Chereads / unREDAMANCY / Chapter 6 - UNSPEAKACT !

Chapter 6 - UNSPEAKACT !

Bukan bicara, bukan reaksi.

"Friends of mean and median : Modus."

MODUS (n.) Speak more detected, act more undetected.

***

Namanya Marseven Ranutama Atmadja. Kalau kalian pikir dia anak ketujuh, jawabannya sama sekali bukan. Karena nyatanya dia anak semata wayang di keluarganya. Kata ayahnya, Merseven itu diambil dari tanggal dan bulan kelahirannya.

Karena salah kaprah itulah cowok beralis tebal itu lebih senang dipanggil Ran.

Ran adalah murid teladan yang juga berperan sebagai murid berandal di waktu bersamaan. Dia murid kesayangan guru matematika sekaligus murid langganan guru BK. Dia digilai banyak wanita tapi banyak dibenci juga.

Kata orang hidup itu harus seimbang, mungkin kalimat itu yang jadi cerminan Ran.

"Tobat, men."

Ran mendecih karena seseorang baru saja meraup mukanya kilat.

"Masih pagi juga udah mikir jorok aja. Dosa Vroh."

Orang itu mengambil posisi duduk disamping Ran. Dia Sadlan Sadewa, teman Ran baik waktu Ran masih jadi bocah ingusan di TK. Bocah cupu di sekolah dasar. Berubah jadi Bocah idola banyak gaya di bangku sekolah menengah pertama. Sampai sekarang di SMA yang juga nggak jauh beda.

"Kamvret, emangnya gue lo apa. Yang mandi pagi aja udah nyabun." Balas Ran, Sadlan malah cengengesan.

"Tumben lo dateng pagi? Sengaja ya, mau pinjemin gue PR Math lo."

"Ngaco lo. Mana ada PR Matematik. Kalaupun ada, nggak bakal gue kasih liat lo." Sungut Ran.

"Emang dasar apes gue temenan sama lu. Medit banget jadi manusia." Ran tertawa melihat kekesalan Sad - begitu dia disapa - yang selalu terlihat menghibur.

Sad duduk dikursinya, membuka tas ranselnya. Kemudian mengeluarkan alat tulis beserta buku paket matematikanya.

"Ngapain lo?" Tanya Ran heran.

"Nyikat WC." Celetuk Sad asal.

"Eh, seriusan ini gue nanya. Emang beneran ada PR?"

"Auk." Cuek Sad yang mulai menyalin soal disana kebukunya.

Karena penasaran akhirnya Ran juga ikut-ikutan mengeluarkan buku paket matematikanya dari dalam tas. Mengecek halaman yang sama yang dibuka oleh Sad.

Benar saja, Ran menemukan beberapa soal yang sudah ditandainya memakai stabilo biru.

Dia lupa.

Ini gawat namanya, sebentar lagi bel masuk. Pelajaran pertama Matematika dan Ran juga sama sekali belum mengerjakan PRnya.

"Ngapain lo?" Gantian Sad bertanya heran, melihat Ran juga melakukan hal yang sama dengannnya.

"Ngerjain PR."

"Becanda lo." Cibir Sad, "Mana mungkin murid kesayangannya Bu Oyok kayak lo ngerjain PR di sekolah."

"Gue lupa."

"Tumben lo bisa lupa, aneh."

Ran hanya diam. Tidak mungkin jujur bahwa kepalanya tak bisa berhenti memikirkan tentang Dai dua malam kemarin. Meski matanya baru bisa terpejam lewat jam tiga pagi, waktunya hanya dihabiskan dengan menatapi langit-langit kamar. Boro-boro inget ada PR, buka buku aja nggak.

"Makanya kalau sekolah tuh yang fokus."

Ocehan Sad dimulai lagi. Ran sudah hapal betul sehingga memilih diam.

Sejak Sad tahu bahwa sahabatnya itu menyukai Dai - bocah lucu nan menggemaskan yang sekarang entah kenapa telah berubah menjadi gadis kurang ajar bin menyebalkan juga minus kesopanan. Sad sampai kini masih tak mengerti, apa yang bisa membuat Ran tertarik pada gadis itu.

Gadis bernama lengkap Daina Tita Prameishelva. Akrab di sapa Dai oleh yang lain. Sedangkan Ran lebih senang memanggilnya Ena. Biar beda dari yang lain katanya, biar spesial. Dan akan sensi kalau ada yang ikut-ikutan.

