*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
Sedangkan Nafis sendiri, tengah menunggu suaminya pulang, bagaimana pun, ada perasaan cemas dan khawatir ketika melihat suaminya belum pulang, padahal jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, apa suaminya menginap di rumah Andini? Tidak, Ghifari bukan laki-laki seperti itu, meski ia sendiri ragu dengan pernyataannya, tapi sejauh ini, Ghifari merupakan laki-laki yang pandai menjaga diri.
Nafis duduk termenung di ruang keluarga, memandang kosong ke arah bingkai yang menampilkan gambar seorang laki-laki, tatapan yang hangat dan senyuman yang tulus, sangat berbeda dengan kenyataan jika ia menatap Nafis, Ghifari Ghifari. Anak dari saudara angkat ayahnya yang kini berstatus menjadi suaminya, tidak ada proses pengenalan, karena ia dan Ghifari sendiri sudah saling kenal sejak dulu, akan tetapi, tetap saja. Selama apapun ia mengenal seorang Ghifari, selama itu pula tatapan nya semakin dingin.
Ceklek!
Nafis seketika langsung menegakkan tubuhnya ketika mendengar pintu rumah terbuka dari luar. Di sana, berdiri tegak seorang laki-laki yang terlihat kaget melihatnya.
"Dari mana, Mas?"
"Bukan urusan lu."
Nafis langsung terdiam, jawaban sarkas itu cukup menyentil hatinya, dan menyadarkan ia bahwasanya, kehadiran dirinya disini hanya sebagai istri di atas kertas. Sadar lah, Nafis! Batinnya.
Ghifari yang tidak mendengar suara dari gadis di hadapannya, menatap Nafis dengan pandangan penuh tanya, ada apa dengan gadis ini? Tiba-tiba langsung terdiam, padahal yang ia ucapkan adalah suatu kebenaran, masing-masing dari mereka, sama sekali tidak berhak mencampuri urusan salah satu dari mereka, dalam artian, Ghifari ingin menyadarkan posisi Nafis di pernikahan ini sebagai apa.
"O-oke, Mas," ucap Nafis tergagap. Lalu meninggalkan Ghifari yang masih termenung menatap kepergiannya, ia menuju kamar untuk beristirahat, sudah cukup untuk hari ini, ia harus menyiapkan hati dan sabarnya untuk esok dan seterusnya.
Ghifari yang melihat Nafis menuju kamarnya, hanya bisa berpikir, rumah ini memiliki dua kamar, akan tetapi satu kamar itu beralih fungsi menjadi gudang, berarti malam ini dan seterusnya, ia akan tidur seranjang dengan Nafis? Ghifari menyusul Nafis masuk ke kamar, sampai di kamar, Ghifari tertegun melihat Nafis yang tengah meringkuk di sofa kamar, dengan posisi tidur yang ia yakini besok pagi membuat badan pegal.
Tapi Ghifari tidak ambil pusing, baginya, sangat bagus jika Nafis menyadari posisi ia bagi Ghifari, meski tidak bisa ditampik, hati Ghifari cukup tersentil melihat itu. Ia langsung masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan diri sebelum tidur menjelajahi mimpi.
Nafis yang mendengar gemercik air pun, akhirnya buka mata, ia hampir tertidur tadi, ketika mendengar pintu kamar terbuka ia sudah bangun, tapi tetap menutup mata, ia takut Ghifari akan mengamuk dan mengusirnya dari kamar ini.
Ah, posisi tidur begini sangat tidak nyaman, ia yakin besok badannya akan pegal semua, tapi ia harus membiasakan tidur di sofa seperti ini, kecuali ketika suaminya ada jadwal penerbangan, mungkin ia bisa mencuri-curi waktu untuk menikmati kasur besar itu. Niswah kembali menutup mata, sambil tersenyum-senyum sendiri, membuat Ghifari yang sudah keluar dari dalam kamar mandi menatap heran gadis itu, apa Nafis sedang bermimpi indah? Sampai harus tersenyum dalam tidur, langsung saja ia menghampiri Nafis.
"Dasar aneh!" ucap Ghifari dengan suara pelan, ketika melihat mata Nafis tertutup.
Nafis sendiri sudah merasa ketakutan dan juga gemetar, ia akan sangat malu jika Ghifari tau alasan ia tersenyum sendiri seperti ini, bisa ngamuk Ghifari dengar rencana terselubungnya.
"Gue tau, lu belum tidur, Nafis!"
Nafisa langsung gelagapan, detak jantungnya langsung berpacu cepat. Dari mana Ghifari bisa tau, ia belum tidur? Padahal ia sudah seperti patung, diam saja. Terlanjur ketauan, Nafis pun akhirnya bangun dan menatap Ghifari dengan wajah memerah. Demi tuhan, ia sangat malu sekarang.
Ghifari yang melihat itu, hanya terkekeh pelan, bahkan Nafis tidak dapat mendengar nya, gadis ini sangat aneh, apa begitu canggungnya ia sampai harus pura-pura tidur? Padahal ia biasa saja.
