*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
Di sepanjang jalan Nafisah terus memikirkan mengenai nasib Adnan dan ibunya. Memiliki seorang ayah yang tidak bertanggung jawab memaksa keadaan bocah malang itu untuk merasakan kerasnya kehidupan. Padahal setahu Nafisah, menurut cerita orang-orang, ayah Adnan merupakan seorang pengusaha kuliner yang memiliki restoran yang tersebar di daerah lain.
Tapi karena sang ayah bermain gila dengan wanita lain, alhasil kehidupan Adnan dengan dua adiknya ikut merasakan dampak dari perbuatan bejat sang ayah. hal inilah yang menjadi pertimbangan Nafisah untuk memiliki momongan dengan Ghifari, pasalnya sang suami belum tentu di masa depan akan menerima dirinya terlebih lagi jika memiliki keturunan yang dalam artian akan mengikat mereka berdua dengan hubungan yang.
Membayangkan kehidupan anaknya akan serupa dengan adnan yang harus merasakan kerasnya dunia dengan segala permasalahan yang sejatinya tidak pantas untuk dirasakan bocah berusia belasan tahun itu.
Memikirkan bagaimana kehidupannya untuk ke depan membuat Nafisah hanya bisa menghela nafasnya. Apakah setelah perpisahannya dengan Ghifari ia akan kembali merasakan hidup yang penuh dengan kekurangan dan Rio adiknya akan kembali merasakan bagaimana menahan lapar di kala semua temannya berlarian menuju kantin.
Nafisah telah sampai di komplek perumahannya. Sebuah rumah yang merupakan hadiah pernikahan dari kedua mertuanya, di mana rumah tersebut sudah beralih menjadi atas nama dirinya. Takut-takut jika sewaktu-waktu Ghifari berniat membuang dirinya ini. Astaga! Bahkan mertuanya bisa memprediksi ini semua.
"Assalamualaikum."
Kembali suasana sepi yang menyebut dirinya begitu pulang dari sekolah. Di rumah yang cukup luas ini ia hanya tinggal sendiri apabila Ghifari tengah bekerja.
"Ya tuhan, ini rumah serasa angker banget!" Ujar Nafisah yang merasa horor begitu menatap ke arah kamar Ghifari yang terkunci. Apa jangan-jangan suaminya itu menyimpan mayat di sana? Sehingga dirinya tidak diperbolehkan mendekat bahkan masuk.
Menepis semua pikiran konyolnya, Nafisah bersiap untuk memasak makan malamnya hari ini. Akh! Apa ia datang saja ke rumah sang adik untuk makan bersama? Sepertinya itu bukan rencana yang buruk.
Nafisah buru-buru membersihkan rumah dan mandi. Ia memilih memakai kulot, kaus lengan panjang dan juga jilbab bergo berwarna senada dengan kulot yang ia gunakan.
Menenteng dompet yang berisi ponsel dan lembaran uang miliknya. Nafisah berhenti di rumah makan Padang untuk membeli nasi Padang kesukaan Rio, adiknya.
Ayam pop dengan jeroan seperti hati dan ampela serta gulai nangka yang banyak. Mata Nafisah melihat kedai ayam geprek dan juga mie level, ia tertarik membeli itu karena sudah lama tidak memakannya.
"Pak, saya ke sana dulu yah. Mau beli ayam geprek."
"Siap, mba Nafisah. Aman itu mah," sahut karyawan rumah makan Padang yang sudah mengenal Nabila, karena dulunya selalu membeli nasi Padang di lokasi yang sama. Selain murah, rasanya juga tidak diragukan lagi.
"Bu, ayah geprek-Nya level 5 dua yah, tapi ayamnya aja."
"Oke mba."
Nafisah menatap ke jalanan yang dulu sering menjadi tempatnya mencari makan jika baru gajian, dan salah satu tempat yang selalu mereka tuju karena murah meriah muntah.
Nafisah sedikit terkekeh mengingat hal ini, padahal baru bulan kemarin dirinya melakukan itu, tapi rasanya sudah lama sekali. Akh! Ia jadi merindukan Rio.
"Ini, mbak."
Nafisah menerima bungkusan berisi ayam geprek itu lalu memberikan sejumlah uang pas dan kembali ke rumah makan Padang.
"Makasih yah, Pak. Permisi."
Nafisah melajukan motornya menuju rumah yang dihuni sang adik. Sepanjang jalan bibir Nafisah melengkung sempurna, ia merasa senang akan bertemu adik satu-satunya yang ia miliki.
