*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
"Bajingan itu akan habis ditangan aku, baby... Jadi kamu jangan nangis lagi." Ujarnya tajam menatap Ghifari dengah aura permusuhan.
Arzan?
Seolah tersadar, Ghifari langsung melotot kaget! Ia menatap rio dengan intens dan menemukan perbedaan begitu nyata. Rio tidak memiliki tatapan setajam itu dan juga adik iparnya itu pribadi yang pendiam sama seperti Nafisah.
"Arzan... Aku gak papa."
"No baby! Kamu sakit, aku tahu itu. Bajingan itu udah nyakitin kamu, jadi dia harus ngerasain apa yang kamu rasain."
Nafisah menggeleng cepat, dirinya menatap sang adik dengan sendu, kepribadian adiknya yang lain muncul lagi, meski arzan tidak akan pernah menyakitinya. Namun kemunculan arzan akan selalu menjadi momok menakutkan bagi Nafisah, karena pada saat itu adiknya akan menjadi brutal dan siap menyakiti siapa aja yang menyakiti Nafisah.
Rio memang menderita alter ego, di mana ia memiliki kepribadian yang lain, yang mana kepribadian itu saling bertolak belakang, jika Rio pribadi yang hangat, maka arzan sendiri pribadi yang tertutup dan dingin sekalipun itu dengan Nafisah sendiri.
Banyak orang yang tidak mengetahui ini, bahkan kedua orang tuanya tidak mengetahui nya sampai keduanya wafat. Hanya Nafisah lah yang mengetahui sosok arzan yang berada di diri sang adik, karena beberapa kali muncul dan membantu dirinya dalam kesulitan.
"Dia baik, Arzan. Dia berubah."
"Dia berubah karena ada niat lain, kan?" Tanya arzan tajam. Nafisah hanya bisa menggeleng lalu mengelus kepala sang adik dengan pelan.
"Kendalikan emosi kamu, kakak yakin kamu bisa." Bisik Nafisah yang menbuat arzan menghela nafasnya pelan.
"Kamu gak suka aku datang yah? Kamu gak rindu aku?" Tanya arzan lirih. Dirinya menatap Nafisah dengan sendu meskipun tidak meninggalkan tatapan tajamnya.
Nafisah kembali menggeleng. "Aku rindu, rindu sekali. Tapi saat ini Rio mau sekolah, dia ada ulangan."
"Yaudah kalau gitu, aku yang akan gantikan Rio. Kamu tenang aja, Baby. Nilai Rio akan sempurna." Ujar arzan dengan senyuman misterius nya. Nafisah bergidik ngeri lalu tak lama mengangguk setuju, memang arzan ini memiliki kapasitas IQ di atas rata-rata dan itu tidak di ragukan lagi.
Arzan menatap Ghifari dengah dingin, bahkan tatapan itu jika bisa seperti pisau sudah habis tubuh Ghifari terkuliti.
Tak lama Arzan a.k.a Rio melajukan motornya meninggalkan kawasan sekolah tempat Nafisah mengajar. Beberapa orang yang tadinya sedang berkumpul juga sudah membubarkan diri meninggalkan Nafisah dan Ghifari yang saling tatap dalam diam.
Menghembuskan nafas pelan, Nafisah menghampiri suaminya yang terlihat masih syok dan bingung dengan keadaan yang baru saja terjadi.
"Mas Adit." Panggil Nafisah menyadarkan Ghifari dari keterpakuannya.
Sedikit linglung, Ghifari menatap Nafisah dengan penuh tanya. Mengerti suami nya yang kebingungan. Nafisah hanya tersenyum lembut sembari menatap mata Ghifari.
"Nanti Nafis jelasin yah, Mas. Udah mau masuk soalnya, Nafisah mau ngajar dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," sahut Ghifari dengan pelan. Di sepanjang jalan pulang, Ghifari terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dengan adik iparnya. Namun tidak menemukan titik terang tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Kenapa hidup wanita yang menjadi istrinya itu sangat misterius sekali? Seolah Nafisah memiliki dunia sendiri dengan permasalahan nya. Pusing memikirkan Rio dan Nafisah, Ghifari memilih mampir di sebuah warung nasi yang menjual berbagai gorengan, sepertinya khusus hari ini ia akan melupakan program jaga body nya.
