Chereads / AIMILIOS by Project Mentari / Chapter 2 - Takdir Yang Suka Bercanda

Chapter 2 - Takdir Yang Suka Bercanda

Udara yang sejuk, bunyi burung yang riang, sepoi angin yang menggelitik disekitar ujung hidung membuat Genta tersadar dari tidurnya. Genta yang masih bingung mencoba keluar dari tempat yang ia pikir sebuah kandang sapi dan kambing milik orang lain, akan sangat berbahaya jika seseorang tau dirinya ada didalam kandang itu. Bisa saja dia dituduh menjadi pencuri dan menjadi bulan bulanan warga hingga dibawa kekantor polisi, membayangkannya saja Genta sudah tidak sanggup. Pikirannya belum dapat memproses apa yang terjadi pada dirinya, Genta yang polos berusaha mengingat kejadian terakhir kali yang ia lakukan. Makian tetangga meminta bayaran hutang hingga seorang ibu yang berkeluh kesah pada putra sulungnya membuat air mata membasahi pipinya. Rasa bersalah dan bingung membuat batinnya terus bergejolak, dunia seakan hancur karena ulahnya sendiri. Dirinya tentu menyesali perbuatannya saat itu, bagaimana bisa dirinya kalah dengan ego yang menuntun dia mengakhiri hidupnya. Genta memang bukan anak yang cengeng, namun kekecewaan pada dirinya lah yang membuat dirinya merasa bersalah pada ibu dan adiknya. Akan jadi apa mereka sekarang tanpa Genta, ibunya yang renta kini harus mengurus adiknya tanpa bantuan Genta.

"Gini banget sih hidup gue?" gerutunya sambil mengusap air matanya.

"Ini dimana sih?" gerutunya lagi sambil matanya menjelajahi tempat yang sangat tidak mungkin dihuni oleh orang biasa. Namun kehidupan sepertinya tidak sedang berjalan, dunia nampak sepi tanpa hiruk pikuk pekerja lalu lalang dijam kerja.

"Berarti kalo masuk ke lantai berapa itu udah beda jalan kah?" pikirnya penuh tanda tanya.

Ah, semuanya terasa semakin pusing. Genta yang terlalu lelah masih mencoba berteduh dibalik pohon besar dengan daun yang sangat rimbun dan membuatnya seakan melihat kejadian beberapa jam yang lalu.

"Siapa itu bu?" tanya Genta sembari membenarkan kerah bajunya.

"Bu Pri, mau minta uang kontrakan" jawab Ibu Genta yang berlalu meninggalkan Genta dan kembali melakukan pekerjaan rumah.

"Sabar ya bu, nanti kalo Genta udah dapat kerja. Genta bayar semua, bila perlu Genta beli rumah ini" kata Genta yang kini duduk menyebelahi ibunya yang sedang menyetrika.

"Iya, ibu doain anak-anak ibu sukses semua. Biar bisa ngangkat derajat orang tua" jawab Ibu Genta sambil terus menyetrika pakaian yang telah selesai ia cuci kemarin.

"Semua gara-gara Anggi ya bu, Mas Genta sama ibu harus jual rumah dan angkot bapak buat berobat Anggi" kata Anggi keluar dari kamar dan menghampiri ibu serta kakaknya.

"Anggi, semuanya udah takdir dan nggak perlu nyalahin diri sendiri. Yang penting kamu sembuh dan bisa sekolah, yaudah aku berangkat ya bu" ucap Genta sambil menenteng tas dan pergi meninggalkan rumah. Genta pergi meninggalkan rumah dengan semangat yang membara, berharap segera mendapatkan pekerjaan dan membuat ibu serta adiknya bangkit dari keterpurukan serba kekurangan. Namun, manusia hanya bisa bercita-cita dan Tuhan lah yang berkehendak. Genta yang kelelahan hanya bisa terduduk lemas dihalte bis sembari menatap layar LCD besar yang menunjukkan sebuah iklan minuman bersuplemen dengan model iklan yang dirinya kenal betul.

