Ternyata rasanya dua kali lebih nikmat saat cairan putih kental menyembur di dalam lobang tembem intim kewanitaanku.
Laki laki itu kembali mengulum bibirku, sampai alat kelaminnya terasa mengecil. "Kalau ada apa apa, Lo harus ngasih tahu gua!"
Aku tersenyum, tahu maksud dari perkataan abangku itu. Tapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja.
Saat laki laki itu kemudian mengajakku untuk mandi bersama, ketukan tiba-tiba pintu dan suara bel apartemennya membuat kami berhenti. Bang Nico mengelus kepalaku pelan. "Lo mandi duluan aja. Mungkin itu temen gua yang mau minjam buku."
Aku mengangguk saja. Ini adalah pertama kalinya aku mandi di apartemen Bang Nico. Di luar bayangan, ternyata laki laki itu orang yang bersih dan rapi.
Sepuluh menit kemudian, saat aku selesai mandi, aku dapat mendengar seperti suara ada orang yang beradu argument di pintu depan.
Segera gegas aku mengenakan pakaianku kembali, lalu mengintip ke pintu depan. Betapa kagetnya aku saat melihat siapa tamu tak di undang itu.
Kak Zeus, laki laki itu berada di sana, tampak tengah berseteru dengan Bang Nico.
Aku gegas menghampiri mereka berdua. Memang aku tidak akan bisa menghindari laki laki itu selamanya. "Bang," aku meraih lengan Bang Nico.
"Lo diem aja di dalam."
"Gua cuma mau ngomong sebentar sama Ameera," sambung laki laki itu kemudian.
"Ngomong aja langsung!" potong Bang Nico tak mau kalah.
Bang Nico yang ada di sampingku saat aku merasa tidak enak hati dan galau, jadi aku putuskan untuk kali ini aku pun harus ada di pihak Bang Nico. "Ya, ngomong aja langsung!"
Laki laki itu tampak menimbang sejenak. Lalu lanjut berkata, "Aku minta maaf, Ara..."
"Dimaafkan! Sudah, pergi sana!" jawab Bang Nico langsung.
"Belum selesai!"
Aku mengeratkan pegangan tanganku pada lengan Bang Nico. "Sudahlah, Bang... Biarin aja dia bilang apa yang pengen dia mau katakan. Habis itu, dia juga bakalan cabut dengan sendirinya."
"Ara, aku mohon... Jangan jadi kayak gini."
Alisku bertaut aneh. "Jadi, saya harus bagaimana? Menerima Kak Zeus sebagai kakak baru saya? Bagus juga kayaknya, aku jadi punya dua sodara laki-laki," jawabku sambil tertawa miris.
"Ini juga pilihan yang sulit buat aku, Ra. Papa sudah lama menduda sejak enam tahun yang lalu. Aku pikir, memang sudah waktunya dia untuk mencari pendamping hidup yang baru. Aku benar-benar nggak nyangka, ternyata itu adalah Mamamu."
Ya, ini memang bukan salah laki laki itu juga, bahwa Papanya dan Mama yang kini saling jatuh cinta. Tapi kita juga merasakan hal yang sama, kan? Kita saling jatuh cinta juga, kan?
"Aku menghormati keputusan Papa. Dia adalah satu satunya orang yang merawat ku sejak kecil," laki laki itu menarik nafas sebentar agar bahunya tak terasa tegang. "Dan aku mau dia juga bahagia."
"Sekarang Kak Zeus sudah mendapatkan apa yang Kakak mau. Saya juga akan dukung sepenuhnya hubungan Mama dan Oom Malik. Saya juga akan melepas Kak Zeus. Jadi sekarang silahkan pergi!" aku merasa ada yang hilang saat aku mengakhiri kalimatku. Laki laki itu pun tidak berkedip menatapku.
"Apa kamu yakin?"
Keningku berkerut makin dalam. "Apa lagi yang Kak Zeus mau?" tanyaku dengan nada pelan, hampir seperti nada berdesis tajam. "Oh! Jadi kakak adik yang sempurna di depan orang tua kita? Baik, tenaga aja. Akan saya lakukan, jika memang saya ada di depan mereka."