Mungkin jika Andini tahu, wanita itu akan ngamuk dan memarahinya seharian penuh, pasalnya yang memaksa agar Ghifari jaga body adalah andini. Wanita yang bersikeras memaksa dirinya untuk mengonsumsi makanan yang berserat, bukan karbohidrat. Jadi jangan tanya pada Ghifari rasanya nasi Padang, karena terakhir kali ia memakan makanan lezat itu sebelum berhubungan dengan Andini. Bahkan mungkin dirinya sedikit lupa dengan cita rasa nasi Padang.
Memikirkan Andini, ada banyak perbedaan yang mencolok antara Andini dengan Nafisah selama hampir seminggu pernikahan ini berjalan. Andini merupakan gadis keras kepala yang pilihannya tidak akan bisa diganggu gugat, wanita itu juga sangat terobsesi dengan yang namanya tubuh ideal, sedikit saja berat badannya naik, maka Andini akan uring-uringan sampai berat badannya ideal kembali. Makanya tidak heran jika badan Andini kurus ramping.
Sedangkan Nafisah? Gadia penurut yang bahkan selalu mengutamakan pendapat orang lain dibandingkan pendapat nya sendiri, hal ini dapat telihat ketika mereka diberi pilihan untuk tinggal di kawasan elit dengan rumah gedongan, atau tinggal di perumahan sederhana, dan saat itu tanpa memberikan pilihan apa pun, dirinya langsung memutuskan tinggal di perumahan sederhana karena menyangka jika Nafisah tidak akan betah meski kebalikannya lah yang terjadi, dan sampai saat ini tidak ada suara protesan yang keluar dari mulut Nafisah.
Nafisah juga gadis yang lemah lembut, yang di mana akan membuat siapa saja nyaman berdekatan dengannya, termasuk Ghifari sendiri. Dan yang paling Ghifari suka dari sosok Nafisah adalah Nafisah gadis yang selalu menghargai pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak dan juga tidak ambisius. Hanya saja kalau untuk urusan ranjang, masih dimenangkan oleh Andini yang lebih ekspresif, sedangkan Nafisah sendiri hanya sebagai penikmat dan menerima dengan pasrah. Ghifari l memaklumi sih, namanya juga masih perawan dan baru pertama kali melakukan nya dengan Ghifari, jadi masih wajar masih pasif belum pro. Malah yang begini yang membuat laki-laki penasaran.
Akh! Kenapa sekarang ia jadi membandingkan Nafisah dengan kekasihnya. Ia tidak akan jatuh cinta kan kepada Nafisah? Ingat Adit! Ada Andini yang menunggu dudamu.
"Anjir, belum duda aja ada yang nunggu." Narsis Ghifari sembari tersenyum cerah.
Hidup dengan Nafisah ternyata tidak seburuk yang ia pikir kan. Malah terasa sangat menyenangkan.
Ghifari tidak sadar jika sedari tadi ada seorang wanita yang melihat dirinya dari seberang jalan, wanita yang menenteng tas branded itu mendatangi kursi panjang yang ditempati oleh Ghifari.
"Andini?" Tanya Ghifari kaget begitu melihat Andini yang berdiri di depannya. Wanita itu tampak memberengut tidak suka dan menggeser piring yang berisi gorengan.
"Kamu makan gorengan? Harusnya hari ini jadwal kamu fitnes kan?" Cerca Andini menatap Ghifari dengan penuh tanya.
Ghifari sendiri mendengus tidak suka, bukannya menanyakan kabar atau meminta maaf karena sudah melupakan janjinya, Andini malah balik memarahinya karena hal sepele, di depan orang banyak pula.
"Yakin fitnes? Seingat aku harusnya kita sekarang ada di Malaysia." Sindir Ghifari dengan tersenyum masam.
Andini yang teringat tentang rencana mereka yang akan berlibur itu pun terdiam beberapa saat, sebelum menatap Ghifari dengan rasa sesal.
"Maaf, Mas. Aku gak enak sama Nafisah, ada rasa bersalah di dalam hati aku." Jawab Andini dengan sendu.
Ghifari sendiri memilih diam dan menunggu kekasihnya melanjutkan lagi ucapannya.