Sesampainya di rumah yang dulunya menjadi tempatnya pulang, Nafisah mengernyitkan dahinya heran kala matanya menatap rumah yang seperti tidak berpenghuni.
"Rio, assalamualaikum dek. Rio." Teriak Nafisah memanggil sang adik namun sama sekali tidak ada jawaban. Bahkan pintu rumah terkunci. Tidak biasanya Rio di jam segini belum pulang ke rumah. Apa ada kerja kelompok?
Nafisah memutuskan menelpon sang adik untuk menanyakan keberadaan pemuda itu. Namun hingga deringan ke sekian kalinya sama sekali tidak ada jawaban. Hal ini tentu membuat Nafisah cemas dan kepikiran, ke mana perginya Rio dan kenapa belum kembali juga?
Nafisah berdiri dengan gelisah di teras rumah, dirinya menatap langit yang semakin menggelap, tapi adiknya sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya.
Hingga Nafisah bisa melihat sosok Rio yang berjalan sambil membawa baju sekolahnya dengan kaus dan celana yang sudah lusuh dan kotor.
"Rio," panggil Nafisah membuat remaja itu tersentak kaget.
"Kak Nafisah." Lirih Rio kaget. Ia tidak mengira jika kakak nya datang sore ini. Tau begitu ia akan pulang lebih awal tadi.
"Ada apa, Kak?"
"Ada apa? Malah kakak yang nanya, kamu dari mana?" Tanya Nafisah penuh selidik. Dirinya bisa melihat sisa oli yang berada di tangan Rio. Apa adiknya baru membantu orang lain?
"Emm.. a-anu kak. Itu Rio emmm..."
Nafisah semakin menajamkan matanya, ia mulai curiga adiknya sedang berbohong dan menutupi sesuatu sehingga tergagap seperti itu. Tapi apa?
"Kenapa? Kamu nyembunyikan apa dari kakak?"
Rio menggeleng pelan, ia ingin jujur tapi takut kakak nya akan marah. "Gak kak, Rio gak nyembunyikan apa pun."
"Terus kamu dari mana?"
Rio terlihat gugup dan mengalihkan perhatiannya dari tatapan mata sang kakak. Ia yakin kakaknya pasti bisa mengetahui jika dirinya berbohong.
"Emm Rio dari rumah temen, kerja kelompok." Jawab Rio berbohong, ia memohon ampun kepada Tuhan karena untuk pertama kalinya ia membohongi sang kakak yang sudah berjasa dalam hidupnya
"Sampai jam segini? Dan itu apa? Tangan kamu kotor kena oli?" Nafisah menarik tangan sang adik yang kotor karena noda oli, ia semakin curiga melihat plaster penutup luka di ujung jari Rio.
"Ini luka juga kenapa?"
Rio menarik tangannya dari genggaman Nafisah, membuat wanita itu tersentak kaget dan melihat adiknya dengan tanda tanya besar
"Ini gak papa, kak. Biasa luka kecil. Yaudah masuk yuk kak." Rio berusaha mengalihkan pembicaraan dan Nafisah menyadari itu.
"Rio, kamu udah bareng kakak sejak kecil, kakak yang ngurus kamu setelah ayah ibu gak ada. Kakak tau kamu lagi nutupin sesuatu dan bohong sama kakak, jadi kakak bakal nunggu kamu mau dan siap cerita. Jangan simpan sendiri kalau ada masalah yah?" Ucap Nafisah lembut, tidak ada nada menuntut dan memaksa di dalamnya. Membuat Rio yang tadinya berusaha menutupi kejujuran nya langsung menangis terisak karena merasa bersalah.
"Maaf kak, maafin Rio udah bohong sama kakak. Maaf." Rio menciumi tangan Nafisah sambil menangis. Nafisah sendiri tersenyum lembut mengetahui adiknya tetap seperti adiknya yang dulu, akan selalu menangis jika merasa bersalah
"Gak papa, ayo masuk dulu, kita cerita di dalam."
Rio mengangguk dan membuka pintu rumah. Dengan pelan Nafisah mengambil sapu untuk membersihkan lantai yang banyak pasir dan debu, nampak sekali yang menempatinya seorang laki-laki.
Rio meringis pelan melihat kakaknya yang menyapu bersih, maklum, dirinya tidak sehebat Nafisah dalam hal bersih membersihkan.
