"TIDAKKKKKK!! YUEEEEEEEEEEE!!!!!"
BRUK!
Disusul oleh suara berdebam keras sesuatu yang membentur lantai.
"Hmphh!!" Toshihiro Mabuchi menggeliat dengan panik sambil berusaha melepaskan kain yang menyelubunginya. Akhirnya ia terduduk sambil melihat sekelilingnya dengan kekalutan yang luar biasa.
Lalu hening.
Terdengar suara kicauan burung dari luar dan seberkas sinar mentari yang masuk melalui jendela, menerangi sebuah ruangan minimalis yang tertata rapi.
"Hah…?"
Sejenak Hiro merasa baru pertama kalinya ia merasa sangat kebingungan berada di dalam kamarnya sendiri.
"Apa apaan? Bukannya aku…?" Hiro berusaha mengingat dimana ia seharusnya. Tapi semuanya tampak tidak masuk akal.
"Uhm…"
"Benar-benar mimpi yang aneh!" Hiro berdiri sambil menggaruk kepalanya. Tubuhnya yang setengah telanjang dan berotot hanya mengenakan celana panjang terlihat berkilau diterpa cahaya matahari.
"Urkhhhh!" Hiro mengangkat dirinya yang tergeletak di lantai. Tulang punggungnya mengeluarkan suara berderak akibat membentur lantai kayu. Hiro berjalan menuju kamar mandi sambil terus mengelus punggungnya yang sakit. Mungkin pancuran air dingin dapat menenangkan kepalanya.
Toshihiro menatap dirinya di cermin sambil menggulung kemeja putihnya ke siku. Hari ini adalah hari pertamanya mengajar. Salah satu syarat kelulusan dari universitasnya yang mengharuskannya melakukan kerja praktek. Hiro memilih Sekolah Meito karena dekat dengan rumahnya.
Jalan menuju sekolah tampak ramai dengan murid - murid berseragam. Beberapa murid yang berkelompok berjalan sambil berbisik. Terdengar suara cekikikan sambil memandang guru baru yang berjalan di hadapan mereka. Hiro berusaha tidak menggubris, anggap saja fokus mereka berada pada pohon-pohon sakura yang bermekaran di pinggir trotoar, bukan padanya.
Tiba - tiba ada seseorang yang berlari melewatinya sambil menjinjing tas yang dipasangi bel kecil. Bunyi bel yang berdenting mengalihkan pandangan Hiro kepada gadis itu. Tak sengaja mata mereka bertemu barang dua detik.
Ia merasa pernah melihat gadis itu di suatu tempat, tapi dimana?
"Yue-chan!! Tunggu aku!!" Teriak salah seorang temannya di belakang.
"Kalau kamu terlalu lambat, aku tinggal loh!" Teriak gadis itu sambil berbalik.
"Sensei, tidak apa-apa. Turunkan aku."
Satu kalimat dari kepala Hiro membuat langkahnya terhenti.
Suara itu… dan nama itu juga terdengar tidak asing di kepala Hiro.
Namun secepat pikiran itu datang, secepat itu juga pikiran itu pergi.
"Mana mungkin aku kenal dengan anak SMA?" Hiro terkekeh pelan. Mungkin ia terlalu banyak menonton film.
Perkenalan Hiro dengan guru-guru dan murid - murid di kelasnya berjalan tanpa hambatan. Murid - muridnya memanggil Hiro dengan sebutan Mabuchi Sensei. Meskipun ia lebih suka dipanggil Hiro daripada Mabuchi tapi memanggil dengan nama keluarga memang hal yang normal.
Murid - murid wanita tersenyum lebar melihat guru barunya yang sementara akan menggantikan guru mereka sebelumnya. Hiro membalas dengan senyuman sambil menyuruh mereka memperkenalkan diri… dan orang pertama yang memperkenal diri adalah…
Seorang siswa berambut sebahu berwarna coklat muda bangkit berdiri. Hiro melihat bel kecil di tasnya.
"Namaku Yue Akasaka, ketua representatif kelas."
"Selamat datang, Mabuchi-Sensei..Namaku Yue Akasaka, ketua representatif kelas. "
Deg!
