Kedua mataku menatap begitu banyak sandal yang berserakan di teras rumah kakekku. Aku tidak tahu ada berapa banyak orang yang datang untuk melihat kakekku.
Tubuhku masih berlari dengan cukup kencang. Aku bahkan tidak sampai melepas kedua alas kakiku yang juga turut serta masuk ke dalam rumah. Dari balik pintu, aku melihat beberapa orang duduk bersimpuh sedangkan di antara mereka ada seseorang yang sudah terbujur kaku dengan seluruh tubuhnya ditutupi oleh kain jarik panjang berwarna coklat.
Akal sehatku mengatakan jika orang yang berada di balik kain itu adalah kakekku. Tubuhku lunglai tepat di samping tubuh kakek yang sudah kaku. Mataku nanap melihat tubuhnya. Aku sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menyentuh tubuhnya atau sekadar menyibakkan kain yang menutupi wajahnya.
Kedua telingaku sayup-sayup mendengar isak tangis dari beberapa orang yang datang berkunjung. Mataku lantas menengadah melihat beberapa orang yang duduk di seberangku. Bibiku dan kedua anaknya menangis tersedu hingga memerah seluruh wajahnya.
"Mengapa mereka bisa menangis seperti itu? sementara tidak ada setetes pun air mata yang keluar dari kedua mataku" lirihku.
Tidak berselang lama, tiba beberapa orang mendekati tubuh kakek. Mereka menyibak kain pengalang mataku dari tubuh kakek. Barulah pada saat itu aku melihat bagaimana wajah kakek yang terpejam damai. Wajahnya begitu putih. Ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya.
Tubuhku benar-benar terpaku saat itu. Mataku lurus menatap wajah kakekku. Pikiran tiba-tiba saja ditarik mundur dan dipaksa mengingat kembali apa yang sudah pernah kami lakukan bersama. Bagaimana masa kecilku, aku habiskan dengan kakek. Bagaimana aku yang sama sekali tidak bisa tidur nyenyak jika aku tidak mencium aroma tubuh kakek. Bagaimana cekatannya ia merawatku ketika aku jatuh sakit selama berminggu-minggu setiap bulan. Bagaimana kami pergi hanya berdua menelusuri jalanan panjang tanpa ujung.
Semua kilasan bayangan itu berkelebat-kelebat di dalam kepalaku. Aku menikmati semua potongan gambar yang tampak nyala di dalam kepalaku. Orang-orang yang berlalu lalang, saling mengimbau satu sama lain bagaikan menguap dari diriku. Aku tidak mendengar bagaimana riuhnya orang-orang di sekitarku. Aku benar-benar terlena menikmati kilasan kenangan sembari menatap tubuhnya.
Untuk beberapa saat setelahnya aku kembali sadar dari lamunanku. Walaupun keadaanku tidak jauh berbeda dari sejak awal kedatanganku, aku mulai menerima sedikit informasi terakhir kakekku sebelum ia benar-benar menghembuskan nafasnya yang terakhir.
"Anak-anaknya yang lima itu baru banget pulang tadi pagi setelah sebelumnya mereka nginap di sini. Terus barusan kita tinggal ke dapur sebentar sama pergi untuk mandi. Pas balik lagi udah gak ada" ucap nenekku.
Kakek pergi sendiri…
Aku ingat bagaimana selama ini kakek selalu meminta kepada Tuhan untuk segera mengambil kehidupannya. Ia sudah benar-benar tersiksa dengan tubuhnya yang renta dan sakit-sakitan.
Tidak lama berselang tubuhku hilang kesadaran. Tubuhku lemas dan pandanganku gelap seketika.
Aku jatuh tepat di samping kakek. Tubuhku sudah habis kekuatannya, yang mungkin saja habis ketika pertama aku mendengar kabar kematiannya. Aku tahu beberapa orang membawa tubuhku ke kamar. Mereka mencoba mengembalikan kesadaranku dengan berbagai cara. Tapi tubuhku merasa enggan untuk kembali pada kenyataan yang begitu memilukan.
Di tengah ketidaksadaranku itu, pikiranku sekali lagi membawaku kepada kenangan lama yang selama ini tersimpan di sudut terdalam hingga aku sendiri tidak ingat jika aku memiliki kenangan itu bersama kakek. Aku hanya ingin berlama-lama menikmati kenangan itu.
Melihat bagaimana tubuh kakek masih bugar beberapa tahun lalu. Tubuhnya masih kokoh berdiri dan ketampanannya masih terpancar. Tapi kemudian semua itu hilang dalam waktu cepat ketika penyakit-penyakit mulai bersarang di tubuhnya.
Tidak lama, dengan paksa tubuhku kembali pada kenyataan. Seseorang menekan bagian antara ibu jari dan telunjukku dengan begitu kuat. Aku tidak mampu menahan kesakitan itu lebih lama dan menyerahkan semua kenangan itu kembali ke tempatnya.
