Bukan benar, bukan salah
"Susah emang. Cuek dibilang nggak peka. Ramah dibilang PHP"
***
"Na, mau sampai kapan duduk di situ?" Suara Ran menahan tawa seraya membuka helmnya dan melirik kearah kaca spion. Sebenarnya dia masih ingin berlama-lama menikmati adegan semacam ini. Apalagi melihat delikkan tajam dari seseorang yang beberapa waktu lalu baru saja memasuki area parkir sekolah.
"Na."
Tapi kalau ketawan sama Bu Win guru agama super nyinyir itu kuping Ran bisa budeg beneran karena ceramah yang akan berlangsung sepanjang jalan kenangan nanti.
Cukup untuk pagi ini telinganya berdengung karena teriakan curut kesayangannya. Yang rusuh minta ngebut tapi memeluknya ketakutan setelah permintaan dikabulkan.
"Ena."
Dai akhirnya membuka matanya. Menatap wajah Ran yang terpantul di kaca spion dengan linglung. Saking menggemaskannya Ran hampir saja khilaf, ingin mendaratkan bibirnya di pipi gembil itu. Seperti yang biasa dia lakukan saat kecil dulu.
"Mau turun nggak? Gue tahu lo masih pengen peluk-peluk gue. Tapi jangan disini ah. Kita lanjut di rumah aja sih entar. Apa mau bolos aja buat lanjut?"
Setelah ngeh, tanpa pikir panjang Dai segera melepaskan tautan tangannya di perut Ran. Lalu sebelum turun dari sana dengan kesal tangan kecilya menggeplak punggung Ran, "Wadaw."
"Idiot!" Dai mendelik seraya melemparkan helm yang dipakainya tanpa aba-aba.
"Hap." Gumam Ran yang berhasil menangkapnya.
"Ngapain sih lo ngebut gitu? Lo kira jalan raya tadi sirkuit balap apa!"
Ini nggak salah nanya?
"Bukannya lo yang tadi minta gue ngebut?" Timpal Ran tak mau kalah, Dai mendengus sebal.
Memang benarkan?
"Ya tapi maksud gue lo ngebutnya yang aman aja gitu. Jangan kayak orang kesetanan kayak tadi." Ingin Ran berkata kasar, tapi dia lebih memilih memalingkan wajah saja kali ini. Tersenyum bodoh karena entah mengapa Dai yang galaknya macam singa betina minta kawin kalau lagi ngamuk gini tetap saja menarik baginya.
Mana ada coba ngebut yang aman. Dimana-mana juga yang namanya ngebut pasti nggak ada yang amanlah. Nenek sudah tua, giginya tinggal duapun tahu. Dasar Dai, untung sayang!
"Kalau kita kecelakaan gimana coba tadi?"
"Ya gampang, tinggal digotong ke rumah sakit."
"Nggak lucu!"
Ran terkekeh, toh nyatanya juga selamat kan?
"Iyalah! Kalau mau lucu. Tonton aja sule."
Dai kehabisan kata. Pipinya mengembung menatap Ran kesal. Kemudian tanpa pamit melangkah cepat ke dalam sekolah.
Dasar nasib.
Manusia sumbernya salah dan dosa.
Ran menggeleng mengingat kalimat itu. Mungkin lebih spesifiknya jenis manusia bertestis.
***
"Bendahara gue baik banget sih."
Dai yang duduk bersila mendengus mendengar kalimat kardus lelaki di sebelahnya.
Ini jam istirahat, tapi mereka harus terlambat makan siang karena harus mengembalikan peralatan ke ruang olah raga setelah jam pelajarannya usai. Sebenarnya ini tugas Kafka dan Ran. Tapi entah kemana Ketua kelas itu, dari selesai tes voli tadi wujudnya sudah tak tampak di lapangan. Menyisakan Ran yang harus membereskan semuanya.
"Berisik gue tinggal nih ya."
Ran tertawa melihat kejutekan Dai.
"Bolanya masih kurang satu, Ran"
Setelah melihat sekelilingnya Ran menjawab, "Ada di sana. Bentar gue ambil dulu."
Ia berjalan menjuhi Dai untuk mengambil bola putih-kuning-biru itu.
"Bener ternyata kamu di sini."
Dahinya menyernyit mendapati cewek yang tiba-tiba muncul itu.
"Ngapain?"
Dia tersenyum sebelum menyodorkan sebotol air mineral kearah Ran.
"Ini buat kamu." Katanya, "Maafin aku ya, waktu itu udah ngomong yang nggak-nggak."
"Nggak masalah." Jawab Ran sekenanya, membuat senyum itu merekah.
"Kamu maafin aku?"
Ram mengangguk.
"Berarti kita bisa kan jadian lagi?"
Ya elah, jebakan lagi. Kenapa cewek kalau dibaikin malah salah paham sih?
