Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Onang Bilang

🇮🇩AuliaRamadhanti
--
chs / week
--
NOT RATINGS
10.2k
Views
Synopsis
Terlalu besar kepercayaan yang ditanam ditambah keluguan yang dimiliki membuat Maul harus terseret ke dalam pertikaian antara sepasang suami istri. Walaupun jauh di dalam hatinya, Maul sangat menghargai mereka sebagai orangtua angkatnya. Tapi siapa sangka, sikapnya itu dianggap sebagai sesuatu yang ganjil bagi kebanyakan orang.
VIEW MORE

Chapter 1 - Onang Bilang

Onang bilang, "Dia itu cuma mau kelihatan baik di depan kamu. Tapi kenyataannya, anak istrinya tidak dia kasih makan."

Aku dibuat kaku hingga tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul di dalam hatiku, rasa malu yang sudah tidah tidak bisa terbendung, rasa jijik kepada diriku. Bahkan aku pun menganggap jika diriku adalah orang yang benar-benar bodoh karena tidak mengetahui hal ini lebih cepat.

"Ibu tidak marah sama kamu, tidak. Kamu jangan berpikir ini salahmu, ya?" tegasnya. Bagaimana mungkin ini bukan salahku? Jika aku juga terlibat di dalamnya? Pikiranku menjawab setiap perkataan yang diuangkapkan wanita di hadapanku ini.

Suasana kamar saat ini tidak ubahnya ruang introgasi yang sedang memojokkan diriku. Pintu dan jendela yang tertutup rapat menambah suasana mencekam yang sedari tadi sudah menyelimuti diriku.

Suara anak-anak yang saling berteriak, suara penghuni kamar lain yang saling bersahutan, bahkan suara ibu kos yang sangat nyaring sekali pun tidak mampu menembus kengerian yang ada di dalam kamarku.

"Bapak sekarang lagi Puber kedua. Ibu sadar Itu. Dia bahkan gak biasanya pakai baju rapi, tapi sekarang selalu rapi pakaiannya, gak pernah pakai parfum, tapi sekarang selalu wangi."

Sekali lagi aku memberanikan diri untuk menatap wajah wanita yang tidak lagi cerah itu. Wajahnya sudah penuh dengan aliran air mata yang tumpah tak terbedung.

Mata yang kulihat saat ini adalah mata yang sama seperti yang kulihat sebelumnya. Tapi kenapa mata ini sudah tidak memiliki rasa nyaman dan meneduhkan seperti yang kurasakan sebelumnya. Sorot matanya kini dipenuhi oleh perasaan kecewa yang begitu besar. Amarah yang terpendam membuat cahaya matanya berkilat-kilat tajam.

"…bapak sekarang lagi puber kedua…"

Kalimat itu benar-benar mengganggu ketenangan hatiku. 

Segala sikap dan tindakan serta kebaikan yang kuterima dari pria tua itu seketika mencuat di dalam bayanganku. Bagaimana suara dan untaian kalimat yang keluar dari mulut lelaki tua itu terngiang-ngiang di dalam kepalaku.

Hatiku sesak bahkan aku pun merasa jijik kepada diri sendiri karena menerima setiap perlakuan itu tanpa rasa curiga sedikit pun.

***

Sebelumnya aku selalu menantikan waktu untuk bisa bersenda gurau bersama dengan pasangan suami istri ini. Bahkan aku pun tidak lagi canggung untuk bercakap dan bersenda gurau bersama dengan anak dan keponakan mereka yang usianya lebih tua dari pada diriku.

Rasanya mereka tidak pernah membedakan antara diriku dan keluarga mereka. Semua diperlakukan sama. Mereka bahkan tidak sungkan berbagi apapun dengan diriku.

"Abang ini, abangnya kamu. Bapak itu juga bapaknya kamu, dan dia itu juga adiknya kamu." tegas lelaki muda yang duduk di sampingku. Memecah keraguan yang sesaat muncul di dalam benakku.

Mungkin saja saat itu keraguan yang muncul di dalam hatiku  muncul secara tiba-tiba dan disadari oleh Abang Ki-lelaki yang mempertegas keberadaan diriku di antara keluarganya.

