*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
Pagi ini Nafisah kembali sibuk dengan rutinitas nya seperti hari biasa, berhubung sekarang hari Senin sudah masuk waktunya ia kembali mengajar di salah satu madrasah Tsanawiyah dekat dengan rumahnya. Sedangkan Ghifari bersiap-siap akan flight selama beberapa hari ini.
"Topi gue di mana?" Tanya Ghifari dari arah pintu kamar. Karena seingatnya semua keperluan flight nya selalu berada di tempat yang sama.
Nafisah menghela nafas. "Ada di lemari yang satunya, Mas." Jawab Nafisah pelan sembari menata sarapan di meja.
Tak ada lagi ucapan Ghifari, hingga Nafisah bisa mendengar suara pintu terkunci. Ia menatap Ghifari yang sudah siap dengan seragam kebanggaan nya yang membuat lelaki itu tampak tampan dan lebih gagah. Menyadari jika Nafisah menatapnya, membuat Ghifari berdehem menyadarkan wanita itu dari keterpesonaannya
"Menikmati pemandangan Hem?" Sindir Ghifari tajam. Nafisah diam, setelah kejadian di pagi buta itu, Nafisah mencoba memupuk rasa sabarnya, bahkan dengan ikhlas dirinya melayani Ghifari layaknya suami istri pada umumnya.
"Sarapan dulu, Mas. Baru berangkat kerja."
Tanpa banyak kata, Ghifari duduk dan menerima piring yang sudah berisi nasi goreng buatan Nafisah. Mereka makan dalam diam, tidak ada obrolan layaknya suami istri yang harmonis dan romantis.
"Gue ada penerbangan 4 hari, dan bakal liburan bareng Andini. Jadi jangan tunggu gue apalagi sampai nekat masuk ke kamar gue!" Peringat Ghifari seolah-olah Nafisah adalah orang lain. Dan kenyataan bahwa Ghifari akan liburan bareng kekasihnya membuat hati Nafisah terasa sangat sakit sekali. Ingin rasanya ia berteriak di hadapan Ghifari menyadarkan lelaki itu bahwa ia juga seorang perempuan yang memilki hati, ingin menyadarkan Ghifari bahwa dirinya ini sudah menjadi istri dan tanggung jawab nya. Tapi semua itu hanya tertahan di tenggorokan nya tanpa bisa ia utarakan. Cukup seperti ini setidaknya Ghifari memberitahukan kepadanya mengenai keberangkatan lelaki itu, yang artinya ia masih dianggap ada di rumah ini.
"Dan satu lagi, jangan ember! Gua gak akan anggep lu perempuan kalau sempet lu ngadu ke bokap nyokap. Dan gua bisa ngelakuin apa aja, ngerti?"
"Ngerti, Mas."
Ghifari mengangguk puas, cukup mudah ternyata membuat wanita di hadapannya paham. Awalnya ia mengira jika pernikahan yang ia jalani akan membuatnya repot, ternyata tidak! Istrinya ini tipe wanita penurut dan tidak banyak merepotkan. Dan itu patut ia syukuri yang setidaknya kedua orang tuanya tidka menjodohkan ia dengan wanita yang ribet.
"Gue berangkat."
Ghifari menarik koper miliknya tanpa memberikan salam, pelukan ataupun kecupan seperti seorang suami biasanya yang memberikan semua itu ketika hendak pergi jauh. Nafisah hanya bisa menatap hampa tubuh yang perlahan menghilang di belokan komplek rumah mereka. Tangan yang semula terangkat untuk menyalam Ghifari sebagai bakti seorang istri, kini hanya menggantung di udara.
Melupakan rasa sakitnya. Ia masuk ke dalam rumah dan membereskan sisa-sisa sarapan mereka. Matanya mengedar ke seluruh ruangan hingga terhenti tepat di pintu yang tertutup rapat. Pintu kamar Ghifari yang merupakan daerah terlarang untuk ia masuki.
