat dan tidak selamat. Sebaiknya mereka pergi mengejar tugas utama yang terhambat gara-gara bertempur dengan Jaka Umbara dan Raden Soca.
Suasana hening menyelimuti arena pertempuran yang telah ditinggal oleh rombongan Lawa Agung. Hanya tertinggal Raden Soca yang tergeletak dalam keadaan sekarat dan Jaka Umbara yang tersandar tak berdaya di batang pohon. Kedua pemuda tangguh ini tinggal menunggu waktu hingga ajal menjemput.
Sesosok bayangan hadir tanpa sedikitpun ada kesiur angin. Menandakan yang datang adalah seorang sakti. Ki Ageng Waskita menggeleng-gelengkan kepala. Dihampirnya Raden Soca terlebih dahulu karena pemuda itu nafasnya tinggal satu-satu. Ki Ageng Waskita menempelkan kedua telapak tangannya di dada Raden Soca. Pemuda itu sekali lagi memuntahkan darah lalu pingsan tak sadarkan diri.
Untuk beberapa saat Ki Ageng Waskita berusaha menyalurkan hawa murni ke tubuh pemuda yang sekarat itu. Perlahan-lahan nafas Raden Soca membaik meski sama sekali belum pulih. Pemuda itu masih pingsan. Ki Ageng Waskita menghela nafas. Luka pemuda ini luar biasa parah. Dia tidak bisa mengobatinya di sini. Dan dia tidak boleh terlambat.
Dengan sangat ringan Ki Ageng Waskita mengangkat tubuh Raden Soca dan memanggulnya di bahu kanan. Orang tua sakti itu menghampiri Jaka Umbara dan memeriksanya sebentar. Pemuda yang satu ini juga terluka parah. Namun tidak separah pemuda tadi.
Ki Ageng Waskita menyambar tubuh Jaka Umbara dan meletakkannya di bahu kiri. Setelah itu tubuh tuanya bergerak luar biasa cepat dan lenyap dari tempat pertempuran yang langsung dikuasai oleh hening dan kesunyian.
Sebentar saja Ki Ageng Waskita telah tiba di tempat pertapaannya. Meletakkan kedua pemuda yang tak berdaya itu di mulut gua. Memeriksanya sekali lagi. Ki Ageng Waskita menggelengkan kepala kembali. Pemuda ini terlalu parah lukanya. Dia tidak bisa sekedar membantu dengan hawa murni, namun dia harus memindahkan hawa murni dari dalam tubuhnya agar menetap di dalam tubuh Raden Soca sehingga pemuda itu bisa bertahan hidup.
Sedangkan Jaka Umbara cukup dengan membantunya sebentar dengan menyalurkan hawa murni. Ki Ageng Waskita tidak perlu memindahkannya.
Ki Ageng Waskita memulai pengobatannya dengan menyalurkan hawa murni ke tubuh Jaka Umbara. Setelah yakin Jaka Umbara bisa pulih dengan sendirinya karena dilihatnya pemuda ini punya kepandaian tinggi dan tenaga yang cukup untuk bersamadi, Ki Ageng Waskita meninggalkan Jaka Umbara dan membiarkankanya duduk bersila melakukan pemulihan diri.
Ki Ageng Waskita mendudukkan Raden Soca yang kembali sekarat dan bersila di belakangnya. Orang tua sakti ini mengerahkan hawa murni miliknya dan perlahan-lahan memasukkannya ke tubuh Raden Soca melalui punggung yang sudah sangat dingin seperti mayat.
---*********