"Ara..."
"Gua rasa semuanya sudah sangat jelas!" potong Bang Nico lagi. "Ini tempat gua, dan gua berhak untuk nggak memberi izin lagi sama Lo untuk sedetik pun menampakkan kaki lagi di sini."
Aku mendahului Bang Nico, masuk ke dalam kamar. Aku tidak mau berlama-lama menatap laki laki itu. Tekadku akan jadi buyar begitu aku jatuh dalam cinta yang telah aku miliki ini.
Tidak lama kemudian, Bang Nico duduk di sebelahku. "Gua tahu Lo belum bisa lupakan tu cowok," ucap Bang Nico yang jujur membuat hatiku jadi gundah. "Nggak apa. Gua bisa jagain Lo. Santai, dong!" Bang Nico langsung memelukku.
Aku menikmati kehangatan pada dada sandar-able dalam dekapan Bang Nico itu. Detak jantungnya yang teratur membuatku menjadi ngantuk. Apa karena aku terlalu lelah saat telah melakukan percintaan panas dengan Bang Nico tadi?
"Malam ini gua nginep, apa boleh?"
"Boleh."
Aku langsung meringkuk ke dalam selimutnya. Wangi parfum Bang Nico seketika menyeruak masuk memenuhi rongga dadaku.
"Gua mandi dulu," pamit Bang Nico kemudian.
Bahkan, di dalam mimpi pun aku masih belum bisa melupakan laki laki itu. Seakan laki laki itu tak ingin membiarkan aku tenang. Laki laki itu datang dengan tatapan matanya yang mematikan. Memuaskanku dengan sentuhan yang selama ini aku rindukan. Mencium bibirku dengan lembut. Melahap tubuhku dengan penuh gairah yang menggebu-gebu.
Aku sadar bahwa ini adalah mimpi yang tidak akan pernah mungkin terjadi lagi. Laki laki itu tidak akan pernah berani lagi menyentuhku. Dia telah memilih papanya dan mengakhiri hubungan kami.
Tapi mimpi ini terasa begitu menyenangkan. Kak Zeus yang begitu aku cintai ada di depan mataku. Tangan kami bertautan. Aku tidak bisa merasakan kehangatannya. Ini hanya mimpi. Namun terasa sangat menyenangkan.
Walau hanya bisa di dalam mimpi saja, laki laki itu tetap saja bisa membuatku menjadi horny. Ketika terbangun, celana dalamku sudah sangat basah. Aku mencari sosok Kak Zeus di sekitar tempat tidur. Laki laki itu sama sekali tidak ada.
Aku bangkit dari tidurku. Menuju ke luar kamar tidur Bang Nico. Ternyata laki laki itu ada di ruang tamunya. Duduk dengan mata fokus ke arah laptopnya di depannya.
"Bang..." panggilku sembari menghampirinya.
"Tadinya gua mau bangunin supaya Lo ganti baju, tapi Lo tidurnya nyenyak banget."
Aku melirik jam, sudah jam dua pagi dini hari ternyata. "Abang sibuk nggak?" aku duduk di dekatnya.
"Cuma mau selesaikan tugas, ada apa?"
Aku menjilat telinganya sensual, Bang Nico menjadi tegang. Laki laki itu menoleh kaget padaku. Aku menggelayut di pangkuannya dengan manja. "Mau main bareng nggak??"
***
"Kamu ke mana aja semalam?" Mama yang ternyata sudah menunggu di depan pintu saat aku baru sampai kembali ke rumah.
"Nginep di tempat Bang Nico. Ada yang perlu aku diskusikan dengan dia," jawabku sambil berjalan dari jauh melewati Mama. Ketika aku hendak akan naik ke lantai dua, aku dapat melihat pemandangan curiga dari ekspresi wajah Mama yang di lemparkan pada Bang Nico.
Mungkin aku harus membawa beberapa baju ganti saja untuk menginap di apartemennya Bang Nico. Aku benar benar sedang tidak enak hati jika harus berhadapan dengan Mama untuk saat ini.
"Sarapan dulu, Nak?"