Hantaman itu tepat mengenai rahangku dengan cukup keras. Entah sudah berapa kali pukulan itu mengenai tubuhku. Yang pasti seluruh tubuhku saat ini benar-benar tidak lagi mampu merasakan apapun.
Di tengah kondisi tubuhku yang sudah benar-benar lemas tidak berdaya, sedikit kurasakan genggaman tangan yang begitu kuat di bagian rambut dan rahangku. Sedetik kemudian aku melihat wajah lelaki yang begitu kucintai menatapku dengan begitu bengis.
Ada rasa sakit yang kurasakan melebihi luka-luka yang ada di tubuhku. Hatiku begitu sakit melihat wajah beringasnya. Aku tidak pernah menyangka jika hal keji seperti ini akan dilakukan olehnya.
"Lu itu terlalu banyak ikut campur urusan gua, tahu gak? Lebih bagus lu diem aja. Gak perlu ngurusin urusan gua!"
Teriakannya begitu nyaring di telinga dan begitu menyakitkan. Ditambah genggaman tangannya yang semakin kuat membuatku tidak lagi mampu menatapnya.
Kupalingkan wajahku yang sudah tidak tahu bagaimana rupanya. Yang pasti aroma darah begitu menyengat di hidungku.
Aku tidak menyangka jika keluhanku atas kebiasaannya yang tidak pernah berubah memicu tindakan seperti ini. Beberapa kali tamparannya mengenai wajahku. Ia bahkan tidak segan menendang perut serta kepalaku. Ia menjambakku dan mendorongku begitu kuat hingga aku tersudut pada dinding kamarku.
Aku menangis meminta ampun tapi tidak sekalipun ia mendengarku. Ia semakin menjadi-jadi memukuli tubuhku yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tubuhnya.
Ia sesekali menjauh dari tubuhku, mendengus kesal bahkan menjambak rambutnya yang tidak seberapa panjang itu.
Ia melempar tubuhku dengan kuat hingga tersungkur ke lantai. Aku yang sudah kehilangan arah, berusaha untuk bangkit. Seluruh tenaga kukerahkan untuk untuk bisa beranjak dari tempat itu dan pergi melarikan diri sejauh mungkin.
Aku benar-benar meringis kesakitan. Tangisku terisak tiada henti. Sampai ketika tubuhku mampu untuk berdiri dan berjalan tertatih menuju pintu, lelaki itu sekali lagi meraih tubuhku dan melemparkan dengan begitu kencang hingga kepalaku tepat mengenai patung kayu yang berdiri tak jauh dari tubuhku.
Aku benar-benar sudah tidak bisa lagi merasakan seluruh anggota tubuhku. Sayup-sayup kudengar teriakannya yang begitu membahana. Tidak lama teriakan itu berganti dengan jeritan seorang wanita. Aku kenal suara itu. itu suara ibuku. Benar itu memang ibuku. Untunglah dia datang.
Tapi selepas itu aku sudah tidak lagi mampu untuk mempertahankan kesadaranku.
Aku tidak mengingat apa lagi peristiwa setelah itu. Yang ada hanya gelap dan sedikit suara riuh yang tidak kukenali dengan baik. Entah apa yang terjadi pada tubuhku. Aku sudah tidak lagi mampu berbuat apapun.
Suara asing yang tiba-tiba menyusup ke dalam telingaku berhasil membangunkan tubuhku dari tidur yang begitu melelapkan. Pada saat yang sama pula, kurasakan sakit di sekujur tubuhku yang tiada tara rasanya. Setiap sendi yang ada di dalam diriku seperti hancur berkeping.
Perlahan aku mulai membuka kedua mataku. Ada cahaya terang sedikit demi sedikit menyusup ke dalam mataku. Berulang kali aku berusaha untuk membiasakan diri akan hal itu. Cahaya terang itu akhirnya mampu kuatasi. Kini mataku bisa membuka dengan sempurna.
Hanya saja, ada sedikit yang mengganjal pada pandanganku. Aku tidak tahu pasti apa itu. Kulirikkan mataku ke segala penjuru ruangan itu berharap ada seseorang yang kukenal untuk membantuku. Tidak lama kedua mataku ini berhasil menemukan sosok ibuku yang berdiri tepat di ujung kakiku.
