Suasana kafe hari ini tidak terlalu ramai. Bahkan bisa dikatakan hanya ada aku dan beberapa temanku yang mengisi ruangan tiga kali lima meter itu dengan suara kami yang tak terkendali nyaringnya.
Kami berenam duduk bersama dalam satu meja yang kami paksakan kursi-kursinya agar mampu menampung kami semua tanpa terkecuali. Maklum, jika harus duduk terpisah rasanya sedikit aneh. Lagipula siapa yang mau duduk terpisah dari teman-temannya yang lain. Benarkan?
Empat orang di antara kami duduk berdampingan sebagai sepasang kekasih. Sementara aku dan seorang temanku-pria, yang lain tidak memiliki pasangan dan jadilah kami sebagai pasangan dadakan yang sama sekali tak direncanakan.
Semua berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang aneh. Bahkan, akupun tidak memikirkan hal-hal buruk apapun, walaupun aku tahu salah satu dari temanku ini adalah sumber masalah yang terjadi pada kami sebelumnya. Tapi sayangnya dia sama sekali tidak menyadari tentang hal ini.
***
Beberapa hari yang lalu, sebuah kabar kurang menyenangkan sampai kepada telingaku. Jika Reno Sudah menyebarkan sesuatu yang buruk tentang diriku kepada teman-temanku yang lain.
Mendapat kabar kurang menyenangkan seperti itu sama sekali tidak kuduga. Bagaimana bisa aku berpikiran buruk tentang dirinya? Dia adalah salah satu teman terdekatku yang sudah kuanggap sebagai seorang sahabat yang mengetahui sisi burukku.
Tidak pernah sekalipun aku meragukan pertemanan dan kebaikannya. Meskipun sering kali ia membuatku kesal dengan tindakan-tindakannya yang kurang menyenangkan. Biarlah ia melakukan tindakan seperti itu, toh aku pun sering kali melakukan kesalahan, baik yang sadar kulakukan ataupun tidak.
"Emang dia ngomongin gimana?" tanyaku ketika aku dan Nur menghabiskan malam bersama di rumahnya.
"Tapi jangan kaget ya?"
"Ya apa dulu?"
"Sebenernya masalah ini bermula dari masalah gua, tapi gak tahu gimana lu pun jadi bagian dari omongannya"
"Emangnya apa? ngomong aja"
"Lu tahu gak alasan Denish ngejauhin lu waktu lu pada ada di Bali"?"
Otakku seketika dipaksa untuk mengingat-ingat kembali kejadian itu. Akupun berusaha mengingat-ingat hal ganjil apa saja yang selama ini aku abaikan.
"Iya, waktu itu emang gua bilang kalau gua itu naksir sama Denish. Tapi bukan naksir karena gua sayang apalagi cinta. Waktu itu gua merasa perlakuan dia itu manis banget, ngelindungin temen-temen cewenya, apalagi waktu kita di Jakarta." jelasku.
"Lu sadar gak kalau Denish itu ngejauhin Lu?" tanya Nur dengan geram.
"Hah? ntar bentar. Kalau gua fikir-fikir sih memang gelagatnya kaya ngejauhin gua waktu di Bali. Tapi ya gua juga gak mikir macem-macem. Gak ada kepikiran kalau dia sengaja ngejauhin gua."
"Reno itu tahu kalau Denish tipe orang yang gak mau terlibat suka-sukaan sama temennya. Kalau sampe ada yang suka dia pasti milih ngejauh."
"Serius lu? kok gua gak tau?" tanyaku dengan perasaan terkejut.
"Ya gimana lu mau tahu. Denish kan cuma cerita ke Reno."
"Terus kenapa lu bisa tahu?" kubalik bertanya kepada Nur.
"Setelah gua buka-bukaan sama Denish, akhirnya gua tahu apa yang selama ini dilakuin Reno di belakang gua. Dia jelek-jelekin gua sejelek-jeleknya, apalagi ke Denish. Jadilah si Denish itu mikir gua ini orangnya minus parah sampe dia gak mau temenan sama gua"
"Terus?"