Rupanya aku memiliki posisi yang cukup berarti di antara mereka, yang tentu saja tidak dimiliki oleh penghuni kos lain. Begitulah pikirku.

Tidak jarang pula, lelaki tua yang kusebutkan sebelumnya mengajakku berkeliling. Melihat hal-hal yang mungkin saja tidak akan bisa kulihat tanpa dirinya.

Setiap kali aku memiliki waktu senggang, dia akan membawaku berkendara. Kami pergi ke kawasan pabrik semen, yang sudah tentu tidak akan mungkin jika aku pergi sendiri. Lelaki itu membawaku ke tambak ikan di belakang rumahnya. Mengajakku bertemu dengan anak-anak perempuannya, mengajariku membuat makanan sederhana. Ia juga tidak segan memuji keahliankuyang tidak seberapa. Tanpa rahi aku punikut serta ketika ia beserta anggota keluarga yang lain pergi ke salah satu tempat pemandian air panas ketika malam hari dan kembali dini hari.

Bahkan ketika kemalangan menimpa diriku, salah satu gigi depanku tanggal. Orang pertama yang kumintai tolong adalah lelaki itu. Ia dan istrinya datang menemuiku di dalam kamar di tengah kepanikan yang kualami.

Mereka berdua menenangkan diriku, dan lelaki tua itu berjanji akan menemaniku pergi ke salah satu dokter gigi yang tidak lain adalah kerabatnya. Tentu saja aku merasa senang karena akhirnya memiliki jalan keluar dari masalah yang sedang kualami.

Keriangan yang kutunjukkan dengan senyuman itu ternyata memanjing lekaki tua itu melakukan sesuatu yang tidak bisa kuprediksi sebelumnya. Setelah sang istri pergi meninggalkan kami, ia tiba-tiba saja melayangkan tangannya menyentuh ujung hidungku.

Disentuh pada bagian wajah dengan cara yang demikian membuatku seketika membatu. Tidak ada di dalam bayanganku mengenai sikap apa yang harus aku tunjukkan untuk membalas tindakkan itu.

Tidak hanya sampai di situ, lelaki tua itu selalu menghubungi, setiap hari, hanya untuk menanyakan jam makan siangku. Aku yang tidak terbiasa dengan hal itu, seketika merasa risih yang teramat sangat. Oleh karenanya sering kali kutolak panggilan itu atau dengan sengaja kuabaikan.

Aku mulai merasa tidak nyaman dengan perlakuan yang demikian. Rasanya ketananganku sadah mulai terganggu. Di lain kesempatan, ketika aku sedang berkumpul bersama dengan teman-temanku, lelaki tua itu sekali lagi menghubungiku.

Panggilan pertama dengan sengaja kuabaikan. Kubenamkan ponselku dalam-dalam. Kutimpa dengan beberapa barang agar suaranya tidak mengganggu kami. Tapi rupanya, panggilan yang kuabaikan itu tidak sampai membuat dirinya menyadari jika aku sedang sibuk bersama dengan teman-temanku. Sekali lagi ia menghubungi.

Tidak mungkin aku selamanya mengabaikan panggilan itu. Akan jelas jadinya dika aku menunjukkan ketidaknyamananku, dan itu akan mempengaruhi hubungan yang sudah terjalin dengan baik antara diriku dan keluarganya yang lain.

Dengan sangat terpaksa aku yang masih merasa tidak nyaman menjawab panggilannya.

"Halo.." ucapku

"Ah halo! dikira Bapak kamu kemana, dari tadi di telpon gak diangkat…" serbu lelaki tua di seberang sana.

Bagaimana jika sudah seperti ini?

Terpaksalah aku menggunakan suara manis yang bahkan tidak nyaman untuk kugunakan saat ini. Aku mencoba menjelaskan jika aku sedang sibuk dengan beberapa kawanku membahas satu perkara. Sebaik mungkin aku mengatur intonasiku agar tidak terkesan berteriak atau bahkan membentak dirinya.

"Sia tu Maul? Apak ang?" ucap salah seorang teman yang tentu saja membuatku terkejut.

"Bukan. Bapak Kantin." jawabku singkat.

Jawan singkatku itu rupanya tidak menyenangkan hatinya, "Sedang sama kawan sekarang?"