"Rumah jorok gini gak mau nyapu, memang kalau laki-laki taunya ngotorin Mulu." Omel Nafisah yang sudah menjadi ciri khas seorang wanita ketika membersihkan rumah dan tidak ada yang membantu sama sekali.
Setelah selesai dengan urusan bersih-bersih nya. Nafisah membuka nasi Padang yang ia pesan tadi dan meletakkannya di piring. Tak lupa dengan ayam geprek yang sepertinya sudah mulai dingin.
"Kak, mas Adit tau kakak ke sini?" Tanya Rio yang keluar dari kamarnya dalam kondisi lebih bersih dari tadi.
Nafisah mengangguk saja. Dirinya memang sudah memberitahu kan kepada Ghifari mengenai kunjungan nya ke rumah sang adik. Namun yang namanya Ghifari mana peduli mah ke mana pun Nafisah pergi, bahkan lelaki itu tidak perlu repot-repot membaca pesan yang ia kirimkan.
"Makan dulu, nanti siap makan baru cerita." Nafisah menyodorkan sepiring nasi Padang lengkap dengan ayam geprek yang tadi ia beli.
Rio hanya bisa pasrah dan bersiap membuat pengakuan nanti. Lebih baik dirinya menikmati seporsi nasi Padang sebelum menerima amarah dari kakak satu-satunya.
Keduanya makan dengan khidmat. Tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara dan hanya suara jangkrik yang mengiringi kegiatan mereka.
"Udah sholat magrib kan?"
Rio mengangguk. "Udah tadi. Kakak kok gak sholat?"
"Biasa, istimewa."
Rio mencibir pelan, suka heran dari kata istimewa yang selalu menjadi tameng kaum perempuan. Lagian apa istimewanya coba ? Sama doang.
***
Dua orang yang merupakan adik kakak itu tengah berhadapan satu sama lain. Si adik yang menunduk penuh rasa bersalahnya dan si kakak yang menatap adiknya dengan rasa kecewa.
"Kakak gak pernah minta kamu buat bekerja cari uang! Gak pernah! Kenapa kamu lakuin ini?" Tanya Nafisah lirih. Dirinya sangat terkejut mendengar pengakuan sang adik yang mengatakan jika adiknya bekerja di bengkel untuk membantu dirinya mencukupi keperluan nya sekolah. Hati Nafisah sakit begitu melihat adiknya sendiri banting tulang, sedangkan dirinya sibuk menyelamatkan masa depan anak orang lain.
"Kakak sakit banget denger kamu kerja begini, kamu gak percaya kakak bisa ngecukupi kebutuhan kamu? Kamu meragukan kakak?"
Rio menggeleng cepat, ia segera menghampiri kakaknya dan duduk berlutut di depan Nafisah yang tengah menangis. "Gak gitu kak. Rio yakin kakak bisa mencukupi kebutuhan Rio, cuma Rio gak tega liat kakak banting tulang, terima les sana sini."
"Tapi memang itu kerjaan kakak, Rio. Kakak menikmatinya, gak ada rasa susah ataupun capek." Sungut Nafisah yang tetap kekeh dengan pendirian nya bahwasanya Rio tidak perlu ikut mencari uang.
"Menikmati kakak bilang? Terus kenapa kalau tengah malam kakak meringis kesakitan? Kenapa badan kakak semakin kurus? Kenapa kakak nangis waktu lagi sholat malam dan ngomong kakak lelah? Rio tau kak, Rio tau semua. Bahkan Rio tahu berapa bang Ghifari ngasih kakak uang nafkah. " Sahut Rio yang menyadarkan Nafisah bahwa adiknya sudah mengetahui semua yang ia pendam selama ini, adiknya tahu ia sering merintih kesakitan saat harus pulang malam. Adiknya juga tahu bahwa Ghifari memberikannya uang nafkah yang bisa dikatakan ngepas. Dan yang jadi pertanyaan dari mana adiknya bisa tau semua ini?
"Rio tahu kak, Rio bekerja bukan semata-mata buat biayai hidup Rio sendiri. Tapi Rio mau kalau suatu saat mas Ghifari nyakitin kakak, Rio punya tabungan buat bawa kakak pergi jauh dari dia. Rio bakal memulai hidup baru bareng kakak."
"Dek..." Lirih Nafisah, namun langsung dipotong oleh Rio.
"Rio dari awal sudah tahu bagaimana mas Ghifari memperlakukan kakak. Janji sama Rio kak, kalau kakak udah gak sanggup lagi sama mas Ghifari cerita ke Rio. Kita akan pergi jauh dari kehidupan dia kak. Rio mohon." Rio terisak-isak di pangkuan Nafisah. Dengan nafas yang tidak beraturan, mata yang mirip dengan almarhum ayahnya itu berkilat marah.