"Setelah buka-bukaan itu, Denis bilang kalau dia tipe orang yang gak bisa punya temen yang suka sama dia. Dia pasti bakalan jauhin orangnya. Dan gua juga tahu kalau Reno bilang lu suka sam Denish ya dari mulut Denish sendiri."
Aku terdiam tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari Nur. Sampai di sini aku masih belum merasa kecewa atas apa yang dikatakan Reno kepada Denish. Meski bagaimanapun Reno sama sekali tidak memiliki hak untuk mengatakan hal itu kepada Denish. Apalagi sampai membuat Denish menjauhiku.
"Gak cuma itu, Reno juga pernah ngomongin lu yang berduaan sama Rama, mantan lu di dalem kamar asrama"
"What? sumpah? dia ngomong apalagi?"
"Gini, 'Si Aul tuh entah ngapain di dalem kamar berduaan sama Rama? gak bisa juga gua ngomong gimana-gimana kan?'"
Mataku terbelalak mendengar hal itu.
"Jujur ya, gua denger itu, otak gua beranggapan kalau lu itu ngelakuin hal yang aneh-aneh sama si Rama itu." jelas Nur.
"Gini ya, gua akui memang gua sering berdua di dalam kamar. Tapi pintu kamar itu kebuka, entah pintu balkon atau pintu belakang. Atau bisa jadi ketika dia ada di kamar juga makanya bisa bilang begitu."
"Gimana?" tanya Nur
"Ada satu momen, Reno ada di kamar bareng gua, dan gak lama Rama dateng. Ya gua mikirnya gua butuh privasi dong, jadilah gua di bagian ruangan yang lain. Jadi asrama gua itu ada tiga ruangan. Ruangan dapur yang pas banget pintu masuk, kamar sama balkon. Nah gua sama rama ada di dapur itu. Peruangan itu dibatasin sama pintu. Pintu itu gua tutup."
"Ya gimana ya? Anggaplah gua itu bercumbu. Bener-bener bercumbu, kan gak mungkin gua tontonin ke dia dong. Ada gila-gilanya gua begitu" lanjutku
"Ya gua gak tahu, karena gua dapet ceritanya begitu" ujar Nur
"Astaga. Ya, anggaplah gua benarkan apa yang diomongin Reno. Benar semua. Tapi apa dia punya hak untuk menceritakan itu ke orang lain?" tanyaku
"Dia gak berani negor lu kali"
"Kapan gua gak pernah mempertimbangkan omongan teman-teman gua? selama di Bali. Kalau aja di negur gua baik-baik, "eh gua gak suka liat lu di kamar sama cowo. gak baik' pasti gua jaga jarak sama Rama."
"Sebelumnya kan gua pernah tanya, 'boleh gak gua ke kamar Rama bangunin dia? kamarnya kan di bawah kamar gua' jawabannya apa? 'gak boleh, lu tu cewe. Gak usah nyamper-nyamperin cowo'. Gua lakuin. Gua lakuin sampai akhirnya gua tahu dia juga nyamperin cowonya." lanjutku
Apa yang baru saja kusampaikan rupanya memicu keterkejutan temanku ini. Matanya terbelalak berusaha mencerna apa yang baru saja kukatakan.
"Kenapa? Gak tau lu?" tanyaku.
"Demi apa gua gak tahu"
"Dia nyamperin cowonya yang kosannya itu lebih jauh dari tempat Rama"
"What?"
Segera akupun menghela nafasku, "Terus dia bilang apa lagi tentang gua, Nur?"
"Banyak deh"
"Ya apa? kan gua gak tau. Gimana sih?"
***
Semua permasalahan itu kuabaikan. Aku sama sekali tidak tertarik untuk mengungkit masalah itu di depan orang yang bersangkutan. Lagi pula tidak akan ada keuntungan berlebih yang kudapat jika aku melakukan hal itu.
