Kali ini, Bang Nico tidak berhenti hanya sampai menjilati area intim kewanitaanku. Aku sudah mendapat firasat kalau bahwa malam ini asal pengalaman pertamaku akan melakukan percintaan dengan penyatuan kedua tubuh kami.
Laki-laki itu kini mulai melepaskan celana piyamaku secara perlahan. Laki-laki itu juga mulai memelankan tempo permainannya malam ini. Bang Nico pasti tahu kalau bahwa ini adalah pengalaman pertama kalinya dalam hidupku.
"Hmmpphh!" aku menggeliat saat laki-laki itu mulai menjilati area intim kewanitaanku. "Aaahhhhhhhh... Bangggnnhh!"
Tangan Bang Nico mengulur ke buah dadaku. Meremas kedua belahnya bergantian. Lalu memainkan putingnya sesekali.
"Hhhaahh... Ahhhkk... Hahhhh..."
Bang Nico bangun, tersenyum manis padaku. "Suara Lo indah banget waktu mendesah. Gua nggak kuat," laki-laki itu kini mulai melepas celananya.
Kini barulah aku bisa dengan jelas melihat tubuhnya. Tanpa busana, tentunya. Selama ini aku hidup dengannya, ini adalah kali pertamanya aku merasakan debaran yang berbeda saat melihat Bang Nico bertelanjang di depanku.
"Gua masukin, ya, pelan-pelan. Kalau sakit Lo bilang, ya!"
Aku hanya mengangguk saja sebagai jawaban. Walau sebenarnya rasa bimbang masih ada di dalam diriku, namun rasa ingin tahuku mengalahkan semuanya. Toh, yang aku ajak adalah orang berpengalaman. Pasti Bang Nico tahu bagaimana caranya agar tidak sampai kebablasan.
"Aahhhkkkk!" lenguhku waktu Bang Nico menyodokkan kejantanannya ke dalam lubang area intim kewanitaanku. Rasanya sakit dan tidak nyaman. Tanpa sadar, aku mendorongnya menjauh, "Sakit, Bang..."
Bang Nico membelai rambutku dengan lembut. Bukannya gerakan laki-laki itu berhenti, laki-laki itu malah menyodokkan kejantanannya lebih dalam lagi. "Bangggnnhh!" aku beringsut ke dalam pelukannya. "Ah! Hah, ah, ah, ah!"
"Sudah mulai licin. Sebentar lagi bakal terasa enak," bisik laki-laki itu tepat di telingaku.
Semakin lama laki-laki itu bergerak, aku malah mendapati diriku merasakan sensasi yang lain. Sesuatu seperti menggelitiki perutku. Rasanya enak sekali.
Tapi, suara langkah kaki mengacaukan segalanya. Bang Nico buru-buru mencabut kejantanannya dari lubang tembem intim kewanitaanku, lalu gegas menutupinya dengan selimut. Laki-laki itu kemudian segera memasukkan pakaian yang berserakan di lantai ke bawah kolong tempat tidur dengan cepat. Kemudian Bang Nico langsung ke dalam toilet kamarku tanpa bersuara.
"Ameera?" Mama datang mengetuk pintu kamarku. Aku memilih tidak menjawab, sibuk mengatur degub jantungku yang terasa sangat berantakan. "Sudah tidur, Nak?" Mama mencoba membuka pintu. Terkunci.
Aku tidak berani bergerak sedikit pun. Takut Mama bisa mendengarnya dari luar. Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara langkah kaki Mama menjauh
Bang Nico tidak langsung keluar dari persembunyiannya. Laki-laki itu menunggu waktu beberapa detik terlewati. Aku menunggu laki-laki itu masih dalam keadaan diam.
Begitu aku bisa melihat wajah laki-laki itu yang disinari lampu kamar, laki-laki itu hanya menampilkan senyum cengiran tampannya saja.
"Kali ini kita Bobo bareng aja, ya? Gua udah nggak ada niat." Bang Nico menyelinap kan diri ke dalam bawah satu selimut bersamaku. Hangat tubuh laki-laki itu menjalar dengan cepat melalui sentuhan kulitnya. Aku dipeluk oleh Bang Nico dalam keadaan sama-sama tak memakai busana.
***
"Buat, Lo," Kak Zeus menyerahkan sebuah gantungan kunci berbentuk kupu-kupu padaku. Kami kini tengah menikmati istirahat makan siang bersama. Makan siang yang telah di siapkan oleh Mama untuk kami berdua. "Gua kemarin dapet snacks berhadiah. Lucu, jadi gua kasih ke Lo aja, ya?"
