Prolog
***
"Salahnya mencintai raga yang tak peka."
***
Sore itu seusai pelajaran terakhir, Matematika.
Setelah ulangan yang di adakan dadakan. Ran kacau sepanjang pelajaran tadi. Ada beberapa soal yang rumit untuknya, meski tetap bisa ia tangani. Kepalanya sempat pening, tapi pening itu segera hilang saat dia mengingat rencana manisnya untuk Dai malam nanti.
Ran pergi ke kelas Dai, seperti biasa mereka akan pulang bersama. Tapi ketika sampai disana, kelas itu malah sudah kosong tak berpenghuni. Ran pikir Dai sudah pergi duluan ke parkiran, untuk itu dia memutuskan segera menyusulnya.
Ran berjalan menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi, tersenyum kecil menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Tak sabar menunggu malam. Ada hal penting yang harus ia lakukan. Tidak bisa ditunda lagi.
Memasuki area parkir sepeda, Ran mempercepat langkahnya. Berharap menemukan Dai disana, malah menemukan orang lain. Ada seorang gadis yang berdiri disebelah sepedanya. Dan bisa Ran pastikan kalau gadis itu bukanlah Dai.
"Hai, Kak Ran." Sapanya ramah.
"Hai, Jun." Balas Ran seperti biasa pada Jun. Yang Ran tahu adalah teman sebangkunya Dai. "Sendirian lo, Jun? Mana Daina?" Bingungnya.
"Dai udah duluan, Kak, barusan."
"Naik apa? Ena kan nggak bawa sepeda."
Jun menjadi gugup entah karena apa, "Ta-tadi diajak Bas pulang bareng, Kak."
Ran menyernyit, dia kenal Bas. Anak basket sekaligus anggota club sains. Teman sekelasnya Dai dan Jun juga. Tumben sekali.
"Oh gitu." Respon Ran normal, Jun hanya mengangguk.
"Ya udah kalau gitu, gue juga balik duluan ya, Jun."
Hampir saja Ran menggoes sepedanya ketika Jun malah berpindah kedepan, menghalangi jalannya, "Tunggu, Kak!"
Ran menyernyit keheranan, "Kenapa?"
Bocah berpakaian putih-biru berkaca mata itu malah terdiam, Ran akhirnya kembali bertanya, "Ada apa, Jun?"
Selang beberapa detik hanya keheningan yang ada. Lalu Ran melihatnya menarik napas dalam. Dan detik berikutnya Ran hampir terjungkal ke belakang.
"Aku mau ngomong sama kakak." Pekik Jun tiba-tiba membuat beberapa murid yang masih berada disana sejenak menoleh kearah mereka berdua.
Ran semakin kebingungan.
Dan disinilah dia sekarang, berdiri sendiri di parkiran. Disaat semuanya sudah pulang. Menunggu Jun yang sejak tadi izin pergi ke toilet, hingga kini belum kembali. Ran bisa saja memilih pergi pulang daripada harus menunggu lama seperti ini. Bahkan diapun tak tahu harus menunggu untuk apa. Tapi begitulah Ran, mana tega.
Ponselnya berdering, Dai menelpon. Dengan nada berseri-seri yang tanpa Ran perlu bersitatap pun dia tahu. Gadis itu sedang bahagia. Membuatnya ikut tersenyum.
"Coba tebak, Koko Ran!" Serunya di ujung sana.
Ran mendengus geli, sudah lama dia tidak mendengar Dai memanggilnya begitu. Mengucapkannya secara riang, seperti gadis kecil yang menggemaskan.
"Apa?" Tanyanya santai.
"Tebak dong!" Tantang Dai.
Ran pura-pura berpikir, "Emm, dapet kupon makan gratis all you can eat sepuasnya?"
"Bukanlah."
"Atau dapat kiriman satu truk pop ice taro?"
"Ish, ngaco."
"Ah, kalau gitu pasti lo abis dapet tiket konser EXO gratis. Iya kan? Nggak salah dong gue?"
"Ngayal! Dengus Dai di sebrang sana.
Ran tertawa dibuatnya, "Ya udah deh, gue nyerah. Ada apaan sih?"
Dai terdengar cengengesan, "Kasih tahu nggak ya." Ledeknya, "Don't shock okay."
Ran malah menyeringai di ujung sana, "Yeah, lets we see."
Dai terdengar menghela napas panjang, sebelum mengatakan sesuatu yang nampaknya begitu penting itu untuk Ran ketahui sekarang juga. Setidaknya itu yang ada dipikiran Ran. Karena jika itu bukan apa-apa, gadis itu tidak akan memberitahunya di telpon seperti sekarang.
"Na-."
"Bas nembak gue." Potong Dai cepat sebelum Ran menyela.