Menghiraukan rasa penasaran nya. Nafisah bergegas berangkat ke sekolah tempatnya mengajar dengan motor matic yang baru saja dibelikan oleh ayah mertuanya. Dulu ia sempat memiliki motor sebelum kejadian nahas yang menimpa kedua orang tuanya merenggut semuanya, termasuk motor matic yang harus ia jual untuk membeli rumah kecil di sudut ibu kota.
"Bismillahirrahmanirrahim... Semangat Nafis."
Dirinya berangkat dengan hati yang dibuat sesenang mungkin. Sebentar lagi dirinya akan bertemu dengan anak-anak didik yang memberikan dirinya warna yang sangat indah. Hingga 15 menit kemudian ia sampai di parkiran sekolah yang sudah terparkir beberapa kendaraan milik guru dan siswa.
Kedatangannya di sambut salam hangat dari beberapa siswa. Sampai ia masuk ke dalam kantor guru, di sana sudah ada beberapa rekan sesama pengajarnya baik senior maupun junior nya.
"Bun Nafis, nanti bisa nimpal di jam nya pak Arif gak?" Tanya seorang guru bernama Rani.
Nafis menatap jadwalnya di hari Senin yang bisa dibilang tidak terlalu padat hanya ada empat jam dan mungkin bisa di isi untuk menimpal pelajaran guru yang sednag berhalangan hadir.
"Bisa kak ran. Itu jam ke berapa?"
"Jam ke tujuh sama delapan."
Nafisah mengangguk, dirinya mempersiapkan bahan ajar yang akan ia gunakan nanti. Di madrasah ini ia membawakan mata pelajaran akidah akhlak dan sejarah kebudayaan Islam, dan masuk hampir di semua kelas. Meskipun dirinya guru honorer, tapi penghasilan nya lumayan bisa menutupi kebutuhan sang adik. Karena kebutuhan dirjbya sendiru sudah ditanggung oleh sang suami.
"Upacara kelas berapa?" Tanya Nafisah ke arah guru lain.
"Kelas IX 2, Bu. Bunyikan saja bel nya. Udah masuk waktu upacara."
Nafisah mengangguk, dan membunyikan bel sekolah. Para siswa langsung berlari memasuki lapangan upacara, sekolah yang menaunginya merupakan sekolah yang amat sangat ketat dengan yang namanya dispilin terutama di waktu. Dan rata-rata siswanya bisa menerima hal ini. Terbukti jarangnya siswa yang cabut atau pun berandalan.
Para guru mengambil barisan di sebelah pembina tepat di hadapan para siswa. Dalam waktu lima menit barisan sudah rapi dan tidak ada siswa yang berjalan ataupun masih menyusun barisan. Sangat disiplin bukan?
Upacara dijalani dengan khidmat. Tidak ada insiden seperti cerita kebanyakan orang. Para siswa hanya beberapa yang melanggar peraturan sekolah seperti kurangnya atribut yang dipakai.
Setelah selesai melakukan upacara. Guru-guru melakukan rapat mingguan di mana akan ada evaluasi guru dan siswa. Nafisah yang merupakan seorang wali kelas dari kelas IX 3 hanya bisa mendengarkan beberoaa keluhan mengenai siswa-siswi di kelasnya.
"Adnan itu bagaimana kelanjutan nya Bu Nafis? Sudah beryemu dengan kedua orang tuanya?" Tanya kepala sekolah mengenai salah satu siswa yang memilki masalah.
Nafisah mengangguk. "Sudah, pak."
"Bagaimana jadinya?"
"Sebelumnya saya mohon maaf, Pak. Tapi hasil tetap sama, malahan kedua orang tua Adnan akan memberhentikan Adnan dari sekolah karena tidak mamlu membayar uang sekolah."
