Chereads / LOVE AND THE REVENGE / Chapter 5 - BOS YANG CEREWET

Chapter 5 - BOS YANG CEREWET

"Kau sudah siap? Kita berangkat sekarang," kata Evan dengan tegas kepada Alexandra.

"Baik, Pak. Saya sudah siap."

"Bawakan tas kerja saya!" perintah Evan kepada Alexandra. Dan Evan pun segera melangkah dengan tegap tanpa menoleh lagi.

Sementara Alexandra sedikit kerepotan membawa tas kerja Evan yang memang agak berat juga tasnya sendiri ditambah harus mengikuti langkah Evan yang panjang-panjang.

"Aduh, kau ini jalan saja lelet, Alexa!"

Alexandra menatap bosnya itu dengan tatapan tajam.

"Maaf, Anda bilang saya lelet? Anda tidak bisa melihat jika tinggi badan saya ini jauh dibandingkan Anda. Dan apa Anda sadar jika langkah Anda itu panjang-panjang? Saya sudah setengah berlari mengikuti langkah Anda. Jadi, bukan saya yang lelet. Tapi, Anda yang terlalu cepat," jawab Alexandra dengan berani.

Demi apa? Evan langsung diam terpaku. Seumur hidup, belum pernah ada yang berani membantah perkataannya.

"Kamu ...."

"Iya, saya kenapa?"

"Ka ... ah, sudahlah. Bicara denganmu itu kadang membuat saya emosi. Saya ini atasanmu!"

"Saya tau Anda atasan saya. Tapi, apa saya harus diam jika Anda memarahi saya untuk hal yang sebetulnya bukan murni kesalahan saya? Saya kan sektretaris Anda, bukan babu loh, ya," jawab Alexandra dengan santai.

Evan hanya melengos dan memperlambat langkahnya. Sampai di depan lift mereka pun masuk. Tidak ada yang bicara, tetapi mata Evan memperhatikan penampilan Alexandra dari atas sampai bawah dan lelaki tampan itu menghela napas panjang.

"Apa pakaian yang kemarin kau kenakan adalah pakaian yang paling bagus dan mahal yang kau punya?" tanya Evan.

Alexandra menoleh, "Iya. Apa ada masalah? Ya, sebenarnya uang yang Anda pinjamkan kemarin itu bisa untuk membeli tiga stel pakaian kerja. Tapi, butik yang kemarin saya datangi itu harganya sangat mahal. Jadi, saya hanya bisa membeli satu saja. Memangnya ada yang salah dengan penampilan saya hari ini? Ya, saya kan tidak mungkin memakai baju yang kemarin. Harus saya cuci dulu," jawab Alexandra dengan polosnya.

Evan berusaha untuk tidak tertawa. Gadis di hadapannya ini memang sangat langka. Ia belum pernah bertemu dengan gadis sepolos Alexandra.

"Sebelumnya tidak pernah ke butik?"

"Nggak, di butik itu mahal, Pak. Saya nggak sanggup untuk beli. Lagi pula, fungsi dari pakaian itu kan untuk menutupi tubuh kita. Yang penting sopan dan rapi."

TING!

Lift terbuka dan Evan pun langsung melangkah keluar. Kali ini ia berjalan sedikit santai sehingga Alexandra bisa mengimbangi langkah kakinya.

Sampai ke lobby kantor, seorang lelaki memberi hormat kepada Evan.

"Kita ke Kemang, saya ada meeting di sana," kata Evan kepada lelaki itu.

"Baik, Pak.Kita bawa Johan dan Murad?"

"Iya, tugas mereka kan untuk mengawal saya. Kalau tidak dibawa lalu buat apa mereka digaji, Pak Soleh? Lain kali jangan menanyakan hal yang tidak perlu untuk Bapak tanyakan," kata Evan.

'Sombong,' maki Alexandra dalam hati sambil mencebikkan bibirnya.

Soleh, supir pribadi Evan langsung membawa mobil ke daerah Kemang seperti yang sudah Evan katakan. Mereka berhenti di Alenia Papua Coffee & Kitchen. Di tempat itu menawarkan berbagai makanan khas dari Indonesia Timur. Ada ikan kuah kuning, bakwan ikan puri, dan nasi campur papua yang merupakan menu andalan mereka.