Tapi percayalah, melihat bagaimana wajahnya yang lugu dan senyumnya yang riang membuatku sedikit menahan kesal. Bagaimana dia bisa tertawa seperti itu di depan orang-orang yang sudah ia jatuhkan nilainya.
Jika diperhatikan, wajahnya yang tampak polos dan perangainya yang amat mudah bergaul pastilah membuat orang-orang mudah berempati dan merasa nyaman dekat dengan dirinya. Sangat berbanding terbalik dengan wajahku yang tampak sangat, meskipun tidak banyak hal yang aku lakukan. Lirikan mata yang tajam saja sudah cukup membuat orang berkesimpulan bahwa aku orang yang tidak asyik untuk dijadikan teman.
Di tengah keriangan yang tercipta di antara kami, pikiranku kembali mengingat bagaimana aku hampir kehilangan wajahku akibat perbuatannya.
***
Sudah kukatakan sebelumnya, jika wajahku tidaklah ramah untuk kesan pertama, sedangkan wajahnya begitu ramah dan mudah menarik perhatian orang lain. Singkat cerita ketika aku berada di Bali, kami mendapat cukup banyak teman. Tapi bisa kukatakan bahwa mereka lebih dekat dan terbuka kepada Reno daripada diriku.
Aku tidak mempermasalahkan mengenai hal itu. Aku tidak keberatan jika memang mereka lebih nyaman dengan Reno, karena prinsipku adalah siapapun yang ingin dekat denganku pastilah dia akan dekat. Tdak peduli bagaimana sikapku, mereka akan tetap bertahan denganku.
Tapi yang menjadi masalahku adalah, sikapnya yang menganggapku tidak ada. Mengabaikanku, tidak memperdulikan diriku. Bahkan dia mengatakan jika aku sudah bertindak yang merugikan dirinya kepada Nur. Mendapati sikap yang demikian membuatku lebih banyak mengurung diri di dalam kamar. Tidak ikut terlibat dengan teman-temanku yang lain, bahkan tidak makan hingga satu minggu lamanya.
Sampai pada satu momen aku ingin sekali menghancurkan wajahku yang seperti monster. Aku merasa bahwa wajahku ini sudah cukup menindas Reno yang berwajah lugu. Terlepas siapa yang salah dalam pertengkaranku dengannya, dia akan tetap dibela oleh kebanyakan orang. Akan ada begitu banyak orang yang berempati padanya. Untunglah aku tidak sampai merusak wajahku.
***
Kemudian perbincangan kami itu pun sampai pada pembahasan tentang keuangan kami.
"Gua gak tau kenapa, setiap cowok gua mau beliin sesuatu itu pasti gua bilang engga. Gak tega aja gitu rasanya." ucap Nur.
"Awas nanti yang di depan kesindiri"." Tukas Denish.
Mendengar hal itu, mataku segera terbuka. Aku menerka-nerka siapa yang sedang dimaksud oleh Denis. Tapi pada saat itu akulah orang yang duduk tepat di hadapan Denish.
"Hah? Gua? lu nyindir Gua ceritanya?" tanyaku.
"Emang si Aul kesindir apaan?" tanya Nur
"Loh? Reno kemarin bilang kalau lu itu hidup dibayarin cowok lu selama di Padang. Laptop lu aja dia yang beliin." ujar Denish dengan wajah yang segan.
Matanya berkali-kali melirik ke arahku dan Reno. Melihat hal itu, aku sadar pasti ada kesalahpahaman lagi antara aku dan Denish.
"What? gimana? gimana maksudnya?" Tanya Nur yang diserang rasa penasaran.
Sementara itu, aku hanya diam memperhatikan Reno yang tampak sekali keterkejutan yang berusaha ditutupinya.
"Kayaknya perlu deh gua jelasin sekali lagi." ucapku.
"Memang benar cowok gua suka ngasih duit jajan ke gua. 50 ribu sebulan ketika dia gajian atau ketika gua lagi gak pegang duit. Lu pikir 50 ribu itu cukup untuk kebutuhan gua? kayanya engga deh. Kalau gitu masih bisa dibilang dia menghidupi gua?" mataku melirik begitu tajam ke arah Reno yang kini tertunduk.