Beberapa guru terdiam. Mereka sudah mengetahui masalah yang terjadi kepada siswa bernama Adnan. Yang merupakan masalah ekonomi sehingga tidak mampu membayar uang SPP beberapa bulan ini. Kepala sekolah juga tampak terdiam dan memijat kepalanya pelan.
"Apa uang sekolah kita kemahalan? Saya rasa ada banyak siswa yang tidak bisa membayarnya. Tidak hanya Adnan." Tanya kepala sekolah tersebut meminta pendapat.
Sekolah yang menjadi tempat Nafisah mengajar memang bukan sekolah negeri yang menggratiskan SPP. Sehingga setiap bulannya akan ada drama masalah uang sekolah yang belum dibayarkan, dan kali ini bersangkutan dengan siswa di kelas Nafisah.
"Menurut pribadi saya pak, untuk siswa yang kesulitan membayar kita bisa mencari kan mereka beasiswa sehingga dapat membantu mwskioun sedikit." Saran salah satu guru senior. Nafisah mengangguk menyetujui, jalan satu-satunya adalah mencarikan beasiswa yang nantinya dapat meringankan sedikit.
"Saya sudah berusaha, tapi sejauh ini belum ada donatur yang ingin memberikan sumbangsih nya."
Kendala seperti ini sangat sering Nafisah hadapi, bahkan sempat ia rasakan ketika dirinya belum memiliki uang untuk membayar uang sekolah Rio sang adik. Dirinya bahkan harus menjual cincin satu-satunya yang ia miliki.
"Yasudah, untuk semua kekurangan SPP Adnan akan saya lunasi sampai bulan ini pak, insyaallah saya akan mencari solusi untuk masalah ini." Putus Nafisah yang kebetulan masih ada sisa uang belanja dari Ghifari dan bisa ia sisihkan untuk membayar tunggakan SPP milik muridnya Adnan.
Beberapa guru menatap Nafisah dengan kagum dan bangga. Bahkan ada yang memeluk wanita itu dengan sayang. Rata-rata guru di sekolah ini belum memiliki gaji yang layak, sehingga kesulitan untuk membantu siswanya yang terjepit uang SPP.
"Terima kasih Bu Nafis. Lagi-lagi ibu yang menanggung biaya beberapa siswa kita, semoga rezeki ibu lancar."
"Aamiin yaa rabbal alamiin."
Rapat telah ditutup. Nafisah dengan guru yang lain bersiap memasuki kelas yang kebetulan kalau hari Senin maka jam pertama yang masuk adalah wali kelas masing-masing.
Nafisah menuju kelasnya yang berada di sudut sekolah, kelas IX 3.
"Assalamualaikum," sapanya riang yang dibalas tak kalah riang oleh siswanya.
"Gimana kabarnya, Nak? Sehat?"
"Alhamdulillah sehat Bu." Sahut siswa secara serempak. Nafisah kembali tersenyum lembut. Dirinya menatap semua siswa namun terhenti ketika melihat kursi kosong di sudut sebelah kanan. Kursi tersebut ditempati oleh Adnan siswa yang tadi dibicarakan ketika rapat.
"Adnan ke mana? Kok gak hadir."
"Adnan berhenti, Bu." Jawab seorang siswa yang Nafisah ketahui merupakan sahabat dekat Adnan.
Nafisah terkejut bukan main. Ternyata ucapan kedua orang tua Adnan kemarin beneran dilakukan. Ya Allah, mungkin sepulang sekolah nanti ia akan menemui kedua orang tua Adnan dan membicarakan hal ini.
"Yasudah, kita belajar dulu yah. Masalah Adnan biar ibu yang selesai kan. "
"Bu," sahut salah satu siswi yang merupakan bendahara kelas maju ke depan dengan membawa sebuah amplop.
Nafisah sedikit mengernyit kan dahinya heran. Amplop? Untuk apa?
"Ini hasil kami semua Bu, semoga cukup membayar SPP Adnan sampai semester ini." Ujar siswi tersebut.