Aku menerimanya dengan senang hati. Ini hadiah pertama yang aku dapet dari Kak Zeus. Laki-laki yang dengan mudahnya menarik perhatianku. "Makasih, Kak!"
"Lo bener! Ternyata masakan ibu Lo enak banget! Gua mau, dong, jadi anaknya juga!"
Perkataan Kak Zeus membuat efek samping pada wajahku, menjalar rasa hangat membuat semburat merah meradang di pipiku. Apakah laki-laki ini memang tipe orang yang bermulut manis kayak begini?
"Kakak sudah pernah pacaran sebelumnya?"
"Hudah," laki-laki itu menjawab dengan mulut penuh makanan di dalamnya.
"Di telen dulu makannya, Kak!"
Kak Zeus mengunyah makanannya buru-buru, kemudian lanjut menyeruput es teh di sebelah kotak bekal. "Sudah pernah, tiga kali. Waktu SMA kelas dua yang terakhir."
"Berarti banyak pengalaman dong?"
Kak Zeus menatapku lurus. Laki-laki itu seakan akan berpikir apa maksud dari pertanyaanku barusan. "Cuma sama satu orang," akhirnya laki-laki itu menjawab.
"Berapa kali?"
"Ameera, gua nggak mau ngomong bahas ginian," tutup Kak Zeus. Ekspresi wajah laki-laki itu tampak serius. Itu artinya laki-laki itu memang tidak ingin atau tak ada niat untuk melanjutkan percakapan ini. "Ngomong-ngomong, pulang ngampus nanti gua yang anter, ya?"
"Iya."
"Wah, tumben nggak nolak. Biasanya ada aja alasan Lo buat nolak tawaran dari gua anter sampai rumah."
Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tak gatal. "Bukan maksud saya nolak terus, Kak. Saya cuma takut di bawa kabur sama laki-laki. Kakak tahu sendiri saya kecil kek begini."
"Cantik pula."
"Kakak, Ih! Serius!"
Kak Zeus tertawa kecil. "Gua kalau ada niatan jahat sama Lo, nggak usah sampai harus pendekatan gini lah, sekali gua seret aja pasti Lo ngikut."
"Nggak usah anter pulang!"
"Yaaah, ngambek!" Kak Zeus kini tertawa terbahak. Hhhhhhhh, gelak tawa yang selalu aku rindukan.
"Saya mau jadi pacar Kakak."
Kak Zeus langsung berhenti tertawa. Laki-laki itu mengerjapkan mata beberapa kali. Melihat diriku yang tersenyum canggung, laki-laki itu akhirnya sadar apa yang aku ucapkan tadi. Kemudian laki-laki itu langsung mengeluarkan handphonenya. "Gua mau ganti foto profil WA. Lo approve, ya!"
Lalu, laki-laki itu benar mengantarku pulang. Mama tampak senang sekali melihat kedatangan kami berdua. Kak Zeus langsung di sambut dengan pelukan oleh Mama. "Makan malam di sini, ya, Nak?" tawar Mama kepada laki laki itu.
Kak Zeus yang memang menyukai masakan buatan Mama, tentu saja akan langsung menerima tawaran itu. Laki-laki itu dengan tenang duduk menunggu di ruang tamu, sementara Mama menyiapkan makan malam dan aku gegas langsung mengganti baju.
"Nunggu lama, Kak?" aku bertanya sambil turun dari lantai dua.
Laki laki itu menggelengkan dan melemparkan senyum manis miliknya itu untukku. "Demi makan gratis!"
"Bayar jangan lupa sama saya, Kak!" aku memilih posisi duduk di sebelahnya.
"Siapa dia?" tiba-tiba suara dari Bang Nico muncul dari tangga, ikut turun dari kamarnya.
"Kenalin, Bang! Ini Kak Zeus, kakak tingkat gua."
Bang Nico menatap Kak Zeus lurus-lurus. Aku sudah menceritakan kepada laki laki itu bagaimana sikap Bang Nico yang sudah berubah sejak kami kehilangan Papa, dan seperti laki laki itu sudah siap jika uluran tangannya diabaikan dan tak di sambut oleh Bang Nico.
Benar saja! Bang Nico benar benar tidak mengindahkan niat baik Kak Zeus. Bang Nico langsung saja duduk di hadapan kami. Laki-laki itu hanya membalas perlakuan dingin Bang Nico dengan senyuman kecil.