"Dan perkara laptop. Itu dibeli pake uang gua sendiri. Gua beli diantar cowo gua karena gua gak ngerti apapun, gua cuma bilang mau yang begini, selebihnya cowok gua yang urus." lanjutku
"Rasanya si Aul udah bilang perkara laptop itu jelas deh." tukas Nur
"Hah? aku ya gak tau karena kan kamu gak pernah bilang apa-apa ke aku." jelas Denish yang merasa bersalah
"Jadi, lu mau jelasin apa perkara hal ini ke gua?" tanyaku kepada Reno
"Aul, gak gitu maksudnya. Salah pengertian aja Denish sama apa yang gua omongin."
"Mau berapa puluh kali Denish salah paham? Kalau kaya begitu yang salah di sini antara lu sama Denish. Itu gua gak tau deh"
Aku sama sekali tidak melepaskan pandanganku Dari wajah Reno, yang seketika itu pula membuatku muak menatap wajahnya.
"Gak sekali ini aja lu ngejatuhin gua di depan temen-temen gua. Berulang-ulang. Tapi selama ini gua diem kan? Karena gua pikir juga gak guna gua berantem sama lu untuk perkara yang udah lewat. Tapi sekarang Lu mau ngeles gimana?"
"Aul, bukan gitu maksudnya. Gua cuma mau berbagi cerita tentang lu ketemen-temen biar semua orang tau" bela Reno
"Gua gak perlu omongan begitu. Gak perlu semua orang tahu tentang hidup gua. Gak guna. Lu kaya gini gak cuma ke gua kan? Nur juga sama. Lu jatuhin dia. Supaya apa sih lu begitu? Suapaya lu dipandang sebagi orang yang terbaik?"
Aku sudah benar-benar jemu dengan apa yang dilakukan Reno. Pembelaan-pembelaan yang dia lakukan menambah kemarahanku yang seketika mencuat.
"Maksud gua itu baik"
"Gak butuh gua niat baik lu. Gua gak minta apapun dari lu jadi lu gak usah belagak baik depan gua."
"Reno, gua muak sama apa yang udah lu lakuin. Makin panjang nilai buruk lu di depan temen-temen lu. Sadar itu gak? Kurang apa sih hidup lu sampe harus ngejatuhin temen-temen lu? Lu mau diperlakukan kaya ratu dan jadi satu-satunya yang terbaik? silahkan, gua gak iri. Tapi dengan cara yang bener." lanjutku
"Udah, Ul. Malu" tukas Nur
"Ngapain gua malu? nilai gua udah dia jatohinkan? udah rendah pula nilai gua jadi buat apa gua malu"
"Aul…" lirih Reno
"Sadar lu, niat lu mau jatohin orang kan? tapi lu sendiri yang jatoh. Nilai lu jatoh banget di depan temen lu"
"Aul udah. Aku gak terima kalau kamu nyudutin Reno" Tukas Febri, kekasih Reno
"Kan bener? Gua lagi aja yang salah. Bang sadar gak sih siapa yang salah di sini? Engga? ya gak papa." ucapku
"Bang, gini…" ucap Nur
Belum sempat Nur mengeluarkan kalimat-kalimatnya, Febri sudah kembali mengeluarkan penghakiman kepadaku yang tidak kalah menyakitkannya.
"Lu tuh harusnya sadar kalau lu cuma dimanfaatin. Persetan sih lu terima apa engga. Tapi lu bego mau-maunya diperalat. Di sini udah jelas-jelas Reno yang salah" ucapku
"Jaga ya omongan kamu!" teriak Febri
Seringai kejam pun tersungngging dari wajahku, "Percuma gua jelasin ampe mulut gua berbusa, gak ngaruh. Lu ajarin aja cewe lu biar dia gak sembarang ngomong lagi"
Aku yang sudah tersulut emosi segera merebahkan diri di atas kursi dan meminum kopi latte milikku. Aku benar-benar lelah dengan pertengkaran yang tidak akan berujung.