Dengan lirih kupanggil ibuku yang masih belum menyadari diriku yang telah tersadar. Segera ibu berjalan ke arahku dan membelai wajahku. Tampak begitu jelas kecemasan dari wajahnya melihat keadaanku yang seperti ini.
"Naya… gimana perasaan kamu sekarang?" tanya ibuku
"Sakit.." jawabku dengan lirih dan terbata-bata.
Sampai dengan saat ini aku masih belum tahu dengan pasti apa yang sudah dialami oleh tubuhku. Hanya ada rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhku.
"Nay, …" seketika ibuku terisak. Aku tahu seberapa perih hatinya mendapati kondisiku yang seperti ini.
"Tomi…?" lirihku kembali
Ibu menatapku dengan derai air mata yang belum menghilang dari wajahnya. Tampak kebencian dari tatapan wajahnya.
"Jangan panggil dia lagi Nay. Sudah cukup. Mama sudah melaporkan dia ke polisi. Karena lelaki itu kau kehilangan…"
Hening.
Ibuku tidak melanjutkan kalimatnya. Apa yang dimaksud ibuku tidak segera sampai ke dalam pikiranku. Tapi bayang-bayang buruk itu benar-benar sudah muncul di dalam kepalaku.
"Apa? aku kehilangan apa?"
"Nay.."
"Ibu jawab"
Air mata sudah memenuhi pelupuk mataku. Mataku berkaca-kaca dan berharap cemas dengan apa yang akan dilontarkan ibuku.
"Nay.."
Tangis ibu semakin pecah di hadapanku. Begitu pula denganku yang tidak bisa menyembunyikan ketakutan lebih dalam lagi. Kudapati ibuku menangis tertunduk di sampingku, meremas tanganku.
Tunggu…
Tangan?
Aku sama sekali tidak merasakan tanganku. Apa yang sedang dilakukan ibuku pada tanganku sama sekali tidak bisa kurasakan sensasinya. Ketakutan dan kecemasan di dalam diriku semakin membumbung tinggi.
"Mama? Tangan Nay. Kenapa Nay tidak bisa merasakan Mama menyentuh tangan Nay?"
Semakin histeris diriku ketika ibuku tidak segera memberikan jawaban.
"Mama jawab. Kenapa dengan tangan Nay? ada apa?"
"Nay, sayang. Kamu tenang dulu sayang. Mama, Mama akan jelaskan."
Ibuku berusaha bersikap tegar. Ia mengatur suasana hati dan menguatkan hatinya agar bisa memberikan jawaban kepadaku. Aku yakin sesuatu yang buruk sudah terjadi.
"Karena perlakuan Tomi padaku kemarin, kamu kehilangan fungsi kedua tanganmu, Nay." Pertahanan ibuku sudah luruh, Ia menangis, meraung tak terkendali. Ia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padaku.
"Laki-laki itu merenggut tanganmu."
Apa yang dikatakan ibuku sulit untuk kuterima. Bagaimana bisa aku kehilangan fungsi tanganku. Aku ingat bagaimana Tomi membabi buta menghajarku, tapi apa yang dilakukannya tidak ada satu pun yang mengarah kepada tanganku. Jadi bagaimana bisa?
"Otot kedua lenganmu terganggu karena pukulan Tomi sesaat setelah kamu tidak sadarkan diri. Dia menendang lenganmu berulang kali dengan keras."
"Nay, maafkan Mama tidak bisa menolongmu saat itu.."
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku setelah ini. Kedua tanganku yang menjadi penopang hidupku sudah tidak lagi bisa kugunakan. Bagaimana bisa aku menjalani hidupku setelah ini.
Sama sepertiku, ibu merasakan hal yang sama. Ia bahkan menyalahkan dirinya dan mengatakan jika yang terjadi padaku adalah kesalahannya. Seandainya saat itu ia bisa tiba lebih cepat atau setidaknya lebih kuat menghentikan Tomi, mungkin saja aku tidak akan kehilangan kedua tanganku, seperti saat ini.
Semakin lama aku memikirkan hal itu, semakin aku merasakan kesedihan dan kepiluan yang teramat sangat. Apa yang sudah Tomi lakukan padaku memang tidak bisa kumaafkan. Akan tetapi, kehilangan kedua tanganku rasanya jauh lebih menyakitkan. Bagaimana bisa tangan yang selama bertahun-tahun membantuku meraih mimpi-mimpiku, kini hanya sebatas pajangan yang menempel pada tubuhku.