Unwanted, unbroked.
"Dimau meski ragu. Dipilih meski perih."
***
Putus cinta, tadinya Dai kira dia akan baik-baik saja. Tapi mana Dai tahu rasanya bakal segini menyiksa.
Jika normalnya orang lain merasa sakit hati. Perasaan menyiksa yang Dai rasakan justru karena rasa bersalah.
Ya, bagaimana pun Basqi Arshoka adalah lelaki sebaik itu. Tak seharusnya Dai memperlakukan dia begitu. Meski Dai tidak ada niat sedikitpun untuk menyakiti perasaannya. Tapi bukankah jika Dai dulu menolaknya juga akan menyakiti cowok itu?
Dai semacam serba salah karena apapun keputusan yang Dai ambil akan berakhir menyakiti Bas. Pilihannya hanyalah menyakiti Bas saat itu, atau menyakiti Bas saat ini. Dan pilihan Dai malah tak sengaja menjadikan rasa sakit itu berlipat ganda setelah menumpuk setahun lamanya.
Mungkin akan lebih baik jika tadi Bas memakinya, meneriakinya atau bahkan memukulnya sebagai penyaluran rasa sakit dari yang telah Dai berikan. Tapi bukannya bertindak anarkis begitu, cowok itu malah seperti malaikat, meminta maaf pada si pendosa.
Argh! Ini membingungkan.
Apa ini yang namanya galau?
Ditambah Ayah Gatot alias Ganteng berotot-nya tadi sore harus berangkat ke luar kota. Kakak pertamanya sedang ada penyuluhan kesehatan ke desa terpencil perihal wabah difteri. Sedangkan Kakak satunya lagi baru saja terbang ke Australia, untuk meeting penting dengan perwakilan bisnis dari Prancis.
Dipikir-pikir, kenapa di keluarga ini hanya Dai yang gabut?
Bersama Mbok Nah dan Bi Jum, juga Pak Wan yang masih berjaga di pos satpam depan. Secara harfiah Dia tidak sendirian.
"Curut!"
Suara paling mengganggu itu, mengusik ketenangan Dai yang lagi semangat-semangatnya menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Mbok Nah. Piring ketiganya.
"Kesurupan, Na?"
Dai mendelik kearah cowok itu dengan pipi setengah mengembung, "Kalau gue kesurupan, berarti setannya lo ya." Sembur Dai susah payah, Ran malah tertawa menyebalkan.
Mie rebus, French fries, nasi goreng, ayam krispi, sate padang, beef burger. Mata Ran menelusuri meja makan yang dipenuhi beberapa mangkok, piring dan juga kardus makanan yang rata-rata sudah berpindah tempat ke perut Dai.
Bahkan ada martabak telur juga. Apalagi tuh... seblak?
"Astaga. Kalap kenapa, Curut? Badan kecil makannya banyak amat, jangan-jangan kalau di scan tuh perut isinya lambung semua deh. Curiga gue."
Biasanya mendengar gurauan receh Ran, Dai akan tertawa tanpa diminta. Tapi tidak ada mood sama sekali baginya untuk bisa melakukan hal itu kali ini.
"Berisik! Ngapain kesini?" Ketusnya.
"Buset, galak amat. Putus cinta ya?"
Ran emang kadang sekampret itu.
"Iya" Ran membeo. Respon cewek itu benar-benar diluar dugaan Ran.
Otomatis cowok yang sedang ikut mengunyah kentang goreng itu menatap Dai bertanya.
"Seriously?"
Dai malas menjawab dua kali.
Ran mematung, entahlah.
Sebagian dari hatinya bersorak, tapi sebagian laginya tidak. Ini saat yang ia nantikan. Tapi melihat kesedihan di mata Dai, Ran malah bertanya-tanya. Apa memang ini yang sebenarnya dia inginkan?
Seketika raut Ran berubah merah padam, rahangnya mengeras dengan kedua tangan mengepal kuat, "Bangsat! Biar gue kasih pelajaran tuh manusia!"
Melihat Ran yang berapi-api beranjak dari duduknya, Dai bangkit. Sesegera mungkin mencegah Ran, "Apaan sih? Jangan gila deh!"
"Alasannya apa coba dia mutusin lo? Selingkuh?"
Itu mulut emang sekali-sekali harus dicabein deh kayaknya, pikir Dai.
"Bukan!" Sangkal Dai.
"Masa?"
Dai berdecak jengkel, "Duduk dulu deh mendingan." Tuntunnya, beralih kearah ruang keluarga.
"Jadi apa?" Tuntut Ran ketia dia sudah sama-sama duduk di kursi empuk itu.
"Ha?"
"Ha ho ha ho. Apa katanya? Alasan dia minta putus?"
Keluar kan tuh galaknya.
"Oh." Cuek Dai seraya menyalakan televisi yang langsung menampilkan channel GEM yang sedang menampilkan kartun Inuyasha di layar 49 inch itu.
"Kok gitu? Gue seriusan nanya ini."
Ditanya begitu Dai hanya bisa diam, dia pun justru masih bingung dengan perasaannya.
Karena pada dasarnya, saat Bas menyatakan perasaannya dulu. Dai tidak memiliki perasaan yang sama seperti yang dimiliki Bas untuknya. Tapi Bas cowok yang baik dan Dai tidak sampai hati untuk menolaknya. Sampai akhirnya Dai memilih untuk memberikan Bas kesempatan. Berharap mungkin rasa itu akan menghampiri hatinya juga. Menggeser rasanya yang sudah ada untuk orang lain.