"Iya, Pak"

"Ada yang kira saya bapak kamu, terus kamu jawab bukan, ya?" ucapnya dengan sedikit suara tawa yang kuyakin itu adalah tawa penuh peperangan dan lemarahan.

Aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika aku kembali nanti.

Lain pula pada kesempatan lain, lelaki tua ini dengan sangat ringan tangan membelikanku makan malam. hampir di setiap harinya. Satu kali, dua kali aku mengusahakan untuk membayar makananku sendiri. Tapi semakin lama ia menjadi enggan dan mekarangku untuk melakukan hal itu.

Dia bahkan akan merajuk padaku jika aku melakukan hal itu. Ia akan mengacuhkanku sama seperti sebelumnya. Saat momen seperti itu terjadi, suasana sekitar akan sangat tidak nyaman untukku.

Sebenarnya, di saat-saat seperti ini aku sudah sedikit menyadari jika ada sesuatu yang tidak seperti biasanya sedang terjadi. tapi sungguh aku sama sekali tidak menyadari alasan di balik semua perubahan itu.

Onang yang sebelumnya selalu banyak bertanya, kini mulai membatasi kata-katanya ketika sedang bersama diriku. Abang Ki pun turut menjaga jarak denganku.

Wanita itu tiba-tiba saja menemuiku yang sedang berada di dalam kamar. Kedatangannya yang begitu mendadak menimbulkan tanda tanya di benakku. Tidak biasanya wanita tua itu datang, terlebih dengan caranya yang mengendap-endap semakin membuatku merasa sangat penasaran.

Sesekali wanita itu menoleh ke belakang, dari gerak-geriknya ia merasa takut jika tindakannya ini akan diketahui orang lain. Bahkan sesaat setelah ia masuk ke dalam kamarku, cepat-cepat ia menutup rapat pintu di belakangnya.

"Ibu mau ngomong berdua sama kamu, boleh?"

Segera aku pun mempersilahkan wanita itu untuk memulai mpembicaraannya.

"Semalam kamu pesan makan, uangmu berapa?" tanya wanita itu dengan raut wajah yang tegang. Kata demi kata yang ia ucapkan seolah memburu dan ingin segera dikeluarkan.

Raut wajahnya yang tegang, suaranya yang seolah memburu jelaslah bagiku jika wanita tua ini sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ia seolah menanti jawaban dari sekian banyak pertanyaan yang ada di benaknya.

"Saya gak kasih uang sama sekali, Bu" jawabku

Seketika aku menyadari jika situasi saat ini sama sekali tidak menguntungkan diriku. Ada hal yang tidak mengenakan sedang menati untuk menghantam kedamaian diriku.

"Benar kamu belum kasih uang?" kembali wanita itu mananyakan pertanyaan yang serupa kepadaku.

"Iya, Bu"

"Tapi bapak bilang kamu sudah kasih uang." Ia menghela napas dengan berat. Tampak jelas kekecewaan di raut wajahnya. Bahkan kemarahan yang perlahan-lahan mulai menampakkan diri.

"Kamu tahu gak bapak bilangnya gimana"

"Bapak bilang, kamu kasih uang serarus ribu satu lembar. Tapi keti bayar makanannya bapak kasih uang lima puluh ribu. Ibu kan jadi bingung?" lanjut wanita itu.

Aku diam. Tidak ada kata-kata yang bia aku ucapkan untuk membalas pertanyaan wanita yang ada di hadapanku ini. Salah-salah maka posisiku akan semakin tidak menguntungkan.

"Ibu tanya sama bapak, kembaliannya mana kalau kamu kasih uang segitu? Bapak gak bisa jawab, bapak ngeles." sesekali wanita itu menghapus air matanya dengan ujung pakaiannya.

Tanpa bisa aku kendalikan, kedua mataku pun menumpahkan air matanya. Sama derasnya dengan air mata wanita tua yang kini terisak tanpa bisa kukendalikan.

"Ibu gak menyalahkan kamu, engga, Nak. Dia itu cuma mau kelihatan baik di depan kamu. Tapi kenyataannya, anak istrinya tidak dia kasih makan."

Wajahku terangkat seketika. Aku tidak mengira jika seorang bapak yang bahkan sudah kuanggap sebagai orang tua melakukan hal ini dan bahkan melibatkan diriku.

