Chereads / Onang Bilang / Chapter 15 - Pulang

Chapter 15 - Pulang

"Gua jahat Sya sama lu. Gua sayang sama lu tapi gua gak tau kenapa bisa kaya gini Sya. Gua gak paham sama hati gua, gua gak ngerti sama hati gua, sekarang aja gua gak tau harus kaya gimana. Gua gak tau apa yang gua lakuin ini hal yang tepat atau bukan. Maafin gua, Sya. Gua boleh minta waktu buat mikirin semua ini? Maafin gua, Sya."

Hari itu dunia terasa gelap menyelimutiku. Tidak tahu ke mana aku harus melangkah. Ke mana harus berpegang. Tali yang selama ini menuntunku dari gelapnya dunia bawah tiba-tiba saja terputus tanpa sebab.

Tubuhku gemetar tak kuat menahan amarah yang memuncak dengan cepat. Dadaku sesak seolah hilang udara di sekitarku. Betapa menakutkannya dunia di depanku saat itu.

***

Lega rasanya bisa kembali melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Tubuhnya masih tetap sama seperti terakhir kali kulihat. Hanya saja, tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Lingkar hitam di kedua matanya jelas menampakkan diri. Matanya yang berkaca sudah menjelaskan padaku betapa berat hari yang sudah ia lalui sejak kejadian itu.

Kegamangan hati yang ia rasakan beberapa hari terakhir membuat kami berada dalam situasi yang sulit. Antara mempertahankan atau melepaskan. Saat ini pun kami berusaha bersikap dengan baik tanpa tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Hari ini aku akan menuntut keputusan yang sudah ditangguhkannya.

Kusunggingkan senyuman yang selama ini kusimpan untuknya. Berusaha menyampaikan padanya bahwa aku baik-baik saja saat ini, sekadar untuk menenangkannya.

Kurentangkan kedua tanganku membiarkannya menghambur ke dalam pelukanku. Ada rasa yang ingin aku sampaikan setelah sekian lama kupendam di dalam diriku.

Sosok itu pun segera menghambur ke arahku dan memeluk erat tubuhku di dalam dekapannya. Ada kehangatan yang beberapa waktu ini tidak kudapatkan. Kehangatan yang selalu aku rindukan untuk melepas semua amarah, keluh, sedih. Semua itu akan berganti dengan ketenangan dalam dekapannya.

Kucium sisi tubuhnya yang mampu kujangkau hingga tanpa terasa kedua mata kami telah berderai air mata. Air mata kerinduan pada satu sama lain, pelampiasan, dan penyesalan. Semua rasa yang ada di hati kami menjadi satu begitu saja.

Begitu lega rasanya bisa menuangkan segala rasa yang selama ini tertahan di dalam hati kami masing-masing. Kedua lengannya yang melingkar di tubuhku telah berhasil mengangkat kesedihan yang kurasakan sebelumnya.

"Maaf…" lirihnya

Begitu menyayat apa yang dikatakannya. Terasa ada begitu banyak beban yang mengiringi. 

Kuraih tangan kanannya lalu kukecup pelan telapak tangannya. Walau air mata masih menetes dari kedua celah mataku, sebisa mungkin kusebarkan ketenangan di tengah hatinya yang bimbang.

"Kita pergi sekarang?" tanyaku

Ia tidak mengindahkan apa yang kukatakan. Ia kembali memelukku dengan begitu erat seolah apa yang sudah ia lakukan sebelumnya belumlah cukup menyampaikan apa yang selama ini dipendamnya.

"Sebegitu beratkah apa yang ia rasakan, Tuhan?"

"Gak apa-apa ya"

Apa yang baru saja kuucapkan tidak sepenuhnya benar. Sama seperti yang dirasakannya, aku pun merasakan duka yang teramat sangat menyayat hati karena kegamangan hatinya ini. 

Ada rasa nyeri ketika aku mengingat kejadian yang lalu. Rasa yang seketika memicu air mataku untuk kembali tertumpah walaupun entah sudah berapa banyak air mata kukeluarkan untuk hal ini.

"Pergi sekarang ya?" segera kualihkan situasi tidak menyenangkan ini.

Sosok lelaki itu pun segera mengindahkan perkataanku. Selanjutnya, kami bergegas menuju kediaman nenekku yang sudah menunggu kedatangannya.

Tidak sampai hati dan pikiranku tentang apa yang terjadi setelah ini. Semakin lama hatiku semakin takut untuk menerka-nerka. Takut jika apa yang kuinginkan tidak menjadi jawaban yang diberikan olehnya.

***

Kedatangan kami begitu disambut hangat oleh nenekku. Bahkan tampak kilauan di kedua matanya. Ia tengah berusaha menahan luapan air matanya yang mendesak untuk keluar. 