Kepala Hiro terasa seperti dipukul dengan palu godam. Pandangan Hiro sedikit mengabur. Kakinya oleng ke belakang, namun tangannya yang sigap berhasil mempertahankan posturnya tubuhnya tetap tegak.
"Sensei, kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat tiba - tiba." tanya Yue Akasaka. Suasana kelas menjadi hening. Terdengar suara bisik-bisik dari beberapa murid.
Hiro berdeham. Ia merasa malu karena terlihat lemah di depan murid-muridnya di hari pertama.
"Y-ya. Aku tidak apa - apa. Terima kasih Yue Akasaka-san."
Tangan Hiro menunjuk pada seorang anak laki-laki. "Silahkan dilanjutkan dengan yang lain."
Murid lelaki itu berdiri.
"Nama saya Kenzo Tanaka, wakil representatif kelas…"
Ia akan menghafal nama - nama mereka nanti. Hiro sudah tidak mendengarkan perkataannya.
Pikirannya melayang pada saat Yue Akasaka memperkenalkan diri. Sekelebat memori tiba - tiba melintas dengan begitu jelas di kepalanya. Bahkan gerak gerik Akasaka dan dilanjutkan dengan penghapusnya yang terjatuh ke lantai. Semua terlihat seperti adegan berulang.
Tapi anehnya hal itu hanya terjadi pada Yue Akasaka. Misalnya, ketika Akasaka mengangkat tangan sambil memberikan jawaban. Lalu dilanjutkan dengan tersenyum lebar sambil menunjukkan tinjunya karena telah berhasil menjawab atau bahkan ketika ia membantu temannya menjawab. Semua adegan terlihat seperti terulang di kepalanya.
Bel berbunyi dan kelas pun berakhir. Hiro membereskan buku - bukunya di meja. Ia berjalan dengan sangat pelan. Baru saja satu pelajaran di hari pertama membuatnya lelah luar biasa. Semua hanya karena satu murid bernama Yue Akasaka, yang bahkan tidak melakukan apapun di luar batas.
"Mungkin ada yang salah dengan kepalaku." ujarnya pada diri sendiri.
Di ruang guru, Hiro mendesah lelah sambil duduk di meja kerjanya. Kepalanya tertunduk, ia menulis sesuatu di bukunya untuk mengurangi kekalutan di pikirannya.
"Tidak biasanya guru baru langsung kehilangan semangat kerja di hari pertama." Suara merdu seseorang menghentikan lamunan Hiro.
Seorang wanita yang rambutnya dicat warna pirang sedang bertumpu pada siku di pembatas kubikel meja. Seperti tipikal guru muda pada umumnya, ia mengenakan kemeja ketat putih dengan blazer, yang juga sama ketatnya dan celana pensil berwarna abu-abu. Kukunya diwarnai merah muda dengan riasan wajah yang tebal.
"Apa ada masalah dengan anak muridmu, Mabuchi Sensei?"
Hiro menggeleng. "Semuanya baik-baik saja uhm… Erika Watanabe Sensei."
"Panggil saja Erika. Jangan terlalu formal denganku." Tangan Erika mendarat di bahu Hiro. Hiro membalas dengan tersenyum sopan. Tiba - tiba wajah Erika mendekat ke telinga Hiro.
"Sensei, kalau kau perlu tempat untuk melakukan hal yang melanggar peraturan sekolah. Lakukan di atap gedung B disana tempat yang tertutup." Hiro membeku di tempat sambil mencerna.
"A-apa…"" Erika mengetuk - ngetuk kantung kemejanya sambil menunjuk ke dalam kantung kemeja Hiro. Akhirnya ia tersadar apa yang dimaksud Erika.
"O-oh… Terima kasih untuk infonya, Erika Sensei." Erika mengedipkan sebelah mata sambil meninggalkan meja Hiro. Hiro bangkit berdiri kemudian berjalan menuju atap gedung B. Ia membutuhkan barang di kantung kemejanya saat ini.