Hati Nafisah tersentuh melihat anak-anak nya yang memiliki solidaritas yang tinggi. Matanya mengembun dan menatap bangga semua anak didiknya. Hingga tidak sadar air mata itu akhirnya terjatuh diiringi dengan isakan pelan.
"Bu, kok nangis." Panik beberapa siswa dan langsung menghampiri Nafisah.
"Ya Allah, ibu bangga sama kalian, bangga sekali." Ujar Nafisah yang mengusap kepala anak didiknya satu per satu.
Siswa lainnya ikut maju ke depan da menghambur memeluk Nafisah dengan sayang. Hal seperti ini lah yang tidak akan di dapatkan Nafisah dari orang lain. Siswa yang menyayangi nya layaknya seperti ibu sendiri.
"Kalian anak hebat, ibu bangga," ucap Nafisah sekali lagi.
"Kami juga bangga punya guru seperti ibu. Makasih yah, Bu."
"Tapi untuk Adnan ibu sudha membayar tunggakan dia, jadi uang ini kembalikan saja yah."
Semua siswa kompak menggeleng tidak mau. Hingga sang ketua kelas maju memberikan Nafisah pengertian. "Uang ini memang kami kasih buat Adnan bu, walaupun ibu sudah me bayarnya, tapikan bisa untuk menutup bulan depan."
Pada akhirnya, Nafisah hanya bisa mengangguk dan menerima amplop yang berisi lembarna uang hasil sumbangan siswanya
***
Hari itu Nafisah mendapatkan kejutan yang tidak terduga. Saat ini ia tengah berada di perjalanan hendak menuju rumah Adnan yang berada tidak jauh dari sekolah. Hingga dua puluh menit kemudian ia telah sampai di sebuah rumah kayu dengan halaman yang tidak terlalu luas. Di sana ia bisa melihat ibu Adnan yang tengah menjemur banyak pakaian.
"Assalamualaikum, Bu." Salam hangat Nafisah begitu mendekati rumah tersebut. Tampak ibu Adnan yang sedikit terkejut melihat kedatangan guru dari anaknya.
"Waalaikumsalam, Bu Nafisah. Ya Allah, masuk Bu, masuk. Maaf rumah nya belum saya beresin, banyak cucian." Ucap ibu Adnan tidak enak. Nafisah hanya tersenyum maklum. Malah ia merasa kagum dengan kerja keras wanita di depannya, bekerja sebagai buruh cuci bukanlah hal yang mudah, Nafisah pernah merasakan nya.
"Gak papa, Bu. Malah Nafisah yah gak enak ganggu aktivitas ibu."
"Hahaha... Gak papa Bu, omong-omong ada apa yah Bu? Sampai datang ke rumah begini." Tanya ibu Adnan.
"Sebelumnya begini, Bu. Adnan kenapa tidak datang ke sekolah?"
Tampak keterkejutan di wajah lelah ibu Adnan. Yang membuat Nafisah mebyadari ada yang tidak beres di sini.
"Tapi Adnan berangkat sekolah tadi, Bu. " Sahut ibu Adnan dengan cepat. Nafisah menghela nafasnya sejenak. Jika Adnan berangkat, lantas kenapa tidak ada di sekolah?
"Tapi dia sama sekali tidak masuk, Bu."
"Ya Allah Adnan. ke mana kamu, Nak," ucap ibu Adnan dengan sendu. bahkan mata tua itu tampak berkaca-kaca karena merasa kecewa dengan tindakan anaknya.
Nafisah mencoba menenangkan dengan mengusap bahu wanita renta itu. hingga tak lama tampak sosok Adnan yang berjalan sembari menenteng sepatunya belum menyadari kehadiran Nafisah.
"assalamualaikum." sapa Adnan riang, namun wajah riang itu berganti dengan keterkejutan begitu melihat sosok Nafisah yang sedang merangkul ibunya di depan rumah.