Mataku mencari kebenaran di balik wajah kusam wanita itu. Aku berharap jika yang dikatakannya adalah sesuatu yang salah. Aku sama sekali tidak ingin terlibat dalam perkara ini.

"Banyak penghuni kos lain juga bilang, kalau sikap bapak ke kamu itu beda. Mereka nganggep itu udah aneh. Ibu gak mau masa depan kamu rusak, jadi ibu minta kamu gak usah terlalu dekat lagi sama bapak. Bilang aja kamu sibuk sama urusan kuliah."

Apa ini? Banyak orang yang mengannggap kedekatan ini adalah sesuatu yang salah. Sementara aku tidak merasakan kesalahan itu, Mereka bahkan menganggap hubungan ini salah. Sementara aku tidak menemukan letak kesalahan itu.

"Tuhan kenapa aku bisa sebodoh ini," lirihku

Pipiku memerah, jantungku berdegup semakin kencang. Sekarang kuyakini dimana letak kesalahanku sebenarnya.

Aku terlalu bodoh untuk bisa menyadari kesalahan. Aku terlalu menganggap segala sesuatunya adalah hal yang normal, sedangkan kenormalan menurutku adalah sesuatu yang salah bagi kebanyakan orang.

Aku benar-benar dibuat kecewa oleh diriku sendiri, mengapa aku tidak bisa lebih cepat menyadari kejanggalan itu yang bahkan sudah berbulan-bulan berlalu.

"Kalau bapak telepon lagi kamu tolak aja. Kalau perlu kamu blokir aja nomor bapak, ya?"

Dengan tubuh yang bergetar kuanggukkan kepalaku. Aku setujui semua yang dikatakan wanita ini. Apapun yang diminta olehnya saat ini, pasti kulakukan semi terindar dari permasalahan pelik dan menjijikan yang melibatkan dirku.

Kesyahduan yang tercipta selama beberapa lama di antara kamu tiba-tiba saja buyar. Kesenduan dan kelegaan itu segera teralihkan ketika ponselku berdering.

Lelaki tua itu menghubungiku…

Kuangkat ponselku, kulihat namanya. Tubuhku seketika meremang. ketakutan mulai menyelimutiku. Kulirik wanita yang kini sedang mengeringkan air mata dan mengendalikan emosinya.

Mulutku sama sekali tidak bisa berucap apapun lagi. kelu yang terasa, bahkan kini aku tidak memiliki keinginan untuk berkata apapun.

"Bapak?" tanya wanita itu.

Aku mengangguk membenarkan perkataannya. "SIni, biar Ibu yang ngomong supaya bapak gak perlu telpon-telpon kamu lagi."

Segera kuserahkan ponsel itu ke tangan wanita yang kini kembali tersulut emosi. Entah apa yang akan dia katakan ketika saling berbicara nanti. Entah apa pula yang akan terjadi setelah wanita itu meninggalkanku di sini. Semua pertanyaan itu sama sekali tak bisa kutemui jawabnya.

"Apo lai Da? Alah tu, ndak usahlah telpon-telpon ka siko lai.."

Dengan sedikit kesabaran yang tersisa, wanita itu meminta sang suami untuk tidak lagi menghubungiku apapun yang terjadi. Bahkan dengan tegas ia meminta suaminya untuk memutuskan hubungan apapun yang ada di antara kami.

Panggilan itu pun segera berakhir. Wanita itu mengembalikan ponselku, dan memintaku untuk segera memblokir nomor suaminya.

Aku yang tengah kalut dengan seluruh perasaan yang tidak mampu kujelaskan hanya bisa mengangguk, sedangkan aku tidak memblokir nomor itu dengan segera.

"Kamu gak usah bilang-bilang tentang masalah ini ke siapa-siapa, ya? apalagi Bang Imam. Kalau dia udah marah, dia bisa aja mukulin bapak."

Entah kenapa setiap kata-kata yang diucapkannya benar-benar membuat hatiku semakin sakit. Semakin banyak kalimat yang diucapkan semakin tersayat hatiku dibuatnya. Secara tidak langsung wanita ini sudah memutuskan semua hubungann yang kumiliki tidak hanya dengan lelaki tua itu, tapi dengan orang-orang lainnya, seperti Abang Ki dan Bang Imam.

