"Mungkin kalian bisa merasa senang karena bisa kumpul lagi setelah sekian lama." kataku dengan pasti.
"Tapi buatku, yang kalian lakukan dan foto ini benar-benar membuat hatiku miris" kuangkat selembar foto dengan sebelah tanganku yang gemetar.
Kutatap wajah mereka satu demi satu. Aku yang sedari tadi menahan amarah, kini tidak lagi bisa menahan luapan emosi itu. Kubiarkan ia lepas, mengalir menuju tujuannya masing-masing.
Orang-orang yang sedari tadi tertawa terbahak-bahak bahkan karena hal sepele. Bagaimana bisa mereka tertawa di saat-saat seperti ini.
"Teh apaan sih? jaga omongan kamu ya. Jangan bikin malu mama."
"Malu? siapa yang bikin malu? seharusnya yang malu itu aku. Aku malu karena hari ini aku ada di antara kalian yang bahkan tidak tahu malu!"
"Maksudmu apa ngomong begitu? gak punya sopan santun kamu ya? Apa orangtuamu tidak mengajarkan sopan santun?" ucap salah seorang pamanku.
Mendengar ucapannya seketika itu kedua mataku melirik tajam ke arahnya. Bagaimana bisa dia meragukan didikan orangtuaku yang tidak lain adalah adik bungsunya.
"Tidak ada satupun dari orangtuaku yang mengajarkan ketidaksopanan. Tapi tentang bagaimana aku bersikap kepada setiap orang, sepenuhnya aku yang menentukan." jawabku yang mengenai egonya.
Tidak sedetik pun aku mengalihkan pandanganku dari paman tertuaku ini. Bagaimana tubuhnya yang menyusut, rambutnya yang putih dan wajahnya yang sudah kehilangan cahaya begitu tampak jelas di mataku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingat bagaimana rupa pamanku yang satu ini ketika terakhir kali kami bertemu, sepuluh tahun yang lalu. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada lelaki tua di hadapanku ini.
"Terus kenapa kamu berani ngomong pakai nada tinggi?"
Seketika mataku menatap penuh tanya kepada lelaki ini. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya dan gelagat yang ditunjukkannya padaku. Apa dia sama sekali tidak mengerti dengan situasi yang terjadi saat ini.
"Terus kenapa kamu mencak-mencak kaya orang gak berpendidikan?"
Sekali lagi kutatap wajahnya dan kuyakinkan hatiku untuk meluapkan semua emosi yang sedari tadi tertahan di tenggorokanku.
"Kapan terakhir kali kalian kumpul kaya gini?" tanyaku.
"Teh.." ucap salah seorang pamanku yang lain.
Dari nada suaranya aku tahu, jika pamanku yang satu ini memiliki kekhawatiran yang besar. Mungkin saja dia takut jika aku akan memicu pertengkaran dan merenggangnya hubungan keluarga yang baru saja terjalin lagi. Bahkan ibuku, dia berlari dengan cepat dan mencubit lenganku begitu keras.
Sakit bukan main yang kurasa. Tapi sebisa mungkin kutahan suara rintihan dari mulutku dan kualihkan dengan tatapan yang cukup tajam dari kedua mataku. Kulihat wajah ibuku yang sedang berusaha menahan diriku dengan caranya yang begitu memuakkan.
"Lepas" ucapku dengan suara rendah pada ibuku.
Perlahan ia melepaskan jari-jarinya dari lenganku. Tampak jelas tanda merah akibat perbuatannya. Aku sama sekali tidak ingin terlibat pertengkaran dengan ibuku saat ini. Biarkan emosiku hari ini kusalurkan untuk hal yang lain.
Melihat bagaimana ekspresiku, ibuku sudah tidak lagi berusaha menahanku. Meskipun akun tahu bagaimana ia dan pamanku yang lahir terlihat tegang menanti peristiwa yang akan terjadi.
"Kalian tahu, keinginan Bude yang paling besar itu apa?" tanyaku kepada orang-orang yang berada di sekelilingku.
"Bude cuma mau kumpul bareng adik-adiknya. Aku tahu itu dan karena itu pula aku miris lihat kalian semua hari ini."
"Bisa-bisanya kalian gak sadar tentang hal itu. Sudahlah Bude hidup sendiri, giliran dia pengen kumpul bareng sama adik-adiknya harus nunggu badannya berkalang tanah." lanjutku.
"Udah Teh, jangan bikin masalah di sini" ucap ibuku.
"Masalah? yang jadi masalah di sini itu kalian? memangnya kalian gak mikir kalau yang kalian lakukan hari ini bikin hati itu miris"
"Apa maksud kamu ngomong kaya begitu?" tanya paman tertuaku
"Setelah bertahun-tahun kalian akhirnya kumpul bareng, tapi setelah salah satunya tidur di bawah tanah. Kalian gak mikir kalau ini keterlaluan? Kenapa kalian gak ngalakuin ini sebelum Bude pergi? Sesusah itu kalian memenuhi keinginan kakak tertua kalian?"