"Rio bakal balas setiap rasa sakit yang kakak rasakan ke mas Ghifari. Jadi mohon maaf kak, Rio gak bisa berhenti bekerja, karena itu salah satu cara Rio untuk menjadi adik yang berguna buat kakak."
Nafisah tidak bisa lagi berkata-kata. Adiknya memiliki sifat keras kepala yang menurun dari ayahnya. Melihat bagaimana gigihnya Rio untuk membawanya pergi, menyadarkan Nafisah bahwa tempatnya pulang masih tetap sama, yaitu sang adik. Bukan kebanyakan seorang istri yang akan memilih suaminya sebagai tempat pulang paling nyaman.
"Makasih udah se-sayang ini sama kakak, untuk saat ini kakak masih bisa bertahan, tetap menjadi adik kakak tempat paling nyaman untuk pulang."
Rio memeluk sang kakak dengan erat, keputusan menyetujui pernikahan kakaknya dengan Ghifari adalah kesalahan terbesar yang pernah Rio lakukan.
"Maafin Rio yang udah nyerahin kakak ke tangan bajingan seperti mas Ghifari."
"hust, gak boleh ngomong gitu. Gimana pun dia Abang ipar kamu." Tegur Nafisah agar adiknya tetap menjaga kesopanan nya terhadap sang suami.
Rio memutar bola matanya malas. Jika tidak mengingat Ghifari merupakan seorang anak dari keluarga berada, mungkin sedari awal pernikahan sudah ia habisi itu lelaki bajingan yang mengikat kakaknya di dalam pernikahan yang membunuh.
Di tempat lain, Ghifari sendiri tengah kepikiran dengan Andini yang sama sekali tidak bisa dihubungi, padahal jika mengingat jadwal kekasihnya itu, Andini seharusnya sudah off sedari kemarin. Dan sesuai janji mereka akan bertemu di Malaysia, namun begitu Ghifari sampai di hotel tempat mereka janjian, sama sekali belum ada sang pujaan hati bahkan nomor nya pun tidak bisa dihubungi.
Sebenarnya ke mana Andini pergi? Kenapa tiba-tiba menghilang bagaikan ditelan bumi.
"ARGHHHHH SIAL! KEMANA SIH YANG? UDAH DUA HARI GAK BISA DIHUBUNGI." Teriak Ghifari marah dan merasa frustasi. Apa gunanya ia pergi ke Malaysia jika kekasihnya saja entah di mana?
Cling!
Ghifari menatap ponsel yang berada di tangannya. Dan melihat sederet kalimat yang membuat pikiran nya semakin kalut dan khawatir.
"Jadwal Andini kosong sedari tiga hari yang lalu, dia juga langsung pergi begitu landing."
Isi pesan yang dikirimkan oleh rekan Ghifari yang juga merupakan rekan satu maskapai Andini. Pikiran Ghifari semakin semrawut saja, terlebih ketika ia tidak sengaja membaca pesan yang dikirimkan oleh seseorang yang sama sekali tidak ia inginkan.
Gadis itu, akh bukan! Tapi wanita itu yang sudah ia icipi kegadisannya entah mengapa sangat rajin sekali mengirimkan nya pesan, entah itu pesan ijin ke sana, ijin ke sini. Atau pesan yang mengingatkan dirinya untuk makanlah. Hell! Dia bukan bocah berumur dua tahun yang belum bisa untuk makan sendiri sesuai jadwal. Nafisah memperlakukan nya seolah-olah dirinya adalah anak bayi yang belum bisa apa-apa kecuali menangis.
"Sial, inget dia malah bikin horny." Rutuk Ghifari membuang ponselnya ke arah lantai yang untungnya terlapisi oleh karpet berbulu tebal.
"Gara-gara pernikahan gila ini hubungan gue sama Andini jadi sering cekcok. Bangke memang. Lagian itu cewek mau banget dijodohin sama yang gak dicinta, atau jangan-jangan dia udah cinta gue duluan kali yah? Makanya langsung mau." Monolog Ghifari sendirian. Kamar yang ia pesan cukup luas untuk dirinya sendiri, sepertinya ia akan memutuskan untuk pulang lebih cepat dari yang ia agenda kan, percuma juga berada di Malaysia akan tetapi kekasihnya tidak ada.