Konsep tempatnya yang unik dan letak dengan ornamen Papua membuat kafe ini memiliki daya tarik tersedia. Tak heran jika setiap saat cafe ini ramai pembeli. Dan di cafe itu juga memiliki tempat yang nyaman dan enak untuk melakukan transaksi bisnis dengan santai.

"Nggak salah kita meeting di sini, Pak?" tanya Alexandra.

"Di sini bisa sambil makan siang. Makanan di sini enak. Lagi pula saat ini saya tidak harus menyampaikan presentasi. Jadi, tidak masalah jika kita meeting di sini. Kau boleh pesan makanan jika lapar, " kata Evan.

Dua pengawal Evan dan Pak Soleh menunggu di meja lain. Sebenarnya, Alexandra merasa lapar. Tapi, ia tidak berani memesan makanan. Ia takut Evan akan memotong gajinya karena dia makan di tempat itu.

Evan ingin sekali menegur sekretarisnya dan menyuruhnya memesan makanan. Ia tau jika Alexandra pasti lapar. Tapi, klien mereka keburu datang. Dan, akhirnya mereka pun langsung memulai meeting.

Setelah sekitar dua jam, akhirnya kata sepakat dan mereka pun berbincang santai. Klien Evan kali ini diluar dari LA RUE COSMETIC. Karena selain perusahaan yang sudah dikelola turun temurun oleh keluarga Romano, Evan juga memiliki bisnis lain di bidang property.

Rekan Evan masih sangat muda dan ia datang bersama sekretarisnya. Evan bisa melihat sesekali sekretaris kliennya itu melirik Alexandra dengan tatapan yang sedikit merendahkan. Mungkin ia melihat dari penampilan Alexandra yang sederhana.

Merasa ingin ke toilet, Alexandra pun permisi kebetulan sekertaris klien Evan sudah duluan pamit ke toilet. Dan saat mereka bertemu di toilet wanita, tampak sekali Estela- nama sekretaris itu mencibir kepada Alexandra.

"Kau sekretaris pak Evan?" tanyanya sinis.

Alexandra yang sedang mencuci tangannya menoleh lalu mengangguk.

"Iya, Mbak."

"Apa pak Evan nggak malu ya punya sekretaris sepertimu? Duh, lain kali lihat penampilanmu. Sungguh menyedihkan ... pakaian lusuh, sepatu jelek. Untung sih, mukamu yang kampungan itu cukup lumayan. Tapi, sama sekali nggak cocok jadi sekretaris. Kampungan!" katanya lalu melangkah pergi sebelum Alexandra menjawab hinaannya.

Alexandra sendiri langsung memerhatikan penampilannya di dalam cermin. Ia tidak menyangkal jika apa yang Estela katakan itu tidak salah. Tapi, apa daya ... selama ini masih bisa kuliah dan makan sehari tiga kali saja ia sudah bersyukur.

Alexandra menghela napas dan ia pun segera keluar dari toilet itu. Ia tidak mau Evan menunggu lama. Tetapi, saat ia keluar bosnya itu ternyata sedang berdiri di depan pintu toilet.

"Loh, Bapak sedang apa?" tanyanya.

"Sedang menunggumu karena kau lama sekali. Ayo cepetan, pak Rusdi dan sekretarisnya sudah pulang. Kita juga harus mampir ke suatu tempat."

Alexandra yang sedang merasa sedih itu tidak membantah perkataan Evan dan langsung mengikuti langkah bosnya itu. Ternyata dua pengawal Evan sudah duluan menunggu di mobil. Evan dan Alexandra pun segera masuk.

"Kita ke butik langganan mami saya dulu, Pak Soleh," kata Evan memerintah.

Soleh hanya mengangguk, sementara Alexandra mengerutkan dahinya bingung. Sesampainya di sebuah butik mewah, Evan langsung menyuruh sekretarisnya itu untuk turun.

"Sa-saya turun juga, Pak?" tanyanya bingung.

"Ya tentu saja kau harus turun!" perintah Evan dengan tegas.

Alexandra hanya diam dan dengan enggan ia pun mengikuti langkah Evan. Saat matanya tak sengaja melirik ke arah cermin. Untuk pertama kalinya ia merasa sangat minder. Jika dibandingkan dengan penampilan Evan dia memang terlihat seperti babu dan bos, bukan bos dan sekretarisnya.