"Nah kalau itu maaf-maaf nih ya, Gwen. Gue sih no." Ran menjawab enteng dengan senyumnya, "Tapi makasih loh buat minumnya. Gue doain semoga lo dapet yang lebih baik."
Tanpa menunggu Ran segera balik kanan, menghampiri Dai yang masih berkutat untuk membereskan net jaring itu.
Tanpa tahu jika senyum dibibir Gwen langsung tergantikan oleh raut masam tak terimanya. Wajahnya memerah, marah. Kemudian teriakan itu terdengar.
"Dasar PHP!"
Nah. Ini nih. Ini yang bikin cowok macem Ran serba salah. Cuek dibilang nggak peka. Ramah dibilang PHP.
***
Jam terakhir ada tes lisan Geografi, materinya nggak tanggung-tanggung, satu BAB merangkap lima belas lembar alias tigapuluh halaman.
Dai sudah menghapal semalaman. Nilai ulangan hariannya minggu lalu mengecewakan jadi dia bermaksud menebusnya hari ini.
Satu-persatu murid di kelasnya maju masing-masing dua orang sesuai absen. Dai masih menghapal dalam hati menunggu gilirannya. Begitupun Ran dan Kis. Bisa dilihat, yang apes disini adalah Sad. Baru aja sampai B absenannya, Pak Sugio memutuskan untuk beralih dari absenan paling bawah.
Disanalah Sad sekarang, berdiri di depan kelas sambil mengapit sapu ijuk diantara kakinya karena tidak ada satupun materi yang dihapalnya saat ditanya tadi.
"Duh Jon Jon. Makanya kalau udah dibilangin ada tes lisan itu ngapal di rumah bukannya malah ngurusin si Joninya mulu ampe pusing kan lu."
Dan setelah ejekan Pak Sugio yang nyeleneh itu Sad nggak sendirian lagi. Karena baru saja Salsa Qwisteenia dan Samudera Fakrian bergabung menemani Sad.
"Hai, Salsa." Cengir Sad lebar. Sedangkan Salsa cuma senyum aja kayak biasanya.
"Setia banget mau nemenin abang Dewa disini. Sini-sini deket abang aja."
"Najis."
Oke, itu suara Fakri saingan berat Sad yang sama genitnya ke Salsa, "Jangan, Cha. Disini aja, biar gue yang ditengah."
"Dih, ngapa lo yang ngebet pengen deket gue?" Cibir Sad, "Naksir lo?"
Tak lama ada suara panggilan dari TU untuk Pak Sugio. Alhasil tes lisan ini ditunda sebentar, selagi Pak Sugio pergi ke ruang guru. Seketika kelas yang menjadi riuh.
"Udah sini Salsa di pojokan bareng abang aja yuk. Jangan deket-deket Si FAK." Kata Sad menekankan kata terakhirnya.
"Kenapa emang kalau deket gue?" Sungut Fak - biasa dia disapa - tak terima.
"Nanti ketularan begonya." Celetuk Sad tak tahu malu, padahal lagi sama begonia. Kalau pinter mah nggak bakal dia dihukum juga.
"Sialan!"
TAK! TAK! TAK!
Dasar cowok!
Dan perkelahian pun tak terhindarkan. Sad dan Fakri benar-benar adu pedang sekarang. Memanfaatkan sapu masing-masing yang saling berbenturan menimbulkan keriuhan.
Anak sekelas bukannya melerai malah bersorak gembira. Mengambil bagian sebagai suporter meneriakan nama Sad dan Fakri.
"Kafka, pisahin bego. Kenapa lo malah bengong coba!" Teriak Farida yang masih duduk dibangkunya. Kafka sang KM malah berjengit masa bodo.
"Ogah! Gila aja, nanti gue yang kena sambit lo mau tanggung jawab?"
Farida mendengus sebal. Berbeda dengan beberapa siswa lain yang malah asik memvideo adegan tersebut.
Fix, ini kelas madesu abis.
Apa disini hanya Dai yang seketika punya firasat buruk?
***
Ini namanya nggak ikut ngelempar, tapi tetep aja kena batunya.
Karena tiga inventaris kelas yang tadinya sehat walafiat sekarang sudah hancur lebur. Dai selaku bendahara kelas harus bertanggung jawab untuk membeli peralatan baru sekarang.
Pemborosan!
Buang-buang uang aja kan jadinya.
"Kenapa sih manyun aja?" Ran yang sejak tadi berjalan di samping Dai bertanya santai, "Minta dicium?"
Dai tidak menggubris, meladeni Ran bisa bikin moodnya tambah jelek sekarang.
Ran berjalan kearah motornya mendahului Dai. Tidak sulit menemukannya di keadan parkiran luas yang mulai sepi ini. Dia yang akan mengantar Dai. Sebelum memberikan helm kepada Dai, Ran memerhatikan Dai.
"Kuncinya, Na."
"Nih."
Dan baru sadar dengan seragam yang dipakai gadis itu.
