Chereads / Trilogi Langgam Amerta Agni-Kumara Akasa & Apsari Bhumi / Chapter 31 - Bab 31-Mengungkap Raden Soca

Chapter 31 - Bab 31-Mengungkap Raden Soca

Seorang yang pikirannya menggelap karena malam

masih lebih baik daripada yang menelan malam karena menyukai gelap

seperti Rahwana yang jatuh cinta

tapi tidak kepada takdirnya

Melihat Arya Dahana sudah tidak bertempur lagi, Raden Soca menggerakkan tubuhnya berkelebat menghadapi pendekar itu. Bersiap menantang salah satu dari pembunuh ayahnya.

Raden Soca tidak mau menyerang terlebih dahulu sebelum menyampaikan hal-hal yang menjadi alasan kenapa dia sampai menantang Arya Dahana bertarung.

"Aku Raden Soca. Putra dari Ayahanda Panglima Kelelawar. Dengan ini menantang pendekar Arya Dahana untuk bertarung satu lawan satu sampai mati!"

Arya Dahana tersentak kaget. Begitu pula Arawinda. Rupanya Panglima Kelelawar memiliki seorang putra.

Meskipun hidup di istana yang bergelimang kemewahan semenjak kecil, namun Raden Soca bukan anak yang suka bermewah-mewah. Dia lebih suka bergaul dengan para nelayan di daratan Jawa dibanding tidur dan makan enak di Pulau Kabut. Karena itulah dia jarang sekali terlihat di Istana Lawa Agung. Raden Soca banyak menghabiskan waktunya di pesisir selatan Jawa bersama para nelayan untuk belajar banyak tentang kehidupan.

Dia menolak diajari sihir oleh guru-gurunya. Padahal semua orang tahu Sihir Laut Selatan adalah satu dari sedikit sihir yang sulit ditandingi. Pemuda itu semenjak kecil memang mempunyai sifat yang keras dan kukuh terhadap pendiriannya.

Ada hal-hal yang membuat Raden Soca tidak pernah betah berada di istana. Ambisi perang luar biasa dari Lawa Agung, kekejaman para pembantu ayahnya, dan kehidupan yang tidak jauh dari kekerasan, membuatnya muak dan enggan bertempat di Pulau Kabut. Dia lebih menyukai menangkap ikan, membetulkan jaring, memanen kelapa, bersama anak-anak nelayan yang hidup serba kekurangan di kampung pesisir.

Panglima Kelelawar tidak mencegahnya tinggal di pesisir. Raja Lawa Agung ini terlalu sibuk dengan rencana besarnya menaklukkan Galuh Pakuan sehingga tidak sempat mendidik langsung putra satu-satunya itu. Panglima Kelelawar hanya menempatkan para penjaga di sekeliling kampung yang menyamar sebagai nelayan untuk menjaga keselamatan Raden Soca. Selain itu membuat perjanjian dengan Raden Soca yang waktu itu masih berusia lima tahun bahwa setiap bulannya dia harus berada di Pulau Kabut selama satu minggu agar dia bisa mengajari anaknya ilmu kesaktian dan mewariskan semua kepandaiannya.

Raden Soca punya bakat luar biasa. Bahkan pernah suatu kali Ratu laut Selatan yang pergi berkunjung ke Pulau Kabut melihat bakatnya itu tertarik untuk mengangkatnya sebagai murid langsung. Tentu saja Panglima Kelelawar tidak bisa menolak. Begitulah selama bertahun-tahun Raden Soca memiliki dua orang guru hebat luar biasa.

Kehidupan di kampung nelayan semenjak masih kecil membuat Raden Soca sangat berbeda sifat dengan ayahnya. Dia tidak memiliki ambisi yang besar seperti ayahnya dan tidak tertarik sama sekali dengan urusan kerajaan. Bahkan pernah menyampaikan kepada ayahnya bahwa dirinya tidak tertarik untuk mewarisi tahta kerajaan dan meminta ayahnya untuk membebaskannya dari kewajiban menjadi seorang raja.

Saat keruntuhan Lawa Agung karena kalah perang di Benteng Pancalikan dan ayahnya tewas dalam peperangan tersebut, Raden Soca juga enggan kembali ke Pulau Kabut. Dia memilih tinggal di istana gaib Ratu Laut Selatan dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Tujuannya satu, membalas dendam kematian ayahnya karena itu merupakan harga dirinya sebagai anak laki-laki.

Karena itulah Raden Soca tidak mengetahui sama sekali ketika Lawa Agung dan Pulau Kabut diambil alih oleh para pembantu ayahnya yang masih hidup. Lawa Agung kemudian dipimpin oleh Panglima Amranutta yang dibantu oleh Putri Anila dan Putri Aruna. Kerajaan kecil namun tangguh itu membangun kembali kekuatannya.