"Beruntung banget, lu. Nan, padahal sekolah juga nggak niat. Beruntung banget sih lu" keluh Genta melihat sahabat kecilnya yang kini sudah menjadi pemain bola terkenal. Bahkan namanya terkenal saat membawa Indonesia pada kemenangan telak pada ajang kejuaraan sepak bola dunia. Bukan dirinya tak ingin menghubungi temannya, bukan juga Kinan tak mengenal dirinya. Genta hanya merasa malu merasa tak percaya diri dengan nasibnya saat ini. Rasa cemburu dan iri hati menggelayuti hatinya, tubuhnya terasa panas dan dirinya seakan menyalahkan Tuhan atas takdir yang ia jalani saat ini. Dirinya tentu menjadi anak yang cukup popular disekolah karena kejeniusannya dalam hal sains dan ilmu komputer. Dirinya bahkan satu-satunya anak yang jago mengotak-atik computer disekolahnya, semua itu ia lakukan karena rasa penasarannya. Namun, takdir memang suka bercanda.

Dalam hitungan detik, pemandangan masa lalu Genta seperti dirangkum dan disimpan ulang dalam memorinya. Dirinya kembali pada dunia yang saat ini ia lalui, Genta yang mulai terisi lagi tenaganya membuat dirinya memutuskan mencari tahu tentang apa yang saat ini ia lalui. Diputarinya lagi tempat yang sangat aneh bagi Genta, dirinya melihat semua bangungan rumah terlihat sama. Belum selesai dirinya heran dengan apa yang ia lihat, kini dirinya seakan diseret ke sebuah tempat yang gelap namun penuh dengan cahaya kuning disekeliling langkah menuju sumber cahaya yang sangat terang diujung sana. Dirinya semakin berpikir bahwa seperti ini lah akhirat, Genta yang berpikir dirinya tidak jadi mati malah dihadapkan dengan sebuah pemandangan yang ia pikir akhirat. Dirinya kembali teringat cerita orang-orang tentang gambaran akhirat yang sama persis dengan apa yang dilihatnya saat itu, langkah demi langkah ia susuri jalan menuju sumber cahaya dengan pikiran penuh kewaspadaan. Betapa terkejutnya dirinya saat melihat seorang wanita berambut panjang berkepang dua berbaring diatas ranjang kayu tanpa alas dengan seorang perempuan berambut pirang sebahu yang sibuk menutup sebuah bingkai kaca besar dengan kain hitam polos. Wanita yang awalnya berbaring kini bangun dan duduk menghadap Genta dengan sedikit tersenyum.

"Kamu pasti Genta" kata wanita yang sedari tadi mengamati Genta.

"Kalian siapa?" tanya Genta bingung.

"Duduklah dulu, akan kami jelaskan" kata wanita yang tadi menutup kaca dan mempersilahkan Genta duduk didepannya.

"Aku Bhatari dan dia Ajeng, kami yang membawamu kemari" jelas Bhatari memperkenalkan dirinya dan sahabatnya.

"Bagaimana bisa? Memangnya kalian?".

"Kami butuh bantuan mu, Genta. Hanya kamu yang bisa memperbaiki negeri kami, aku dan Bhatari sudah menunggu mu selama bertahun-tahun sejak dirimu dilahirkan" jelas wanita bernama Ajeng.

"Maksud kalian apa?" tanya Genta yang masih belum mengerti hal sebenarnya.

Genta yang duduk kini terlelap dan memasuki dunia pada awal terjadinya pandemic yang menghabiskan puluhan hingga ribuan juta jiwa perharinya. Pemandangan yang memperlihatkan setiap orang bahkan keluarga yang harus kehilangan orang yang dicintainya dalam maraknya virus yang bermutasi dari udara itu.