Seperti kalimat klise itu. Lo nggak akan tahu sebelum coba. Jadi itulah yang Dai lakukan selama ini dengan Bas. Tanpa tahu jelas apakah rasa itu telah datang, tinggal atau bahkan sudah pergi begitu saja tanpa Dai sempat untuk bisa menyadarinya.
"Aw!"
"Si curut malah bengong." Gemas Ran yang menjitak ubun-ubun Dai.
"Ih, sakit tauk!"
Ran malah nyengir, "Sorry sorry. Abis gue greget nungguin jawaban lo. Yeh lo nya malah bengong."
"Tapi kan nggak usah pakai jitak segala, Kokok Ran!" Pekik Dai bersungut masih tak terima.
Jitakannya tadi memang agak sedikit kencang. Pantas saja Dai seperti ini. Tapi kemudian tangannya terulur untuk mengusap-usap bagian yang kena jitakannya lembut, "Iya gue minta maaf deh sama lo, tapi jangan ngambek, oke?"
"Bodo. Pokoknya tiga jam dari sekarang gue mau ngambek aja sama lo. Puasa ngomong." Ketus Dai.
Kumat lagi, pikir Ran.
Nggak usah heran. Dai memang seperti ini.
Pernah denger kalimat ini?
setiap manusia pasti memiliki paling tidak satu kebiasaan uniknya masing-masing.
Nah, beginilah kebiasaan unik Dai.
Ran terkekeh sejenak, mana ada orang ngambek di jam-in.
Dasar Ena!
"Yah janganlah, Na. Gimana kalau besok gue traktir lo Pop ice rasa taro di kantin sekolah? Mau kan? Pasti mau dong." Bujuk Ran pada akhirnya.
"Emangnya gue anak kecil apa!" Gumam Dai melirik kearah Ran, mencoba sinis tapi gagal.
"Emang lo kecil kayak anak curut. Anak curut yang gembil tapi."
"Nggak lucu!"
"Oh... serius nih nggak mau? Padahal rencananya gue bakal traktir lo satu bulan penuh loh. Tapi ya ngga-."
"Siapa bilang!" Potong Dai sigap, "Satu bulan penuh ya? Deal!"
Tangan kecil itu menyalami tangan Ran dengan gerakan cepat. Membuat Ran kembali terkekeh refleks mengacak rambut Dai, "Dasar curut!"
"Ish."
"Murahan banget kalau urusan lidah."
"Bodo." Ejek Dai, "Yang penting ditraktir."
"Idiot."
Mereka pun tertawa bersama cukup lama. Hingga Ran teringat pembicaraan sebelumnya.
"Jadi?"
"Apa?"
"Yang tadi itu jawabannya apa?"
Tawa Dai lenyap perlahan. Dasar Ran, perusak suasana!
"Ya kesimpulannya kita putus. Udah."
"Terus kalian berakhir gitu aja? Lo terima diputusin gini?" Dai tak tau harus jawab apa. Karena bukan siapa yang memutuskan siapa. Hubungan mereka berakhir karena Bas ingin membebaskannya. Karena dia tahu Dai menyukai orang lain. Ingin mempertahankan pun bagaimana?
I'm bad atau love.
Alibi kuat macam apa memangnya yang akan dia gunakan. Sedangkan dirinya saja masih bingung dengan perasaannya sendiri.
This is completely complicated.
"Udahlah jangan diomongin sekarang." Kilah Dai, tangannya ikut mengibas tanda benar-benar tak ingin membahas lebih jauh lagi, "Males gue."
Kalau sudah begitu, Ran bisa apa?
Nelen ludah pahit aja akhirnya.
"Jadi, kenapa lo ada disini?" Tanya Dai kemudian.
Ran membenahi posisi duduknya yang asalnya menyamping menghadap Dai menjadi tegak lurus ke depan, lalu berdehem sekali sebelum menjawab. "Om Gatot nelpon nyokap gue, Nitipin lo katanya. Jadi gue disuruh kesini buat jemput lo, nginep di rumah gue malam ini."
Oh, come on! Untuk hal yang barusan Ran jelaskan sih Dai sudah hapal betul. Bagaimana tidak? Sejak kecil, setiap kali ayahnya itu harus pergi jauh pasti Dai selalu dititipkan di rumah Ran. Tapi biasanya Tante Ris langsung yang akan menjemputnya.
Maka dari itu Dai memutar bola matanya jengah, bukan itu yang Dai maksud.
"Please deh. I'm preety sure you really know what I mean."
Ran tersenyum lebar, menampakkan sederetan gigi rapinya. Dai tahu jelas apa maksudnya.
"Let me guess." Seru Dai, "Jangan bilang lo putus lagi!"
"Ena Pinter"
Dai sempat memekik meski kemudian menatap Ran prihatin. Ini sudah lebih dari ke sekian kalinya. Tapi kenapa rasanya ada yang aneh ya bagi Dai. Dai menatap Ran intens, bingung kenapa Ran selalu seperti ini ketika putus.
Ran mendengus geli melihat raut Dai.
"It's okay, Na." Ran tersenyum.
"Kan masih ada lo."
***