Raden Soca suatu waktu kembali ke Pulau Kabut dan bertanya tentang kematian ayahnya kepada Panglima Amranutta. Saat itulah Raden Soca dicekoki pengetahuan bahwa Panglima Kelelawar tewas terbunuh oleh pengeroyokan tokoh-tokoh Majapahit dan Galuh Pakuan. Raja Lawa Agung itu dibunuh secara keji oleh Dewi Mulia Ratri yang dibantu Arya Dahana, Bimala Calya, Ayu Wulan dan tokoh-tokoh dari Kerajaan Majapahit dan Galuh Pakuan.

Raden Soca yang sebetulnya mempunyai dasar watak yang bersih dan jujur meskipun keras kepala, terbakar dendam membara. Meskipun tidak dekat dengan ayahnya sedari kecil namun ikatan darah membuat dirinya bersumpah akan membalaskan dendam ayahnya terhadap orang-orang yang telah dengan keji membunuhnya. Pemuda itu tumbuh dan besar menjadi seorang berwatak keras yang dipenuhi rasa dendam. Tapi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari tetaplah Raden Soca yang baik hati, ringan tangan dan tertawa-tawa bahagia bersama para nelayan pesisir selatan yang mengasuhnya semenjak kecil. Dendamnya hanya kepada orang-orang yang telah dicatat namanya baik-baik dalam hati terdalam.

Saat bertemu dengan Ayu Kinasih dan mengetahui bahwa gadis itu adalah putri dari Bimala Calya, salah satu musuh besar yang tercatat dalam hatinya, Raden Soca sebetulnya tidak bermaksud membunuh atau melukai gadis itu. Dia hanya ingin Bimala Calya turun mencarinya karena telah mengancam keselamatan putrinya. Dia sama sekali tidak menaruh dendam kepada keturunan orang-orang yang telah membunuh ayahnya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang perbuatan ayah atau ibunya. Waktu itu Raden Soca melemparkan ancaman untuk menggertak agar Ayu Kinasih melapor kepada ibunya.

Sesaat setelah pergi dari pertarungan melawan Ario Langit, Raden Soca dihadang oleh Gadis Penebar Maut. Gadis bertutup muka itu memperkenalkan dirinya sebagai Dewi Lastri dan mengajaknya untuk bergabung bersamanya membalas dendam dan membunuh semua keturunan Arya Dahana dan teman-teman dekatnya. Raden Soca yang sudah mengetahui betapa kejamnya perempuan ini yang telah membunuhi orang-orang secara keji, menolak dengan tegas.

"Aku tidak punya urusan denganmu Dewi Lastri. Dendamku adalah urusanku sendiri sebagai laki-laki. Aku punya prinsip tidak membawa dendam ini kepada anak-anak dari musuhku. Aku hanya akan menghabisi mereka yang telah menewaskan ayahku. Satu persatu dan satu lawan satu."

Saat itu Dewi Lastri hanya melihat Raden Soca pergi dengan perasaan masgul. Jika sesuai dengan wataknya, biasanya dia akan membunuh orang yang berani menentang dirinya. Tapi tidak dilakukannya karena pemuda ini tidak jauh berbeda tujuan hidupnya dengan dirinya.

Raden Soca menggerung marah karena Arya Dahana hanya menatapnya dengan tenang dan sama sekali tidak bereaksi apa-apa atas tantangannya. Gerungan marah itu disusul tubuhnya yang berkelebat menyerang hebat Arya Dahana yang masih berdiri dengan tenang. Serangan Raden Soca tidak main-main. Pemuda ini mengerahkan seluruh kemampuan pukulan Bayangan Matahari yang dikuasainya untuk beradu nyawa dengan orang yang telah membunuh ayahnya ini.

Arya Dahana terkejut melihat pemuda ini memiliki pukulan Bayangan Matahari yang nyaris sempurna. Apalagi hawa sakti pemuda ini juga luar biasa. Gerakannya mirip seseorang yang pernah dihadapinya di masa lampau. Pendekar sakti ini tidak mau beradu pukulan karena dilihatnya pemuda ini memang bertekad mengadu nyawa. Arya Dahana melompat tinggi ke belakang dan berkata.

"Tunggu dulu anak muda! Aku tidak pernah punya urusan denganmu ataupun berbuat keji membunuh ayahmu seperti yang kau tuduhkan. Kenapa kau begitu nekat hendak beradu nyawa denganku?"

Raden Soca berdiri gagah dan siap menyerang habis-habisan. Pemuda itu menjawab pertanyaan Arya Dahana dengan tegas.

"Andika adalah Arya Dahana. Salah satu dari sekian banyak orang yang telah menewaskan ayah saya secara keji dengan melakukan pengeroyokan dan bukan satu lawan satu. Saya, Raden Soca akan menuntut balas dengan jantan. Satu lawan satu. Dan itu dimulai dengan Andika hari ini."

Raden Soca bersiap maju namun sebuah bayangan berkelebat datang dan menghadang. Wajah cantik di depannya tersenyum mengejek.

"Kalau kau memiliki dendam terhadap ayahku, maka hadapilah anaknya terlebih dahulu!"

---