Chereads / Onang Bilang / Chapter 2 - Udumbara Hanya Mekar 3000 Tahun Sekali

Chapter 2 - Udumbara Hanya Mekar 3000 Tahun Sekali

Bagi sebagian orang yang tahu, dia adalah sesuatu yang menarik, indah, dan tentunya akan menjadi pusat perhatian. Bagaimana rupanya, erangainya, segala hal yang menyangkut dirinya, tindak tanduknya, bahkan aroma tubuhnya pasti selalu menjadi pusat perhatian.

Dia adalah Udumbara. Seorang gadis yang menyadari jika dirinya adalah pusat perhatian. Pendapatnya selalu diperhitungkan, tidak pernah dikesampingkan, apalagi diabaikan.

Walaupun dia menjadi pusat perhatian dari setiap orang yang menyadari keberadaanya, dia tetaplah sesuatu yang kecil, dan besar kemungkinan bahwa kehadirannya akan luput dari pandangan, sekalipun itu dari orang-orang terdekatnya.

Pada kenyataannya, hanya segelintir orang sahaja yang mampu menghargai keberadaanya.

Lebih dari orang-orang yang tidak menyadari keberadaanya karena memang tidak mengenal siapa dirinya, ada juga orang-orang yang dengan sengaja mengabaikan dirinya walaupun sudah mengenal dan menyadari kehadirannya. Bahkan hari ini, dunia sedang mengolok-oloknya dengan begitu menggelikan. Ia disudutkan, ditinggalkan, bahkan dihinakan.

Ia sedang dihadapkan pada bagian tidak menyenangkan dalam hidupnya.

Bagaikan memiliki dua sisi yang berbeda, Udumbara selalu tidak pernah bisa disimpulkan dengan mudah. Kesan pertama tentangnya tidak selalu jati diri yang sebenarnya. Mungkin hanya segelintir orang yang menyadari akan kamuflase diri Udumbara.

Udumbara, oh Udumbara…

Ada banyak sekali orang yang beranggapan bahwa dirinya adalah seorang manusia tanpa ekspresi.

Bagaimana tidak?

Wajahnya selalu tampak dingin, tidak ramah, tanpa senyuman, bahkan seringkali ia hanya memberikan jawaban singkat dari setiap pertanyaan yang ditujukkan padanya.

Jauh di balik semua itu, Udumbara adalah seorang gadis yang perasa dan selalu mengharapkan kesetiaan . Tidak pernah ingin diabaikan oleh siapapun, terutama oleh mereka yang sudah dekat dan menyatu dengan kehidupannya.

Udumbara sudah berulang kali merasa terabaikan hingga ia tahu betul bagaimana rasa itu mengoyak hatinya sedemikian rupa.

Tapi sayang seribu sayang, tidak semua orang bersedia menyaksikan bagian dirinya yang demikian. Lebih banyak dari mereka yang memilih meninggalkannya, tanpa ingin terlibat dengannya lebih jauh lagi. Semua itu, semata karena ekspresi wajahnya yang tidak pernah bersahabat. Matanya yang tajam seolah ingin memulai pertikaian dengan setiap orang yang ada di hadapannya.

Udumbara selalu menekuri hal yang satu ini.

Mengapa setiap orang selalu dengan begitu mudahnya menyimpulkan kehidupan orang lain, sedangkan tidak ada sedikitpun yang diketahui mereka tentang orang tersebut. Cukup bagi mereka hanya dengan melihat sepintas, bicara sesaat dan sekadarnya, sudah cukup bagi mereka menyimpulkan untuk menyimpulkan Udumbara secara keseluruhan.

Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan mampu menguliti kepribadian Udumbara. Mereka menyatakan Udumbara gadis keras kepala, gadis egois, angkuh, tidak bersahabat, bahkan tidak cocok untuk dijadikan sebagai kawan ataupun lawan. Cukup menganggapnya sebagai seseorang yang patut diketahui keberadaannya.

Udumbara bukan tidak tahu perihal yang satu ini. Ia bahkan sudah hafal betul perangai orang-orang yang demikian menggelikan.