"Aku aja tahu betapa sakit hatinya bude. Betapa rindunya bude untuk kumpul bareng adik-adiknya. Tapi kalian sama sekali gak mikirin itu. Mungkin tanpa uang hasil penjualan rumah bude, kalian juga pasti gak akan kumpul hari ini." lanjutku.
Tak bisa kututupi jika hatiku terasa terbakar oleh bara api yang menyala. Rasanya ingin kucabik-cabik mereka. Geram dengan apa yang mereka lakukan.
"Kamu itu benar-benar gak sopan jadi anak. Kurang ajar kamu!" teriak pamanku.
Aku pun menyeringai sinis kepada lelaki tua ini. Sudah hilang kesabaranku padanya. Kesal yang selama ini kusimpan rapi terhadap dirinya seketika ini mencuat tanpa bisa dikendalikan.
"Selama ini Pakde kemana? aku tanya! Kemana? Hilangkan? Pakde hilang gakpernah ingat kalau Pakde punya kakak, punya tiga adik dan punya banyak keponakan. Pakde bahkan gak kenal aku siapa, iya kan? Berapa kali Pakde tanya aku ini siapa."
Tanpa terasa air mataku mengalir. Bukan air mata kesedihan karena mengenang kepergian bibiku, tapi air mata kemarahan yang selama ini terpendam.
"Kamu gak tahu saya sibuk" ucap pamanku dengan terbata-bata.
"Semoga benar-benar sibuk sampai gak punya waktu untuk hal apapun" jawabku tegas.
Kubenamkan wajahku yang basah ke balik telapak tanganku. Kutarik napasku kuat-kuat. Berusaha kukendalikan segala amarah yang tersisa.
Kini semua orang terpaku dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Rupanya kalimat-kalimat yang keluar dari mulutku berhasil mengenai ego mereka semua.
"Kenapa? kenapa kalian semua diam? seharusnya kalian senang karena dapet banyak uang setelah kematian Bude. Bangalah kalian!"
Hening seketika. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka untuk memecah keheningan yang tercipta.
"Maumu apa sekarang?" tanya paman tertuaku
"Gak ada. Cuma minta kalian semua mikir, tentang betapa memalukannya sikap kalian hari ini. Tentang sakit hatinya bude dengan apa yang sudah kalian lakukan."
"Kamu itu tahu apa? kamu itu sama sekali gak berhak ngatur pakde dan budemu!"
"Engga Mas, Lia berhak atas semua amarahnya. Ketika Mbayu sakit, Lia sama mamanya yang ngerawat. Mandi pun gak mau kalau gak salah satu dari mereka yang nemenin. Kita? sekadar dihubungi untuk mencari rumah sakit aja susah. Saya kalau punya uang lebih sudah terbang malam itu juga untuk ngurus Mbakyu"
Aku diam mendengar apa yang dikatakan pamanku yang lain. Aku ingat tentang bagaimana sulitnya bibiku mendapatkan rumah sakit di saat-saat terakhirnya. Meregang nyawa di dalam kamar seorang diri. Tidak ada satupun keluarganya yang menemani di saat-saat terakhirnya, termasuk aku dan ibuku.
Hatiku kembali teriris mengingat betapa menyedihkannya saat-saat terakhir kehidupan bibiku. Belum lagi ketika ia hanya bisa terbaring di atas ranjang tanpa bisa leluasa bergerak. Kualihkan pandanganku agar tidak ada setetes pun air mata yang keluar mengingat kejadian memilukan ini.
"Kamu mau uangnya karena kamu merasa berhak?" tanya pamanku dengan tatapan benginya.
"Uang itu milik kalian, meskipun aku tahu bude enggan memberikan."
"Terus maksud kamu apa ngomong semua ini?"
Sekali lagi emosiku tersulut, "Aku bilang gini supaya kalian mikir tentang betapa bodohnya dan betapa mirisnya kalian. Kembali berkumpul setelah salah satu saudaranya berkalang tanah. Memangnya kalian gak kepikiran tentang hal itu? Aku bahkan geram dengan apa yang kalian lakukan sekarang"
"Pikirlah, apa kalian gak seharusnya ngalakuin ini ketika bude masih ada? Kenapa susah banget untuk kalian ngelakuin hal itu?"
Lemah sudah tubuhku. Tidak lagi ada energi untuk mengucapkan barang sepatah katapun tentang kegeraman yang kurasakan kepada mereka. Cukuplah aku mengungkapkan semua beban hatiku. Biarkan mereka sendiri yang berpikir tentang tindakan mereka yang begitu disayangkan.