"Bu Nafis." ujarnya lirih.
Adnan berjalan dengan menunduk takut, terlebih ketika matanya tidak sengaja menatap mata sang ibu yang berkaca-kaca. Ia sepenuhnya sadar telah melakukan kesalahan saat ini.
"Adnan, jujur sama ibu nak. kamu dari mana?" tanya ibu Adnan dengan pelan dan lirih.
Adnan sendiri hanya menunduk menatap sepatunya yang berada di tangan.
"Jawa ibu, Adnan. kata ibu Nafisah kamu gak datang ke sekolah, bukannya tadi kamu berangkat. lantas kamu ke mana?"
Adnan tetap memilih bungkam. Matanya juga ikut berembun begitu mendengar isakan tangis sang ibu, merasa tidak tahan, Adnan berlutut di depan sang ibu sembari terisak pilu.
"Ampun, Bu. Adnan salah! Adnan salah. jangan nangis Bu."
ibu Adnan masih setia dengan tangisnya. Pemandangan yang mampu membuat hati Nafisah terenyuh. tiba-tiba dirinya merindukan sosok ibu yang menjadi tempat berkeluh kesah nya.
"Adnan dari mana, Nak? kenapa gak sekolah?" tanya Nafisah menengahi aksi anak dan ibu itu.
remaja yang masih berada di kelas SMP itu mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Nafisah dengan sendu. "Adnan baru dari tempat pembangunan di depan, Bu. kerja bangunan. cari uang buat bayar tunggakan sekolah."
Nafisah menahan nafasnya, hatinya semakin terasa sakit begitu menyadari ada sedikit pula gores di tangan hitam Adnan, bahkan penampilan remaja itu tampak kucel dan Kumal.
"Ya Allah Adnan. ibu suruh kamu sekolah, bukan malah bekerja! "
"Dan biarin ibu banting tulang cari uang buat bayar sekolah Adnan sama adek-adek? Adnan gak bisa Bu, cukup ayah aja yang nyusahin ibu, Adnan jangan." tangis remaja itu pecah. ia bahkan sudah memeluk kaki ibunya dengan erat.
Nafisah ikut menangis melihat nya. begitu susahnya ekonomi sampai membuat jiwa remaja Adnan dituntut dewasa sebelum waktunya. ia jadi teringat dengan sosok Rio yang selalu memaksa agar dirinya bekerja membantu ia mencari uang. namun selalu Nafisah tolak. Karena dirinya sama seperti ibu Adnan, agar terfokus dengan sekolah saja.
"Adnan, untuk uang sekolah kamu jangan khawatir. uang sekolah kamu sudah lunas."
Ada keterkejutan di mata ibu Adnan dan Adnan sendiri. mereka bertanya-tanya siapa yang berbaik hati membantu kesulitan mereka.
"Bu, Adnan sebelumnya minta maaf. tapi kalau lagi lagi ibu yang membayar, Adnan tidak bisa menerima Bu, Adnan sudah terlalu banyak merepotkan ibu."
Nafisah menggeleng. "Enggak, kali ini bukan ibu yang membayar, tapi teman-teman kamu. jadi besok datang sekolah yah, mereka udah berniat membantu dengan harapan kamu bisa belajar bersama lagi sama mereka. Jadi kamu harus datang."
"Ta-tapi, Bu. Adnan tidak enak."
Nafisah menghela nafasnya. lalu memegang bahu Adnan memberikan pengertian.
"Jangan kecewakan harapan ibu, teman-temanmu dan juga orang tuamu, Adnan. ibu berharap banyak dari kamu."
Hingga setelah bujukan berulang kali, barulah Nafisah bisa bernafas lega karena bisa membujuk Adnan agar besok kembali bersekolah. jika ternyata Adnan ingkar, maka ia sendiri yang akan menyeret remaja itu.