Tidak sedikit pula orang yang dengan berani berterus terang dan bertanya kepadanya, mengapa ia tidak bisa bersikap sedikit lebih ramah kepada orang lain. Udumbara yang mendengar pertanyaan itupun tidak mampu menjawabnya. Pun jika ia memberikan jawaban, pastilah mereka tidak akan puas dengan apa yang di dengarnya.

Jika memang harus menjawab, maka jawaban seperti apa yang harus ia katakan?

Wakahku memang seperti ini. Aku tidak bisa beramah-ramah dengan orang yang baru kukenal.

Atau…

Ini adalah topeng yang sengaja kupakai untuk menyaring orang-orang yang berusaha mendekat. Jika memang dia baik dan bersunggung-sungguh untuk berteman, pasti dia akan tetap bertahan. Tapi jika tidak, sudah pasti dia akan pergi setelah pertemuan pertama.

Jawaban mana yang harus Udumbara berikan kepada mereka yang bertanya tentang sikapnya. Tidak mungkin pula bagi Udumbara menjelaskan semua hal itu kepada mereka yang bertanya. Lelah dan bosan sudah pasti akan dirasakan Udumbara, ditambah lagi tanggapan tentang jawaban yang diberikan olehnya.

Kenapa kamu kegatelan? Setiap pertanyaan dijawab, tebar senyuman di sana sini.

Kamu bilang begitu, suapa apa? Supaya orang lain peduli? Supaya orang lain penasaran sama kamu?

Jauh di dalam hati Udumbara, ia pun merasa enggan memiliki sikap yang demikian. Jika ia memiliki kesempatan untuk memilih, maka ia akan memilih untuk memiliki sikap yang luar biasa ramah pada setiap orang. Mudah berbaur dan nyaman untuk dijadikan teman bercakap.

Tidak akan ada akhir dan kepuasan perihal yang satu ini.

***

Langkah kaki di luar kamar, suara bising orang-orang sekitar tidak mampu membuat suasana kamarnya kembali berirama. Dua buah kasur, dua buah kursi dan meja, dan dua buah lemari menjadi teman bisu di tengah kekacauan hati yang sedang dirasakan Udumbara. Udara panas pun tidak lagi dihiraukan udumbara, walaupun tubuhnya sudah bermandikan keringat.

Bagaimanapun kerasnya ia berusaha melepaskan rasa sesak di dada yang telah menghimpitnya selama berhari-hari, tetap tidak pernah tuntas sepenuhnya. Berulang kali ia menangis berharap sesak di dadanya berkurang. Bahkan kedua matanya berubah sembab dalam sekejap mata. Tapi semua usahanya tidak pernah membuahkan hasil yang berarti.

Pikirannya terus dipenuhi permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapinya. Hatinya sama sekali tidak bisa menerima hal ini. Ia selalu merasa ada ketidakadilan yang sedang melingkupi kehidupannya.

Sementara itu, bagi orang-orang yang sudah mau dan bersedia dekat dengannya, ia selalu berusaha menampilkan sisi terbaik yang ada di dalam dirinya. Ia bersedia memberikan dan melakukan apapun. Ia bahkan dengan sukarela menjadi garda terdepan untuk melindungi orang-orang terdekatnya. Sikap Udumbara yang demikian membuat keberadaannya menjadi sangat diakui.

Pendapatnya selalu diperhitungkan. Kehadirannya mampu mengendalikan. Suaranya mampu membungkam orang-orang bermulut besar. Semua yang dilakukan Udumbara itu terjadi sebelum kejadian ini terjadi. Sebelum sisi mengejutkan Udumbara bangkit setelah sekian lama terpendam. Selama tiga ribu tahun Udumbara memendam semua ini.

Segala tekanan, kebencian, pandangan buruk, perangai tidak menyenangkan yang ditujukkan pada dirinya, sebisa mungkin diabaikannya dan bahkan dimakluminya.

Di atas kursi kayu dan di hadapan layar laptop yang usang, setenang mungkin ia berusaha memfokuskan diri pada perasaan yang tengah di hadapinya. Apa yang diinginkannya, apa yang tidak disukainya, alasan kemarahannya saat ini. Sejelas mungkin ia mencari jawaban atas semua pertanyaan itu, agar jelas pula perasaannya.