"Huffff…" Hiro menghembuskan asap rokok dari bibirnya. Merokok memang melanggar peraturan sekolah. Tapi di sini tidak akan ada yang menangkap basah dirinya. Hiro berdiri di antara langit dan bumi tanpa ada yang mengganggunya. Angin yang berdesir membawa asap rokok dari puntung yang dijepit di antara dua jarinya, menghilangkan bukti yang ada.
"Benar - benar tidak ada orang disini."
"Sensei, tidak baik melanggar aturan di hari pertama mengajar." Suara familiar di belakangnya membuat Hiro kaget setengah mati. Hampir saja ia melepaskan puntung rokok dari jemarinya. Hiro menengok ke belakang dan melihat Yue Akasaka sedang mengintip di balik tembok yang lebih tinggi dari tempat Hiro berdiri sekarang dan terletak di atas pintu atap.
"Sensei, tidak baik melanggar aturan di hari pertama."
Pikiran Hiro mulai bermain dengan kesadarannya lagi.
"Darimana kau… Kapan… Kenapa…" Hiro tak dapat mengelak lagi. Bukti sudah jelas berada di tangannya. Hiro yakin hari ini adalah hari pertama dan terakhirnya mengajar disini. Seluruh kerja kerasnya akan hancur hanya karena hari ini. Apakah Erika Sensei sedang menjebaknya?
"Tenang, Sensei. Tidak perlu takut, aku tidak akan melaporkan Sensei." katanya sambil tersenyum menenangkan. Yue Akasaka bangkit berdiri kemudian menuruni tangga besi ke tempat Hiro berada.
"Aku tidak akan melaporkan Sensei."
Hiro tidak percaya. "Apa alasanmu tidak melaporkanku, Akasaka-san?"
"Aku hanya ingin bersikap baik hari ini. Oh! Apakah aku boleh mengajukan satu syarat?"
Hiro terdiam.
"Bolehkah aku memanggilmu Hiro Sensei?"
"Bolehkah aku memanggilmu Hiro Sensei?"
Yue menunjukkan senyum lebarnya, membuat Hiro terdiam di tempat tak bernapas. Puntung rokok terlepas dari jarinya kemudian menyentuh tanah tanpa suara. Yue melihat hal itu kemudian…
"Hiro Sensei, rokokmu…"
"Oh! Ya…" Hiro seperti tersadar dari lamunannya kemudian menginjak puntung rokok itu sampai mati. Yue tertawa kecil.
"Maksudku… Tidak." Jawab Hiro. Yue menatapnya bingung.
"Aku tidak mengijinkan…nama panggilan." kata Hiro sekali lagi. Yue pun mengerti.
"Ahh… maksud Sensei itu nama panggilan. Jadi tetap Mabuchi Sensei?"
Hiro mengangguk kecil.
Yue menahan tawa.
"Sensei orang yang menarik ternyata."
"A-apa maksud…?"
"Sensei tidak perlu khawatir, kejadian hari ini menjadi rahasia kita berdua. Mulutku sudah kujahit." kata Yue sambil berpura - pura membentuk garis di bibirnya dengan jari.
"Sensei kejadian hari ini menjadi rahasia kita berdua ya. Sensei tidak perlu khawatir."
Yue berbalik kemudian berjalan sambil berjingkrak dengan tangan di belakang. Hiro hanya bisa menatapnya sampai Yue menghilang dari pandangan.
Setelah pintu atap ditutup, Hiro terduduk di lantai sambil memberantaki rambutnya.
"Haaaaahhhh… benar - benar kacau!" Jatuh dari tempat tidur sambil memanggil nama Yue, hampir oleng di kelas dan ketahuan melanggar aturan sekolah di hari pertama. Hiro melepas kacamatanya sambil mencoba memijit dahinya. Semua hal yang berkenaan dengan Yue Akasaka membuatnya kacau. Hiro memejamkan mata. Kejadian demi kejadian aneh berkecamuk di kepalanya.
"Sensei kejadian hari ini…"
"Sensei orang yang lucu ya."
"Namaku Yue Akasaka, ketua representatif kelas."
"Bolehkah aku memanggilmu Hiro Sensei?"
"Hiro Sensei… terima kasih."
"Ahh! Sudahlah!" Hiro bangkit berdiri kemudian berjalan menuruni tangga.