"Gue anterin lo pulang dulu ya. Baru kita caw." Ungkapnya kemudian.
"Nggak usah ah."
"Pulang dulu, Ena."
"Kenapa sih?" Bingung Dai.
"Ganti baju lo dulu."
Dai seketika menggeleng tegas, "Kelamaan. Kalau udah di rumah suka males keluar laginya."
"Gue nggak mau boncengin lo kalau lo masih pakai rok gitu." Ran juga berkata tegas.
Dai yang tidak mengerti pun menjadi sebal. Padahal tadi pagi juga dia dibonceng Ran ke sekolah baik-baik aja tuh. Nggak protes apa-apa. Dai lagi nggak mau debat.
"Ya udah, gue minta anter Bang Kis aja kalau gitu." Tutur Dai kemudian saat melihat Kis yang baru muncul di parkiran. Dai sudah bersiap menghampiri Kis, tapi tangannya dicekal oleh Ran sigap.
"Jangan!" Tahan Ran, "Ya udah iya nggak usah ganti baju dulu." Akhirnya Ran mengalah, Dai tersenyum senang, "Asal lo pakai hoodie gue nih selama di perjalanan."
Mana rela Ran Dai di bonceng Calkis pakai motor gedenya. Ran emang posesif Dainya aja yang nggak peka.
Dai mengerjap saat tangan itu menyodorkan Hoodie putih yang pasti kebesaran ditubuhnya, "Buat apa? Nggak mau ahh, gerah nanti gue." Tolak Dai lagi.
Ran mendesah jengah, "Bukan dipakai di badan, lemot. Lilitin di perut buat nutupin aurat lo."
Meski sempat kesal karena disebut lemot, Dai akhirnya mengerti apa yang Ran maksud, "Oh." Gumamnya seraya menerima sodoran dari Ran.
Benar saja. Setelah dililitkan Hoodie itu bahkan lebih panjang dari pada rok yang dipakainya.
"Ngapain sih rok kecil gitu masih dipakek aja." Ran tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya. Sementara Dai mulai menguncir rambutnya ke kelakang.
"Ih, ini rok belum ada satu semester loh gue beli." Jawab Dai jujur, "Sayang kan kalau nggak dipakek."
Sayangan juga gue sama lo.
"Mikir apa lo, Ran? Engas gitu liatin Dai?" Itu suara Kis yang baru datang menghampiri mereka berdua.
"Engas apaan, Bang Kis?"
Nah kan. Ran berdecak. Sering kesal bila teman-temannya mengeluarkan bahasa eksplisit di depan Dai.
"Mana Sadlan?" Itu upaya pengalihan Ran. Mumpung Dai lagi sibuk sama poninya.
Kis hanya tersenyum meledek sebelum menjawab, "Masih di sidang di BK."
Ran pun mengangguk, "Yaudah yuk, balik."
***
"Au."
"Tahan."
"Perih... Ssh."
"Lagian kok bisa luka gini sih?"
Itu suara Sad dan Salsa. Saat teman-temannya sudah pulang. Mereka masih harus berada di sekolah untuk menjalankan hukuman setelah keributan yang mereka buat di jam pelajaran Pak Sugio tadi. Mereka harus rela dihukum membersihkan zona hijau untuk satu minggu ke depan, setiap pulang sekolah.
Zona hijau sekolah adalah sebutan lain untuk tempat lahan penuh tumbuhan yang letaknya di belakang lab komputer. Lahan itu di khususkan sekolah untuk menanam beberapa buah, sayur dan bunga.
Dan di sanalah Salsa terluka. Ketika Fak pamit pergi ke toilet. Telapak tangannya tergores duri dari bunga mawar yang sedang ia bersihkan sekitaran potnya. Tidak parah, hanya saja darah yang keluar dari sana membuat Salsa ngeri. Ternyata gadis itu takut darah. Tanpa pikir panjang, inisiatif Sad muncul.
"Biar gue obatin ya."
Salsa sebelumnya tidak pernah mengenal Sad sedekat ini. Yang dia tahu, Sad hanyalah teman sekelas yang sering mengganggu dan menggodainya dengan kata-kata absurd.
"Udah kan, udah nggak kenapa-napa. Udah diobatin tuh. Nggak usah nangis lagi ya."
Ucap Sad setelah menempelkan plester, menutup luka itu. Kemudian meniupnya sekilas, seperti seorang ayah yang menenangkan anak balitanya yang menangis.
"Ternyata beda ya."
"Ha?"
"Lo gentle." Salsa menjeda, "Gue kira bakalan omes terus."
Dan Sad tak bisa berkata apa-apa lagi pada akhirnya, selain tertawa mendengar ungkapan polos Salsa tentang dirinya. Gadis itu mengerjap dua kali melihat Sad yang tidak bereaksi apapun. Dan menyadari sesuatu.
"Eh maaf. Ma- maksud gue..."
"Nggak masalah."
***