Sama seperti di film video biru yang tidak sengaja aku lihat waktu Bang Nico masih tinggal di rumah.
"Astagaaahhhhh! Masih pagi jugak, namun pikiranku sudah melayang ke sana sini! Harusnya aku fokus pada jadwal mata kuliahku yang sebentar lagi aku dapatkan.
Setibanya di kampus, mataku menjadi awas. Aku sangat sangat tidak ingin bertemu dengan Leo, Citra, dan apa lagi Kak Zeus. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus memulai membuka pembicaraan dengan mereka.
Aku setengah berlari menuju ruang pengumuman untuk melihat jadwal pembagian kelas. Mataku dengan cepat mencari dimana letak namaku berada.
Ah, itu dia! Di gedung FIP dekat lorong ruangan dekan fakultas seni rupa.
Aku bergerak ke denah kampus sebentar, memastikan kembali apa kah tebakan ku itu sudah benar tentang lokasi kelasku. Ternyata benar, ada di lantai dua paling pojok. Artinya aku harus melewati banyak kelas dari fakultas lain, sampai di depan kantor dekan fakultas seni rupa lanjut ke lantai dua di bagian paling pojok. Bisa di simpulkan bahwa kemungkinan aku akan bertemu dengan Leo dan Kak Zeus semakin besar.
"Pagi, Ameera!"
Tubuhku seketika mematung. Tidak perlu menoleh kan kepala pun, aku sudah tahu siapa menyebut namaku itu. "Pagi juga, Kak!"
"Lo udah baik-baik aja?"
Aku mengangguk tanpa ingin mengangkat wajahku. Aku tidak berani untuk melihat sinar mata indah laki-laki itu yang selalu saja bisa membuat sekujur tubuhku bergetar hebat.
"Nggak usah tegang gitu," Kak Zeus menepuk pundak ku pelan. "Hal-hal yang kayak kemarin bakal sering Lo lihat seiring bertambah umur."
Hah? Jadi, Kak Zeus tahu apa yang sudah aku lihat kemarin? Saat aku membalas pandangan mata laki-laki itu, aku melihat ia malah tersenyum maklum.
"Tapi mereka hebat juga, berani main di area kampus."
Aku menelan ludah kasar. Tenggorokan ku tiba tiba terasa kering. Aku tidak tahu harus berkomentar seperti apa.
"Jagan di tiru, ya! Kalo Lo punya pacar, mending mainnya di tempat aman."
"Sa-saya jomblo, Kak!"
Kak Zeus mengangkat sebelah alisnya mendengar cicitanku. Lalu laki-laki itu malah tertawa, "Anak baik!" Laki-laki itu kemudian juga mengusap ujung kepalaku. Hampir saja aku di diagnosa terkena penyakit jantungan.
***
Aku terdiam diri dengan kaku di depan apartement Bang Nico. Tanganku seakan tidak mau mengetuk pintu nya, atau pun mencoba memutar kunci pada gagang pintunya itu. Aku berada di sini karena Mama yang memintaku untuk mengantar kan makanan lagi pada Bang Nico.
Tepukan seseorang di pundakku membuatku terlonjak kaget. Aku membalikkan badan, mendapati Bang Nico berada di belakangku.
"Ngapain nggak masuk?" tanya laki-laki itu.
Sikap Bang Nico berbeda seratus delapan puluh derajat. Semenjak kepergian Papa, abangku itu tidak pernah berbasa basi seperti ini. Laki-laki itu cenderung ketus dan kasar. Sikap ramah nya malah membuatku merasa tidak nyaman.
"Lo jadi takut sama gua?"
Aku mengangguk jujur. Mata Bang Nico berkilat, laki-laki di hadapanku ini persis seperti seekor singa yang kelaparan.
"Masuk. Gua lagi nggak mabuk." Bang Nico masuk duluan. Membiarkan pintu apartemen terbuka di depanku. Aku jadi menimbang nimbang, apakah aku masuk saja atau malah menaruh makanan di depan pintu apartemen saja? Aku sangat bingung!
Beberapa detik kemudian, aku akhirnya memutuskan untuk ikut masuk ke dalam. "Bang, Mama buat kan rendang ayam. Abang sudah makan malam?" aku melirik ke arah Bang Nico yang kini tengah sibuk dengan ranselnya. Laki-laki itu mengeluarkan beberapa kamera sambil memutar mutarnya. "Abang mau makan sekarang?"
