Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Lion Heart

NadNadia28
--
chs / week
--
NOT RATINGS
13.2k
Views
Synopsis
Kepolosan seorang gadis muda di uji ketika dirinya telah memasuki awal jenjang pendidikan yang baru. Saat itu awal masuk ke tahap perkuliahan, dirinya sudah dihadapkan dengan sesuatu yang menggelitik gelora jiwa liarnya. Laki-laki yang gadis itu pikir adalah saudara kandungnya ternyata adalah anak dari majikan sang Mama yang telah meninggal dunia, membuat jiwa muda-mudi itu semakin gencar mengejar sang gelora kehangatan. Tapi disatu sisi pula, gadis itu telah menuai benih-benih cinta penuh kenikmatan dengan senior di kampusnya. Dihadapkan antara dua pilihan lelaki yang sama-sama bisa memberikannya rasa menggelitik kehangatan, membuat dirinya harus bisa mengatur waktu untuk setiap setiap pria itu. Akankah wanita itu mampu menghangatkan lautan dingin es dalam satu waktu? Bisakah dirinya bertahan, atau memilih untuk memihak salah satunya saja? Simak kelanjutan jawabnya pada, Lion Heart
VIEW MORE

Chapter 1 - Lirikan Mata

Ameera, awal masuk kuliah.

Aku tidak bisa berkedip waktu melihat seorang laki-laki yang melintas di hadapanku. Rambut laki-laki itu yang terpangkas rapi, memamerkan wajahnya yang tampan dan ramah. Meskipun ketampanannya bukan masuk kategori sangat tampan, namun tetap saja dapat membuat sesuatu di dadaku jadi bergemuruh hebat.

"Kenapa, Ra?"

"Ah!" aku menunduk waktu teman di sebelahku menyenggol lenganku. Rupanya laki-laki itu menyadari aku yang sedang tidak fokus saat berbicara dengannya. "Maaf, bisa ulangi sekali lagi?" tanyaku dengan senyum rasa bersalah.

"Jadi, untuk menutupi acara penyambutan acara Ospek MaBa (Mahasiswa Baru), Lo mau kan join jadi panitia acaranya? Ketua BEM minta satu orang tiap grup buat maju untuk sebagai perwakilan," jelas Leo lagi dengan sabar.

"Ya, nggak masalah. Aku join."

Laki-laki di sebelahku itu menatapku lama. "Jangan sampai Lo bengong waktu ketua BEM ngasih arahan. Bisa-bisa kita kena apes di kasih hukuman semuanya."

"Iya, iya. Gua tau."

"Ya, sudah! Rapat bubar. Semua boleh pulang."

Aku mengemas kertas-kertas di atas meja ke dalam tasku. Acara Ospek MaBa di tempat aku menuntut ilmu yang lebih tinggi dari tingkat SMA akan berakhir dalam dua hari lagi, dan kami akan resmi menjadi mahasiswa Universitas Revispa Gunadarma. 

Impianku selama beberapa tahun belakangan akhirnya tersampaikan. Meski harus banyak duka cita yang harus ku lewati terlebih dahulu. URG atau Universitas Revispa Gunadarma adalah salah satu universitas negeri yang memiliki klub matematika dan piano yang sudah masuk tahap jejeran setara universitas internasional.

"Ameera, Lo ngeliatin siapa sih tadi?" tanya Leo padaku. Ternyata laki-laki itu masih belum beranjak posisinya dari sebelahku. Temanku yang satu ini memang terkenal sangat sangat kepo. Sejak kami menjadi satu grup dan laki-laki itu menjabat sebagai ketua grupnya, laki-laki itu selalu tahu segala hal mengenai kami.

"Tadi ada Kating (Kakak Tingkat) yang menarik perhatian gue," aku jawab jujur.

"Suka?"

Aku tertawa kecil seraya mengangkat bahu. "Gua cabut duluan, ya!"

"Gua anter pulang, ya? Lagian rumah kita searah." Tawar Leo kemudian.

"Nggak usah, Le. Gua udah gede. Nggak perlu di anter segala." Leo memang lebay orangnya. Laki-laki itu suka mengantar siapa saja teman satu grup dengan alasan 'searah.'

Aku langsung gegas naik angkot yang menuju arah rumahku, saat aku telah tiba di depan gerbang kampus. Sama seperti biasanya, angkot itu pasti penuh sesak dengan mahasiswa-mahasiswa satu kampus denganku. Aku hampir perlu waktu satu jam-an buat sampai tiba di rumah.

"Ada tugas lagi, Nak?" Mama bertanya waktu melihatku melenggang masuk ke dalam rumah.

"Nggak, Ma. Cuma besok persiapan acara penutupan Ospek MaBa. Aku ikut jadi panitianya." Aku langsung menghampiri mama di dapur. "Masak apa hari ini, Ma?"

"Ikan goreng sambal matah. Kesukaan Papa."

"Kok bukan kesukaan aku, sih?" rajukku. Mamaku ini memang jago banget kalau sudah urusan racikan bumbu dapur. Mau belajar seperti apa pun, aku tetap saja masih belum bisa mengalahkan cita rasa masakannya.