Ia kumpulkan kembali setiap rasa dan kepiluan yang selama beberapa hari terakhir ini membelenggu hatinya. Ia ingat-ingat kembali bagaimana perangai dan perkataan dari orang-orang yang melukai hatinya, mencincang setiap ketulusan yang dimilikinya. Dikuatkan hatinya untuk kembali merasakan dan mengingat semua itu.

Udumbara yang kala itu menahan kesedihan, kekesalan, dan kemarahan hanya mampu menggerak-gerakan jari-jari tangannya sembari menatap cermin melihat pantulan wajahnya. Udumbara mencari letak perbedaan antara wajahnya dengan wajah-wajah mereka yang telah memporak porandakan hatinya.

Ada dua buah mata, sepasang alis di atas masing-masing mata hitamnya, satu hitung dengan dua lubang yang tidak jauh berbeda dari yang lain. Sebuah mulut yang dilengkapi dengam dua buah bibir. Semua yang dimilikinya juga ada di setiap wajah orang lain. Tidak ada yang berbeda.

Tapi hari ini, dia merasa jijik pada wajahnya sendiri. Udumbara bertanya-tanya, mengapa ia harus memiliki wajah seperti ini. Walaupun wajahnya memiliki setiap hal yang dimiliki orang lain. Tetapi dari wajahnya seperti terpancar aura angkuh, keras kepala, tidak peduli, merendahkan, bahkan menindas orang-orang di sekitarnya.

Karena wajahnya ini, orang-orang selalu menganggapnya superior dan setiap lawannya adalah inferior. Ia dianggap sebagai seorang penindas, menekan lawannya dengan sedemikian rupa sehingga tidak lagi berdaya.

Kenapa mereka hanya peduli pada mereka yang memiliki wajah lugu? wajah yang selalu tampak tertindas. Kenapa orang-orang selalu hanya mendengar dari mereka yang tertindas, tapi selalu enggan mendengar sang penindas.

Terkadang Udumbara merasa jika wajahnya bukanlah wajah seorang manusia. Terlintas di dalam hati Udumbara tentang betapa menakutkannya wajah monster yang sedang ia lihat dari sebuah cermin di hadapannya.

Cukup lama Udumbara berusaha menahan segala pengaruh luar agar apa yang tersembunyi di dalam dirinya tidak muncul ke permukaan. Sampai pada suatu keadaan, saat tidak ada lagi orang yang mau mendengarnya, menyadari keberadaannya, bahkan kini sudah tidak ada lagi orang yang mau menjawab pertanyaannya. Kekacauan itu muncul begitu saja di dalam hiduonya, bahkan ia pun tidak tahu letak kesalahan fatal yang sudah diperbuatnya.

Kini Udumbara hanya mampu berdiam, duduk seorang diri di depan layar laptop usangnya.

***

Teriris, perih rasanya hati Udumbara saat orang-orang di sekitarnya bersuara, berteriak, dan tertawa tanpa dirinya. Tanpa peduli akan keberadaan dirinya. Tidak ada yang menggubris, tidak ada yang menghargai keberadaannya. Tidak ada lagi yang mau melihatnya atau sekadar menyapanya.

Sebenarnya masih adakah Udumbara? Masih wujudkan ia? Atau Udumbara sudah berubah menjadi asap tipis yang tidak nampak oleh mata orang awam?

Tidak.

Udumbara masih berwujud. Udumbara masihlah solid. Udumbara belumlah berubah menjadi asap tipis. Hanaya saja ia tidak lagi diperhatikan. Kini Udumbara hanya menangis, karena tidak ada lagi orang lain yang memperhatikannya, bahkan tidak lagi menyadari keberadaannya.

Kini Udumbara hanya menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan siapa dirinya. Rentang waktu yang tidak sebentar. Sebelum saat itu tiba, Udumbara hanya mampu berdiam diri. Namun jika saatnya telah tiba bagi Udumbara untuk menunjukan diri yang sebenarya, maka akan ada banyak orang yang memperhatikannya kembali. Melihatnya, membicarakannya, terdiam karena keberadaanya.

Dan ketika saat itu tiba, Si kecil Udumbara akan berubah menjadi Rafflesia Arnoldi.