Nenek mempersilahkan kami masuk dan duduk di atas tikar yang sudah digelarkannya. Sudah ada begitu banyak pula makanan yang disajikan.

Nenek memang sengaja menyiapkan semua ini hanya untuk lelaki yang kini duduk di sampingku.

Saat ini nenek sama sekali tidak mengizinkan untuk bertukar cerita terlebih dulu. Ia ingin semua orang mengisi perut mereka lebih dulu baru kemudian menceritakan semua hal yang menjadi pertanyaanku sepanjang minggu ini.

Momen seperti ini adalah masa yang tidak akan pernah aku lewatkan. Bagaimana lelaki ini dengan lahapnya mengunyah makanan yang ada di hadapannya.

Bagaimana cara ia duduk, caranya mengunyah, dan tersenyum canggung juga tidak luput dari perhatianku.

"Makan yang banyak, biar gemuk" ucapku

Segera lelaki itu pun menoleh dan bingung mendapatiku yang tidak memakan apapun, "Kenapa gak makan?" 

"Udah kenyang, tadi sempet ngemil di rumah." jawabku

"Makanlah, sedikit aja"

"Engga usah, makan aja"."

Tanpa kusadari mataku kembali berkaca. Sementara itu hati dan pikiranku masih menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah ini. Apa yang akan dikatakannya adalah kabar baik atau mungkin berita buruk yang akan kembali melukai hatiku.

"Kenapa diem aja?" tanyanya

Aku sedikit tersentak dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.

"Terkesima liat kamu makan banyak." jawab nenek

Segera kusunggingkan senyum. Tanpa mereka tahu, jantungku saat ini sedang kencang bergemuruh hingga membuatku merasa mual.

Kutarik nafas dan kuhembuskan untuk menenangkan diri. Kemudian, kuambil sebuah kurma untuk kunikmati mengalihkan fokus dari hal-hal yang sedang berputar-putar di dalam kepalaku.

Tidak bisa kubayangkan jika aku kehilangan momen seperti ini. Ketika aku merasa memiliki keluarga yang hangat dan penuh dengan tawa ringan. Apa jadinya jika ini adalah saat terakhir aku bisa menyaksikan keakraban di antara mereka.

Suasana seperti ini adalah satu hal yang begitu menyenangkan untuk kurasakan dan kupandangi meski harus berjam-jam lamanya. Ada dahaga yang perlahan terbayar oleh aliran air nan segar pegunungan.

Ada damai yang tidak bisa diungkapkan. Ada rasa aman dan percaya yang melingkupi kami semua. Semua perasaan itulah yang akan hilang jika lelaki ini menyampaikan kabar buruk setelah ini.

"Sudah selesai?" tanyaku

Lelaki itu mengangguk. Segera kurapikan peralatan makan yang ia gunakan. Kusodorkan air basuh ke hadapannya dan menanti hingga ia usai membersihkan sela-sela jemarinya yang kotor.

Nenek dan sosok lelaki ini kemudian saling berbincang di atas kursi, sedangkan aku memutuskan untuk membantu bibiku merapikan peralatan makan yang sudah digunakan. Lebih tepatnya aku menyiapkan diri untuk hal-hal buruk yang bisa saja terjadi.

***

"Jadi bagaimana?" tanya nenek setelah sebelumnya panjang berbasa-basi

Sosok lelaki ini terdiam untuk sesaat. Mungkin dia menyiapkan diri sebelum mengatakan apa yang ingin dikatakan dan kami dengar.

Lelaki itu menghadap ke arahku, "Aku minta maaf untuk kejadian kemarin." ujarnya.

"Apapun keputusan kamu ini aku dukung, selama kamu bahagia dengan keputusanmu." ujarku

"Aku gak bahagia, selama ini aku selalu merasa bersalah karena kejadian kemarin. Bayangan apa yang kamu lakuin karena hal itu, setiap kata-kata kamu, semua itu selalu aku ingat."

Nada suaranya kini meninggi, bahkan air matanya tidak lagi bisa ia bendung. Wajahnya berubah merah karena rasa bersalah yang muncul di hatinya.

Kutatap wajahnya lekat-lekat, berusaha memberikan ketenangan padanya yang mulai tidak bisa menguasai diri karena rasa bersalahnya.

"Berbulan-bulan kita pisah. Tanpa pernah sekali pun ketemu. Ada perasaan rindu di antara kita yang tidak bisa tersampaikan. Rindu yang berlarut bikin hati kamu gamang." ujarku

"Sya?"

"Ambil keputusan yang baik untuk hidupmu. Apapun itu harus yang terbaik untukmu." 

Tidak ada satu pun di rumah itu yang tidak meneteskan air mata melihat jalan cerita hubungan kami yang penuh dengan kegamangan.