Setelah tuntas mengatakan segala sesuatunya kepadaku, wanita tua yang telah kering air matanya itu melangkah keluar. Ia terlebih dahulu menenangkan diriku sebelum akhirnya luput dan pandanganku. Tapi tidak lama berselang, ponselku kembali berdering.

Lelaki tua itu sekali lagi menghubungiku…

Aku yang sudah benar-benar takut dan tidak nyaman, segera menyusul wanita tua itu. Aku berlari sekencang yang aku bisa. Untunglah, langkahnya tidak terlalu cepat sehingga aku bisa mengejarnya dan kembali memberikan ponselku.

Jantungku yang kini berdegup kencang dan ketidakmampuanku mengendalikan emosi, membuatku semakin terisak. Aku menangis di sisi salah satu anak tangga, menanti berakhirnya panggilan itu. 

Tidak tahu apa yang sedang dikatakan wanita itu, karena aku sama sekali tidak bisa mencerna hal apapun lagi. Aku benar-benar kalut saat itu.

"Udah, kamu gak usah nangis, Sekarang blokir aja nomornya." ucapnya

Keberadaan kami di tempat terbuka dan suara isak tangisku, atau bahkan suata wanita itu yang geram akan tindakan suaminya memicu kehadiran wanita bertubuh gempal untuk menghampiri kami.

Dengan ekspresi terkejutnya wanita itu menanyakan apa gerangan yang sedang terjadi sehingga membuatku menangis terisak seperti demikian.

"Kenapa? kenapa? hah? kenapa nangis begitu?"

Petanyaan wanita gempal yang begitu tiba-tiba seperti kehadirannya yang tidak kami sadari, seketika membuatku terkesiap. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin bagiku mengatakan kebenaran dari situasi ini.

"Ini, bapaknya yang telepon, makanya dia nangis." ujar wanita tua yang juga tengah bersimpuh di sampingku.

Untunglah wanita gempal itu tidak bertanya lebih lanjut meskipun masih tampak jelas ketidakpuasan di wajahnya.

*** 

Kejadian itu membuat kondisiku menjadi tidak baik-baik saja. selama beberapa hari duniaku menjadi gelap. AKu merasa seperti terjerumus ke dalam lubang yang dalam dan gelap. Namun tidak ada satu pun orang yang menyadari ketidakhadiranku.

Sangat besar harapanku ada seseorang yang datang dan mengulurkan tangannya padaku, menarikku dari gelapnya lubang yang sedang mengelilingiku.

Tapi tidak ada satupun…

Aku ditinggalkan. Tidak ada satupun yang bertanya bagaimana denganku, termasuk Abang Ki, yang sangat kuharapkan kedatangannya..

Semakin lama, keadaanku semakin memburuk. Aku tidak lagi bisa berhadapan dengan orang-orang di sekitarku. Kembali aku mengurung diri sepanjang hari di dalam kamar.

Sebisa mungkin kuhindari untuk bersinggungan dengan mereka. Aku malu atas kebodohanku yang tidak menyadari kesalahan ini lebih cepat. Aku marah pada mereka yang meninggalkanku sendiri tanpa ada yang bertanya. Aku bahkan kecewa pada kepercayaan yang membuatku dalam masalah yang amat memalukan.

Tidak ada teman untuk bercerita, karena tidak sanggup aku mengatakan hal ini kepada siapapun. Rasanya seperi aku tengah menguarkan aib yang ada di dalam diriku kepada banyak orang.

Sering kali kutunjukkan bahwa diriku tidak baik-baik saja, berharap ada yang menyadari dan menenangkan diriku. Tapi rasanya telinga mereka telah tertutup rapat atau bahkan memang tidak lagi menganggap keberadaanku.

Aku dibuang setelah semua yang terjadi…

BUtuh waktu yang lama bagiku untuk bisa berdamai, setidaknya dengan diriku sendiri. Meski rasanya tidak adil bagiku, tapi tidak ada usaha apapun yang bisa kulakukan.

Mereka terlalu luat untuk kuhadapi seorang diri, terlebih keberadaanku yang sudah dihilangkan dari pandangan mereka. Terlalu banyak pasang mata yang akan memandang buruk diriku, lebih buruk dari saat ini.