"Mandi dulu, sana! Sekalian nunggu Mama selesai masak!"

Aku memajukan bibir berbentuk manyun, hanya sekedar untuk bercanda. Aku akan tetap memakan apa pun yang Mama masak.

Saat melangkahkan kaki menuju ke lantai dua, aku melihat ada sebuah kardus kecil di depan pintu kamarku. "Ma, ada paket apa?" seruku dari puncak tangga.

"Buka aja, Sayang!" Mama membalas dengan sama berteriak juga dari arah bawah.

Ya elah... Malah main tebak-tebakan segala. Aku langsung memutar kardus itu, mencari alamat pengirim. Ternyata Mama sengaja merobeknya. Memang apa, sih, isinya?"

"Astagaaahhhhh!!!" pekikku saat kardus itu telah terbuka, dan memperlihatkan isi yang ada di dalamnya. "Astaga! Astaga! Astaga!" aku jadi langsung jingkrak-jingkrak kegirangan. Seragam dari universitas elit emang beda, dan seragamnya ini memang benar-benar luar biasa.

Tanpa basa-basi, aku langsung gegas mencoba memakainya. Kemeja yang berwarna putih awan sangat pas mengikuti lekuk tubuhku, menonjolkan buah dadaku yang penuh. Kemeja itu berpasangan dengan rok tan sebatas pahaku, bermodel petitenget. Aku tampak cantik dengan seragam busana ini, di dukung dengan tubuh mengil berisi milikku. Sekilas aku melihat diriku sendiri tampak seperti sedang cosplay costum anime yang sering aku lihat.

Lanjut, aku mencoba seragam yang kedua. Kemeja hitam yang sama ukurannya dengan kemeja yang pertama. Kali ini di padu padankan dengan higt waist hitam bergaris merah. Pinggangku yang ramping tampak menonjol di sini. Aku yakin akan ada banyak pasang mata yang mengagumi keindahan bentuk tubuhku.

Seragam ketiga adalah seragam luar ruangan yang biasanya beraktivitas seperti jam-jam olah raga waktu di sekolah dulu. Tapi kalau di universitas Revispa Gunadarma setahu yang ku dengar, hanya aktivitas olah raga biasa saja tanpa ada unsur penilaian dan sebagainya. Jadi ini lebih ke aktivitas di luar ruangan saja. Seragamnya berbentuk kaos putih oblong dan celana pendek hitam. Kalau aku tidak memakai anak baju dalaman, pasti braku akan sangat mudah terlihat.

***

"Selamat makan, Papa..." aku menyuguhkan sepiring nasi dan ikan goreng bumbu sambal matah di depan foto Papa. "Kami di sini baik-baik saja. Aku harap, Papa tenang di sana, ya?"

Mama mengelus kepalaku penuh sayang. Papa pergi selamanya dari sisi kami sejak tiga tahun yang lalu. Papa pergi setelah melawan sakit jantung yang dideritanya.

Semenjak itu, aku hidup bertiga dengan Mama dan abangku yang bernama Nico. Bang Nico bukanlah orang yang termasuk kategori saudara yang peduli akan keluarga. Ketika Papa meninggal, Bang Nico berubah menjadi dingin dan memanjadi manusia yang hanya mementingkan diri sendiri. Tak apa, selama aku ada, akan aku pastikan selalu menjadi tameng pelindung untuk menjaga Mama.

"Bang Nico ngga pulang lagi, Ma?" tanyaku di sela makan.

Mama hanya menggeleng sebagai jawabannya. Tampak jelas sekali ada raut kesedihan di wajah Mama.

"Nanti aku coba jalan-jalan ke apartement abang, sekalian bawakan ikan goreng ini ke sana," aku mencoba menenangkan hati Mama.

Begitu selesai menghabiskan makan malamku, aku langsung gegas berangkat ke apartement Bang Nico. Bang Nico memilih tinggal sendiri di apartemen yang dekat kampusnya sejak satu tahun yang lalu. Meski pun di katakan tinggal sendiri, tapi aku tetap sering melihatnya membawa perempuan untuk ikut menginap di kamar apartemennya. 

Kali ini, Bang Nico sudah hampir sebulan tak pulang ke rumah. Aku yakin, pastinya ada perempuan yang membuat abangku itu betah di sana.

"Bang?" aku mencoba memencet bel dan mengetuk pintu ruangan apartemennya.

Hanya hening yang menjawab panggilanku.

"Baaaanggggg!" panggilku kini lebih keras dan terkesan seperti berteriak. Karena tidak kunjung ada jawaban, aku akhirnya memutuskan untuk memakai kunci cadangan saja.

Ruangan apartement Bang Nico dalam keadaan gelap gulita. Tidak ada pergerakan dan suara apapun dari dalam. Aku lanjut memeriksa sekeliling ruangan. Ketika tiba di bagian dapur, aku melihat seorang laki-laki yang duduk di lantai dalam keadaan tanpa busana bagian atas, membiarkan aku melihat dada bidangnya itu. Tapi anehnya tidak ada pergerakan apapun dari Bang Nico.

"Bang! Abang!" aku mencoba mengguncang tubuh Bang Nico, berharap abangku itu segera bangun.

"Hnngghhh..."