"Ma-maaf, Nafis pikir Mas tidak tau," ucap Nafisah dengan suara yang gugup.
"Sejak kapan? Orang tidur tubuhnya kaku? Setau gue, yang namanya tidur, atau pingsan itu tubuhnya lemas, bukan kaku, dan tegang." Wajah geli tidak dapat lagi Ghifari tahan, melihat tingkah Nafisah, membuat ia lupa bahwa gadis di hadapannya ini sudah berumur 23 tahun.
"Ya ... Ya, tadi tuh... Em...."
"Emm apa?"
"Is, tadi tuh memang udah tidur, tapi karna dengar Mas datang, jadi bangun."
"Terus, kenapa masih tutup mata?"
"Ya, gimana gak tutup mata? Situ datang udah seperti penjahat, Seram," batin Nafis.
Ghifari yang melihat Nafis terdiam, langsung beranjak menuju kasurnya, ia sudah sangat mengantuk dan sangat lelah, seharian harus berpura-pura senyum dan bahagia di depan keluarga. Ah, membayangkan bahwa ia sudah memiliki tanggung jawab yang besar, rasanya Ghifari ingin mengulur waktu saja. Banyak perandaian yang ada di otak Adit saat ini, andai saat itu ia tetao menolak dengan keras, dan juga andai saja ia lebih berusaha agar mendapat restu dengan Andini, mungkin ia tidak akan bernasib seperti ini.
Bagai makan buah simalakama, ia menerima Nafisah, yang ada ia berdosa, karena tentu dihatinya sudah ada Andini seorang, namun jika ia menolak Nafisah, maka lebih berdosa, karena setelah ijab qobul tadi, siap tidak siap, ia telah berjanji dihadapan Tuhan. Dan sudah seharusnya ia menjalankan kewajibannya sebagai suami. Tapi apa bisa? Ia bahkan sangat tidak menginginkan semua ini.
Nafisah menatap sendu laki-laki yang sudah berbaring di ranjang dengan posisi hadap kanan, yang artinya membelakangi posisinya saat ini, rasa sesak itu tiba-tiba hadir, bersama dengan mata yang semakin lama semakin mengembun, ia sangat sakit melihat pernikahannya yang seperti ini, pernikahan yang jauh dari kata impian.
Mata Nafis semakin berat untuk terbuka, sampai akhirnya ia juga terlelap dengan posisi mengahadap ke arah Ghifari.
"Good night, Mas Ghifari."
-----------------
Sepasang mata dengan bulu yang lentik sudah terbuka dengan sepenuhnya, dia adalah Nafisah, menatap sekeliling ruangan yang terlihat sangat asing, wangi maskulin juga lebih dominan dari ruangan ini, hingga tatapan matanya terfokus pada satu titik, sosok yang tengah bergelung di bawah selimut tebal, ia sedikit terkejut, hingga ia sadar, saat ini tengah berada di sebuah kamar laki-laki yang sudah menjadi suaminya, Ghifari Ghifari.
Ia langsung bangun, dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, dimulai dengan membuat sarapan, Nafisah mencepol rambut panjangnya, lalu segera menuju dapur yang berada di sebelah ruang tengah, ia membuka kulkas, dan melihat hanya ada telur, sayuran sawi dan juga sosis di dalamnya, sepertinya memasak nasi goreng tidak lah buruk, untung saja masih ada sekantung beras di sudut lemari sembako, mungkin nanti ia akan mengajak Ghifari untuk berbelanja bahan dan bumbu dapur. Kalau Ghifari mau.
Nafisah mulai meracik bumbu dengan semangat, hingga 20 menit kemudian ia telah selesai dengan segala urusan dapur, langsung saja ia menuju kamar Ghifari, guna membangunkan suaminya tersebut.
Sesampainya Nafis di kamar, Ghifari sudah tidak ada di atas ranjang, dan terdengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi, segera ia menyiapkan pakaian suaminya, dipakai atau tidak, itu adalah hak Ghifari, dan ia jangan menjalankan kewajibannya.
Ghifari yang melihat kamar telah rapi, dan juga di atas ranjang terletak pakaiannya lengkap, langsung tertegun, ia tau ini ulah siapa, tapi untuk saat ini biarkan ia memilih diam, jika Nafisah sudah terlihat melampaui batas, maka ia pastikan gadis itu bahkan tidak akan pernah bisa memasuki kamarnya ini.
Langsung saja Ghifari berlalu menuju meja makan, disana sudah ada nasi goreng sosis lengkap dengan telur dadarnya, tapi ia tidak melihat gadis yang menjadi istrinya tersebut, dimana ia sekarang?
"Nafis!" teriaknya
Nafis yang mendengar teriakan itu langsung lari tergopoh-gopoh dari arah belakang rumah, ia baru saja membuat tiang jemuran untuk menjemur pakaian yang telah ia cuci di mesin cuci.
"Ada apa, Mas?"
"Dari mana lu?"
"Dari dapur, Mas, buat jemuran."