"Kenapa Lo masih mau dateng ke sini setelah kejadian kemarin?"
Kenapa?
"Karena Mama yang menyuruhku."
Bang Nico menoleh padaku, "Lo nggak cerita ke Mama tentang kejadian kemarin?"
Aku menggelengkan kepala, jujur. Aku hanya tidak ingin Mama jadi khawatir dengan masalah kecil seperti itu. Toh, aku juga tidak rugi apa-apa.
Bang Nico langsung berdiri, lalu kemudian melangkahkan kakinya berjalan mendekat ke arahku. Genggaman tanganku mengerat, membuat bunyi decitan di piring yang tengah aku genggam.
"Enak?"
"A... apanya?"
Bang Nico kini sudah berdiri di depanku. Laki-laki itu kemudian mengambil piring yang ada di tanganku dan menaruh nya kembali di atas meja. Perlahan tapi pasti, tangan kami kini telah bertautan.
Tubuhku seketika langsung kaku. Aku tidak bisa menggerakkan satu buah jari pun. Tangan Bang Nico lebih besar setengah ukuran dari tanganku. Telapak tangan nya agak kasar.
"Mau lagi?" tanya laki-laki itu kini.
"Ka... Kak! Gua ini adik Lo!" ucapku mengingat kan, suaraku jadi bergetar saking panik nya. Namun tubuhku tetap saja tidak bisa untuk aku gerakkan. Aneh nya kakiku malah mengkhianati seperti tak ingin lari. Bahkan kini mataku tengah terpaku menatap bola mata hitam pekat milik Bang Nico.
Bang Nico menunduk, mengecup leherku dengan lembut, membuat bulu kudukku langsung meremang.
Tangan Bang Nico juga ikut bergerak. Laki-laki itu kini malah meremas buah dadaku. Gerakan nya lembut dan teratur. Aku mengigit bibir bawahku, menahan suara laknat itu tapi tak bisa. "Eeenggghh... Hhh...."
Bang Nico kemudian mengecup bibirku lagi. Kali ini laki-laki itu melakukan nya dengan lebih lembut dan terasa menggoda. Badanku jadi terasa lemas. Tanganku tidak dapat di gerakkan.
Laki-laki itu tak melepaskan tatapan nya dari pandangan mataku. Hembusan nafas nya yang tenang dan terasa hangat, membuatku jadi makin tidak berdaya. Bang Nico kini sudah mulai membuka kancing kemejaku satu persatu. Rasanya agak malu karena laki-laki itu kini gantian fokus memerhatikan buah dadaku.
Bang Nico tersenyum. "Waktu Mama Lo akhirnya tinggal sama Papa gua delapan belas tahun yang lalu, gua berjanji sama diri gua sendiri. Gua nggak akan pernah anggep Lo itu sebagai adik gua, meski pun notabenenya adalah adik tiri sekali pun. Gua tetep benci banget sama Mama Lo, karena Mama Lo sudah bikin rumah tangga nyokap sama bokap berantakan. Tapi, saat ngeliat Lo yang masih bayi, dan hasil dari Mama Lo dengan mantan sahabat Papa, serta Papa yang suka rela mengangkat kalian sebagai keluarga, gua jadi nggak bisa benci sama Lo. Gua ngga bisa terus-terusan benci sama Lo, karena sebenarnya di sini Lo ngga punya salah apa-apa."
Aku terbelalak kaget. Kalimat per kalimat yang Bang Nico ucapkan baru saja terasa menghantam kepalaku dengan sangat keras.
"Jadi... gua bukan... bukan..."
"Ya, Lo bukan adik kandung gua. Lo itu anak dari mantan sahabat bokap gua, yang kini ngangkat Lo sebagai anak tiri bokap gua."
"Ahhkk! Bang!" aku mengejang saat Bang Nico memasukkan tangan nya ke bagian dalam rokku. "Bang... Jangan... Ah!"
"Gua selama ini baik sama Lo, karena gua tahu Lo nggak punya salah apa pun di sini," Bang Nico melanjutkan ucapan nya, namun tangan laki-laki itu tetap terus meraba bagian intim kewanitaanku yang tersembunyi di balik celana dalam. "Ternyata Lo jadi cantik begini."
"Bang... Ah, hah... Ta-tangan nya haaa! Ah, hahahhh!"