Oh iya, tapi untuk baru-baru ini Ran sering juga memanggilnya... Curut.

"Jangan kalau guru lagi nerangin tuh mata sama pikiran cuma ada si bocah aja isinya. Mending kalau dari depan lo liatinnya. Lah ini dari belakang, cuma bisa mantengin bulu kepala doang, apa menariknya coba. Kayak gue ke Salsa dong. Mepet-mepet"

Ran masih tak menanggapi. Selagi telinganya mendengarkan tangannya terus bergerak menulis jawaban. Meski pikirannya sedikit teralihkan dengan apa yang diucapkan oleh Sad.

"Tapi gue heran deh sama lo, Ran. Kalau emang kenyataannya lo udah naksir dia lama, kenapa nggak ada pergerakan sama sekali sih. Malah lo asik gonta-ganti pacar, kalau begitu gimana si Dai mau peka coba sama lo."

Bola mata Ran diam-diam berputar jengah. Padahal Sad tahu betul bagaimana usaha Ran selama ini, yang selalu tak direstui waktu.

"Lo meski lebih gencar lagi, Ran. Tenang, meski tuh bocah nyebelin gue siap kok bantu lancarin usaha lo. Gimana? Bangga kan lo punya temen kayak gue?"

Tak ada jawaban.

Merasa diabaikan Sad berhenti mengoceh. Melihat kearah PRnya yang rasanya sulit dicerna otak normalnya. Kemudian melihat kearah Ran yang masih berkonsentrasi pada tugasnya yang sudah hampir ke soal enam sekarang, "Set! Titisan Einstein lo, Ran. Gue nyontek ya."

Tanpa menunggu jawaban dari Ran dengan sigapnya secepat kilat menyalin jawaban Ran ke buku tugasnya. Berkejaran dengan waktu, tulisannya jadi macam jejak kaki ceker ayam. Berantakan.

Bahkan dia sendiripun ragu kalau saat membacanya ulang nanti dia akan sanggup mengerti apa yang ditulis sebenarnya.

Tapi siapa peduli? Yang penting hari ini dia bisa ambil cuti dari semburan lava Bu Oyok tercintah.

Lagipula Sad tidak ada niatan sama sekali untuk membuka ulang buku tugasnya ini. Matematika banyak memberikan kenangan buruk untuknya.

Dan sewajarnya tak pernah ada alasan untuk manusia selalu bertumpu pada masa kelam.

"Thanks, Ran."

***

Bel istirahat.

Bel favorit pertama di sekolah itu berbunyi.

Para murid berbondong-bondong menyerbu tempat pemadam kelaparan, kantin. Begitupun dengan Ran dkk, yang hampir saja tidak kebagian meja kalau saja Sad tidak tancap gas berlari duluan kesana.

"Kesel gue sumpah deh!"

Itu suara Sad dengan semangkuk bakso yang masih mengepul di depannya.

"Iya sama." Timpal Dai seraya menyedot Pop ice Taronya.

Mereka berdua betul-betul dibuat kesal di kelas tadi. Tepatnya saat pelajaran Matematika berlangsung. Saat Bu Oyok meminta beberapa murid secara bergantian menulis jawaban PR itu di papan tulis. Lalu memeriksanya langsung secara eksklusif.

Dari sepuluh soal yang ada, baik Ran, Dai, maupun Sad. Sama-sama bernilai Sembilan puluh, karena ada satu jawaban yang salah. Dai nomor tiga, Ran nomor tujuh dan anehnya Sad nomor sepuluh.

Nggak ngerti lagi deh, padahal Sad nyontek total ke Ran kenapa salahnya bisa beda gitu coba. Gimana logikanya sih? Kalau tahu begitu sih, harusnya Ran dan Sad sama-sama tukeran jawaban aja untuk masing-masing jawaban yang salah.

Tapi yang bikin kesel bin murkanya itu waktu Bu Oyok marah-marahin Dai dan Sad. Tapi Ran malah dialem terus dibilang dia bisa salah gitu karena sering nggak fokus gara-gara bergaul sama mereka berdua.

Ya kalik!

Terus salah gue gitu? Salah keluarga gue? Salah tetangga gue? Apa salah Spongebob yang punya rumah nanas? Atau salah Squidword juga yang nggak pernah pakai celana?

Inginnya Sad berkata kasar.