"Aku sudah mau berangkat hari itu, tapi begitu aku ke luar dari bandara, aku ingat dulu gimana hancurnya ibu saat ayah kandung aku memilih liburan dengan wanita lain dibandingkan ibu yang kesusahan di rumah."
"Tapi seharusnya kamu kasih aku kabar, bukan malah menghilang seolah tidak punya salah."
Andini semakin tertunduk, ia mengaku salah karena memutuskan secara sepihak, padahal rencana itu sudah mereka susun dari beberapa hari yang lalu.
"Kamu tahu? Aku bahkan nunggu kamu di sana seharian, nelpon semua rekan kerja kamu kayak orang gila karena takut kamu kenapa-kenapa, ternyata yang ditakutkan malah lagi tenang di sini." Sindir Ghifari yang tepat sasaran.
"Mas, coba pikirkan bagaimana Nafisah? Dia perempuan mas. Dan Andini tau gimana rasanya. Kenapa mas gak paham juga?" Andini frustasi melihat Ghifari yang tidak paham juga, ia tidak mau dicap sebagai wanita jahat karena merebut kebahagiaan wanita lain, padahal jika ditelisik di sini yang salah adalah Nafisah yang tiba-tiba hadir merusak kebahagiaan mereka.
"Terus, kamu mikir gak gimana perasaan aku? Perasaan kamu? Jangan mikirin perasaan orang lain, di sini kita korbannya bukan Nafisah! Dan aku sudah bicara dengan Nafisah masalah ini," sahut Ghifari yang membuat Andini menatapnya tidak percaya.
"Apa yang mas bicarakan sama Nafisah?"
" Aku sudah bicara mengenai hubungan kita, dan dia juga tahu sejauh apa hubungan kita ini. " Jawab Ghifari dengan tenang, sangat berbeda dengan Andini yang menegang kaku
"Di-dia tau masalah kita yang berhubungan badan?" Tanya nya pelan. Dengan terpaksa Ghifari mengangguk mengiyakan, istrinya itu memang mengetahui mengenai hal ini, karena di malam itu ia membuka semua rahasia hubungan nya dengan Andini di hadapan sang istri.
Andini menutup mulutnya tidak menyangka, bagaimana perasaan Nafisah saat tahu suaminya berhubungan badan dengan wanita lain? Andini tidak bisa membayangkan betapa hancurnya Nafisah yang mengetahui hal ini, bahkan bukan cuma sekali mereka begini setelah Ghifari menikah, terhitung setiap mereka bertemu akan selalu berakhir dengah kegiatan panas di atas ranjang.
"Kamu kenapa tega banget sih, kasian Nafisah." Lirih Andini terduduk lemas dengan mata yang mengembun.
Ghifari menatap jengah Andini, perempuan itu tidak sadar mau diberi tahu atau tidak tetap saja Nafisah akan tersakiti.
"Dia tau sendiri, karena ngeliat tanda di tubuh aku."
Andini tidak bisa berkata-kata lagi, ia berhasil menjadi sosok jahat bagi wanita lain. Dirinya sudah merebut kebahagiaan dalam rumah tangga Nafisah, kalau sudah begini apa bedanya ia dengan selingkuhan ayahnya?
"Sudahlah, gak usah ditangisi. Toh Nafisah memang harus menerima konsekuensinya menerima perjodohan ini," ujar Ghifari dengan tenang, awalnya ia juga seperti Andini merasa bersalah dan merasa dirinya teramat jahat dengan Nafisah, tapi setelah sadar bahwa Nafisah lah di sini yang menjadi penjahat nya, ia malah bodo amat dan akan menjalankan peran sebagai suami di depan Nafisah saja.
Andini bangkit hendak pergi dari hadapan Ghifari, namun dirinya langsung terduduk kembali begitu Ghifari menarik tangannya dengan kuat.
"Aku antar kamu pulang!"
Ghifari segera membayar gorengan yang ia pesan, membawa Andini ke mobil miliknya dan melakukannya menuju kediaman milik Andini.
Namun entah setan apa yang merasuki Ghifari, ia membelokkan mobilnya menuju jalan potongan yang sepi akan kendaraan dan pengguna jalan lain, Andini yang sadar menatap Ghifari dengan heran, namun sebelum dirinya membuka mulut. Tubuhnya sudah terangkat dan duduk di atas pengakuan Ghifari.