Dan kalimat itu serasa mimpi buruk bagi, Ran. Sebaiknya dia memastikan sekali lagi.
"Apa lo bilang?" Dalam hatinya dia masih berharap kalau barusan dia hanya salah dengar.
"Iya, Ran. Bas nembak gue tadi. Kaget kan lo? Gue juga. Sumpah."
Suara Dai masih menguar dari ponsel yang digenggam Ran. Tapi telinganya seakan mendadak tuli dalam sekejap.
"Halo, Ran? Ran lo masih disana kan? Ran? Kok lo diem aja sih?"
Ran tersentak, kembali ke kesadarannya, "Oh i-iya. Gue masih disini kok. Na."
"Oh gue kira lo pinsan tadi saking kagetnya. Karena gue juga rasanya pengen pinsan tadi." Dai tidak menyadari apa yang terjadi pada hati Ran yang seakan retak karena berita barusan.
"Iya, gue kaget, Na." Ran berdehem sekali untuk menetralkan keterkejutannya, tapi masih ada satu lagi yang harus dia pastikan.
"Terus gimana? Lo ... terima?" Ada jeda cukup panjang disana, seiring dengan debar jantungnya yang kian memacu cepat.
Dan jawaban dari Dai setelahnya membuat Ran mengerti bahwa dia telah kehilangan kesempatannya.
Sang waktu mempermainkannya.
Tidak sejalan dengan sebuah rencana akbarnya malam nanti yang ia siapkan khusus untuk gadis itu.
Ran kalah langkah.
Menelan ludahnya susah payah.
"Congrats, Na" Akhirnya hanya itu yang bisa ia katakan sekarang.
"Thanks, Koko Ran. Oh iya, nanti malam jadi kan yang ajakan lo buat makan malem itu?"
Dengan sisa-sisa kepingan yang berserakan ditengah kerapuhannya Ran menjawab, "Sorry ya, Na. Gue lupa ada yang harus gue urus sebenernya malam nanti."
"Urusan apa?" Tanya Dai.
Ran menggigit bibirnya, bingung harus menjawab apa. Masa iya dia harus bilang 'urusan nyomotin serpihan hati yang lebur berkeping-keping karena lo, Ena.'
"Kok mendadak gitu sih?" Kesal Dai.
"Iya, Na. Maaf ya."
"Untung gue lagi seneng." Menghela napas beratnya sekali, "Yaudah deh nggak apa. Tapi janji ya lain kali harus diganti hutang makan malamnya."
Dai berkata santai, seolah tak ada yang terjadi saat ini. Padahal hati dan harapan Ran sudah ia hancurkan berkeping tanpa ia sadari.
"Yeah, May be next time, Na."
May be next time you'll be mine.
Panggilan itupun berakhir. Seperti harapan Ran yang harus diakhiri cukup sampai disini. Harapannya untuk bisa menjadikan Dai kekasihnya di malam nanti. Tapi mau bagaimana lagi.
Salahnya, Mencintai Raga yang tak peka.
"Kak Ran."
Lamunan Ran dibuyarkan oleh panggilan orang yang kini berdiri di depannya. Jun sudah kembali ternyata. Dengan perasaan lebih santai dari sebelumnya. Mata besarnya melirik kesana-kemari, memastikan bahwa hanya tinggal mereka berdua yang tersisa.
Sepi.
Setelah itu, Jun menghela napas sebanyak tiga kali sambil memejamkan mata. Mengumpulkan nyalinya, yang di mata Ran malah terlihat semacam banteng sebelum menyerang.
Nih cewek sehat kan?
"Jun, lo ngapain sih?" Tanya Ran bingung saat Jun menatapnya penuh tekad.
"Jun-."
Dan ucapan Ran terpotong ketika suara Jun terdengar lebih seperti teriakan. Matanya membola menatap Jun tidak percaya. Kini dia mulai ragu pada pendengarannya sendiri untuk kedua kalinya di sore ini. Ran mengira dia sudah mulai berhalusinasi sekarang.
Akhirnya Ran hanya bisa menampakan cengiran bodohnya di depan Jun, sambil bertanya lagi untuk sekedar memastikan, "Lo bilang apa tadi? Sorry, tapi takutnya gue salah dengar barusan."
"Kalau gitu biar aku ulang." Pandangan Jun layu, tapi tubuhnya tidak setegang sebelumnya. Menatap mata itu penuh siratan. Menyalurkan pendaman rasa yang sudah cukup lama kian menyiksa.
Dan kalimat itupun ia ucap ulang namun kini dengan alunan yang membuat Ran yakin telinganya seratus persen waras.
"Kak Ran mau nggak jadi cowok aku?"
This is complicated, isn't?
***