Fix! Ini namanya diskriminasi dalam dunia pendidikan.

"Itu guru lo pelet pakek semar mesem ya jangan-jangan, Ran?"

Ran tersenyum miring, "Salah lo. Jaran goyang gue pakeknya."

"Vangke."

"Sad! Language, please!"

Nah kalau ini suara dari satu teman lainnya, Calkis. Cowok baik-baik yang entah karena terpaksa atau hutang budi, bisa berada di dalam kelompok somplak bin Madesu yang di grup chat di namai Bangsquad ini.

"Iya Bang Kis. Bang Sad nih emang susah banget kalau dibilangin."

Dai seperti biasa, menjadi kompor setia yang tak pernah padam berada di pihak Sad. Padahal dia pun sama saja dengan Sad. Kalau ngomong udah kayak buang sampah aja, suka sembarangan.

Hih!

"Heh, bocah! Sekali lagi lo manggil gue begitu, gue panggil Pak Sugio buat nyita kaos kaki lo!"

Dai hampir tersedak batagor kuahnya.

Ran yang duduk disebelahnya langsung sigap menyodorkan Pop ice strawberry yogurtnya karena punya Dai sudah tandas beberapa detik lalu.

"Uwek, ini rasa apa sih, nggak enak banget, asem kayak muka Bang Sad."

Melihat pelototan Ran, Sad yang tadinya ingin menimpali seketika bungkam. Sedangkan Dai masih terbatuk sambil memukuli dadanya pelan.

"Ini Dai minum teh anget punya gue aja." Tawar Kis - begitu dia disapa - sambil meyodorkan gelas minumannya. Yang lagsung diserobot Dai kilat.

Tapi sebelum gelas itu sempat menempel di bibir Dai. Tangan Ran mencegahnya, "Jangan!" Pekik Ran refleks membuat ketiganya menatap heran.

"Jangan minum punya si Kis, biar gue pesenin aja dulu yang baru."

"Kenapa emangnya?"

"Pokoknya jangan! Tunggu disini."

Ran beranjak dari kursinya. Pergi ke kantin Bi Ida dan tak lama kembali lagi membawa satu cup pop ice Taro kesukaan Dai.

"Nih."

Bukannya menyambut Ran, Dai lebih memilih terpaku di tempat sambil menatapnya kaget.

"Woy!" Gebrak Sad kecil pada meja, "Lap tuh iler, jangan ampe banjir nih kantin."

Emang dasar Bang Sad resek abis.

"Repot banget sih, Ran. Padahal ada minumnya Bang Kis ini." Kata Dai yang mulai menyedot minuman pemberian Ran.

"Mana rela si Ran lo minum satu gelas sama si Calkis."

"Kenapa nggak, orang gue aja sering satu gelas sama dia, satu sedotan malah." Respon Dai tak mengerti.

"Nah itu dia masalahnya." Ngotot Sad.

"Lo ngomong apa sih, Sad? Yang jelas dong. Maksud lo kalau satu gelas sama gue najis gitu?" Sungut Kis tersinggung.

Sad malah terkekeh, "Bukan gitu Cal. Lo mah sensitif amat udah kayak pantat bayi aja."

Celetuk Sad membuat Kis mendengus sebal sedang Dai malah tertawa terbahak-bahak berbeda dengan Ran yang sudah kembali asik dengan makanannya.

"Ya terus kenapa emang?"

"Karena kalau nih bocah minum dari gelas lo." Dai melempar tisu yang meleset kearah Sad tanda protes dibilang bocah, "Menurut si Ran, artinya secara nggak langsung lo sama si Dai itu bibir ketemu bibir alias cipokan begonolah."

Selesai penjelasan dari Sad yang entah itu teori dari mana Kis dan Dai hanya bisa melongo takjub.

"Lah apa bedanya pas tadi Dai satu sedotan sama Ran barusan?" Tanya Kis.

"Menurut lo?"

Terdiam sebentar sebelum pikirannya menangkap sesuatu, "Lo modusin si Dai, Ran?"

Ran menunjukkan seringainya pada Dai. Tak lupa dengan pemanis alis yang bergerak naik turun itu. Dan Dai tak perlu mendengar hal lain lagi sebagai penjelasannya.

"Punya gue manis kan, Dai?"

"Kamvret!" Tuding Dai sengit.

"Language, please!"

"Dasar cowok kerdus!"

"Haha."

"Ke laut aja deh lo!"

***