"Aku rindu." Lirih Ghifari serak. Mengerti akan apa yang terjadi selanjutnya, Andini berusaha turun dari pangkuan sang kekasih, namun dengan kuat Ghifari menahan pergerakan Andini.
"Mas hmpptt...."
Bibir Andini dibungkam dengan sensual oleh Ghifari, dan kembali terjadi kegiatan terlarang itu untuk kesekian kalinya, tanpa sadar Ghifari kembali melanggar janji yang baru saja tadi malam diucapkan nya kepada Nafisah.
***
Andini menatap jalanan dengan sendu, ia kembali mengulang kesalahan yang sama bersama dengan Ghifari yang masih sibuk mengenakan pakaian.
Setelah beberapa kali lepasan, lelaki itu baru menyudahi kegiatan mereka di dalam mobil.
"Maaf, kelepasan." Ujar Ghifari namun tidak ada sesal yang Andini lihat, wanita itu membuang pandangannya tidak memperdulikan Ghifari yang menghela nafas pelan.
"Kamu sadar gak apa yang kita lakukan ini salah?" Tanya Andini lirih, mata wanita itu memanas begitu melihat bukti bercinta yang panas ada di lengannya.
Ghifari tertegun melihat wanita yang menjadi kekasihnya menangis. Untuk pertama kalinya ia menyesali perbuatannya. Ia dibutakan nafsu bejatnya yang padahal kemarin sudah ia salurkan kepada Nafisah.
"Kamu punya Nafisah, Mas. Kamu udah jadi suami orang! Kenapa kamu ngelakUin hal ini. Sudah cukup mas, cukup sampai di sini. Aku gak mau terus berdosa sama Nafisah."
Ghifari menegang kaget, apa maksud dari Andini? Kekasihnya ingin mengakhiri hubungan mereka?
"Andini, kamu gak serius kan?"
Andini tersenyum miris. "Aku serius, kita sampai di sini aja. Apa pun yang terjadi ke depan kita lalui masing-masing."
Ghifari tidak bisa berbicara apa pun, dirinya masih belum bisa berfikir jernih dan membiarkan andini yang diliputi emosi meredakan emosinya dulu. Ia tahu kekasihnya memutuskan hal uni lantaran emosi, jadi setelah emosinya reda barulah ia akan berbicara lagi.
Perjalanan pulang diisi dengan keheningan, rasa lelah Ghifari bertambah ketika melihat Andini keluar dari mobilnya tanpa mengucapkan apa pun. Padahal biasanya wanita itu akan selalu tersenyum sembari mengucapkan kalimat cinta berulang kali.
Ada rasa sesak di dada Ghifari, membayangkan hubungan yang sudah terjalin 4 tahun lamanya harus berakhir dengan perpisahan. Semua ini karena perjodohan sialan yang mengikatnya.
"ARGHHH BANGSAD!"
Ghifari memukul keras stir mobil. Dirinya sangat frustasi sekarang, bagaimana caranya agar hubungan nya dengan Andini bisa di selamatkan.
Dirinya memutuskan untuk langsung menuju ke sekolah tempat Nafisah mengajar, meskipun badannya terasa lengket lantaran berkeringat habis bercinta dengan Andini tadi.
Masih ada sekitar setengah jam lagi waktu anak sekolah pulang, Ghifari menatap sekeliling sekolah yang sudah dipenuhi oleh pedagang aneka jajanan. Hingga ketika matanya menatap sesosok wanita yang menjabat sebagai istrinya tengah berjalan keluar dari gerbang.
Istrinya itu tampak menghampiri penjual telur gulung. Tampak istrinya yang tersenyum ramah sembari bercakap-cakap dengan para penjual.
Ghifari pikir Nafisah akan langsung masuk ke sekolah setelah menerima pesanan telur gulung nya . Tapi ternyata dugaannya salah, Nafisah menghampiri beberapa pedagang hingga tangannya penuh dengan plastik berisi makanan. Bahkan wanita itu terlihat kewalahan membawa plastik-plastik berisi makanan.
Ghifari terkekeh pelan melihat itu. Ia tidak menyangka jika badan sekecil itu kuat jajan banyak.