Tanpa kusadari air mataku sudah membasahi bantal yang menyangga kepalaku. Kukerjapkan kedua mataku untuk menghilangkan bekas air mata yang mungkin saja masih menggenang di pelupuk mataku. Aku beranjak dan merapikan pakaianku yang sudah kusut. Kukenakan kembali kerudungku meski tidak serapi sebelumnya. Kuyakinkan kakiku untuk melangkah kembali menemui kakekku.
Kudapati beberapa orang sudah membawa tubuh kakekku untuk dimandikan.
Kalian tahu apa yang kulihat?
Ada begitu banyak pria yang tidak berhubungan keluarga dengan kakek tapi mereka berbaris mengantri hanya untuk memandikan tubuh kakekku untuk yang terakhir. Setelahnya mereka membawa tubuh kakek untuk dikafani. Setelah itu aku tidak lagi melihat rupa kakekku.
Hari menjelang magrib ketika itu, dan tubuh kakekku pun direncanakan esok hari baru akan dikebumikan. Semua itu lantaran menunggu anak-anaknya yang lima untuk kembali.
Aku memiliki ketidaksukaan terhadap kelima anak kakek ini. Semua terjadi karena aku tahu bagaimana kakek merindukan anak-anaknya tapi tidak ada satu pun yang datang untuk mengunjunginya. Terlebih ketika beberapa tahun silam kakek masuk rumah sakit untuk dirawat. Hanya seorang dari anaknya yang mengunjunginya. Sementara aku harus bermalam selama dua hari menemani kakek. Bergelut dengan nyamuk malam yang tidak bisa diajak berkompromi dan menyaksikan bagaimana seorang sedang menghantarkan nyawa kepada pemiliknya.
Tapi aku sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan anak-anaknya ketika mendapatkan kabar kematian sang ayah setelah mereka tiba dari mengunjunginya. Mungkin saja perasaan mereka lebih hancur dari itu semua.
Mengingat kakek akan dimakamkan esok hari, maka sudah pasti tubuhnya akan tetap berada di rumah itu hingga pagi menjelang.
Aku katakan rahasiaku sebelum ini, Aku sangat takut dengan kain putih yang akan membuatku lari tunggang langgang. Aku juga takut dengan sesuatu yang berhubungan dengan mayat. Tapi kali ini Tuhan menarik semua ketakutan itu untuk sementara. Tidak ada setitik pun ketakutan di hatiku.
Sepanjang malam aku duduk di sampingnya. Membacakan Surat Yasin beriringan dengan beberapa orang pria yang memang sengaja diminta untuk melakukan itu. Bahkan aku bersama dengan beberapa orang lainnya menghabiskan malam tepat di samping jasad kakekku.
Banyak orang bilang, jika seseorang di dalam rumah itu meninggal, akan ada perasaan takut dan suasana yang berbeda., mencekam. Tapi semua rasa itu tidak kami rasakan. Olehku ataupun oleh penghuni rumah lainnya. Bukan karena ada begitu banyak orang, bahkan setelah beberapa hari kakek dimakamkan rasanya tidak ada yang berubah.
Kami semua selalu merasa kakek masihlah ada. Tidak ada aura kematian yang menyelimuti rumah itu. Pun dengan orang-orang yang hadir berkunjung ke kediaman nenekku untuk sekadar berbela sungkawa.
Sekitar pukul pukul lima pagi, aku memutuskan untuk kembali ke rumah terlebih dahulu. Membersihkan diri sebelum akhirnya kembali lagi ke rumah ini. Ada satu hal yang terjadi, di sela menunggu ibuku selesai bersiap, tiba-tiba saja aku jatuh tertidur dengan pulasnya. Tubuhku meringkuk di tepian kasur yang tepat berada di hadapan pintu.
Saat itu kuingat dengan jelas aroma wewangian yang dikenakan kakekku tiba-tiba tercium di dalam kamar pribadiku. Lalu setelahnya, di dalam tidurku aku melihat kakek datang menghampiriku dengan senyuman yang lebar di wajahnya.
Tubuhnya kini tegak dan berisi, sama seperti kondisinya bertahun-tahun lalu. Tersenyum padaku di antara awan-awan tipis yang ada di kakinya. Kakek tidak mengatakan apapun padaku. Dia hanya menyambangiku seperti ingin berpamitan setelah ia pergi tanpa bersua denganku terlebih dulu.
Tapi tiba-tiba aku terbangun. Aku menangis dan meraung. Untuk pertama kalinya aku merasakan kepiluan yang amat sangat karena ditinggalkan olehnya. Kutarik ujung-ujung tempat tidurnya untuk mengalihkan rasa sesak yang sedang menyelimuti hatiku. Tapi usahaku sama sekali tidak membuahkan hasil apapun. Sesak itu masih terus hingga beberapa hari setelahnya.