Ghifari mengernyit heran, buat jemuran? Jemuran seperti apa yang dibuat gadis ini?
Selanjutnya laki-laki tersebut hanya mengangguk, dan duduk di meja makan, melihat itu Nafis langsung mengambil piring dan mengisi nya dengan nasi goreng yang telah ia buat tadi. Ghifari tidak protes akan hal itu, baginya malah ini menyenangkan, ia seperti raja, dan Nafis seperti babunya.
Ghifari langsung menyantap sarapannya, hingga ia terlupa akan Nafis yang memandangnya dengan nanar, Ghifari bahkan tidak menyuruhny bergabung di meja, makan bersama. Hal sepele memang, tapi bagi Nafis yang berstatus seorang istri ini sangat melukai hatinya.
"Lu ngapain masih di sini? Gak mau benerin jemuran?"
Nafis langsung berlalu dari hadapan laki-laki yang tak berperasaan tersebut, ia sedikit mengusap air mata menggunakan tangan mungilnya, ia yakin suatu saat balasan dari ketabahannya saat ini akan indah, ia yakin itu.
Tak lama setelahnya, bunyi deru mobil yang keluar dari perkara gak rumah nya terdengar, menandakan bahwa Ghifari telah berangkat entah kemana, bahkan ia baru ingat, Ghifari tidak memakai baju yang telah ia pilih tadi.
Nafis hanya bisa tersenyum miris, angan dia terlalu jauh untuk menyentuh hati sang suami, padahal ia sadar, angan yang terlalu tinggi, ketika jatuh akan sangat menyakitkan. Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Nafis.
Rio calling....
Langsung saja Nafis mengangkat panggilan dari sang adik, sudah lama ia tidak berhubungan dengan Rio adiknya.
"Halo, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, kak. Apa kabar?"
"Alhamdulillah, baik, kamu gimana?"
Rio terdiam cukup lama, membuat Nafis langsung khawatir mengingat sang adik sekarang tinggal sendiri di rumah lamanya.
"Halo, Dek. Kamu baik, kan?" tanya Nafis.
"Emm... Kak, anu itu ...." Nafis ketat ketir sendiri mendengar suara sang adik yang terdengar sangat berat, dan seolah sedang memiliki masalah yang sangat berat.
"Kenapa? Kamu baik-baik saja, kan? Jawab kakak, Rio!"
"Kak, Rio sudah tidak punya uang untuk makan, uang SPP Rio juga belum di bayar, maaf kak, Rio ngerepotin kakak." Terdengar Isak tangis Rio dengan suara yang bergetar pilu, Nafis yang mendengar itu tertegun.
"Astagfirullah, ya Allah, maafkan kakak, Rio. Maaf udah lalai jadi kakak kamu. Kamu di rumah kan? Kakak mau kesana."
"Rio di rumah, Kak. Kakak jangan merasa bersalah, ini bukan salah kakak."
"Yaudah, kakak ke sana yah, kamu mau di bawain apa?"
"Apa aja kak, kakak hati-hati di jalan yah, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," ucap Nafis dengan suara serak, permasalahan rumah tangganya membuat ia lupa, bahwa ia masih memiliki tanggung jawab kepada seorang adik, sampai adiknya kelaparan seperti ini, Ampuni Nafisah ya Allah.
Nafisah dengan terburu-buru menghampiri sang adik di rumah lamanya, peninggalan kedua orang tua Nafisah. Ia akan membeli makanan di warung depan gang rumahnya saja, karena tidak mungkin ia membawa nasi goreng yang sudah dingin.
35 menit kemudian, ia sampai di rumah masa kecilnya, terlihat sang adik yang tengah duduk melamun di teras rumah, pandangan sang adik terlihat kosong, membuat jiwa Nafis ikut merasakan kekosongan itu.
"Assalamualaikum." Langsung saja Nafis memeluk erat remaja 18 tahun yang terlihat terkejut dengan pelukan tiba-tiba nya. Nafis langsung menangis tersedu-sedu, seolah sedang mengadukan segala keluh kesa nya kepada sang adik.
"Waalaikumsalam, kak, jangan nangis. Rio Ndak suka," ucap Rio dengan suara pelan dan bergetar menahan tangis, ia juga sakit melihat sang kakak menangis sambil meminta maaf seperti ini, bukan kakak nya yang lalai, tapi memang situasi yang sedang menguji mereka berdua, ia tau, sang kakak memiliki polemik rumah tangga, karena sebelum kakaknya menikah, ia sudah tau, bahwa orang yang menjadi Abang iparnya menolak perjodohan itu karena telah memiliki kekasih.
"Maaf, maafin kakak, kamu tinggal sama kakak aja yah, dek. Kakak gak tenang kalau seperti ini."
"Rio pikiran dulu yah, Kak. Karena bagaimana pun kakak harus minta izin sama bang Adit, kan?"
Nafis mengangguk, setelah dari sini, ia akan meminta ijin suaminya memboyong sang adik, bagaimana pun ia sangat tidak tenang melihat sang adik tinggal sendiri di rumah nya.